BAHASA ROH: ARTI, KLASIFIKASI, PENGGUNAAN DAN TUJUAN

Pdt.Samuel T Gunawan, M.Th.
BAHASA ROH: ARTI, KLASIFIKASI, PENGGUNAAN DAN TUJUANBAHASA ROH: ARTI, KLASIFIKASI, PENGGUNAAN DAN TUJUAN. Bidang pneumatologis yang paling sengit diperdebatkan hingga saat ini adalah charismata yang berhubungan dengan bahasa roh. Disatu sisi karunia ini sangat ditonjolkan bahkan ada kecenderungan disalahgunakan, sementara disisi lainnya penggunaan karunia ini ditolak.[1] Beberapa dari kritik dan keberatan yang diajukan terhadap pemberlakuan karunia bahasa roh masa kini antara lain : (1) Bukankah bahasa roh sebagaimana nubuat akan berhenti dengan sendirinya di awal sejarah gereja atau saat Alkitab telah rampung (1 Korintus 13:8)?; (2) Bukankah karunia bahasa roh adalah tanda bagi orang yang tidak beriman, bukan bagi orang yang beriman (1 Korintus 14:22)? (3) Ada orang-orang yang berbahasa roh dan kemudian diketahui ternyata itu merupakan tiruan dari setan yang mengucapkan kata-kata yang menghina Kristus; (4) Bukankah bahasa roh di dalam Alkitab adalah bahasa yang dapat dimengerti oleh pendengarnya, bukan merupakan suara yang tidak berarti?; (5) Bahasa roh orang-orang Pentakostal dan Kharismatik saat ini adalah bahasa roh yang tidak memiliki arti dan tidak karuan; (6) Lebih baik kita menghindari saja bahasa roh karena seringkali tidak membangun orang lain (1 Korintus 14:4).

Saya mengakui bahwa beberapa orang yang karena ketidaktahuannya telah membuat kesalahan sehubungan dengan penggunaan karunia nubuat dan bahasa roh ini. Tentang karunia nubuat ini akan saya bahas di artikel tersendiri. Pada kesempatan ini saya akan menyajikan ajaran normatif mengenai penggunaan karunia bahasa roh beserta karunia menafsirkan bahasa roh tersebut.[2]

ARTI BAHASA ROH

Istilah “bahasa Roh” atau “bahasa lidah” adalah terjemahan dari kata Yunani “glôssolalia”. Kata “glôssolalia” ini yang merupakan gabungan dari dua kata Yunani yaitu “glôssa” yang berarti “lidah” dan kata kerja “laleô, yang berarti “berbicara, berkata, mengeluarkan suara dari mulut”. Dalam Perjanjian baru, baik dalam Kisah Para Rasul maupun surat Korintus, istilah “bahasa lidah”, “bahasa asing”, dan “bahasa roh”, digunakan kata dan ungkapan yang sama yang saat ini dikenal dengan “γλωσσολαλια – glôssolalia” yaitu gabungan dari “γλωσσα – glôssa (lidah)” dan kata kerja “λαλεω – laleô (berbicara)”

Bahasa roh pertama kali dalam Kisah Para Rasul pasal 2 merupakan “bahasa-bahasa” (glôssai, bentuk jamak), tidak berbeda dengan bahasa roh dalam jemaat Korintus. Kedua-duanya tidak dimengerti oleh pembicara, dalam Kisah Para Rasul hanya dimengerti oleh orang lain, sedangkan dalam Korintus tidak dimengerti orang lain, oleh karena itu memerlukan penafsiran. 

Perhatikan kedua ayat berikut ini: Kisah Para Rasul 2:4, “Maka penuhlah (eplêsthêsan) mereka dengan Roh Kudus (pneumatos hagiou), lalu mereka mulai berkata-kata (lalein) dalam bahasa-bahasa (glôssais) lain (heterais), seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya (apophtheggesthai)”; dan 1 Korintus 14:2, “Siapa yang berkata-kata (lalôn) dengan bahasa roh (glôssê), tidak berkata-kata kepada manusia (ouk anthrôpois lalei), tetapi kepada Allah. Sebab tidak ada seorang pun yang mengerti bahasanya; oleh Roh ia mengucapkan (lalei) hal-hal yang rahasia (mustêria)”. Jadi, ada dua jenis bahasa roh, yaitu bahasa roh yang dimengerti oleh orang lain (Kisah Para Rasul 2:4) dan bahasa roh yang harus ditafsirkan karena tidak dimengerti oleh orang lain (1 Korintus 14:2).

Pada saat murid-murid yang telah berkumpul dipenuhi dengan Roh Kudus pada hari Pentakosta, mulailah mereka “berkata kedalam bahasa-bahasa (glôssai,) lain” seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk dikatakannya (Baca, Kisah Para Rasul 2:4-11). 

Pada saat itu, banyak orang Yahudi dari luar Palestina tercengang mendengar puji-pujian bagi Allah yang dalam bahasa (glôssa, Kisah Para Rasul 2:11) dan dialek-dialek (dialektos, Kisah Para Rasul 2: 6-8) yang dipakai di negeri mereka sendiri. Yang dimaksud dengan bahasa roh disini adalah bahasa roh yang benar-benar merupakan karunia Roh Kudus, bukan bahasa lidah yang dibuat-buat, dipelajari, atau ditiru. 

Ini karunia bahasa roh. Contoh lainnya disebut dalam ayat-ayat berikut ini: Kisah Para Rasul 10:46, “sebab mereka mendengar orang-orang itu berkata-kata dalam bahasa roh (glôssais) dan memuliakan Allah (megalunontôn ton theon)”; Kisah Para Rasul 19:6, “Dan ketika Paulus menumpangkan tangan di atas mereka, turunlah Roh Kudus ke atas mereka, dan mulailah mereka berkata-kata (elaloun) dalam bahasa roh (glôssais) dan bernubuat (proephêteuon)”.

KLASIFIKASI BAHASA ROH

Pada umumnya, bahasa roh menurut Kharismatik dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu: 

(1) Bahasa roh sebagai karunia Roh; dan 

(2) Bahasa roh sebagai bahasa doa. Dennis J. Bennet[3] menyatakan, “Allah menggunakan bahasa roh dalam dua cara yang berbeda. Sangat penting bagi kita untuk mengerti perbedaannya. Pertama, apa yang kita sebut sebagai ‘bahasa doa’ dan yang kedua adalah ‘karunia bahasa roh”. [4] 

Perbedaan ini juga dijelaskan C. Peter Wagner[5] sebagai berikut, “Karunia bahasa roh adalah kemampuan istimewa yang diberikan oleh Allah kepada beberapa anggota dalam tubuh Kristus 

(1) untuk berbicara kepada Allah dalam suatu bahasa yang tidak pernah mereka pelajari dan/atau 

(2) untuk menerima dan menyampaikan suatu pesan langsung dari Allah kepada umatNya melalui suatu ucapan yang diurapi Allah dalam suatu bahasa yang tidak pernah mereka pelajari.”[6] 

Selanjutnya Wagner menjelaskan bahwa jenis yang pertama dari karunia bahasa roh dapat disebut “bahasa roh perorangan” dan jenis yang kedua dapat disebut “bahasa roh umum”. Bahasa roh perorangan disebut juga “bahasa doa”.[7] Perbedaan antara bahasa roh sebagai bahasa doa dan bahasa roh sebagai karunia roh ini harus dimengerti dari sejak awal, sebab jika tidak, hal inilah yang menyebabkan terjadi kekacauan dan ketidaktertiban. Karena itu saya mengingatkan dan menghimbau agar penganut Kharismatik benar-benar memperhatikan hal ini.

1. Bahasa Roh Sebagai Karunia Roh 

Rasul Paulus menyebut dua karunia yang berhubungan erat yaitu karunia berbahasa roh dan karunia menafsirkan bahasa roh. Ia mengatakan, “Kepada yang seorang Ia memberikan karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh (γλωσσῶν-glōssōn), dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk menafsirkan bahasa roh (ἑρμηνεία γλωσσῶν - hermēneia glōssōn) (1 Korintus 12:10, lihat juga 1 Korintus 14:5).

