LUKAS 18:1-8 (HAKIM YANG LALIM)

LUKAS 18:1-8 (HAKIM YANG LALIM)
LUKAS 18:1-8 (HAKIM YANG LALIM)· Kesatuan teks sebagai satu unit pikiran didukung dengan adanya konsep yang sama yang muncul berulang-ulang:

o “Doa” (Lukas 18: 1) dan “siang malam berseru” (Lukas 18:7)

o “Tidak jemu-jemu” (Lukas 18: 1), “selalu datang” (Lukas 18:3), “terus saja” (Lukas 18:5), dan “iman” (Lukas 18:8).

o “Beberapa waktu lamanya” (Lukas 18: 4), dan “mengulur-ulur waktu” (Lukas 18:7).

· Adanya suatu inklusio antara Lukas 18: 1 dan Lukas 18: 8b, yaitu antara “penegasan untuk berdoa dengan tidak jemu-jemu dalam penantian eskatologis” dan “iman (dalam bentuk doa yang tidak jemu-jemu) dalam penantian eskatologis.”

· Adanya paralelisme (bukan alegorisme) dalam bentuk argumen a minori ad maius (dari hal yang lebih kecil menuju hal yang lebih besar). Argumen ini tampak dalam hubungan antara:

o Hakim yang lalim (Lukas 18:2) yang dikontraskan dengan Allah (Lukas 18: 7)

o Janda (Lukas 18: 3) yang dihubungkan dengan orang-orang pilihan Allah (Lukas 18:7)

o Ketekunan janda (Lukas 18: 3) dgn ketekunan dan iman orang-orang pilihan (Lukas 18: 7-8)

· Adanya hubungan yang erat antara:

o Tujuan perumpamaan (Lukas 18: 1)

o Isi perumpamaan (Lukas 18:2-5)

o Makna perumpamaan (Lukas 18: 6-7) dan

o Kesimpulan perumpamaan (Lukas 18: 8b)

· Lukas 18:9-14 mengisahkan topik baru, yaitu sikap yang benar di hadapan Allah, yang merupakan unit yang berbeda dengan Lukas 18:1-8.

Kesimpulan: Lukas 18:1-8 merupakan satu unit pikiran yang berbeda.

PENJELASAN:

I. Lukas 17: 20-37 Kesulitan besar akan mendahului kedatangan Anak Manusia.

Membaca Lukas 18:1-8 lepas dari Lukas 17:20-37 akan menghilangkan konteks dari tujuan untuk apa perumpamaan itu diberikan. Di dalam pembagian struktur Injil Lukas 18:1-8 terletak pada bagian perjalanan Yesus ke Yerusalem. Dalam menceritakan kisah perjalanan Yesus ke Yerusalem, salah satu tema teologis yang penting dalam Injil Lukas adalah tema eskatologis.[2] Di dalam tema eskatologis ini, poin penting yang Lukas ingin sampaikan adalah bahwa Kedatangan Kerajaan Allah akan didahului oleh berbagai kesulitan dan penderitaan yang besar (Lukas 17:22-36). Karena itu tidak heran jika akhirnya muncullah dua buah pertanyaan dalam Lukas 17:20-37.

Keindahan struktur dari perikop ini terletak pada ketelitian Lukas meletakkan dua buah pertanyaan tersebut pada awal dan akhir perikop sehingga membentuk sebuah inklusio. Pertanyaan pertama adalah pertanyaan orang-orang Farisi dalam Lukas 17:20, “Atas pertanyaan orang-orang Farisi, apabila Kerajaan Allah akan datang, Yesus menjawab, kata-Nya: . . .” Kata sambung ‘apabila’ dalam ayat tersebut lebih cocok diterjemahkan ‘kapan’ karena bentuk Yunani dari kata itu adalah “po,te.”[3] Jadi, pertanyaan pertama adalah tentang waktukedatangan Kerajaan Allah. Pertanyaan kedua adalah pertanyaan murid-murid Tuhan Yesus dalam Lukas 17:37, “Kata mereka kepada Yesus: “Di mana Tuhan?” Pertanyaan kedua ini jelas menanyakan tempat kedatangan Kerajaan Allah tersebut. Dengan demikian, dua buah pertanyaan yang muncul dalam narasi eskatologis adalah kapan dan di mana.

