BOLEHKAH WANITA MELAYANI SEBAGAI PENDETA? ( 1 TIMOTIUS 2:11-13)

Pdt.Samuel T. Gunawan, M.Th .
BOLEHKAH WANITA MELAYANI SEBAGAI PENDETA? ( 1 TIMOTIUS 2:11-13)
“(1 Timotius 2:11)  Seharusnyalah perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh.(2:12)  Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri.” ( 1 Timotius 2:11-13)
  
“(1 Korintus 14:34) Sama seperti dalam semua Jemaat orang-orang kudus, perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan Jemaat. Sebab mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara. Mereka harus menundukkan diri, seperti yang dikatakan juga oleh hukum Taurat. (14:35)  Jika mereka ingin mengetahui sesuatu, baiklah mereka menanyakannya kepada suaminya di rumah. Sebab tidak sopan bagi perempuan untuk berbicara dalam pertemuan Jemaat.” (1 Korintus 14:34-35).

PENDAHULUAN: 

Pada saat mengunjungi dan melaksanakan pelayanan cabang gereja kami di salah satu desa di pedalaman Kalimantan Tengah, saya mendapat kabar bahwa jemaat diresahkan dengan adanya seorang anggota denominasi gereja lain yang datang serta mengatakan bahwa seorang perempuan tidak boleh mengajar dan melayani sebagai pendeta dengan mengutip perkataan rasul Paulus dalam 1 Timotius 2:11-13 dan 1 Korintus 14:34-35. 

Hal ini cukup meresahkan jemaat untuk beberapa saat, hingga saya datang dan memberikan penjelasan berupa ajaran Alkitabiah perihal diperbolehkannya wanita melayani sebagai pendeta. Memang benar bahwa saya sebagai gembala senior (senior pastor) di gereja lokal kami, berdasarkan berbagai pertimbangan, telah mengangkat seorang pengerja wanita sebagai gembala pelaksana (staf penggembalaan) untuk melaksanakan pelayanan di cabang gereja lokal kami tersebut.    

Jadi setelah saya memberikan penjelasan dan pengajaran Alkitabiah mengenai diperbolehkannya wanita dalam pelayanan kependetaan, maka hal itu telah menghilangkan berbagai keresahan dan keraguan jemaat yang diakibatkan oleh  perkataan dan ajaran dari anggota jemaat dari denominasi gereja lain tersebut. 

Setelah saya selidiki, ternyata denominasi gereja dimana seorang anggotanya telah meresahkan jemaat di cabang gereja lokal kami tersebut memberlakukan ayat 1 Timotius 2:11-13 dan 1 Korintus 14:34-35 sebagai dasar larangan terhadap pelayanan kependetaan wanita, ternyata tidak memberlakukan 1 Korintus 11:1-16 yang memerintahkan agar wanita berkerudung, karena tidak ada satupun dari anggota jemaat wanita dalam denominasi tersebut yang memakai kerudung. 

Seharusnya, mereka tidak hanya memberlakukan larangan bagi wanita dalam pelayanan kependetaan, tetapi juga harus memberlakukan ayat 1 Korintus 11:1-16 tentang berkerudung bagi wanita dalam jemaat mereka! Dengan demikian jelaslah bahwa memberlakukan ayat-ayat atau bagian-bagian tertentu secara universal tanpa memperhatikan konteks, latar belakang historis dan budaya setempat pada saat Alkitab ditulis  dapat menyebabkan salah tafsir!

DUA PANDANGAN UTAMA PENDETA WANITA

Beberapa orang memang telah melakukan kekeliruan dengan memberlakukan ayat-ayat tertentu yang masih diperdebatkan sebagai dasar pengajaran dan doktrin denominasi gerejanya. Sebenarnya, prinsip dasar dalam menetapkan suatu doktrin adalah memulainya dengan ayat-ayat atau bagian-bagian Alkitab yang jelas. Ini berarti ayat-ayat atau bagian-bagian Alkitab yang tidak jelas harus ditafsirkan berdasarkan pernyataan dari ayat-ayat atau bagian-bagian Alkitab yang jelas. 

Harus diakui bahwa salah satu bagian yang sulit dipahami dalam surat-surat Paulus adalah mengenai peran seorang wanita dalam pelayanan kependetaan. Dua bagian dalam surat Paulus yang sulit dan masih diperdebatkan tentang isu peran gender dalam konteks pelayanan kependetaan adalah 1 Timotius 2:11-13 dan 1 Korintus 14:34-35. 

