BELAJAR DARI SANG TABIB LUKAS (LUKAS 1:1-4)
Pdt.Esra Alfred Soru.
Lukas 1:1-4
Injil Lukas yang kita miliki sekarang ini dipercaya sebagai hasil karya seorang yang bernama Lukas. Siapakah Lukas ini sesungguhnya? Dari data Alkitab kita mengetahui bahwa sesungguhnya Lukas adalah seorang tabib/dokter yang adalah rekan pelayanan Paulus (Kolose 4: 14). Menariknya adalah bahwa Lukas ini ternyata bukanlah seorang Yahudi (Kolose 4:10-11,14). Ia berasal dari Antiokhia di Siria.
gadget, bisnis, otomotif |
Dengan demikian Lukas adalah satu-satunya penulis PB yang bukan orang Yahudi. Tradisi juga mengatakan bahwa Lukas juga adalah seorang pelukis yang sangat mahir. Sebuah lukisan Maria dalam sebuah Katedral di Spanyol saat ini dianggap sebagai hasil karya Lukas. Lepas dari benar tidaknya tradisi ini namun memang tidak dapat dipungkiri bahwa perasaan seorang seniman melekat pada diri seorang Lukas dan itu nampak dalam Injil yang ditulisnya.
William Barclay memberikan penilaian kepada Lukas sebagai ‘seorang yang mampu melihat hal-hal yang hidup’. (Pemahaman Alkitab Setiap Hari – Injil Lukas; hal. 1) Selain Injil Lukas, tabib Lukas juga menulis kitab yang lain yakni Kisah Para Rasul. (lihat : Kisah Para Rasul 1:1)
Sesuai dengan judul tulisan ini “PELAJARAN DARI SANG TABIB LUKAS”, baiklah kita akan melihat hal apa yang dapat kita pelajari dari tabib Lukas ini. Namun sebelum melihat apa yang dapat kita pelajari, baiklah kita perhatikan beberapa hal yang berkenaan dengan Injil karangan Lukas ini. Kalau kita mempelajari dengan seksama dan mendalam tentang Injil Lukas maka kita akan menemukan hal-hal yang sangat indah di dalamnya. Beberapa hal yang dapat dicatat tentang Injil ini adalah :
Gaya penulisan populer
Dalam pendahuluannya (Lukas 1:1-4) Lukas memakai suatu gaya penulisan yang populer waktu itu di kalangan para cendikiawan dan ahli-ahli sejarah. Bandingkan kata-kata Lukas ini dengan kata-kata Herodotus : “Inilah hasil-hasil penyelidikan Herodotus dari Halicarnassus” maupun Dionysius : “Sebelum mulai menulis aku mengumpulkan informasi, sebagian dari mulut-mulut orang terpelajar yang aku hubungi dan sebagian lagi dari sejarah-sejarah yang ditulis oleh orang-orang Romawi yang ternama”. Ini berarti bahwa lewat Injilnya Lukas hendak mengatakan bahwa apa yang ditulisnya tidak kalah bobot dan nilainya dari tulisan-tulisan sejarah yang diakui zaman itu bahkan tulisannya adalah yang paling mulia.
Bahasa Yunani terbaik
Hal lain yang menarik dari Injil Lukas ini adalah bahwa bahasa Yunani yang terbaik dalam PB terdapat dalam Injil Lukas. Perhatikan beberapa komentar berikut ini : William Barclay : “Empat ayat pertama merupakan bahasa Yunani yang hampir-hampir tanpa cacat dalam Perjanjian Baru”. (Pemahaman Alkitab Setiap Hari – Injil Lukas; hal. 3). Alkitab Hidup Berkelimpahan : “Kitab ini mempunyai kesusastraan terbaik dari semua Injil, menunjukkan gaya penulisan dan isi yang luar biasa, kosa kata kaya dan penguasaan bahasa Yunani yang baik sekali”.