Dua buah pertanyaan ini sangat mungkin lahir dari keinginan yang kuat untuk lepas dari penderitaan dan kesulitan hidup yang mereka sedang alami pada waktu itu. Kejamnya penjajahan Romawi begitu menekan kehidupan Yahudi. Tekanan dan keputusasaan ini semakin bertambah dengan kehancuran Yerusalem dan Bait Allah pada tahun 70 M.[4] Bait Allah adalah lambang kehadiran dan perkenanan Allah atas umat Ibrani pada waktu itu. Hancurnya bait Allah akan sangat mungkin memunculkan keputusasaan bahwa Yahweh telah meninggalkan mereka. Jadi tidak heran jika kedua pertanyaan ini muncul seiring dengan penulisan narasi eskatologis.

Pertanyaan kapan dan di mana Kerajaan Allah akan datang adalah penting untuk diperhatikan karena sangat berkaitan dengan perumpamaan yang mengikutinya dalam Lukas 18:1-8. Di dalam perikop selanjutnya, Yesus menjawab dua buah pertanyaan ini dengan sebuah perumpamaan.

II. Lukas 18:1-8 Sikap orang percaya dalam penantian eskatologis adalah dengan cara selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu.

A. Lukas 18: 1, Tujuan perumpamaan: supaya murid-murid menyatakan sikap iman melalui doa yang tidak jemu-jemu dalam penantian eskatologis.

Di dalam terang perikop sebelumnya, tujuan dari perumpamaan ini adalah untuk menjawab dua buah pertanyaan di atas. Lukas mencatat bahwa perumpamaan ini dikatakan untuk “. . . menegaskan, bahwa mereka harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu.” Sekilas tidak tampak hubungan antara dua buah pertanyaan di atas dengan tujuan perumpamaan ini. Namun, kedua perikop ini sebenarnya memiliki keterkaitan yang erat. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa penegasan yang ingin Tuhan Yesus berikan adalah bukan kapan dan di manaKerajaan Allah itu akan datang, tetapi bagaimana murid-murid harus menyikapinya.

Kata “mereka” dalam Lukas 18: 1 jelas merujuk kepada murid-murid-Nya sebagaimana diawali dalam konteks Lukas 17:22, “Dan Ia berkata kepada murid-murid-Nya: . . .” Sangat mungkin Lukas memiliki dua alasan memasukkan bagian ini dalam kelompok ‘perjalanan Yesus ke Yerusalem.’ Pertama, hal ini dimaksudkan sebagai antisipasi untuk menguatkan para murid ketika Kristus harus mengalami penderitaan sebagaimana dituangkan dalam narasi penderitaan (passion narrative). Kedua, Lukas menuliskan bagian ini sebagai antisipasi untuk menguatkan orang-orang percaya non-Yahudi, secara khusus Teofilus, yang pada waktu itu banyak mengalami tekanan dari militer Romawi.[5]

Letak yang tidak biasa dari tujuan perumpamaan (yaitu di awal perikop) mengindikasikan usaha Lukas untuk mengusung tema tertentu dalam tulisannya. Sekalipun dalam pembukaan tulisannya Lukas mengatakan bahwa ia “. . . membukukan dengan teratur . . .” (1:3), dari segi genre seperti Injil-Injil yang lain, Injil Lukas tetap lebih merupakan sebuah buku pengajaran (katekisasi) ketimbang buku sejarah (historiografi). Sebagai sebuah buku pengajaran, Injil Lukas memiliki persepsi tertentu dalam memandang pribadi dan karya Kristus. Salah satu penekanannya berkaitan dengan tema “the delay of the Second Coming.”[6] David de Silva menggambarkan hal ini sebagai berikut:

In Luke’s account of Jesus’ teaching, there is a pronounced emphasis on combating expectation of God’s final intervention happening immediately. This would have been quiet appropriate in the context of Jesus’ own ministry, since ancient people typically looked for a person identified as the Messiah to act at once to bring about God’s purposes for the nation of Israel, leading the nation in a successful revolt against the Gentiles overlords and restoring political independence.[7]

Berbeda dari penekanan Injil-Injil yang lain, Lukas memandang bahwa fokus dalam penantian Kerajaan Allah bukanlah pada cepat atau lambatnya Kerjaan itu datang, tapi pada bagaimana orang-orang Kristen mengisi masa-masa penantian itu. Dalam hal ini yaitu dengan doa yang tidak jemu-jemu.