Kesulitan ini telah diakui oleh banyak pakar Alkitab dan teologi, sebagaimana juga diakui oleh rasul Petrus, bahwa beberapa orang yang tidak memahami surat Paulus justru memutarbalikkan artinya (2 Petrus 2:16). Akibatnya, saat ini berbagai denominasi gereja terbagi menjadi dua pandangan mengenai peran seorang wanita dalam pelayanan kependetaan, yaitu perspektif komplementarian dan Perspektif egalitarian alkitabiah.

Perspektif komplementarian disebut juga perspektif kepemimpinan pria.  Denominasi-denominasi gereja yang berpegang pada pandangan komplementarian pada umumnya membatasi jabatan pendeta, bahkan diaken hanya pada laki-laki, dengan kata lain mereka menolak peran wanita dalam pelayanan kependetaan. 

Pandangan ini didasarkan pada kualifikasi pendeta menurut Alkitab serta desain Tuhan bagi rumah tangga. Logika pandangan ini ialah bahwa cara Tuhan menyusun keluarga-keluarga dalam rumah tangga mencerminkan keluargaNya yang lebih besar, yaitu gereja. Di dalam Keluaga-keluarga rumah tangga Tuhan mengharapkan suami dan bapa untuk menjadi kepala, demikian juga dalam gereja (Bandingkan Efesus 5:22-24). 

Jadi menurut pandangan ini kualifikasi Alkitab bagi para pendeta seharusnya dipahami dalam pola rumah tangga (Bandingkan 1 Timotius 3:4-5). Sedangkan perspektif egalitarian alkitabiah disebut juga perspektif feminis alkitabiah. Denominasi-denominasi gereja yang berpegang pada pandangan egalitarian alkitabiah pada umumnya memperbolehkan pria dan wanita untuk melayani dalam jabatan pendeta dan diaken. Mereka menemukan dukungan Alkitab bagi pandangannya dalam Perjanjian Lama, dan khususnya dalam Perjanjian Baru.

DASAR-DASAR ALKITABIAH DIPERBOLEHKANNYA WANITA DALAM PELAYANAN KEPENDETAAN

Beberapa bagian Alkitab jelas mengindikasikan dan menunjukkan diperbolehkannya wanita melaksanakan pelayanan kependetaan. Berikut secara ringkas disajikan data Alkitab yang mendukung diperbolehkannya wanita dalam pelayanan kependetaan.

Pertama, Prinsip Kesamaan Di Dalam Kristus (Galatia 3:26-28). 

Pernyataan rasul Paulus yang tegas di dalam Galatia 3:26-28, “Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus. Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” adalah sebuah pandangan revolusioner karena bertentangan dengan keyakinan zaman itu. 

Pernyataan rasul Paulus dalam ayat ini harus menjadi titik awal dalam memahami pernyataan-pernyataan lainnya, khususnya yang berhubungan dengan gender. Pernyataan ini tidak hanya berlaku bagi keselamatan secara rohani, tetapi juga dalam relasi-relasi kemanusiaan lainnya

Kristus telah meruntuhkan penghalang-penghalang yang diciptakan ras, budaya dan gender yaitu antara Yahudi dan non Yahudi, antara hamba dan orang merdeka, antara laki-laki dan perempuan. Artinya, di dalam Kristus kaum perempuan mempunyai status yang sama dengan kaum pria atas dasar pekerjaan Kristus di kayu salib bagi mereka. Ini berarti bahwa Tuhan tidak mengecualikan beberapa posisi pelayanan kaum wanita bagi gerejaNya.

Kedua, Pencurahan Roh Kudus Kepada Semua Orang Percaya Pada Hari Pentakosta (Kisah Para Rasul 2:16-21). 

Pentakosta menandai dimulainya gereja sebagai suatu tubuh yang berfungsi melalui pencurahan Roh Kudus. Sebelum naik ke surga, Kristus berjanji tidak lama lagi murid-muridNya akan dibaptis dengan Roh Kudus (Kisah Para Rasul 1:5). Peristiwa “pencurahan Roh Kudus” pada hari Pentakosta tersebut indentik dengan “baptisan Roh Kudus” yang dijanjikan oleh Kristus kepada murid-muridNya. Petrus menyebutnya sebagai penggenapan nubuat Nabi Yoel (Kisah Para Rasul 2:16). 

Peristiwa pentakosta ini menandai ditempatkannya orang percaya di dalam Tubuh Kristus (1 Korintus 12:13; Efesus 1:22,23). Pada hari Pentakosta itu, Allah telah mencurahkan RohNya ke atas “semua manusia”, termasuk “anak laki-laki dan perempuan” dan ke atas “hamba-hambaNya laki-laki dan perempuan”. Karena Roh Kudus dianugerahkan kepada semua orang percaya, pria maupun wanita, demikian juga karunia-karunia Roh dalam pelayanan. 