Dick Iverson mendefinisikan karunia bahasa roh sebagai “kemampuan yang Allah berikan untuk berkomunikasi dalam suatu bahasa yang orang itu tidak mengerti, ditafsirkan dalam jemaat supaya semua bisa memahami”.[8] 

Karunia bahasa roh ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kemampuan berbahasa, kepandaian berpidato, atau cara baru berbicara. Karunia berbahasa roh ini adalah suatu manifestasi atau ekspresi Roh Kudus melalui seseorang. Karunia ini diberikan hanya ketika Roh Kudus menghendakinya, dan melalui orang percaya siapa saja yang dikehendakiNya. Karunia berbahasa roh ini diberikan ketika Allah mempunyai sesuatu yang ingin dikatakan kepada umatNya pada waktu mereka berkumpul. 

Paulus membicarakan tentang karunia berbahasa roh ini saat ia berkata, “Adakah mereka semua... berkata-kata dalam bahas roh... ?” (1 Korintus 12:27-29). Dan untuk karunia bahasa roh ini Paulus memberikan suatu pengaturan bahwa dalam pertemuan jemaat hanya dua atau tiga orang yang seharusnya berbicara dengan bahasa roh itu pun bila ada yang menafsirkan sehingga setiap orang dapat mengerti apa yang sedang dikatakan Allah kepada jemaat dalam pertemuan itu (1 Korintus 14:27).

Berdasarkan penjelasan di atas jelaslah bahwa tidak semua orang memiliki karunia berbahasa roh. Jadi tidaklah Alkitabiah apabila mengajarkan bahwa setiap orang harus memiliki karunia berbahasa roh. Ini adalah penekanan utama Paulus dalam pengajarannya pada karunia-karunia dan pelayanan Tubuh yang beragam dan berbeda-beda satu dengan lainnya (Roma 12:3-8; 1 Korintus 12:4-31).

2. Bahasa Roh Sebagai Bahasa Doa Kepada Allah 

Berdasarkan pernyataan rasul Paulus dalam 1 Korintus 14:2, “Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, tidak berkata-kata kepada manusia, tetapi kepada Allah. Sebab tidak ada seorangpun yang mengerti bahasanya; oleh Roh ia mengucapkan hal-hal yang rahasia”, beberapa orang meyakini bahwa ayat ini menunjukkan bahwa penggunaan utama bahasa roh, baik dalam jemaat maupun secara pribadi, adalah terutama untuk berbicara kepada Allah dan bukan kepada manusia. Ketika bahasa roh ditujukan kepada Allah, maka pembicara itu sedang berhubungan dengan Allah oleh Roh Kudus dalam bentuk doa, pujian, nyanyian, ucapan berkat, dan ucapan syukur.

Jadi tujuan bahasa roh disini adalah kepada Allah sebagai bahasa doa. Hanya Allah yang tahu artinya, kecuali ada yang menafsirkannya melalui karunia menafsirkan bahasa roh (1 Korintus 12;10). Memang ada jenis bahasa roh yang dimengerti manusia, yaitu bahasa-bahasa yang ada didunia ini, jika Allah bermaksud menyatakan sesuatu kepada orang-orang yang mendengar (lihat Kisah Para Rasul 2:6-11), namun kebanyakan bunyi bahasa roh lebih sering tidak dapat dimengerti oleh manusia. 

Bahasa roh ini dipakai oleh Roh Kudus untuk membantu kita menyampaikan doa-doa kepada Allah : “Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri menyampaikan permohonan kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan.” (Roma 8:26). Beberapa orang berpendapat bahwa bahasa roh sebagai bahasa doa ini mungkin kurang penting atau bahkan sama sekali tidak penting, tetapi sebenarnya bahasa roh ini sangatlah penting karena merupakan bahasa doa kepada diri-Nya. 

APAKAH BAHASA ROH SEBAGAI BUKTI FISIK BAPTISAN ROH KUDUS?

Kharismatik terbagi menjadi dua pandangan saat membahas “apakah bahasa roh merupakan bukti fisik dari Baptisan Roh?” Perbedaan ini sangat ditentukan oleh pemahaman terhadap istilah “Baptisan Roh Kudus”. (1) Penganut Kharismatik dari Kalangan Pentakostal memandang inisiasi ke dalam kehidupan interaktif dengan Roh Kudus sebagai suatu kejadian kedua setelah menjadi percaya, dan bahwa tanda awal penerimaan Roh adalah karunia berbahasa Roh. (2) Penganut Kharismatik dari kalangan Protestan dan Injili memandang penerimaan (baptisan) Roh itu terjadi sekaligus ketika seseorang menjadi percaya dan tidak harus ditandai dengan karunia bahasa Roh.

Jika pandangan pertama yang diterima, maka wajarlah baptisan Roh Kudus atas orang percaya harus dibuktikan secara fisik dengan berbicara dalam bahasa lidah, sebagaimana yang terjadi pada hari Pentakosta (Kisah Rasul 2:4).[9] Bahasa asing dalam ayat itu menurut Pentakostalisme pada hakikatnya sama dengan karunia lidah dalam 1 Korintus 12:10,28, tetapi berbeda dalam penggunaannya.[10] 

Abraham Alex Tanusaputra, pendiri Gereja Bethany Indonesia mengatakan “Tanda awal (initial physical evidence) dari baptisan Roh Kudus adalah berkata-kata dalam bahasa Roh (speaking in tongue)”.[11] Tetapi, jika pandangan kedua diterima, maka baptisan Roh Kudus tidak harus dibuktikan dengan berbahasa roh. 

Menyadari hal ini, Todd Hunter berupaya memberikan solusi berikut, “kalau kita mengambil posisi bahwa seseorang yang menjadi percaya menerima Roh Kudus pada waktu ia menjadi percaya, penerimaan Roh Kudus lebih baik dipandang sebagai mengaktualisasi apa yang sudah dimiliki. Kalau penerimaan Roh Kudus dipandang sebagai hal yang kemudian, hal itu merupakan suatu pengalaman baru. Yang manapun kasusnya, cara untuk menerima Roh hanyalah meminta dengan iman; tulus ingin dibimbing, dan diberdayakan oleh Roh kudus”.[12] 

Evaluasi: Sebagai seorangan penganut Kharismatik Normatif berikut saya menyajikan pandangan saya mengenai “Apakah Baptisan Roh Dibuktikan dengan berbahasa Roh?”. Pada umumnya ada empat bagian ayat yang dipakai sebagai dasar untuk menunjukkan bahasa lidah sebagai tanda atau bukti fisik baptisan Roh Kudus, yaitu: Peristiwa Pentakosta di Yerusalem (Kisah Para Rasul 2:4); Peristiwa di Samaria (Kisah Para Rasul 8:14-17); Peristiwa di rumah Kornelius di Kaisaria (Kisah Para Rasul 10:46); dan Peristiwa di Efesus (Kisah Para Rasul 19:6). Pencetus “teori” bahasa roh sebagai bukti fisik baptisan Roh adalah Charles Fox Parham, rektor Sekolah Alkitab di Topeka, negara bagian Kansas.[13] Atau yang dikenal sebagai “bapak Pentakostalisme”.

Pentakostalisme memang benar ketika memisahkan istilah regenerasi oleh Roh Kudus dari baptisanRoh Kudus. Regenerasi menunjuk pada Roh Kudus yang memberikan kehidupan baru pada orang percaya, yaitu menghidupkan orang yang telah mati oleh dosanya. Sedangkan baptisan Roh Kudus menunjuk pada Allah yang memberi kuasa pada umatNya untuk pelayanan.[14] 

Membuat perbedaan antara regenerasi dan baptisan oleh Roh Kudus adalah benar, tetapi membuat kesenjangan waktu di antara kedua hal yang normatif ini berlaku di segala zaman adalah tidak benar. Pola biasa yang berlaku sejak zaman para rasul adalah dimana orang Kristen menerima kuasa dari Roh Kudus bersamaan dengan regenerasi. 