Makna ‘berdoa dengan tidak jemu-jemu’ dalam Lukas 18: 1 sangat berbeda dari Matius 6:7-8 tentang larang untuk berdoa dengan bertele-tele. ‘Berdoa dengan tidak jemu-jemu’ digambarkan melalui keteguhan dan kegigihan (persistence) janda dalam perumpamaan ini. ‘Berdoa dengan tidak jemu-jemu’ mengandung makna sebagai berikut: pertama, berdoa dengan keteguhan dan kegigihan (Lukas 18:3, khususnya ditekankan melalui kata ‘selalu’). Ada usaha yang ditunjukkan; kedua, berdoa dengan iman bahwa Allah mendengar dan akan segera menjawab doa tersebut (Lukas 18: 7-8). Ada penyerahan diri kepada Allah. Sebaliknya, berdoa dengan bertele-tele lahir dari hati yang tidak percaya kepada Allah. Dengan demikian, ‘berdoa dengan tidak jemu-jemu’ adalah kebalikan dari ‘berdoa dengan bertele-tele.’

B. Lukas 18: 2-5, Isi perumpamaan Lukas 18: 2, Hakim Yang Lalim

Di awal perumpamaan ini, Tuhan Yesus memunculkan sosok hakim sebagai tokoh antagonis. Keindahan pemilihan tokoh ini akan menjadi jelas jika dihubungkan dengan latar belakang budaya Yahudi dan tema yang sedang dipaparkan oleh Lukas.

Dalam budaya Yahudi, hakim adalah orang dengan kuasa yang luar biasa. Hakim adalah wakil Allah untuk menyatakan keadilan dan kebenaran bagi mereka yang tertindas. Dalam kebudayaan Ibrani, hakim adalah pemegang keputusan terakhir, tanpa juri atau naik banding. Praktis hakim harus selalu didasarkan pada hukum Musa sebagai dasar kebenaran.[8] Dalam konteks Yudaisme, takut akan Allah merupakan syarat mutlak bagi seorang hakim (2 Tawarikh 19:6-7). Sebaliknya, hakim dalam perumpamaan Tuhan Yesus memiliki karakter yang bertolak belakang dari karakter yang seharusnya dimiliki oleh seorang hakim. Hakim dalam perumpamaan ini tidak takut akan Allah dan tidak menghormati seorangpun. Dengan menyatakan karakter hakim seperti ini, Tuhan Yesus ingin memperlihatkan betapa bobrok dan bejatnya hakim itu.

Berkaitan dengan tema eskatologis sebagai bingkai perumpamaan ini, maka Anak Manusia digambarkan akan datang kembali sebagai Hakim untuk menyatakan keadilan dan kebenaran Allah yang sejati bagi seluruh umat manusia (Lukas 18:8 band. Matius 19:28). Dengan menggunakan sosok hakim yang lalim ini, Tuhan Yesus ingin memunculkan kontras yang sangat menyolok antara hakim duniawi dan Hakim Ilahi. Kontras ini nantinya akan sangat berguna dalam pengembangan argumen a minori ad maius (dari yang kecil menuju kepada hal yang lebih besar).[9]Lukas 18: 3, Janda Yang Tekun.

Di dalam budaya Yahudi yang patriarkhal, wanita (secara khusus janda) merupakan kelompok masyarakat yang tersubordinasi, baik dalam lingkup politik, religius, maupun sosial.[10] Lebih buruk lagi, janda merupakan sosok yang amat mengenaskan. Dalam konteks masyarakat Yahudi pada waktu itu, mereka biasanya adalah orang-orang yang kekurangan dan tanpa pertolongan.[11] Janda adalah orang-orang tanpa pertahanan dalam masyarakat Ibrani. Perjanjian Lama menunjukkan bahwa mereka seringkali ditekan (Maleakhi 3:5), diperas (Keluaran 22:22-24), dan menjadi korban hukum serta pengadilan (Yesaya 1:17, 23).[12] Di sisi yang lain, janda seringkali digambarkan sebagai penerima kebaikan dan pertolongan Allah. Mazmur 68:5 menyatakan bahwa “ . . Allah adalah . . . Pelindung bagi para janda.”