Tidak ada bukti Alkitabiah, bahkan petunjuk pun tidak, bahwa karunia-karunia (charismata) terbatas hanya kepada kaum pria saja. Sebaliknya, karunia-karunia Roh dibagikan kepada semua anggota untuk kepentingan bersama bagi pembangunan tubuh Kristus (bandingkan 1 Korintus 12:1-14). Jadi, Kristus juga menganugerahan karunia-karunia kepada kaum wanita, dimana karunia-karunia itu digunakan untuk melayani Dia dan pembangunan tubuhNya.

Ketiga, Diikutsertakannya Para Wanita Dalam Berbagai Pelayanan Penting di Perjanjian Baru. Ada banyak contoh wanita-wanita yang melaksanakan pelayanan-pelayanan penting dalam Perjanjian Baru, antara lain: 

(1) Filipus mempunyai empat anak gadis yang berkarunia nubuat (Kisah Para Rasul 21:9), dan menurut rasul Paulus, karunia nubuat ini penting (1 Korintus 14:1); 

(2) Euodia dan Sintikhe adalah teman sekerja dengan Paulus dalam menyebarkan Injil (Filipi 4:2-3); 

(3) Friskila berkerja berdampingan dengan suaminya, Akwila, dalam menyebarkan Injil di Korintus dan Efesus. Paulus menyebut mereka teman sekerjanya (Roma 16:3). Mereka berdualah yang dengan teliti menjelaskan jalan Allah kepada Apolos (Kisah Para Rasul 18:26); 

(4) Febe seorang pelayan di jemaat Kengkrea yang disebut oleh Paulus sebagai “diakonos” yang berarti pemimpin jemaat atau pendeta (Roma 16:1); 

(5) Selanjutnya ada rekan-rekan sekerja wanita yang Paulus sebut dalam Roma 16:1-15 antara lain: Maria, Trifena, Trifosa, dan Persis yang semuanya bekerja dengan sungguh-sungguh dan giat dalam pelayanan Tuhan; 

(6) Paulus juga menyebutkan adanya wanita-wanita yang bernubuat dalam jemaat Korintus (1 Korintus 11:5).

Keempat, Adanya Petunjuk Wanita Sebagai Seorang Rasul (Roma 16:7). 

Rasul adalah seorang yang diutus Tuhan. Gelar ini digunakan untuk kelompok tertentu dalam Perjanjian Baru yaitu Yesus Kristus (Ibrani 3:1), kedua belas murid (Matius 10:2), Paulus (Roma 1:1; 2 Korintus 1:1; Galatia 1:1) dan orang lainnya, yaitu Andronikus dan Yunias (Roma 16:7), Barnabas dan  Paulus (Kisah Para Rasul 14:14), Titus (2 Korintus 8:23), Timotius (1 Tesalonika 1:1; 2:6), dan lain-lain. Nampaknya, tugas para rasul adalah untuk meletakkan dasar untuk Gereja-gereja Lokal yang didirikan (Efesus. 2:20). 

Mereka membentuk jemaat-jemaat lokal yang baru (1 Korintus 9:1-2) dan bekerja sama dengan jemaat-jemaat lokal yang sudah berdiri tetapi masih perlu pembinaan lebih lanjut.  Dalam Roma 16:7 rasul Paulus menyebutkan bahwa Andronikus dan Yunias adalah orang-orang yang terpandang diantara rasul-rasul dan telah menjadi pengikut Kristus sebelum rasul Paulus. Yunias adalah seorang wanita, tepatnya seorang rasul wanita. Jadi, 1 dari 22 rasul yang disebutkan dalam Alkitab adalah seorang wanita. 

Kelima, Adanya Afirmasi Persyaratan bagi Diaken Wanita (1 Timotius 3:11). 

Paulus dalam 1 Timotius 3:11 memberikan daftar persyaratan tambahan bagi diaken wanita. Beberapa penafsir menafsirkan ayat ini sebagai istri-istri diaken, tetapi hal ini tidak pasti demikian dalam teks aslinya. Kata Yunani yang diterjemahkan “istri-istri” dalam ayat ini adalah “gunaikas” yang seharusnya diterjemahkan “para perempuan”. Jadi konteks ayat ini dengan jelas mengacu kepada wanita-wanita yang berjabatan sebagai diaken dalam jemaat.  

Keenam, Adanya Perintah Agar Wanita Mengajar (Titus 2:2-5). 

Paulus dalam ayat ini menasihati para wanita untuk mengajar anak-anak dan wanita-wanita lain yang lebih muda. Hal ini memperjelas bahwa Paulus dalam 1 Timotius 2:12 tidak sedang berpendapat bahwa wanita sama sekali tidak boleh mengajar sebagaimana dimengerti oleh beberapa orang yang menolak wanita dalam pelayanan kependetaan. Salah satu prinsip dasar dalam menafsirkan Alkitab ialah Alkitab menafsirkan dirinya sendiri dan tidak kontradiktif. 