Jadi orang Kristen tidak perlu berusaha untuk mendapatkan karya baptisan dari Roh Kudus yang kedua secara khusus setelah kelahiran baru. Tingkatan seorang Kristen dipenuhi Roh Kudus tergantung dari seberapa jauh dia menyerahkan dirinya kepada Roh Kudus.[15] Menyatakan bahwa bahasa lidah merupakan bukti fisik dari baptisan Roh kudus adalah sebuah kesimpulan sebenarnya tidaklah tepat. Berikut ini fakta-fakta yang menunjukkan bahwa bahasa lidah bukanlah bukti fisik baptisan Roh. 

1. Dari empat peristiwa baptisan Roh dalam Kisah Para Rasul tersebut, ditemukan empat respon yang berbeda: (1) Pada peristiwa Pentakosta di Yerusalem terjadi manifestasi bahasa asing (15 macam bahasa); (2) Pada peristiwa di Samaria tidak terjadi manifestasi apa-apa; (3) Pada peristiwa di rumah Kornelius terjadi manifestasi bahasa roh; dan (4) Pada peristiwa di Efesus terjadi manifestasi bahasa roh dan nubuat. Berdasarkan perbedaan respon tersebut tidaklah logis menyimpulkan bahwa bahasa lidah merupakan bukti fisik dari baptisan Roh kudus, dan memaksa kesimpulan demikian merupakan bentuk ketidak-konsistenan.

2. Dalam peristiwa baptisan Roh tersebut terjadi kepenuhan Roh Kudus yang mengakibatkan terjadinya manifestasi “bahasa asing” (Kisah Para Rasul 2:4), “bahasa roh dan memuliakan Allah” (Kisah Para Rasul 10:44-46), “bahasa roh dan nubuat” (Kisah Para Rasul 19:6). Sedangkan pada peristiwa di Samaria tidak ada manisfestasi apapun pada saat peristiwa baptisan Roh Kudus (Kisah Para Rasul 8:14-19). 

Mengapa? Jawaban yang paling memuaskan dari semua yang pernah diusulkan ialah: karena pada peristiwa baptisan Roh di Samaria tersebut tidak terjadi kepenuhan Roh Kudus. Jadi sebenarnya kepenuhan Roh Kuduslah yang menyebabkan terjadinya manisfestasi “bahasa roh, nubuat, dan bahasa asing” dalam ketiga peristiwa baptisan Roh tersebut. 

Sedangkan di Samaria kepenuhan Roh Kudus tidak terjadi, hanya baptisan Roh Kudus. Karena itu saya setuju dengan Todd Hunter, seorang Injili Kharismatik yang menyimpulkan sebagai berikut, “Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa ketika manusia dipenuhi dengan Roh, terjadilah berbagai perwujudan Roh”.[16]

3. Tidak ada ayat di bagian mana pun dalam Alkitab yang memerintahkan orang percaya untuk mencari baptisan Roh Kudus apalagi harus disertai bukti fisik bahasa lidah.[17] Sebaliknya, orang Kristen diperintahkan “hendaklah kamu penuh dengan Roh Kudus” (Efesus 5:18). 

Frase Yunani “plérousthe en pneumati” adalah bentuk present imperatif pasif, bukan bentuk aorist (masa lampau). Dalam pengertian ini, dipenuhi dengan Roh Kudus adalah suatu kegiatan yang harus terus-menerus dituntut atau dicari oleh orang-orang percaya. 

Disini Paulus tidak pernah memerintahkan orang-orang percaya untuk menuntut atau mencari baptisan Roh Kudus, melainkan Ia memerintahkan orang-orang percaya agar senantiasa menuntut dipenuhi dengan Roh Kudus. Baptisan Roh Kudus adalah suatu peristiwa yang lampau yang terjadi hanya satu kali dan bersifat permanen; diterima pada saat seseorang percaya kepada Yesus Kristus dan mengalami kelahiran baru (pertobatan). 

Sedangkan dipenuhi dengan Roh Kudus adalah sesuatu yang harus dialami secara terus-menerus. Hal ini dapat terjadi berulang-ulang bergantung pada tuntutan kehidupan yang suci dan benar dalam diri orang percaya itu, yang memungkinkan mereka untuk terus mengalami kepenuhan Roh Kudus.

PENGGUNAAN BAHASA ROH

1. Penggunaan Bahasa Secara Pribadi

Rasul Paulus dalam 1 Koritus 14:15 mengatakan, “Jadi, apakah yang harus kubuat? Aku akan berdoa dengan rohku, tetapi aku akan berdoa juga dengan akal budiku; aku akan menyanyi dan memuji dengan rohku, tetapi aku akan menyanyi dan memuji juga dengan akal budiku”. Paulus menunjuk kepada pengalaman pribadinya, kepada penggunaan bahasa roh secara pribadi. “Aku berdoa dengan rohku” berarti berdoa dengan bahasa roh, dengan menggunakan rohnya sendiri oleh dorongan Roh Kudus. 

Roh orang percaya berdoa sementara Roh Kudus memberikan apa yang harus dikatakannya. Di sini Paulus berbicara tentang penggunaan bahasa roh secara pribadi yang ditujukan kepada Allah. Paulus menggunakan bahasa roh tidak hanya untuk berdoa, tetapi juga untuk menyanyi, memuji, dan mengucapkan syukur kepada Allah. “Berdoa dengan akal budiku” berarti berdoa dan memuji dengan akal budinya sendiri dalam bahasa yang telah dipelajarinya, juga oleh dorongan Roh Kudus.

Rasul Paulus mengatakan dalam 1 Korintus 14:2, “Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, tidak berkata-kata kepada manusia, tetapi kepada Allah. Sebab tidak ada seorangpun yang mengerti bahasanya; oleh Roh ia mengucapkan hal-hal yang rahasia”. 

Pada dasarnya ada dua cara untuk memahami ayat ini. 

(1) Ada yang menafsirkan ayat ini menunjuk pada penggunaan utama bahasa roh, baik dalam jemaat maupun secara pribadi, terutama untuk berbicara kepada Allah dan bukan kepada manusia. Ketika bahasa roh ditujukan kepada Allah, maka pembicara itu sedang berhubungan dengan Allah oleh Roh Kudus dalam bentuk doa, pujian, nyanyian, ucapan berkat, dan ucapan syukur. (1 Korintus 14:15-16). Hal yang diucapkan itu adalah “hal-hal yang rahasia” (1 Korintus 14:2), yaitu hal-hal yang tidak dapat dipahami oleh pembicara itu dan oleh para pendengar. 

(2) Pada pihak lain ada yang menafsirkan pernyataan Paulus itu bisa berarti bahwa hanya Allah yang mengerti bahasa roh itu, kecuali bila ada yang menafsirkannya. Implikasinya dari penafsiran ini adalah bahwa bahasa roh itu bila ditafsirkan maka berarti tujuan bahasa roh ini diarahkan kepada manusia. Pandangan ini didukung oleh pernyataan Paulus yang menyatakan bahwa berkata-kata dengan bahasa roh tidak diucapkan kepada manusia karena “tidak ada seorang pun yang mengerti”.

Penggunaan bahasa roh secara pribadi selain dipakai berdoa kepada Allah, juga bermanfaat untuk membangun diri sendiri. Rasul Paulus menjelaskan demikian, “Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, ia membangun dirinya sendiri, tetapi siapa yang bernubuat, ia membangun jemaat.” (1 Korintus 14:4). Orang percaya harus memakai bahasa roh ini untuk membantu membangun rohani diri sendiri. Dengan banyak berbahasa roh, maka doa-doa kita akan semakin bergairah dan berapi-api.[18]

Selanjutnya Rasul Paulus mengatakan dalam 1 Korintus 14:18: “Aku mengucap syukur kepada Allah bahwa aku berkata-kata dengan bahasa roh lebih daripada kamu semua.” Disini memberitahukan jemaat di Korintus ia berbahasa roh lebih dari mereka semua. 

Kita dapat menyimpulkan bahwa Rasul Paulus menggunakan banyak waktu untuk berbahasa roh, dan membangun dirinya sendiri. Tidaklah masuk akal jika Paulus mengatakan sesuatu tentang bahasa roh yang dapat membangun diri jika ia sendiri tidak mengalaminya. Karena itulah dengan keyakinannya, rasul Paulus berani berkata kepada jemaat Korintus “lebih dari kamu semua”.