B.J. Boland : “Bahasa dan gaya tulisannya membuktikan bahwa pengarang adalah tergolong “orang-orang cendekiawan” pada zaman dahulu itu. Ditinjau dari sudut bahasa, Injil karangan Lukas melebihi segala kitab dan surat lain dalam Perjanjian Baru. Sekalipun Lukas menggunakan bahasa Koine (= semacam bahasa Yunani sehari-hari), setiap kali ternyata bahwa ia juga mengenal bahasa “Yunani tinggi” dengan baik” (Tafsiran Alkitab Injil Lukas; hal. 4)
Injil yang terlengkap
Injil Lukas adalah Injil yang paling lengkap yang menginformasikan kepada kita kehidupan Sang Juruselamat di bumi ini, mulai dari kelahiran hingga kenaikan-Nya ke sorga. Injil ini dimulai dengan kisah masa bayi yang paling lengkap (Lukas 1:5-2:40) dan satu-satunya pandangan sekilas di dalam Injil-Injil mengenai masa pra remaja Yesus (Lukas 2:41-52). Dapat dilihat pula bahwa setelah menceritakan pelayanan Yohanes Pembaptis dan memberikan silsilah Yesus, Lukas membagi pelayanan Yesus ke dalam tiga bagian besar: (1) Pelayanan di Galilea dan sekitarnya (Lukas 4:14-9:50) (2) Pelayanan pada perjalanan terakhir ke Yerusalem (Lukas 9:51-19:27) (3) Minggu terakhir di Yerusalem (Lukas 19:28-24:43).
Injil yang sangat teliti
Injil Lukas adalah Injil yang sangat teliti di mana nampak bahwa profesi Lukas sebagai seorang tabib membuat ia menaruh perhatian yang detail kepada masalah-masalah penyakit . Misalnya ketika menceritakan sakit demam yang diderita mertua Petrus, Lukas menyebutnya lebih detail bahwa mertua Petrus sementara menderita demam keras (Lukas 4:38) padahal Matius dan Markus hanya menyebut sakit demam saja (Matius 8:14; Markus 1:30). Ketika menggambarkan orang yang sakit kusta, Matius dan Markus hanya menyebutkan seorang yang sakit kusta (Matius 8:2; Markus 1:40) namun Lukas memberikan keterangan bahwa orang tersebut ‘penuh kusta’ (Lukas 5:12).
Ketika menceritakan seorang yang mati tangannya, Matius dan Markus hanya menggambarkan bahwa orang tersebut mati sebelah tangannya (Matius 12:10; Markus 3:1) namun Lukas menginformasikan bahwa tangan yang mati itu adalah tangan kanan (Lukas 6:6). Demikian pula Lukas mencatat dengan jelas bahwa telinga perwira yang dipotong Petrus itu adalah telinga kanan (Lukas 22:50) sedangkan Matius dan Markus tidak menyebutkannya (Matius 26:51 Markus 14:47).
Dari semua ini kita ketahui bahwa dokter Lukas mencatat semua peristiwa mujizat dengan sangat hati-hati hingga detailnya, lebih dari Matius dan Markus. Ini sesuai dengan apa yang dijelaskannya dalam bagian pendahuluan: “aku menyelidiki segala peristiwa itu dengan seksama…untuk membukukannya dengan teratur bagimu…” Selain itu dapat pula ditambahkan bahwa dalam Injilnya, tabib Lukas memberikan catatan sejarah sekuler yang akurat yang tidak/kurang disebutkan dan mendapat perhatian dari Injil yang lain (Lukas 3:1-2).
Dari semua yang sudah dicatat tentang tabib Lukas dan Injilnya ini kita dapat melihat satu hal yang sangat indah bahwa Lukas tahu memberikan atau mempersembahkan yang terbaik darinya untuk Juruselamatnya, Yesus Kristus. Bagi Lukas, Yesus Kristus adalah pribadi yang unik dan karenanya Ia layak menerima segala yang terbaik. Ini seharusnya menjadi pelajaran bagi kita bahwa dalam hidup kekristenan kita, Kristus seharusnya menerima segala yang terbaik dari kita karena Ia sudah terlebih dahulu memberikan yang terbaik bagi kita (hidup-Nya sendiri).
Sangatlah disayangkan ada banyak orang Kristen tidak menyadari hal ini. Itulah sebabnya mereka tidak tahu memberikan yang terbaik bagi Juruselamatnya. Bahkan para penganut kepercayaan kafir pun mengerti satu prinsip bahwa yang terbaiklah yang harus diberikan pada sesembahan mereka. Seorang misionaris di pedalaman Afrika pernah menyaksikan seorang ibu sementara menuju ke sebuah sungai sambil menggendong seorang anaknya yang cacat dan menggandeng seorang anaknya yang sangat sehat.