Tidaklah mungkin rasul Paulus memberikan nasihat yang berbeda kepada Timotius dan Titus tentang satu hal yang sama. Pastilah tidak ada kontras dalam nasihat Paulus kepada Timotius maupun Titus, dan pastilah ada penjelasan bagi ayat-ayat paradoksal ini, yang akan saya jelaskan nanti.   Perlu diketahui bahwa kata Yunani mengajar dalam Titus 2:3  adalah “didaskalos” yang berasal dari akar kata “didaskô” yang berarti “mengajar atau mengajarkan”. Kemampuan mengajar dengan baik  ini merupakan kualifikasi bagi seorang penilik jemaat atau tua-tua (1 Timotius 3:2; 2 Timotius 2:24) adalah cakap mengajar (didaktikos).

Ketujuh, Sebagai Tambahan: Adanya Pelayanan Nabiah Dalam Perjanjian Lama. 

Dalam Perjanjian Lama kita menemukan nabiah wanita maupun nabi pria yang dipanggil dan diutus Allah untuk bertindak sebagai pembawa firmanNya, seperti: Hulda pada zaman raja Yosia (2 Raja-raja 22:11-22); Miryam, saudara perempuan Musa (Keluaran 15:20); dan Debora, nabiah, pemimpin dan hakim atas Israel (Hakim 4 dan 5).

MENAFSIRAN BAGIAN-BAGIAN ALKITAB YANG SULIT

Pengajaran utama mengenai kedudukan wanita dalam gereja di Perjanjian Baru terdapat dalam surat-surat Paulus. Meskipun demikian, pendekatan rasul Paulus pada masalah ini telah menimbulkan perdebatan yang serius dikalangan Kristen hingga saat ini. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa memang ada bagian-bagian yang sulit dipahami dalam surat-surat Paulus. 

Kesulitan-kesulitan ini telah diakui oleh banyak teolog dan pakar Perjanjian Baru sebagaimana juga diakui oleh rasul Petrus, bahwa beberapa orang yang tidak memahami surat Paulus justru memutarbalikkan artinya (2 Petrus 2:16). Misalnya sebagai contoh dalam dalam 1 Korintus 11:4-6 rasul Paulus mewajibkan para wanita Kristen menggunakan kerudung. Kita akan mengalami kesulitan memahami perkataan rasul Paulus tersebut jika kita mengartikannya berdasarkan konteks dan budaya kita saat ini. 

Perkataan-perkataan rasul Paulus lainnya seperti “kita akan menghakimi malaikat (1 Korintus 6:3)”, “wanita tidak boleh mengajar (1 Korintus 14:34-35)”, “Wanita akan diselamatkan karena melahirkan anak (1 Timotius 2:15)”, “menyerahkan saudara seiman yang berdosa kepada Iblis (1 Korintus 5:5; 1 Timotius 1:20)”, dan lain sebagainya  akan sulit dipahami jika kita tidak mengartikannya berdasarkan konteks, latar belakang historis dan budaya setempat, serta masalah-masalah yang dihadapi gereja-gereja setempat pada saat itu.

Karena itu, saat mempelajari ayat-ayat atau bagian-bagian Alkitab yang sulit tersebut perlu memperhatikan prinsip-prinsip hermeneutika, yaitu prinsip-prinsip dalam menafsirkan Alkitab. Berdasarkan hasil penelitian terhadap berbagai buku hermeneutika dan eksegesis Alkitab yang sehat dari berbagai literatur terpercaya, di pasal 6 dan lampiran 2 dan 3 buku saya yang berjudul “Kharismatik Yang Kukenal dan Yang Kuyakini: Sebuah Penjelasan dan Pembelaan dari Seorang Kharismatik Normatif”, saya menyebutkan beberapa prinsip penting dalam menafsirkan Alkitab. 

Prinsip-prinsip itu adalah : 

(1)   Menafsir menurut konteksnya, yaitu menafsirkan kata, frase, kalimat dan ayat dengan terlebih dahulu mempetimbangkan konteksnya. Ini penting karena tanpa mempelajari konteksnya maka pengertian kita terhadap kata, frase, kalimat dan ayat tersebut menjadi tidak lengkap, khususnya jika ada kaitan pengertian yang tidak dapat dilepaskan satu dengan yang lain; 

(2) Menentukan arti kata aslinya. Ini berarti harus menafsirkan sesuai dengan arti kata atau kata-kata yang tepat sebagaimana dimaksudkan oleh penulis aslinya, dengan cara  menemukan definisi kata itu dan apa artinya yang tepat sesuai dengan konteks zaman atau budaya waktu penulisannya; 