2. Penggunaan Bahasa Roh di Depan Umum

Penggunaan bahasa roh di depan umum atau ditengah-tengah jemaat adalah karunia roh untuk membangun jemaat, bukan untuk membangun diri sendiri. Karunia bahasa roh dipakai di depan umum hanya bila diantara yang yang hadir dapat menafsirkannya. Rasul Paulus mengatakan dalam 1 Korintus 14:27-28, “Jika ada yang berkata-kata dengan bahasa roh, biarlah dua atau sebanyak-banyaknya tiga orang, seorang demi seorang, dan harus ada seorang lain untuk menafsirkannya. Jika tidak ada orang yang dapat menafsirkannya, hendaklah mereka berdiam diri dalam pertemuan Jemaat dan hanya boleh berkata-kata kepada dirinya sendiri dan kepada Allah”.

Pada ayat selanjutnya (1 Korintus 14:29-40 dan seterusnya) dijelaskan mengenai karunia nubuat, yang ada syaratnya. Berita perantaraan (pernyataan Allah) atau nubuat ini tidak seharusnya diterima tanpa kritik, melainkan harus diuji (bandingkan dengan 1 Tesalonika 5:21), artinya untuk meyakinkan bahwa sumbernya adalah dari Allah dan bukan pikiran manusia atau pun dari Iblis (bandingkan dengan 1 Korintus 12:10, Ulangan 18:22 dan 1 Yohanes 4:1). Demikian juga, halnya dengan mereka yang berbahasa roh. Dengan demikian, baik karunia nubuat maupun karunia bahasa roh diawasi dan diuji oleh umat Tuhan.

Sekalipun ada pembatasan dan pengaturan yang ditekankan oleh Paulus, tetapi semua jemaat yang dapat bernubuat akan beroleh kesempatan menggunakan karunia mereka pada suatu waktu (1 Korintus 14:31), supaya semua jemaat mendapat berkat dari pelayanan Roh Kudus ini. Demikian juga tidak ada yang boleh melarang mereka yang berbahasa roh (1 Korintus 14:39), karena yang diperintahkan oleh rasul Paulus bukanlah melarang melainkan mengatur secara teknis (operasional) penggunaan dari karunia itu ketika terjadi dalam pertemuan jemaat. Baik nubuat maupun bahasa roh yang berasal dari Allah “harus berlangsung dengan sopan dan teratur” (1 Korintus 14:31). 

Setiap penggunaan karunia-karunia rohani, yang membawa kekacauan, tidak adanya pengendalian diri, dan tidak ada kesopanan, serta penggunaan secara sembrono dalam perkumpulan jemaat, tidaklah mungkin sesuai kehendakNya Allah atau disebabkan oleh Roh Kudus. Umat Tuhan harus bijaksana dalam kebebasannya menggunakan karunia Roh Kudus. Dan Paulus manasehatkan bahwa semuanya itu harus dipergunakan untuk membangun jemaat (1 Korintus 14:12).

MENAFSIRKAN BAHASA ROH

Karunia menafsirkan bahasa roh adalah kemampuan yang diberikan oleh Roh untuk mengerti dan menyampaikan makna suatu ucapan yang diucapkan dalam bahasa roh. Karunia ini bersifat supranatural. Dick Iverson mendefinisikan karunia menafsirkan bahasa roh sebagai, “kemampuan spontan menafsirkan suatu komunikasi yang diberikan dalam bahasa roh ke dalam bahasa yang bisa dimengerti oleh orang-orang yang hadir”.[19] Kemampuan ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan kepandaian dan kefasihan bahasa alami, tetapi datang langsung secara spontan dari Roh Kudus (1 Korintus 12:10). 

Perhatikan pernyataan rasul Paulus dalam 1 Korintus 14:13, “Karena itu siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, ia harus berdoa, supaya kepadanya diberikan juga karunia untuk menafsirkannya”. Disini Paulus memberitahukan jemaat bahwa mereka harus berdoa untuk mendapatkan penafsiran bahasa roh, bukan melalui suatu pembelajaran bahasa alami. Karena itu penafsiran bahasa roh jelaslah bersifat supranatural.

Ketika karunia bahasa roh ditafsirkan bagi jemaat, maka fungsinya adalah sebagai petunjuk untuk penyembahan dan doa ataupun sebagai nubuat (1 Korintus 14:4-5). Perhimpunan orang percaya kemudian dapat ikut serta dalam penyataan yang diilhamkan oleh Roh ini. Demikianlah, bahasa roh yang ditafsirkan dapat menjadi suatu sarana membangun jemaat sementara segenap perhimpunan itu menanggapi ucapan tersebut (1 Korintus 14:6,13). 

Karunia menafsirkan bahasa roh ini bisa diberikan kepada orang yang berkata-kata dengan bahasa roh atau kepada seorang lain. Karena itu, mereka yang berkata-kata dengan bahasa roh harus berdoa juga untuk memperoleh karunia menafsirkan bahasa roh (1 Korintus 14:13).

Pertanyaannya: Apakah menafsirkan sama dengan menerjemahkan? Jawabannya : Tidak! Menafsirkan berarti menjelaskan, menguraikan, atau menyingkapkan. Dengan demikian, menafsirkan tidak sama dengan menerjemahkan. Kata “menerjemahkan” berarti merubah dari satu bahasa ke dalam bahasa lain. Tingkat terjemahan yang aktual bisa bervariasi menurut penafsiran tertentu. 

Kita juga harus mengingatkan bahwa menerjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain seringkali meninggalkan suatu ketidaksesuaian antara panjang berita dan jumlah kata-kata yang diharuskan untuk mengatakan hal yang sama. Jadi jika terjemahan saja seringkali lebih panjang dari pesan aslinya apalagi suatu tafsiran. 

Perhatikan contoh dalam Daniel 5:25-28 berikut, “Maka inilah tulisan yang tertulis itu: Mené, mené, tekél ufarsin. Dan inilah makna perkataan itu: Mené: masa pemerintahan tuanku dihitung oleh Allah dan telah diakhiri; Tekél: tuanku ditimbang dengan neraca dan didapati terlalu ringan; Peres: kerajaan tuanku dipecah dan diberikan kepada orang Media dan Persia”. Disini kita memperhatikan bahwa tafsiran “Mené, mené, tekél ufarsin” ternyata sekitar sembilan kali lebih panjang dari pesannya. 

Secara praktis, alasan lain bahwa pesan seringkali jauh lebih pendek dari tafsirannya adalah karena situasi bahasa roh seringkali diikuti dengan suatu nubuatan; atau mungkin suatu doa dalam bahasa roh diikuti dengan suatu respon dari Tuhan dengan cara nubuat. 

Kita juga harus menyinggung bahwa suatu pesan dalam bahasa roh bisa berupa doa atau penyembahan, demikian juga untuk nasehat. Seringkali seseorang akan mengucapkan suatu doa yang diinspirasi Roh yang Allah kehendaki pada saat itu. Jadi penafsiran itu memberitahu orang menyangkut apa yang didoakan dan mengangkat mereka ke dalam doa bersama, dan juga membangun iman mereka. 

Pada kesempatan lain, dimana umatNya memuji dan menyembah Dia dalam suatu perkumpulan, Roh Kudus dapat menggerakkan seseorang memimpin dalam bahasa roh. Ketika ditafsirkan, itu membangun umat ke dalam pujian dan penyembahan. Jika tafsiran yang sesungguhnya terjadi, maka beberapa berita dalam bahasa roh dengan tidak diragukan ditafsirkan sebagai doa, pujian dan juga nasehat.

Pertanyaan lainnya, “Apa bahasa roh selalu harus ditafsirkan ?” Penafsiran diperlukan atau tidak tergantung keadaan dan kategori bahasa roh yang sedang diucapkan. Alkitab juga memberikan indikasi bahwa saat bahasa roh dipergunakan untuk doa pribadi, bahasa roh ini tidak ditafsirkan (1 Korintus 14:2, 14-18; Roma 8:26-27). 