Berbanding terbalik dengan konteks budaya Yahudi pada waktu itu, Lukas dalam Injilnya memberikan penghargaan yang sangat positif bagi kaum wanita dan janda.[13] Dalam perumpamaan ini, janda tersebut merupakan protagonis yang menerima tekanan masyarakat dan ketidakadilan sosial. Itu sebabnya ia berkata kepada hakim itu, “Belalah hakku terhadap lawanku.” ( Lukas 18:3). Namun, sistem peradilan kuno adalah milik laki-laki. Fakta bahwa janda ini datang sendirian ke pengadilan menunjukkan bahwa ia tidak memiliki satu pun kerabat yang dapat membawa perkaranya ke pengadilan. Ia juga harus terus-menerus membawa perkaranya ke pengadilan. Hal ini menunjukkan kemiskinannya (ia tidak mampu menyogok hakim itu agar membuat perkaranya lebih cepat ditangani). Itu juga merupakan alasan mengapa hakim itu menolak mengurus perkaranya.[14]

Selain itu, janda ini juga digambarkan sebagai seorang wanita yang gigih dan tulus. Kegigihannya tampak jelas pada penggunaan kata “selalu” (Lukas 18: 3) dan “terus saja” (Lukas 18: 5). Frase “beberapa waktu lamanya” dalam ayat 4a juga menyiratkan hal yang sama. Ketulusan janda ini dinyatakan melalui penggunaan kata “hak” dan kata “έκδικεω” (to avenge). Kata “hak” pada ayat 3 menunjukkan bahwa janda ini sebenarnya tidak menginginkan balas dendam, tapi keadilan atas perkaranya. Besar kemungkinan, ini adalah perkara keuangan dimana lawannya menahan hak yang seharusnya adalah miliknya.[15] Hal ini juga ditegaskan oleh NIGTC bahwa kata “έκδικεω” yang diterjemahkan ‘to avenge’ bukan berarti ‘bermaksud membalas dendam’, melainkan “to procure justice for someone.”[16] Hal ini membuktikan bahwa janda itu berada pada posisi orang yang benar. Ia datang kepada hakim itu supaya perkaranya dibela dan ia mendapatkan keadilan sebagaimana mestinya. Lebih jauh lagi, apa yang diinginkan oleh janda itu bukanlah supaya lawan perkaranya dihukum, tapi apa yang seharusnya menjadi haknya diberikan kepadanya oleh lawannya. Kegigihan janda ini nantinya (Lukas 18: 7) akan dihubungkan dengan keteguhan iman orang-orang pilihan Allah yang nyata dalam doa yang tidak jemu-jemu (siang malam berseru kepada Allah).Lukas 18: 4-5, Respon Hakim Yang Lalim Terhadap Ketekunan Janda.

Lukas mencatat bahwa hakim ini memberikan respon yang bertahap. Pertama, ia menolak untuk beberapa waktu lamanya. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa hal: karena perkara ini dibawa oleh seorang janda, atau juga karena janda itu tidak mampu membayar uang suap kepada hakim itu. Kedua, ia akhirnya bersedia membenarkan janda tersebut (membela perkara janda itu).

Respon kedua muncul bukan karena belas kasihan kepada janda yang tertindas itu. Lukas 18: 5 berisi motivasidan tujuan hakim itu membela perkara janda tersebut. Motivasinya adalah karena janda itu menyusahkan dia, sedangkan tujuannya adalah supaya jangan terus saja janda itu datang dan akhirnya menyerang dia. Dua hal ini – motivasi dan tujuan – selaras dengan karakter hakim itu, yaitu tidak takut akan Allah dan tidak menghormati seorangpun. Ia hanya memikirkan kepentingannya sendiri. Dalam perbandingan dengan Lukas 18: 7-8, respon hakim ini sangat bertolak belakang dengan respon Allah atas permohonan orang-orang percaya.

Kata “ὑπωπιάζω” (Lukas 18: 5: ‘menyerang’) merupakan kiasan bagi kalimat “to strike under the eye” atau “to give a black eye to.”[17] Menarik untuk diperhatikan bahwa kata ini merupakan kata yang khusus dipakai dalam pertandingan tinju dimana seorang petinju berhasil memukul mata lawan sehingga lawan terjatuh. Dengan menggunakan kata ini, Lukas tidak bermaksud menyatakan bahwa janda itu merencanakan penyerangan secara fisik, tetapi kata ini menunjukkan betapa kewalahannya sang hakim menghadapi janda tersebut. Lebih jauh lagi, kata ini menggambarkan ketakutan hakim itu untuk dipermalukan di depan umum karena janda ini terus-menerus memohon supaya perkaranya dibela. Hakim ini merasa bahwa reputasinya akan terancam dan sangat mungkin dijatuhkan di depan umum karena sikap janda ini.