(3)  Menafsir sesuai tata bahasa (gramatika).  Arti dari sesuatu bagian atau paragraf harus ditentukan oleh penyelidikan kata-kata yang ada di dalamnya dan hubungannya dalam kalimat.  Tata bahasa terdiri dari beberapa unsur penting, misalnya: subjek, objek, kata kerja, kata keterangan waktu, tempat, cara, kata ganti dan kata sambung; 

(4) Menangkap maksud dan tujuan penulis Alkitab. Kita harus mengingat bahwa adakalanya penulis-penulis Alkitab memberikan petunjuk dengan jelas mengenai maksud dan tujuan mereka menuliskan kitab atau surat. Tetapi kebanyakan penulis Alkitab tidak jelas menunjukkan tujuan penulisan kitab itu. Karena itu perlu membaca dengan teliti seluruh isi kitab untuk menemukan tujuan dan maksud penulisan kitab; 

(5) Mempelajari latar belakang historis dan budaya  setempat pada saat penulisannya.  Alkitab telah ditulis oleh para penulis di era sejarah yang berbeda dengan kita saat ini, karena itu Alkitab hanya bisa dimengerti sepenuhnya dalam terang sejarah terkait. Jadi kita perlu tahu juga latar belakang geografis, historis, kultural, dan politis pada saat itu; 

(6) Menafsirkan dengan cara membandingkan ayat atau bagian alkitab yang satu dengan yang lain Bila kita membandingkan ayat dengan ayat, kita dapat menemukan maksud yang lebih penuh dari pengarang ilahi. Prinsip ini disebut juga ayat menafsirkan ayat atau “Alkitab menafsirkan dirinya sendiri”. 

(7) Mengetahui sifat pewahyuan yang progresif dan prioritas perjanjian baru atas perjanjian lamaAlkitab diberikan secara progresif. Artinya bahwa dalam proses pewahyuan pesanNya kepada manusia, Allah bisa menambah atau bahkan mengubah dalam suatu waktu apa yang Dia telah berikan sebelumnya. Karena itu, Perjanjian Lama harus dipahami dalam terang Perjanjian Baru, yang menjelaskan, menegaskan kembali dan mengoreksi Perjanjian Lama.  

Jadi di dalam menafsirkan Alkitab kita dituntut untuk memahami konteks, latar belakang historis, budaya, tata bahasa (gramatika), dan maksud penulis Alkitab. Hal ini sangat penting untuk menghindari tafsiran sembrono dan yang salah. Dengan demikian, semua doktrin dan teologi beserta penerapannya haruslah merupakan hasil  pemahaman literal, gramatikal, historikal, dan kontekstual dari teks Kitab Suci. Setiap doktrin dan teologi yang terpisah dari komitmen a priori ini tidak layak dan tidak memenuhi standar. 

Karena itu, kita harus berhati-hati untuk tidak melakukan kesalahan dengan cara menafsirkan ayat-ayat atau bagian-bagian tertentu dari Alkitab apabila hal itu  tidak didukung oleh pernyataan Alkitab itu sendiri. Tidaklah bijaksana memasukan atau memaksakan pendapat dengan bukti Alkitabiah yang tidak dapat dijamin kebenarannya. Kadang-kadang hal ini didorong oleh keinginan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dijawab oleh Alkitab atau hanya karena tuntutan tradisi dan budaya.

Lalu, bagaimana dengan penafsiran doktrinal? Pengajaran atau doktrin, diartikan sebagai suatu prinsip kebenaran yang berisi pokok-pokok iman yang diajarkan oleh Alkitab yang telah disusun secara sistematis. Sumber dari semua doktrin Kristen yang Tuhan inginkan untuk diajarkan kepada kitaadalah Alkitab. Doktrin-doktrin Alkitab merupakan satu kesatuan yang utuh, oleh karena itu tidak mungkin mengajarkan kebenaran yang saling kontradiksi (bertentangan) satu dengan yang lain, walaupun ada kemungkinan terdapat kebenaran yang bersifat paradoks. 

Karena itu beberapa petunjukberikut ini perlu diperhatikan dalam menafsir doktrin : 

(1) Setiap doktrin harus didasarkan pada ayat-ayat atau bagian-bagian Alkitab yang jelas. Ini berarti ayat-ayat atau bagian-bagian Alkitab yang tidak jelas harus ditafsirkan berdasarkan pernyataan dari ayat-ayat atau bagian-bagian Alkitab yang jelas; 

(2) Penafsiran doktrinal harus didasarkan pada pernyataan-pernyataan yang jelas arti harfiahnya dan bukan berdasarkan dari kata-kata kiasan atau simbolik yang tidak jelas; 