Beberapa saat kemudian ia melihat ibu itu kembali dari sungai tanpa anaknya yang sehat itu. Rupanya ibu itu telah melemparkan anaknya ke sungai sebagai persembahan bagi dewanya. Misionaris itu bertanya “mengapa engkau tidak melemparkan anakmu yang cacat saja ke sungai itu tetapi justru anakmu yang sehat?” dan ternyata jawaban ibu itu mengagetkan sang misionaris : “Tuan, aku tidak tahu apa kepercayaan/agama tuan dan apa yang diajarkan dalam agama tuan tapi dalam kepercayaan kami, kami diajarkan untuk memberikan yang terbaik bagi dewa kami”. Luar biasa! Sungguh kita seharusnya malu terhadap orang-orang kafir itu karena kita tidak tahu memberi yang terbaik bagi Tuhan kita.
Dalam Alkitab kita dapat menemukan begitu banyak contoh yang mengajarkan prinsip semacam ini. Kita mengetahui bahwa Maria rela memberikan dan menuangkan minyak narwastu murni yang sangat mahal harganya di kaki Yesus (Yohanes 12:3). Kita juga menemukan peristiwa di mana janda miskin memberikan seluruh uangnya (2 peser) kepada Allah (Lukas 21:2-4). Kehidupan Paulus juga memberikan contoh tentang prinsip ini. Ia telah memberikan seluruh hidupnya untuk melayani Kristus bahkan mati dianggapnya sebagai keuntungan (Filipi 1:21; 3:7). Para Majus juga melakukan hal yang sama. Hasil-hasil terbaik dari negeri mereka (mas, mur dan kemenyan) justru dipersembahkan di hadapan Yesus, Raja yang baru lahir itu (Matius 2).
Belajar dari sang tabib Lukas ini harus membuat kita tahu dan sadar untuk mempersembahkan yang terbaik bagi Yesus. Kalau anda bisa bernyanyi, bernyanyilah yang terbaik untuk Yesus (jangan bermain-main dalam memuji Tuhan atau dalam beribadah). Kalau anda bisa bermain musik, bermainlah yang terbaik bagi Yesus. Kalau anda ingin memberikan persembahan/kolekte, berilah yang terbaik bagi Yesus (bukan dari sisa belanja).
Kalau anda bisa berkhotbah, berkhotbahlah yang terbaik demi Yesus. Kalau anda bisa mengajar Sekolah Minggu, mengajarlah yang terbaik demi Yesus. Kalau anda bisa menulis, menulislah yang terbaik bagi Yesus. Kalau anda ingin menyerahkan seorang anakmu menjadi hamba Tuhan / Pendeta, serahkanlah yang terbaik, yang terpintar dan yang paling taat bagi Yesus (bukan menyerahkan yang paling bodoh atau yang paling nakal). Kalau anda mampu berargumentasi/berapologia dengan baik, berapologialah yang terbaik bagi Yesus dan kebenaran Firman-Nya dalam menghadapi semua penyimpangan kebenaran. Kalau anda dikaruniai kemampuan mencipta lagu, ciptalah lagu yang terbaik bagi Yesus sama seperti yang dibuat Fanny Crosby.
Singkatnya, apa saja yang kita buat dalam dunia, kita harus melakukannya dengan sungguh-sungguh dan yang terbaik buat Tuhan dan Juruselamat kita Yesus Kristus. Saya percaya bahwa Yesus tentu bangga dan senang dengan apa yang telah dibuat oleh tabib Lukas. Saya juga percaya bahwa Yesus pun bangga dan hati-Nya akan disenangkan ketika melihat umat tebusan-Nya melakukan dan mempersembahkan segala yang terbaik dalam hidup mereka bagi kemuliaan nama-Nya. Marilah kita belajar memberi yang terbaik bagi Yesus dengan satu tujuan agar dapat menyenangkan hati-Nya. SUDAHKAH PERBUATAN KITA MENYENANGKAN HATI-NYA? SUDAHKAH HIDUP KITA MEMBUAT YESUS PUAS?
PELAJARAN DARI SANG TABIB LUKAS (Part 2)
Lukas 1:1-4
Dalam bagian pertama tulisan ini kita sudah belajar bersama dari sang tabib Lukas di mana ia menulis Injilnya sedemikian rupa (Injil dengan gaya tulis populer, Injil dengan bahasa Yunani terbaik, Injil yang paling lengkap, Injil yang paling teliti, Injil yang menyinggung sejarah sekuler). Hal ini menunjukkan bahwa Lukas tahu memberikan yang terbaik kepada Juruselamatnya. Demikian pula seharusnya kita.