C. Lukas 18: 6-8a, Makna Perumpamaan hakim yang lalim.Lukas 18: 6 dimulai dengan ajakan Tuhan Yesus untuk memperhatikan dengan seksama apa yang dikatakan hakim itu. Otoritas Yesus sebagai Tuhan yang disembah ditekankan dengan kuat melalui pemunculan kata “o` Ku,rioj” (Tuhan) secara tiba-tiba ditengah perikop ini sebagai sisipan yang mengikat antara isi (Lukas 18: 2-5) dan makna (Lukas 18:7-8a) perumpamaan.

Dua pertanyaan yang Tuhan Yesus ajukan dalam Lukas 18: 7 merupakan pertanyaan retoris yang langsung dijawab di Lukas 18: 8a. Bagian ini menggambarkan keindahan argumen a minori ad maius dalam hubungan paralelisme antara: pertama, hakim yang lalim yang dikontraskan dengan Allah, sebagai Hakim yang Adil; kedua, janda yang dihubungkan dengan orang-orang pilihan Allah; ketiga, ketekunan janda dengan ketekunan (iman) orang-orang pilihan Allah. Bunyi argumen tersebut adalah sebagai berikut: “jika hakim yang lalim itu, yang tidak takut akan Allah dan tidak menghormati manusia, dapat akhirnya membela perkara si janda (orang dengan status sosial yang sangat rendah dan tidak berdaya), apalagi Allah sebagai Hakim yang Benar dan Adil. Ia pasti akan segera membenarkan (membela perkara) orang-orang percaya (yang sangat dikasihi-Nya jauh melebihi janda itu).”[18]

Hal lain yang dapat disimpulkan dari pertanyaan retoris Tuhan Yesus adalah: pertama, Allah tidak pernah terlambat (atau lambat) dalam menyatakan pertolongan-Nya bagi orang percaya; kedua, ketika Allah (seolah-olah) mengulur-ulur waktu/menunda pertolongan-Nya, Ia melakukannya karena dua alasan: pertama, untuk menunjukkan kesabaran dan kasih-Nya kepada orang-orang yang berdosa supaya mereka bertobat; kedua, untuk memberi kesempatan bagi orang-orang pilihan-Nya untuk mengalami ujian bagi iman mereka.[19]

BACA JUGA: EKSPOSISI LUKAS 18:1-8 (BERDOA DENGAN TEKUN)

D. Lukas 18: 8b, Kesimpulan: Apakah Anak Manusia akan mendapati sikap iman (tercermin melalui doa yang tidak jemu-jemu) dalam diri murid-murid ketika Ia datang untuk kedua kalinya?Lukas 18: 8b merupakan penutup perikop ini sekaligus membentuk inklusio dengan ayat 1, yaitu antara “penegasan untuk berdoa dengan tidak jemu-jemu dalam penantian eskatologis” dan “iman (dalam bentuk doa yang tidak jemu-jemu) dalam penantian eskatologis.” Lukas 18: 1 dinyatakan dalam bentuk pernyataan, sedangkan Lukas 18: 8b dinyatakan dalam bentuk pertanyaan. Iman yang Tuhan Yesus maksudkan dalam bagian ini jelas merujuk kepada ketekunan dan kesetiaan janda dalam perumpamaan yang dipaparkan sebelumnya. Ayat ini menyimpulkan apa yang Tuhan Yesus siratkan dalam perumpamaan ini, yaitu bukan masalah kapan (waktu) dan di mana (tempat) Kerajaan Allah itu akan datang, tetapi bagaimana murid-murid harus menyikapinya. Murid-murid harus menyikapinya dengan iman melalui doa yang tidak jemu-jemu. Yudi Jatmiko.

Amanat Teks:

“Sikap iman dalam bentuk doa yang tidak jemu-jemu adalah sikap yang benar dalam penantian eskatologis karena Allah akan segera membenarkan orang-orang pilihan-Nya.”

Ikuti saya di google news untuk membaca artikel lainnya :


PUSTAKA: LUKAS 18:1-8 (HAKIM YANG LALIM)

“The Care of Widows and Orphans in the Bible and the Ancient Near East” NIV Archaeological Study Bible(Grand Rapids: Zondervan, 2005).

de Silva D. A., An Introduction to the New Testament Context, Methods, and Ministry Formation (Downers Grove: Intervarsity, 2004).

Elwell W. A., ed., Evangelical Dictionary of Theology (Grand Rapids: Baker, 1990).

Evans C. A. and Porter S. E., eds., “Woman in Greco-Roman World and Judaism” dalam Dictionary of the New Testament Background (Illinois: IVP, 2000).