(3) Doktrin harus didasari pada perikop-perikop (konteks) yang bersifat pengajaran atau didaktik. Ini tidak berarti bahwa bagian-bagian yang naratif dalam Alkitab tidak mengandung makna teologis atau pengajaran; 

(4) Doktrin harus berdasarkan pada seluruh kebenaran Alkitab, tidak cukup kalau hanya sebagian kebenaran.Tidaklah bijaksana menetapkan sebuah doktrin berdasarkan  ayat-ayat atau bagian-bagian tertentu yang masih diperdebatkan; 

(5) Hindarkan unsur-unsur spekulasi yang tidak dapat dijamin kebenarannya dalam menafsirkan doktrin. Tidaklah bijaksana jika merumuskan doktrin dari kebenaran yang tidak disebutkan dalam Alkitab; 

(6) Dianjurkan untuk memakai semua prinsip-prinsip hermeneutika didalam menafsirkan doktrin.

TANGGAPAN DAN EVALUASI TERHADAP ALASAN-ALASAN BAGI PENOLAKAN WANITA DALAM PELAYANAN KEPENDETAAN

Paling sedikit ada tiga alasan utama penganut perspektif komplementarian menolak wanita dalam pelayanan kependetaan, yaitu : 

(1) Tidak ada wanita dari kedua belas rasul yang dipilih oleh Kristus (Matius 10:1-4; Markus 3:14-19; Lukas 6:13-16); 

(2) Laki-laki sebagai kepala dalam rumah tangga, merupakan simbolik dari kepemimpinan pria dalam gereja (1 Korintus 11:3-10 Efesus 5:22-24); dan 

(3) Rasul Paulus melarang wanita mengajar laki-laki (1 Timotius 2:11-13 dan 1 Korintus 14:34-35). Tanggapan dan sekaligus evaluasi saya terhadap alasan-alasan penganut perspektif komplementarianmenolak wanita dalam pelayanan kependetaan di atas dirangkum dalam argumentasi-argumentasi berikut ini.

Pertama, 
meskipun Yesus memang tidak pernah mengangkat wanita sebagai rasul, namum kepada wanitalah ia pertama kali menampakkan diri setelah kebangkitanNya dan mempercayakan kabar baiktentang kemenanganNya (Yohanes 20:10; Matius 28:8). Yesus memang memilih dua belas laki-laki untuk menjadi rasul-rasulNya.

Hal ini merupakan penegasan yang simbolik tentang dua belas suku Israel  (Bandingkan Wahyu 21:14). Tetapi pemilihan ini dilakukanNya sebelum penyaliban, kebangkitan dan kenaikanNya ke Surga. Pernyataan di atas penting karena melalui kematiannya di kayu saliblah Kristus telah meruntuhkan penghalang-penghalang yang diciptakan ras, budaya dan gender yaitu antara Yahudi dan non Yahudi, antara hamba dan orang merdeka, antara laki-laki dan perempuan (Galatia 3:26-28; Bandingkan Efesus 2:14-16). 

Setelah kenaikan Kristus ke surga, Matias ditetapkan sebagai rasul menggantikan posisi Yudas (Kisah Para Rasul 1:21-26). Secara teknis bukanlah Yesus yang memilih Matias melainkan berdasarkan undi karena yang diusulkan pada saat itu dua orang yaitu Yusuf dan Matias. 

Jadi Matias ditetapkan sebagai rasul karena namanya terpilih berdasarkan undi. Selanjutnya, kita juga mengetahui bahwa walaupun Paulus disebut sebagai rasul sebelum sidang di Yerusalem (Kisah Para Rasul 14:14), tetapi pada saat sidang di Yerusalemlah ia kerasulannya bagi orang-orang bukan Yahudi diteguhkan (Galatia 2:1-9; Bandingkan Kisah Para Rasul 15:1-31). 

Selain Matias dan Paulus, Alkitab menyebutkan beberapa rasul lainnya, termasuk satu orang rasul wanita yang bernama Yunias (Roma 16:7).  Dalam ayat ini rasul Paulus menyebutkan bahwa Andronikus dan Yunias adalah orang-orang yang terpandang di antara rasul-rasul dan telah menjadi pengikut Kristus sebelum rasul Paulus.  

Kedua, argumentasi bahwa laki-laki sebagai kepala dalam rumah tangga berdasarkan dukungan dari ayat 1 Korintus 11:3-10 Efesus 5:22-24 dan menyatakannya sevagai simbolik dari kepemimpinan pria dalam gereja adalah logika komparatif yang tidak sah. Karena ayat-ayat ini tidak secara langsung berhubungan dengan penetapan kepemimpin pria atau pun pelarangan kepemimpinan wanita dalam gereja.