Sedangkan karunia bahasa roh di depan umum adakalanya tidak selalu disertai dengan tafsirannya. Karena itu Paulus menasehati, “Jika tidak ada orang yang dapat menafsirkannya, hendaklah mereka berdiam diri dalam pertemuan Jemaat dan hanya boleh berkata-kata kepada dirinya sendiri dan kepada Allah” (1 Korintus 14:28), atau baiknya, “ia harus berdoa, supaya kepadanya diberikan juga karunia untuk menafsirkannya” (1 Korintus 13:15). Jadi bahasa roh yang dilakukan di dalam pertemuan jemaat dengan tujuan berkomunikasi dengan manusia harus ditafsirkan.

TUJUAN KARUNIA BAHASA ROH DAN TAFSIRANNYA DALAM PERTEMUAN JEMAAT 

Dick Iverson menyebutkan tiga tujuan dari karunia bahasa roh dan tafsirannya dalam pertemuan jemaat, yaitu : 

(1) Menjadi suatu “tanda” kepada orang yang tidak percaya (1 korintus 14:21-22). Jika suatu jemaat mempunyai lebih banyak bahasa roh dan penafsirannya lebih daripada nubuatan, itu adalah suatu indikasi belum bertumbuh melampaui tingkat iman yang dasar (1 Korintus 14;5, 13), atau secara reguler ada orang yang belum percaya hadir yang membutuhkan tanda ini; 

(2) Untuk mengucapkan kata-kata membangun, nasehat dan penghiburan kepada orang percaya (1 Korintus 13-16). Bahasa roh dengan penafsiran sama dengan nubuatan; 

(3) Mengangkat jemaat ke dalam pujian atau doa (1 Korintus 14:13-16). Di sini Paulus mendorong orang yang berbahasa roh untuk berdoa meminta penafsiran. Konteks yang seketika mengikuti adalah berdoa dan memuji dalam bahasa roh. Maksudnya adalah bahwa doa dan pujian dalam bahasa roh dapat ditafsirkan dan membangun jemaat.[20]

Pertanyaannya: Bagaimanakah caranya sehingga bahasa roh merupakan suatu “tanda” kepada orang tidak percaya? Jawabannya: 

(1) Dengan bukti supernatural, melihat orang berbicara bahasa-bahasa yang belum pernah mereka pelajari (Kisah Para Rasul 2:6-8; 1 Korintus 14:21-22); 

(2) Dengan rasa supernatural, memenuhi atmosfir dengan rasa hadirat Allah. Ini bahkan dirasakan oleh orang yang belum percaya; 

(3) Dengan kesaksian mendengarkan suatu bahasa asing yang mungkin mereka tahu. Allah memberi mereka suatu tanda dengan berbicara kepada mereka dalam bahasa asli mereka (atau bahasa lain yang telah mereka pelajari). Dia bisa berbicara yang bisa diterapkan secara pribadi, membuka hati orang tidak percaya. Ini adalah suatu tanda besar pada hari Pentakosta. Mereka mendengar orang berbicara secara supernatural bahasa-bahasa asli mereka sendiri. Tanda ini menuntun kira-kira tiga ribu orang Yahudi yang taat kepada keselamatan.

Meskipun bahasa roh adalah suatu tanda, orang tidak percaya tidak selalu menerimanya, terutama jika dilakukan tanpa keteraturan, yaitu, semua berbicara pada saat yang sama (1 Korintus 14:23). Tidak heran jika mereka akan berkata “kamu gila”. Sesungguhnya, banyak orang-orang skeptis dan kritis respon dengan cara demikian walaupun saat bahasa roh dilakukan dalam bentuk yang teratur dan baik. 

Faktanya, saat ini beberapa orang dan atau kelompok denominasi tertentu telah melarang bahasa roh dalam pertemuan jemaat dengan berbagai alasan.[21] Namun Alkitab tidak memberitahu kita untuk melarang dan membungkam mereka yang berbahasa roh dalam pertemuan jemaat, melainkan mengaturnya. Sesungguhnya, kita mempunyai peringatan langsung : “… janganlah melarang orang yang berkata-kata dengan bahasa roh.” (1 Korintus 14:39-40). 

Karena itu, secara singkat Paulus dalam 1 Korintus 14:27-28 mengatur penggunaan bahasa roh di pertemuan jemaat sebagai berikut: (1) Jika ada yang berkata-kata dengan bahasa roh, biarlah dua atau sebanyak-banyaknya tiga orang; (2) penggunaan bahasa lidah oleh dua atau sebanyak-banyaknya tiga orang diatas itu pun tidak boleh dilakukan secara serentak, tetapi seorang demi seorang; (3) harus ada seorang lain untuk menafsirkannya, jika tidak ada orang yang dapat menafsirkan maka hendaklah mereka berdiam diri dalam pertemuan Jemaat dan hanya boleh berkata-kata kepada dirinya sendiri dan kepada Allah.

EKSEGESIS DAN ANALISIS TEOLOGIS TERHADAP 1 KORINTUS 13:8

Rasul Paulus menuliskan dalam 1 Korintus 13:8, “Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap. Frase “glossai pausontai” atau “bahasa roh akan berhenti”. Pada umumnya 1 Korintus 13:8 ini biasa digunakan oleh oleh beberapa orang Sessasionisme untuk menunjukkan bahwa karunia-karunia rohani termasuk bahasa lidah akan berhenti. 

Menurut mereka karena “pausontai” adalah bentuk orang ketiga jamak future middle deponent indicative, dan “middle indicative” adalah bentuk kata yang subjek dan objeknya sama, maka yang dimaksud disini adalah bahasa roh dengan sendirinya berhenti ketika pewahyuan yang telah sempurna tiba. 

Dengan kata lain, bahasa lidah dikaruniakan Tuhan kepada jemaat mula-mula karena proses pewahyuan Alkitab belum sempurna, tetapi setelah proses pewahyuan Alkitab sempurna dari Kejadian 1:1 sampai wahyu 22:21 maka bahasa lidah yang Alkitabiah telah berhenti dengan sendirinya.

Tanggapan: Pertama, memang benar bahawa kata Yunani “pausontai” dalam 1 Korintus 13:8 di atas adalah kata kerja (verb) bentuk ketiga plural, dalam bentuk yang akan datang (futura) middle indikatif .[22] Tetapi untuk menentukan middle voice sebagai deponen, seperti yang disebutkan oleh pengkritik di atas, hal ini harus dikaji lebih jauh lagi. 

Mengapa? Karena middle voice memiliki rentang aplikasi yang luas, tidak hanya deponen, tetapi juga digunakan untuk mengindikasikan tindakan refleksif, yaitu bahwa subjek bertindak terhadap dirinya sendiri (misalnya, Matius 26:46; 27:5), pada kesempatan lain digunakan ketika subjek bertindak untuk dirinya sendiri (Markus 10:38), dan pada kesepatan yang lain middle voice menyarankan subjek mengijinkan sesuatu untuk dilakukan (misalnya, Lukas 2:5). [23] 

Karena itu, D.A Carson seorang pakar Perjanjian Baru menyimpulkan dengan bijak, “apapun hasil eksegesis 1 Korintus 13:8-10 ini, sudah pasti merupakan kesalahan jika bersandar terlalu banyak pada verb middle “pausontai”.[24]

Kedua, secara gramatikal,[25] bahwa leksiologi dari pengkritik di atas dalam hal etimologi dapat disetujui, tetapi secara diakronik dan sinkronik telah terjadi kesalahan eksegesis (exegetical fallacy) dalam memaknai arti atau menarik arti sebenarnya dari “pausontai” diatas. Kesalahan eksegesis ini dikenal dengan istilah “reduksi yang tidak sah”.[26] 

Perhatikanlah, bahwa setelah melakukan penyelidikan etimologis untuk kata “pausontai”, pengkritik langsung mengambil kesimpulannya sendiri tentang arti dari kata “pausontai” tersebut tanpa menjelaskan maksud dan konteks penggunaannya. Karena itu, saat melakukan eksegesis gramatikal yang berhubungan dengan leksiologi, tiga terminologi ini, yaitu: etimologi, diakronik, dan sinkronik penting untuk dimengerti. 