Gerhard K., and Gerhard F., eds., “χήρα” dalam Theological Dictionary of New Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1974).

Gerhard K., ed., “κριτής” dalam Theological Dictionary of New Testament 2 (Grand Rapids: Eerdmans, 1975).

Green J. B., The New International Commentary on the New Testament: The Gospel of Luke (Grand Rapids: Eerdmans, 1997) 25-29

Harn R. E. V., ed., The Lectionary Commentary: Theological Exegesis for Sunday’s Text (Grand Rapids: Eerdmans, 2001).

Marshall I. H., New International Greek Testament Commentary: Commentary on Luke ( Grand Rapids: Eerdmans, 1986).

Reid D. G., ed., The IVP Dictionary of the New Testament (Illinois: IVP, 2004).

Unger M. F. and White W., Jr., eds., Vine’s Complete Expository Dictionary of Old and New Testament Words (Nashville: Thomas Nelson, 1996).

JURNAL:
Stephen Curkpatrick, “Dissonance in Luke 18:1-8.” Jounal of Biblical Literature 121/1 (Spring 2002) 107-121.

[1]J. B. Green, The New International Commentary on the New Testament: The Gospel of Luke (Grand Rapids: Eerdmans, 1997) 25-29 dan D. A. de Silva, An Introduction to the New Testament Context, Methods, and Ministry Formation (Downers Grove: Intervarsity, 2004) 311.

[2]W. A. Elwell, ed., Evangelical Dictionary of Theology (Grand Rapids: Baker, 1990) 663.

[3]M. F. Unger and W. White, Jr., eds., Vine’s Complete Expository Dictionary of Old and New Testament Words (Nashville: Thomas Nelson, 1996) 672.

[4]de Silva, An Introduction 308-309.

[5]Kristen pada waktu itu dianggap sebagai agama subversif, yaitu agama yang menentang Kaisar secara politik dan dipandang sebagai agama para pemberontak. (de Silva, An Introduction 328).

[6]Ibid. 332.

[7]Ibid.

[8]Gerhard, ed., “κριτής” dalam TDNT 2. 936-938 dan R. E. V. Harn, ed., The Lectionary Commentary: Theological Exegesis for Sunday’s Text (Grand Rapids: Eerdmans, 2001) 429.

[9]Hubungan hakim dan janda itu menggambarkan ‘jika hakim yang lalim itu, yang tidak takut akan Allah dan tidak menghormati manusia, dapat akhirnya membela perkara si janda (orang dengan status sosial yang sangat rendah dan tidak berdaya), apalagi Allah sebagai Hakim yang Benar dan Adil. Ia pasti akan segera membenarkan (membela perkara) orang-orang percaya (yang sangat dikasihi-Nya jauh melebihi janda itu). Dengan demikian, analogi ini merupakan analogi “dari yang kecil menuju kepada hal yang lebih besar.” (Stephen Curkpatrick, “Dissonance in Luke 18:1-8.” Jounal of Biblical Literature 121/1 [Spring 2002] 107-121).

[10]C. A. Evans and S. E. Porter, eds., “Woman in Greco-Roman World and Judaism” dalam Dictionary of the New Testament Background (Illinois: IVP, 2000) 1276-1280.

[11]I. H. Marshall, New International Greek Testament Commentary: Commentary on Luke ( Grand Rapids: Eerdmans, 1986) 672.

[12]“The Care of Widows and Orphans in the Bible and the Ancient Near East” NIV Archaeological Study Bible (Grand Rapids: Zondervan, 2005) 285.

[13]Injil Lukas adalah Injil yang memberikan perhatian yang paling besar bagi sosok wanita dan janda. (D. G. Reid, ed., The IVP Dictionary of the New Testament [Illinois: IVP, 2004] 1101). Hal ini juga dipaparkan dalam de Silva, An Introduction 332.

[14]J. B. Green, The New International Commentary on the New Testament: The Gospel of Luke (Grand Rapids: Eerdmans, 1997) 639-640.

[15]K. Gerhard and F. Gerhard, eds., “χήρα” dalam TDNT 8. 444-452.

[16]Marshall, New International Greek Testament Commentary 672.

[17]Marshall, New International Greek Testament Commentary 673.

[18]Curkpatrick, “Dissonance”108-109.

[19]Marshall, New International Greek Testament Commentary 674-675.
LUKAS 18:1-8 (HAKIM YANG LALIM).
Next Post Previous Post