Setidaknya ada tiga alasan yang didasarkan pada konteksnya, yaitu : 

(1) Dalam Efesus 5:22-24 konteksnya jelas bahwa Paulus membatasi analoginya hanya pada suami-istri yang melambangkan Kristus-jemaat, dan bukannya suami-istri yang melambangakan pria-jemaat. Jadi, hanya ada satu kepala jemaat, yaitu Kristus dan  bukannya laki-laki; dan jemaat Kristus terdiri dari pria dan wanita. 

(2) Dalam konteks rumah tangga, kepala dari istri adalah suami.  Kata Yunani untuk “kepala” adalah “kephale” yang berarti “otoritas” yang bermakna “tanggung jawab”. Tunduk pada suami adalah pengaturan yang ditetapkan Tuhan agar istri dapat memberi rasa hormat pada suaminya. Disini istri diperintahkan untuk tunduk hanya kepada suaminya, dan bukannya tunduk kepada setiap pria yang bukan suaminya. 

(3) Lalu bagaimana dengan 1 Korintus 11:3, yang menyatakan bahwa “kepala dari perempuan ialah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah Allah?” Kata “kephale” dalam konteks ayat ini berarti “sumber” atau “asal”. Maksud dari ayat ini jelas menunjukkan pengertian bahwa pria adalah asal (sumber keberadaan) wanita; dan Kristus adalah asal (sumber keberadaan) pria; dan Allah adalah asal (sumber keberadaan) Kristus dalam inkarnasinya.

Ketiga, tidaklah tepat menggunakan nasihat rasul Paulus yang melarang wanita mengajar laki-laki dalam 1 Timotius 2:11-13 dan 1 Korintus 14:34-35 sebagai larangan yang bersifat universal bagi kepemimpinan wanita dalam gereja. 

(1) Kita harus mengingat bahwa sebagian besar surat-surat kiriman rasul Paulus ditulis untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh jemaat atau pribadi sebagai penerima surat tersebut. Masing-masing surat memiliki konteks dan latar belakang historis yang berbeda, karena itu perlu untuk terlebih dahulu mendapatkan gambaran selengkap mungkin tentang pokok-pokok masalah yang dihadapi masing-masing jemaat.  

Juga perlu mengetahui antara hal-hal bersifat moral normatif yang merupakan inti ajaran yang membedakannya dari hal-hal yang bersifat budaya setempat. 

(2) Perkataan Paulus yang bersifat membatasi peranan perempuan dalam ayat 1 Timotius 2:11-13 dan 1 Korintus 14:34-35 harus dimengerti dalam konteks adanya ajaran palsu (sesat) yang terjadi di jemaat Efesus maupun pelanggaran moral dan kekacauan yang serius di jemaat Korintus.  

Masalah yang terjadi di jemaat Efesus yang pada saat itu digembalakan Timotius, adalah hadirnya wanita-wanita yang terpengaruh oleh guru-guru sesat. wanita-wanita ini telah menyalahgunakan kebebasan Kristen dengan menolak doktrin yang benar dan mengajarkan ajaran palsu. Wanita-wanita ini juga berusaha merampas kekuasaan dan ingin mendominasi kaum pria dalam jemaat agar mengikuti doktrin sesat tersebut. 

Sedangkan di Korintus, jemaat yang telah menerima karunia besar dari Tuhan, adalah jemaat yang paling bermasalah, baik masalah doktrinal maupun praktikal. Dalam jemaat ini diketahui kurangnya moralitas, hubungan seksual di antara anggota keluarga (incest), hubungan dengan persembahan berhala, dan lain sebagainya. 

Secara khusus dua masalah di Korintus yang berhubungan dengan wanita adalah hadirnya wanita-wanita yang tidak memakai kerudung di dalam pertemuan-pertemuan  jemaat, dimana hal itu tidak lazim bagi wanita yang dianggap bermoral baik. Karena dalam budaya setempat saat itu wanita yang tidak berkerundung dianggap tidak bermoral atau sama dengan pelacur di kuil-kuil.  

Selanjutnya, adanya wanita-wanita Kristen di Korintus yang merasa sudah bebas karena tidak lagi terbelenggu akibat kuk gender, turut berpatisipasi dalam pertemuan jemaat yang menimbulkan ketidaktertiban dan ketidaksopanan, sehingga Paulus perlu memberikan nasihat yang bersifat korektif bagi pemecahan masalah di Korintus saat itu. 

(3) Jadi, pembatasan yang diberikan rasul Paulus dalam ayat-ayat tersebut secara khusus hanya ditujukan kepada wanita-wanita ini, yaitu : Di Efesus untuk para wanita penganjur ajaran sesat; dan di Korintus ditujukan bagi para wanita yang merasa bebas dalam Kristus tetapi tidak tertib dan mengabaikan kesopanan budaya saat itu.  Dengan demikian pembatasan ini bukan dimaksudkan sebagai larangan bagi semua wanita untuk melayani dalam jabatan pendeta.