Etimologis dikaitkan dengan penelitian akar kata dari sebuah kata benda atau kata kerja. Penyelidikan ini bermanfaat walau pun tidak banyak membantu, karena arti kata tertentu dalam konteks tertentu sering kali berbeda jauh dari arti dasar yang terdapat pada akar katanya. Diakronik adalah penelitian historis terhadap penggunaan kata yang bersangkutan baik dalam Perjanjian Lama mapun Perjanjian Baru. 

Sinkronik adalah penelitian untuk menyelidiki maksud penggunaan kata yang bersangkutan dalam sebuah teks. Ini adalah penyelidikan yang sangat disarankan. Artinya, kata dalam sebuah teks kalimat lebih ditentukan oleh konteks penggunaannya dalam kalimat tersebut ketimbang sejarah penggunaannya maupun etimologinya.


Ketiga, saat membahas 1 Korintus 13 ini kita perlu memperhatikan alasan yang paling penting mengapa Rasul Paulus menulis pasal tentang kasih ini. Disini Paulus sedang memberikan teguran kepada jemaat di Korintus, karena jemaat di Korintus ini adalah jemaat yang menerima karunia besar dari Tuhan, yaitu karunia-karunia Roh Kudus. Tetapi, Korintus adalah jemaat yang paling bermasalah, baik itu masalah doktrinal, kurangnya moralitas, hubungan seksual di antara anggota keluarga (inses), hubungan dengan persembahan berhala dan sebagainya. 

Di tengah-tengah situasi yang kacau itu, Rasul Paulus memberikan pengajarannya tentang penggunaan karunia dan pentingnya karunia Roh Kudus sehingga tidak disalahgunakan. Kemudian, barulah Paulus memberikan pengajarannya yang normatif dan menekankan bahwa yang terpenting dari semuanya adalah kasih. Jadi dalam konteks ini Paulus sedang membicarakan tentang keberlangsungan kasih, ketimbang nubuat, bahasa roh, dan pengetahuan.

Keempat, pendapat yang mengatakan bahwa bahasa roh (glôssai) dan nubuat (prophêteiai) akan berhenti pada pada saat kanon Alkitab selesai adalah pandangan yang tidak konsisten! Mengapa? Karena, jika memang bahasa roh dan nubuat akan berakhir maka seharusnya yang berhenti tidak hanya bahasa roh dan nubuat, tetapi juga “pengetahuan (gnosis). 

Sebaliknya, saat ini kita melihat pengetahuan semakin bertambah. Justru dalam ayat-ayat ini kita mendapatkan pernyataan Alkitab melalui rasul Paulus bahwa kita masih bisa mengharapkan nubuat, bahasa roh, dan karunia-karunia lainnya tetap eksis sampai Kristus datang kembali, karena pada saat itulah semua karunia-karunia itu tidak kita perlukan lagi. 

EKSEGESIS DAN ANALISIS TEOLOGIS TERHADAP 1 KORINTUS 13:10 

Rasul Paulus dalam 1 Korintus 13:10 menuliskan, “Tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap”. Berdasarkan ayat ini para Sessasionisme mengajarkan bahwa tanda-tanda dan keajaiban-keajaiban, serta mujizat telah berhenti, sebab yang sempurna, yaitu Alkitab telah rampung ditulis. Jadi frase “jika yang sempurna itu tiba” dianggap mengacu kepada waktu kanon Perjanjian Baru sudah lengkap. Lebih Jauh, kata “sempurna” adalah kata Yunani “teleios” yaitu kata benda netral yang jelas menunjuk kepada Alkitab. 

Tanggapan: Pertama, pendapat ini salah karena telah melakukan kesalahan eksegesis dan melanggar prinsip hermeneutika “tafsir sesuai konteks”.[27] Nubuat akan berakhir dan bahasa roh akan berhenti bukanlah pada saat Alkitab selesai ditulis, melainkan pada saat “yang sempurna tiba” (1 Korintus 13:10), yaitu pada saat Kristus datang kembali. 

Kata benda “teleios” atau “sempurna (perfection)” dalam ayat ini tidak mengacu pada Alkitab, tetapi pada kedatangan Kristus kembali di akhir zaman. Tafsiran ini lebih konsisten dengan perkataan Paulus sebelumnya dalam 1 Korintus 1:7, yaitu “Demikianlah kamu tidak kekurangan dalam suatu karunia pun sementara kamu menantikan penyataan Tuhan kita Yesus Kristus”.

Kedua, Tidak ada peraturan dalam tata bahasa Yunani bahwa kata benda netral hanya bisa digunakan untuk menunjuk benda-benda yang tidak ada jenis penunjukkan kelaminnya. Kata benda netral atau kata ganti (pronoun) dapat digunakan untuk menggambarkan benda-benda berjenis laki-laki atau perempuan dan dapat juga digunakan untuk menggambarkan pribadi-pribadi. 

Contoh: Kata “Roh” atau “Pneuma” dalam bahasa Yunaninya merupakan kata benda netral, dan secara jelas Kitab Suci menyatakan bahwa Roh bukanlah benda tetapi adalah Pribadi yang ketiga dari Allah Trinitas. Dengan demikian kata benda “teleios” atau “sempurna (perfektion)” dalam ayat ini tidak mengacu pada Alkitab, tetapi pada kedatangan Kristus kembali di akhir zaman.

Ketiga, jika yang dimaksud dengan “yang sempurna” atau “teleios” adalah Alkitab, maka gagasan yang demikian tidak sesuai dengan tujuan Paulus menulis Surat 1 Korintus pasal 13. Ini merupakan suatu gagasan yang asing bagi Paulus maupun jemaat Korintus. 

Perlu diketahui bahwa kitab terakhir Perjanjian Baru adalah kitab Wahyu yang ditulis paling lambat tahun 90 Masehi atau sekitar 35 tahun setelah Paulus menulis Surat 1 Korintus. Pertanyaannya: Pada waktu Paulus menulis Surat 1 Korintus, khususnya pasal 13 tersebut apakah jemaat Korintus mengerti bahwa kata “yang sempurna” yang dimaksud Paulus itu adalah “kanon Perjanjian Baru” dan apakah yang Paulus maksudkan memang demikian? Jawabannya, tentu saja tidak apabila kita melihat konteksnya secara jujur.

Keempat, justru dalam ayat-ayat ini kita mendapatkan pernyataan Alkitab melalui rasul Paulus bahwa kita masih bisa mengharapkan nubuat, bahasa roh, bahkan karunia-karunia lainnya tetap ada sampai “yang sempurna itu tiba”, yaitu hingga Kristus dating kembali, karena pada saat itulah semua karunia-karunia itu tidak kita perlukan lagi. 

EKSEGESIS DAN ANALISIS TEOLOGIS TERHADAP 1 KORINTUS 14:14 

Rasul Paulus menuliskan dalam 1 Korintus 14:14, “Sebab jika aku berdoa dengan bahasa roh, maka rohkulah yang berdoa, tetapi akal budiku tidak turut berdoa”. Berdasarkan ayat ini beberapa orang telah mengajarkan bahwa Paulus mengatakan seseorang yang memakai bahasa roh membangun dirinya sendiri, maka lebih baik orang Kristen menghindari saja bahasa roh lalu mencari karunia-karunia lain yang membangun gereja. 

Tanggapan: Pertama, kesalahan dalam tafsiran ini adalah pengambilan kesimpulan yang salah. Dalam ayat ini Paulus tidak melarang menggunakan bahasa roh secara pribadi, walaupun Paulus mengingatkan dan mengatur tentang penggunaan bahasa roh tanpa tafsiran di dalam kumpulan jemaat.

Kedua, tafsiran diatas merupakan asumsi yang keliru. Melarang orang Kristen untuk melakukan hal-hal untuk membangun diri sendiri adalah kesalahan yang serius. Seperti halnya berdoa, membaca Alkitab, maka bahasa roh bermanfaat untuk membangun diri sendiri (bandingkan 1 Korintus 14:4), agar bertumbuh dalam kasih karunia dan kekudusan.