Pada bagian kedua ini kita masih akan tetap belajar dari tabib Lukas dan melihat sisi lain dari apa yang sudah kita dengar. Satu hal yang dapat kita catat lagi tentang Injil Lukas adalah bahwa Lukas menuliskan Injilnya sebagai Injil bagi orang non Yahudi (gentile). Karena Lukas bukan orang Yahudi maka ia memang tidak menulis Injilnya kepada orang Yahudi. Ini berbeda dengan Matius yang mengkhususkan Injilnya untuk orang Yahudi. Itulah sebabnya dalam Injilnya, Matius banyak mengutip PL (kira-kira sebanyak 60 kutipan) untuk membuktikan pada orang Yahudi bahwa sesungguhnya Yesus adalah Mesias yang dijanjikan dalam PL. Namun karena Lukas menujukan Injilnya bagi orang non Yahudi maka ia jarang sekali mengutip PL. Berikut ini adalah bukti-buktinya :
Injil Lukas secara khusus dialamatkan untuk seorang yang bernama “TEOFILUS”.
Siapakah Teofilus ini? Ada penafsir yang berpendapat bahwa ‘Teofilus’ bukanlah nama seseorang, tetapi maksudnya adalah ‘orang-orang Kristen’. Alasannya adalah : (1) Tidak mungkin Lukas menuliskan Injilnya hanya untuk satu orang saja. (2) Nama “Teofilus” berasal dari 2 kata Yunani, yaitu THEOS (= God / Allah) dan PHILIA (= love / kasih), sehingga ‘Teofilus’ = God-lover / God-beloved / a friend of God (= pecinta Allah / orang yang dicintai Allah / sahabat Allah). Namun pendapat ini tidak kuat karena :
(1) Paulus pun menuliskan beberapa suratnya (seperti Timotius, Titus, Filemon) hanya untuk satu orang saja. Karena itu tidak aneh kalau Lukas menuliskan Injilnya untuk satu orang saja.
(2) Kata ‘mu’ / ‘engkau’ (Lukas 1: 3-4) dalam bahasa Yunaninya ada dalam bentuk singular / tunggal. Kalau ‘Teofilus’ menunjuk pada ‘orang-orang Kristen’ maka pasti Lukas menggunakan ‘mu’ / ‘engkau’ dalam bentuk plural / jamak.
(3) Adanya sebutan ‘yang mulia’ (Lukas 1: 1), tidak memungkinkan bahwa istilah ‘Teofilus’ menunjuk kepada orang-orang Kristen. Tidak ada alasan bagi Lukas untuk menyebut orang-orang Kristen dengan sebutan ‘yang mulia’
Teofilus disebut sebagai ‘yang mulia’. Dari sebutan ini kita bisa menyimpulkan bahwa Teofilus adalah orang yang mempunyai jabatan tinggi. Ini bukanlah sesuatu yang aneh pada zaman itu, dan karena itu istilah ini tidak menunjukkan Lukas sebagai orang yang menjilat. Bandingkan dengan Kis 26:25 di mana Paulus menyebut Festus dengan istilah ‘Festus yang mulia’. Ini menggunakan kata Yunani yang sama. Sebutan ini menunjukkan adanya sopan santun! Dan ini menunjukkan bahwa orang Kristen harus sopan (bdk. 1 Korintus 13:5 - ‘tak lakukan yang tak sopan’). Tetapi kalau kita melihat pada Kisah Para Rasul 1:1, maka pada waktu Lukas menuliskan Kisah Rasul kepada orang yang sama, ia tidak lagi menggunakan istilah ‘yang mulia’ ini. Ada orang yang berkata bahwa ini disebabkan karena pada saat itu Teofilus telah bertobat dan menjadi orang Kristen, gara-gara membaca Injil Lukas ini. Mayoritas penafsir setuju bahwa Teofilus ini adalah seorang pembesar kerajaan Romawi.
William Barclay berpendapat : “Ia disebut “Teofilus yang mulia” dan gelar yang diberikan kepadanya ini adalah gelar yang lazim diberikan pada waktu itu kepada seorang pejabat tinggi pemerintahan Romawi. (Pemahaman Alkitab Setiap Hari-Injil Lukas; hal. 2).