Ringkasnya:

Bahwa dari semua data Alkitab yang disajikan di atas dapat dikatakan bahwa yang diutamakan untuk menempati jabatan kependetaan (termasuk memimpin dan mengajar) adalah seorang pria. Tetapi, wanita yang dianugerahi karunia dan dipilih oleh Allah tidak pernah ditolak untuk melaksanakan kepemimpinan atau menjalankan karunia yang telah diberikan Allah yang merupakan panggilannya. 

Secara historis, tradisi gereja yang menolak peran wanita dalam pelayanan kependetaan lebih didasarkan pada prasangka budaya dan prasangka gender ketimbang ajaran Alkitab. Karena itu kesimpulannya ialah bahwa wanita dapat melayani bersama pria dalam pelayanan kependetaan.

REFERENSI: 
Archer, Gleason L., 2009. Encyclopedia of Bible Difficulties. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.
Conner, Kevin J., 2004. Jemaat Dalam Perjanjian Baru, terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.
Carson, D.A., 2009. Kesalahan-Kesalahan Eksegetis. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta.
Douglas,  J.D., ed, 1993. Ensiklopedia Alkitab Masa Kini. Jilid 1 & 2. Terjemahkan Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.
Enns, Paul., 2004. The Moody Handbook of Theology. Jilid 1. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT: Malang.
Fee, Gordon D., 2008. New Testament Exegesis. Edisi Ketiga. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Geisler, Norman & Ron Brooks., 2010. Ketika Alkitab Dipertanyakan. Terjemahan, Penerbit Andi Offset: Yogyakarta.
Gunawan, Samuel., 2014. Kharismatik Yang Kukenal dan Kuyakini. Penerbit Bintang Fajar Ministries: Palangka Raya.
Guthrie, Donald, dkk., 1982. Tafsiran Alkitab Masa Kini. Jilid 3. Terjemahan. Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF : Jakarta.
Guthrie, Donald., 2010. Teologi Perjanjian Baru Jilid 3, Terjemahan, Penerbit BPK : Jakarta.
__________________., 2009. Pengantar Perjanjian Baru. Jilid 2 Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta.
Jacobs, Cindy., 1999. Women of Distinity. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.
Manohey, Ralph., 2009. Tongkat Gembala. Lembaga Pusat Hidup Baru: Jakarta.
Marxsen, Willi., 2012. Pengantar Perjanjian Baru: Pendekatan Kritis Terhadap Masalah-masalahnya.  Terjemahan, Penerbit BPK Gunung Mulia: Jakarta.
Nggadas, Deky Hidnas Yan., 2013. Paradigma Eksegetis Penting dan Harus. Penerbit Indie Publising: Depok.
Pfeiffer F. Charles & Everett F. Harrison., ed. 1962. The Wycliffe Bible Commentary. Volume 3. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas Malang.
Ridderbos, Herman., 2004. Paul: An Outline of His TheologyTerjemahan, Penerbit  Momentum : Jakarta.
Ryrie, Charles C., 1991. Teologi DasarJilid 2, Terjemahan, Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta.
Sandison, George & Staff., 2013. Bible Answers for 1000 Difficult Questions. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.
Scahnabal, Echhard J., 2010. Rasul Paulus Sang Misionaris: Perjalanan, Stategi dan Metode Misi Rasul Paulus. Terj, Penerbit ANDI: Yogyakarta.
Sproul, R.C., 2000. Mengenali Alkitab. Edisi revisi, terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Stamps, Donald C., ed, 1995. Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.
Stassen, Glen & David Gushee., 2008. Etika Kerajaan: Mengikut Yesus dalam Konteks Masa Kini,Terjemahan, Penerbit  Momentum : Jakarta.
Stott, John., 1996. Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani. Terjemahan, Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF : Jakarta.
Stuart, Douglas & Gordon D. Fee., 2011Hermeneutik: Menafsirkan Firman Tuhan Dengan Tepat. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.
Susanto, Hasan., 2003. Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid I & II. Penerbit Literatur SAAT : Malang.
___________., 2011. Hermeneutika: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab.  Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Tabb, Mark, ed., 2011. Mari Berpikir Tentang Teologi: Apa Yang Kita Yakini. Terjemahan, Penerbit Yayasan Gloria : Yogyakarta.
Zuck, Roy B, editor., 2011. A Biblical of Theology The New TestamenTerjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang. BOLEHKAH WANITA MELAYANI SEBAGAI PENDETA? ( 1 TIMOTIUS 2:11-13). AMIN_
https://teologiareformed.blogspot.com/
Next Post Previous Post