KEISTIMEWAAN HAMBA (LUKAS 17:7-10)
"Hamba"? Mendengar namanya saja sudah tidak mengundang selera. Maklum saja semua kita paham, bahwa “hamba” (abdi, pelayan), adalah posisi terendah dalam strata sosial kemanusiaan! Di belahan dunia mana pun. Anda berminat?
gadget, bisnis, otomotif |
Andai memilih, apakah hamba atau tuan, kalau mau jujur mana yang dipilih? “Hamba”? Amit-amit! Kecuali terpaksa, karena tidak ada pilihan lain. Tetapi kenapa dalam nas ini Yesus justru mengajarkan para murid supaya berlaku layaknya sebagai seorang hamba? Memiliki “hati sebagai hamba”? Apa yang istimewa? Nah ini. Mari kita pelajari.
PERTAMA: SIKAP “MENGHORMATI”
Hal pertama, yang indah untuk dilakukan dari gambaran seorang hamba adalah sikap “menghormati”. Walau pulang bekerja dari ladang tentunya sangat melelahkan, haus dan lapar tentu saja. Namun ia harus menehuhi kewajibannya untuk melaksanakan tanggungjawab melayani tuannya.
Sikap “menghargai” sungguh relevan di sepanjang zaman. Sikap yang seharusnya tetap melekat dalam diri setiap kita selaku anak-anak Tuhan. Tidak hanya minta dihormati, tetapi juga bisa menghormati. Menghormati atasan, menghormati sesama, menghormati karya orang lain, menghormati siapa saja, tanpa memandang status atau rupa orang. Orang jadi terhormat adalah orang yang bisa menghormati.
KEDUA: “PANDAI MEMBAWA DIRI”
Ini pelajaran kedua, “pandai membawa diri”. Orang yang “pandai membawa diri” akan tahu menempatkan diri. Tahu mana yang orang berkenan, dan mana yang orang tidak suka. Tahu mana yang harus dikerjakan, mana yang tidak boleh dilakukan.
Orang yang “pandai membawa diri” biasanya selalu berusaha melakukan sesuatu sebaik mungkin. Sekecil apa pun yang dilakukan, selalu diupayakannya dilakukan sebaik mungkin. Bertutur kata dan berbuat sebaik mungkin. Meminimalisir kesalahan, sekiranya tidak menimbulkan masalah besar bagi dirinya.
KETIGA: “MAWAS DIRI”
Orang yang memiliki sikap “mawas diri” adalah orang yang memiliki kepekaan yang tinggi. Ini sikap rata-rata yang dimiliki seorang hamba. Mawas diri menjadikannya selalu waspada, siap dan berjaga-jaga.
Orang yang “mawas diri” tidak gegabah dan semrawut. Karena kapan-kapan tuannya datang, entah tengah malam atau subuh menjelang pagi. Peka untuk tahu apa sekiranya segala perbuatan yang mendatangkan hukuman, dan apa sekiranya yang dikerjakan sehingga selalu dipercayakan.
KEEMPAT: "SADAR DIRI"
Apa pun status sosial kita, apa pun jabatan kita, di hadapan Tuhan status kita sama. Sama-sama berstatus hamba. Hamba yang nasibnya ditentukan oleh sang tuan sang pemilik kehidupan. Bukan ditentukan oleh kehebatan kita. mendapat kehormatan masuk sorga, juga bukan oleh usaha kita. tetapi oleh dia sang tuan yang menentukannya, sesuai dengan kerelaan-Nya.
Sikap “sadar diri” itu sangat penting dalam kehidupan. Supaya bila semakin meninggi hingga mengawan-awan tidak lupa diri. Tidak takabur. Bila melakukan sesuatu dalam pekerjaan dan sukses dalam berbagai bentuk pekerjaan atau pelayanan, tidak membusungkan dada, lalu berkata bahwa itu karena “aku”. Bila sedang menghadapi pergumulan hidup yang berat, tetap sabar dan tawaqwal.
Sebagai anak-anak Tuhan yang diberkati, kita harus sadar diri supaya tidak lupa apa makna sebenarnya bila sang tuan yang empunya kehidupan mempercayakan. Sadar diri, bahwa semua yang ada pada kita hanyalah titipan untuk dipergunakan sebaik-baiknya selama hidup. Bukan asal hidup. Tetapi menjadikan hidup yang berdampak bagi orang lain. Yang nanti setelah mati semua kita mempertanggungjawabkannya kepada sang pemilik kehidupan. KEISTIMEWAAN HAMBA (LUKAS 17:7-10) .
Amin!