B.J. Boland juga berkata : “Mungkin sekali Teofilus adalah orang terkemuka, barangkali pegawai tinggi Romawi yang tinggal di Italia (di kota Roma?) (Tafsiran Alkitab Injil Lukas; hal. 10). Sedangkan Merril C.Tenney : “Teofilus, kepada siapa Injil ini dialamatkan mungkin adalah tokoh masyarakat bukan Yahudi yang cukup terkemuka. Lukas memberikan salam kepadanya dengan sebutan “yang mulia” yang di bagian lain dari tulisannya ia gunakan untuk para pejabat Romawi (Kisah Para Rasul 24:3;26:25). Tidak ada yang diketahui mengenai tokoh ini di luar dua sebutan kepadanya di dalam Lukas 1:3 dan Kisah Para Rasul 1:1. Dia adalah seorang Kristen yang baru bertobat yang tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang kepercayaan barunya….” (The Wycliffe Bible Commentary; hal. 216).
Lukas dengan sengaja menghindari terminologi-terminologi Ibrani (khas Yahudi)
Contoh untuk hal ini adalah dalam penyebutan Golgota di mana Matius dan Markus menyebutkan nama “GOLGOTA” (Matius 27:33; Markus 15:22) sedangkan Lukas tidak menggunakan kata ini melainkan hanya berkata “di tempat yang bernama Tengkorak” (Lukas 23:33). Di sini nampak bahwa Lukas sengaja menghindari/tidak memakai kata “Golgota” yang adalah bahasa Ibrani. Contoh lainnya adalah dalam penyebutan kata “Rabi” (sebutan untuk “guru” dalam agama Yahudi), Matius menggunakan kata “Rabi” ini sebanyak 4 kali, Markus 3 kali, Yohanes 9 kali, sedangkan Lukas sebanyak 0 (nol) kali/sama sekali tidak menggunakannya. (Band. Matius 23:6-7 dan Lukas 11:43). Di situ nampak bahwa Lukas sengaja menghilangkan kata itu.
Lukas mengindikasikan keselamatan bagi orang non Yahudi (gentile)
Dalam Injilnya Lukas juga mengindikasikan keselamatan bagi orang gentile. Mula-mula Lukas mencatat bahwa berita malaikat kepada para gembala tentang kelahiran Kristus bukan hanya berlaku bagi Israel tetapi juga semua bangsa. Lukas 2:10 berbunyi : “Lalu kata malaikat itu kepada mereka: "Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa” dan Lukas 2:14 : "Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya." Selain itu Lukas juga merunut silsilah Yesus sampai dengan manusia pertama (bahkan Allah) yang merupakan nenek moyang semua manusia. Ini jelas berbeda dengan Matius yang hanya merunut silsilah Yesus sampai pada Abraham saja sebagai bapa bangsa Yahudi. Perhatikan Matius 1:1 : “Inilah silsilah Yesus Kristus, anak Daud, anak Abraham dan Luk 3:38 : “…anak Enos, anak Set, anak Adam, anak Allah.
Selanjutnya Lukas menyebutkan orang non Yahudi dalam nyanyian Simeon (Lukas 2:32) dan mencatat pernyataan-pernyataan Yesus yang berkenaan dengan orang non Yahudi (Lukas 4:25-27; 7:9; 13:29).
Akhirnya Lukas menghiasi Injilnya dengan catatan-catatan mengenai orang Samaria (musuh orang Yahudi)
Tentang orang Samaria, Lukas mencatat bahwa Yesus pernah hendak mengunjungi orang Samaria (Lukas 9:51-56). Lukas ingin mengatakan bahwa Kerajaan Allah tidak tertutup bagi orang-orang Samaria. Selain itu hanya Lukas yang menceritakan perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati (Lukas 10:30-37) dan mencatat tentang orang kusta yang tahu berterima kasih yang adalah orang Samaria (Lukas 17:11-19). Orang Israel telah menutup pusat peribadatan (Yerusalem dan Bait Allah) bagi orang Samaria namun Lukas ingin menyampaikan bahwa Yesus telah membuka pintu Kerajaan Allah bagi mereka.
Semua fakta ini memperlihatkan kepada kita bahwa Lukas memang dengan sengaja menulis Injilnya untuk orang non Yahudi. Apakah yang dapat kita pelajari dari fakta ini?
Lukas mempunyai konsep Kristologis dan Soteriologis yang universal.