Ketiga, asumsi tersebut diatas juga melanggar prinsip konteks dalam hermeutika. Perhatikan hubungan ayat 14, dengan lainnya ayat 4, ayat 5, ayat 18, dan ayat 39. Paulus juga tidak menganggap remeh atau rendah karunia bahasa roh, justru ia mengatakan “Aku mengucap syukur kepada Allah, bahwa aku berkata-kata dengan bahasa roh lebih dari pada kamu semua” (1 Korintus 14:18). Dan Ia juga menginginkan jemaat Korintus “Aku suka, supaya kamu semua berkata-kata dengan bahasa roh, tetapi lebih dari pada itu, supaya kamu bernubuat. 

Sebab orang yang bernubuat lebih berharga dari pada orang yang berkata-kata dengan bahasa roh, kecuali kalau orang itu juga menafsirkannya, sehingga Jemaat dapat dibangun” (1 Korintus 14:5). Melarang orang Kristen berbahasa roh sama dengan melanggar firman Tuhan yang disampaikan melalui Paulus. Tetapi Paulus menegaskan semuanya harus dilakukan sopan dan tertib “Karena itu, saudara-saudaraku, usahakanlah dirimu untuk memperoleh karunia untuk bernubuat dan janganlah melarang orang yang berkata-kata dengan bahasa roh. Tetapi segala sesuatu harus berlangsung dengan sopan dan teratur” (1 Korintus 14:39-40). 

EKSEGESIS DAN ANALISIS TEOLOGIS TERHADAP 1 KORINTUS 14:22 

Rasul Paulus menuliskan dalam 1 Korintus 14:22, “Karena itu karunia bahasa roh adalah tanda, bukan untuk orang yang beriman, tetapi untuk orang yang tidak beriman; sedangkan karunia untuk bernubuat adalah tanda, bukan untuk orang yang tidak beriman, tetapi untuk orang yang beriman”. Berdasarkan ayat ini beberapa orang telah mengatakan bahwa bahasa roh adalah suatu tanda dan kutuk perjanjian dari Allah terhadap orang Yahudi yang tidak percaya. Hal itu mengingatkan kita agar tidak menggunakan bahasa roh sekarang ini. 

Tanggapan: Pertama, yang perlu diperhatikan dalam konteks 1 Korintus 14:21-23 ini ialah Paulus dalam mengutip nas dari Yesaya 28:11,12 bertujuan untuk memperingatkan orang Kristen agar jangan berbahasa roh di dalam gereja tanpa tafsiran.

Kedua, Paulus juga tidak melarang orang berbahasa roh di depan umum (jemaat), tetapi harus disertai dengan tafsiran (Bandingkan 1 Korintus 14:27-28). Kerena itu perlu diingat bahwa dalam teks ini Paulus bukan melarang penggunaan bahasa roh, tetapi pengaturan dari penyalahgunaan bahasa roh di depan umum yang tanpa tafsiran, karena hal itu dapat menimbulkan suasana kekacauan dan menyebabkan kebingungan yang tidak membangun. 

Jadi, menggunakan pembahasan Paulus mengenai bahasa roh dalam teks ini sebagai dasar polemik umum terhadap semua penggunaan lain bahasa roh adalah bertentangan dengan seluruh konteks 1 Korintus Pasal 12-14.

Ringkasnya, berdasarkan eksegesis dan analisis teologis terhadap data-data Perjanjian Baru menunjukkan bahwa karunia bahasa roh dan menafsirkan bahasa roh masih ada hingga Kristus datang. Tidak ada larangan bagi orang Kristen untuk berbahasa roh. Apa yang dianggap sebagai larangan sebenarnya adalah pengaturan penggunaannya. Bahkan Alkitab mengindikasikan penganjuran penggunaan bahasa roh untuk membangun diri sendiri.

DAFTAR PUSTAKA: BAHASA ROH: ARTI, KLASIFIKASI, PENGGUNAAN DAN TUJUAN

Arrington, French L., 2004. Christian Doctrine A Pentacostal Perspective, 3 Jilid. Terjemahan, Penerbit Departemen Media BPS GBI : Jakarta.

Bennet, Dennis., 2010. How to Pray for The Release of the Holy Spirit. Terjemahan, Penerbit Andi: Yogyakarta.

Conner, Kevin J., 2004. A Practical Guide To Christian Belief, terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.

___________., 2004. Jemaat Dalam Perjanjian Baru, terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.

Enns, Paul., 2004.The Moody Handbook of Theology, jilid 3. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.

Erickson J. Millard., 2003. Teologi Kristen. Jilid 3. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.

Greig, Gary. S & Kevin N. Spinger, ed., 2001. Kebutuhan Gereja Saat Ini. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.

Grudem, Wayne., 1994. Systematic Theology: A Introduction to a Biblical Doctrine. Zodervan Publising House : Grand Rapids, Michigan.

Gutrie, Donald., 1990 New Tastament Introduction. Edisi Indonesia dengan judul Pengantar Perjanjian Baru, Jilid 2, diterjemahkan (2009), Penerbit Momentum: Jakarta.

Hoekema, Anthony A., 2010. Diselamatkan Oleh Anugerah. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta.

Iverson, Dick., 1994. Roh Kudus Masa Kini, Diktat. Terjemahan, Harvest International Teological Seminary, Harvest Publication House: Jakarta.

____________., 1994. Kebenaran Masa Kini. Terjemahan, Inonesia Harvest Outreaach: Jakarta.

Lim, David., 2005. Spiritual Gifts: A Fressh Lock. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.

Litzmen, Waren L., 1990. Pentecostal Truths. Penerbit Gandum Mas : Malang.

Manohey, Ralph., 2009. Tongkat Gembala. Lembaga Pusat Hidup Baru: Jakarta.

McDermott, Gerald R., 2001. Seeing God: Tweleve Reliable Signs of True pirituality. Penerbit ANDI Offset : Yogyakarta.

Menzies, William W & Robert P., 2005. Roh Kudus dan Kuasa. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.

Menzies, William W & Stanley M. Horton., 2003. Doktrin Alkitab. Terjemahan, Penerbit, Gospel Press: Batam.

Milne, Bruce., 1993. Mengenali Kebenaran. Terjemahan, Penerbit BPK : Jakarta.

Mounce, William D., 2011. Basics of Biblical Greek, edisi 3. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.

Munroe, Myles., 2012. The Purpose and Power Praise and Worship. Terjemahan, Penerbit Immanuel Publising House: Jakarta.

Pandensolang, Welly., 2010. Gramatika dan Sintaksis Bahasa Yunani Perjanjian Baru. Penerbit YAI Press : Jakarta

Pfeiffer F. Charles & Everett F. Harrison., ed. 1962. The Wycliffe Bible Commentary, volume 3. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas Malang.

Prince, Derek., 2004. The Holy Spirit in You. Terjemahan, Penerbit Derek Prince Ministries Indonesia : Jakarta.

Robinson, Darrel. W., 2004. Total Church Life. Terjemahan, Penerbit Lembaga Literatur Baptis : Bandung.

Rubyono, Homan., 1999. Dari Baptisan Roh Menuju Kepenuhan Roh. Jilid 1. Penerbit Kalam Hidup : Bandung.

___________________., 2002. Dari Baptisan Roh Menuju Kepenuhan Roh. Jilid 2. Penerbit Kalam Hidup : Bandung.

Ryrie, Charles C., 1991. Teologi Dasar. Jilid 2, Terjemahan, Penerbit ANDI Offset : Yogyakarta.

Samuel, Wilfred J., 2007. Kristen Kharismatik. Terjemahan. Penerbit BPK : Jakarta.

Silalahi, Djaka Christianto., 2001. Karismatik Bercampur dengan Perdukunan? Penerbit ANDI Offset : Yogyakarta.

SJ, L. Sugiri, dkk, 1995., Gerakan Kharismatik: Apakah itu? Penerbit BPK : Jakarta.

Sproul, R.C., 1997. Kebenaran-Kebenaran Dasar Iman Kristen. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.

Stamps, Donald. C, ed., 1994. Full Life Bible Studi. Penerbit Gandum Mas : Malang.

Susanto, Hasan., 2003. Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid I & II. Penerbit Literatur SAAT : Malang.

Tan, Peter., 1993. Tiga Baptisan. Terj, Penerbit Yayasan Eternal Glory : Jakarta.