Ini tentu hal yang luar biasa karena ia bukan orang Yahudi. Bahkan orang Yahudi saja tidak mengerti hal ini. Bukankah eksklusifisme Yahudi ini masih menjadi kendala di awal gereja? Yang ingin dikatakan oleh Lukas adalah bahwa Kerajaan Allah dan keselamatan dalam Kristus bukan hanya berlaku bagi bangsa tertentu, golongan tertentu, kaum tertentu tetapi berlaku secara universal (lihat Galatia 3:28; Kolose 3:11). Itulah sebabnya kita tidak boleh menjadi halangan bagi orang lain untuk datang pada Kristus karena Kristus datang bagi semua orang .
Di sisi yang lain kita juga harus dapat melihat dan menyadari bahwa ketuhanan Kristus dan keselamatan di dalam Kristus berlaku secara universal dan bukan hanya bagi kekristenan saja. Semua bangsa, semua suku bangsa, semua golongan, semua agama, semua kepercayaan harus percaya kepada Yesus baru boleh diselamatkan. Hal ini jelas bertentangan dengan semangat-semangat pluralisme agama yang dikembangkan oleh beberapa orang yang merasa bahwa Yesus hanyalah Tuhan bagi orang Kristen dan Yesus hanyalah satu-satunya jalan keselamatan bagi orang Kristen tetapi hanyalah salah satu jalan kepada Allah dalam dunia ini.
Lukas mempunyai motivasi yang tulus.
Lukas jelas menujukan Injilnya bagi orang non Yahudi, dan satu-satunya tujuan ia melakukan hal itu nampak dari kata pendahuluannya kepada Teofilus : “supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar”. (Lukas 1:4). Ini memperlihatkan bahwa satu-satunya tujuan Lukas menulis Injilnya dalam hubungan dengan sesama manusia adalah agar orang lain (bangsa kafir) dapat mengenal keselamatan dalam Kristus Yesus.
Tentunya dalam penulisan Injilnya, ia mengorbankan banyak waktu, tenaga, perhatian dan mungkin biaya dengan satu tujuan agar orang mengenal Kristus. Ia menulis Injilnya bukan untuk mencari uang, popularitas atau prestise. Ia benar-benar menggunakan karunianya demi kepentingan pelayanan. Ia tidak menggunakan karunia untuk cari nama, cari makan atau cari muka melainkan cari jiwa. Tragisnya sekarang ini banyak orang memakai nama Tuhan, memakai karunia Tuhan untuk cari nama, cari makan dan cari muka.
Benarlah nasihat Rasul Paulus kepada jemaat di Roma : “Tetapi aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, supaya kamu waspada terhadap mereka, yang bertentangan dengan pengajaran yang telah kamu terima, menimbulkan perpecahan dan godaan. Sebab itu hindarilah mereka! Sebab orang-orang demikian tidak melayani Kristus, Tuhan kita, tetapi melayani perut mereka sendiri. Dan dengan kata-kata mereka yang muluk-muluk dan bahasa mereka yang manis mereka menipu orang-orang yang tulus hatinya. (Roma 16:17-18).
Marilah kita melakukan segala sesuatu dengan motivasi yang tulus dan tujuan yang mulia agar orang lain dapat mengenal Kristus. Ketika Yesus memanggil murid-murid-Nya, Ia berkata : "Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia." (Matius 4:19). Jadi murid-murid Kristus adalah penjala-penjala manusia bukan penjala uang, penjala popularitas, penjala keuntungan, dll.
Lukas dengan sangat indah memadukan unsur ilahi dan insani
Dalam menulis Injilnya Lukas mengadakan penelitian dengan seksama (unsur insani) namun tidak ada orang yang menyangkali bahwa Lukas juga diilhami Roh Allah (unsur ilahi). Banyak orang mengadakan pembedaan dan memisahkan unsur ilahi dan unsur insani sebagaimana yang sudah saya bahasa dalam opini di bawah judul :”Apakah Esra Soru Tidak Memakai Hikmat Roh Kudus?” (Timex, 17 Februari 2005). Mereka merasa bahwa berusaha = anti Roh Kudus dan ‘memakai’ Roh Kudus = anti usaha. Dari pengalaman Lukas kita mengerti bahwa berusaha tidak berarti anti Roh Kudus dan ‘memakai’ Roh Kudus tidak berarti anti usaha. Marilah dalam hidup dan pelayanan kita, kita senantiasa dapat memadukan 2 unsur ini, ilahi dan insani sama seperti semboyan gereja purba : “ORA ET LABORA”.
Ikuti saya di Google News untuk membaca artikel lainnya :