Tong, Stephen., 1995. Hidup Kristen Yang Berbuah. Penerbit Lembaga Reformed Injil Indonesia : Jakarta.

____________., 2011. Roh Kudus, Doa dan Kebangunan Rohani. Penerbit Momentum : Jakarta.

Tozer, A.W., 2002. Tozer Tentang Roh Kudus. Terjemahan, Penerbit Gospel Press: Batam.

Wagner, C. Peter, 1988. Manfaat Karunia-Karunia Rohani Untuk Pertumbuhan Gereja. Terjemahan, penerbit Gandum Mas : Malang.

__________________., 1999. Gereja-Gereja Rasuli Yang Baru. Terjemahan, Penerbit Immanuel : Jakarta.

[1] Erickson J. Millard., 2003. Teologi Kristen. Jilid 3. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 56-60.

[2] Tiga buku (tentunya didukung buku-buku lainnya) yang menjadi acuan saya dalam membahas bagian ini, yaitu: C. Peter Wagner, Manfaat Karunia-Karunia Rohani Untuk Pertumbuhan Gereja. Penerbit Gandum Mas; Dick Iverson, The Holy Spirit Today, Diktat. Harvest International Teological Seminary (HITS); Wayne Grudem, Haruskah orang Kristen Mengharapkan Mujizat sekarang Ini? Dalam Greig, Gary. S & Kevin N. Spinger, ed.,. The Kingdom And The Power. Penerbit Gandum Mas.

[3] Dennis J. Bennet, adalah orang ketiga (setelah Demos Shakarian dan David J. duPlessis) yang berperan besar dalam kelahiran gerakan Kharismatik ini. Semula ia melayani di gereja Kongregasional sejak tahun 1949-1950 di San Diego, California. Tetapi kemudian tahun 1951 M ia menjadi vikarius di Paul’s Episcopal Church, serta menjadi imam tahun 1952 M, di situ, dan menjabat rektor di Mark’s Episcopal Church di Van Nuys (tahun 1953). Bennet yang pertama kali mengumumkan pengalaman Kharismatisnya di hadapan anggota jemaat gereja lokalnya di Van Nuys yang menyebabkan pemecatannya tahun 1959 M. Setelah ia dipecat dari gereja terakhir karena mengalami baptisan Roh Kudus, ia ditawari menggembalakan gereja St. Luke, gereja yang nyaris ditutup karena mengalami kemunduran. Akhirnya, gereja ini menjadi pusat penyebaran gerakan Kharismatik di seluruh Amerika. Ia juga mendirikan Episcopal Charismatic Fellowship dan Christian Association.

[4] Bennet, Dennis., 2010. How to Pray for The Release of the Holy Spirit. Terjemahan, Penerbit Andi: Yogyakarta, hal. 28-29.

[5] C. Peter Wagner (bersama John Wimber) adalah pelopor Kharismatik dari Gerakan Gelombang Ketiga (The Third Wave Movement). Beliau pakar pertumbuhan Gereja dan misi dunia, professor Sosiolog dan Antropologi dari Fuller Theological Seminary, Pasadena, California, AS.

[6] Wagner, C. Peter, 1988. Manfaat Karunia-Karunia Rohani Untuk Pertumbuhan Gereja. Terjemahan, penerbit Gandum Mas : Malang, hal 235.

[7] SAMA, hal. 235-236.

[8] Iverson, Dick., 1994. The Holy Spirit Today, Diktat. Terjemahan, Harvest International Theological Seminary, Harvest Publication House: Jakarta, hal. 122.

[9] Berbeda dari Pentakotalisme yang menganggap bahasa lidah sebagai sinonim dengan bahasa roh dan bahasa-bahasa lain. Para ahli bahasa pada umumnya membedakan kata Yunani glossolaliadari xenoglossia. Glossolalia adalah bahasa lidah atau bahasa roh, bukan merupakan bahasa yang sesungguhnya; bahasa ini bisa berasal dari Allah, bahasa malaikat, dan bisa juga dari manusianya sendiri (1 Korintus 12). Inilah “bahasa doa” yang biasanya sering dijumpai dikalangan Pentakostal. Sedangkan xenoglossia merupakan bahasa di dunia yang sungguh-sungguh ada, yang acapkali diucapkan oleh seseorang yang tidak mengenal bahasa itu sendiri (Kisah Para Rasul 2:4). (Lihat, Rubyono, Homan., Dari Baptisan Roh Menuju Kepenuhan Roh. Jilid 2. Penerbit Kalam Hidup : Bandung, hal 52).

[10] Stamps, Donald. C, ed., Full Life Bible Studi, hal 1766; Prince, Derek., Fondations Rightouness Living. Terjemahan, Penerbit Derek Prince Ministries Indonesia: Jakarta, hal 66-72.

[11] Tanusaputra, Abraham Alex., Batu Penjuru. hal 105.

[12] Hunter, Todd., 2011. Christianity Beyond Bilief. Penerbit ANDI: Yokyakarta, hal. 215-216.

[13] Rubyono, Homan., Dari Baptisan Roh Menuju Kepenuhan Roh. Jilid 2, hal 50.

[14] Sproul, R.C., 1997. Kebenaran-Kebenaran Dasar Iman Kristen. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang, hal. 156.

[15] Ibit.

[16] Hunter, Todd., Christianity Beyond Bilief, hal. 215.

[17] Ryrie, Charles C., Teologi Dasar. Jilid 2, hal. 139.

[18] Saya sendiri lebih banyak menggunakan bahasa roh di dalam doa-doa pribadi saya dengan Tuhan. Dan saya mendapatkan manfaat dari sarana yang disediakan Tuhan ini untuk membangun kehidupan pribadi saya.

[19] Iverson, Dick., The Holy Spirit Today, hal. 125.

[20] Iverson, Dick., The Holy Spirit Today, Diktat, hal. 123.

[21] Banyak orang saat kini menyamakan bahasa roh dengan membual yaitu berbicara kegila-gilaan secara emosi dan psikologis. Ini yang dikatakan oleh sekelompok orang yang skeptis pada hari Pentakosta (Kisah Para Rasul 2:13).

[22] Susanto, Hasan., 2003. Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid I & II. Penerbit Literatur SAAT : Malang.

[23] Carson, D.A., 2009. Kesalahan-Kesalahan Eksegetis. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta, hal, 103-105.

[24] SAMA, hal 104.

[25] Untuk gramatikal Yunani silahkan lihat dalam karya-karya berikut ini: Mounce, William D., 2011. Basics of Biblical Greek, edisi 3. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang; Pandensolang, Welly., 2010. Gramatika dan Sintaksis Bahasa Yunani Perjanjian Baru. Penerbit ANDI: Yogyakarta; Schafer, Ruth., 2004. Belajar Bahasa Yunani Koine: Panduan Memahami dan Menerjemahkan Teks Perjanjian Baru. Penerbit BPK Gunung Mulia : Jakarta; Wenham, J.W., 1988. Bahasa Yunani Koine (The Elements of New Testament Greek). Penerbit SAAT : Malang; Tulluan, Ola., 2007. Bahasa Yunani Perjanjian Baru. Penerbit Literatur YPPII : Malang.

[26] Nggadas, Deky Hidnas Yan., 2013. Paradigma Eksegetis Penting dan Harus. Penerbit Indie Publising: Depok, hal. 250-253).

[27] Kata konteks berasal dari dua kata, yaitu kon yang artinya bersama-sama dan teks yang artinya tersusun. Secara khusus konteks di sini diartikan sebagai ayat-ayat sesudah dan sebelum ayat atau bagian yang dipelajari. Secara umum konteks diartikan sebagai hubungan pikiran yang menyatukan sebagian (konteks dekat) atau keseluruhan tulisan (konteks jauh). Sehubungan dengan Alkitab, konteks diartikan sebagai hubungan pikiran yang menyatukan satu bagian perikop tertentu, atau satu pasal tertentu atau satu kitab tertentu dalam Alkitab, atau bahkan keseluruhan Alkitab.BAHASA ROH: ARTI, KLASIFIKASI, PENGGUNAAN DAN TUJUAN.https://teologiareformed.blogspot.com/
Next Post Previous Post