Pengantar:
Kepemimpinan adalah salah satu aspek yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia. Dalam konteks Alkitab, salah satu tokoh yang sangat dikenal sebagai pemimpin yang hebat adalah Musa. Musa memiliki berbagai karakteristik yang menjadikannya pemimpin yang luar biasa, terutama dalam perjalanannya memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir. Dalam Keluaran 32:11-32, terdapat beberapa ciri kepemimpinan Musa yang sangat mencolok.
Artikel ini akan menguraikan tiga ciri utama dari kepemimpinan Musa berdasarkan pasal tersebut.
1. Kepemimpinan yang Berani Menghadapi Tantangan
Menghadapi Kemarahan Tuhan
Salah satu ciri kepemimpinan Musa yang paling mencolok adalah keberaniannya dalam menghadapi tantangan, terutama saat berhadapan dengan kemarahan Tuhan. Dalam Keluaran 32:7-10, Tuhan memberitahukan Musa tentang pelanggaran bangsa Israel yang membuat patung anak lembu emas. Tuhan sangat marah dan berniat untuk menghancurkan bangsa itu. Namun, Musa tidak mundur; sebaliknya, ia segera berdoa dan memohon kepada Tuhan untuk mengubah keputusan-Nya.
Musa menunjukkan keberaniannya ketika ia berusaha untuk membela umatnya meskipun mereka telah berbuat dosa besar. Dia mengingatkan Tuhan tentang janji-Nya kepada Abraham, Ishak, dan Yakub (Keluaran 32:13). Dalam situasi ini, Musa menjadi pengantara antara Tuhan dan bangsa Israel. Keberaniannya untuk berdoa dan memohon ampun bagi umatnya menunjukkan betapa besar tanggung jawab yang ia emban sebagai pemimpin.
Menyampaikan Kebenaran dengan Tegas
Keberanian Musa juga terlihat dalam ketegasannya untuk menyampaikan kebenaran, bahkan ketika itu tidak populer. Setelah ia turun dari gunung Sinai dan melihat apa yang dilakukan bangsa Israel, Musa sangat marah. Dalam Keluaran 32:19-20, ia menghancurkan patung anak lembu emas dan mengaduk-aduknya hingga menjadi debu. Ia kemudian memaksa bangsa Israel untuk meminum air yang dicampur dengan debu patung tersebut sebagai bentuk hukuman. Tindakan ini menunjukkan bahwa Musa tidak takut untuk mengambil tindakan tegas demi kebenaran dan keadilan.
Musa tidak hanya berani menghadapi tantangan dari Tuhan, tetapi juga dari umatnya sendiri. Ia tidak ragu untuk mengungkapkan kekecewaannya dan mengingatkan mereka tentang kesalahan mereka. Kepemimpinan yang berani adalah salah satu ciri yang sangat penting dalam diri Musa, dan hal ini menginspirasi banyak orang untuk mengikuti jejaknya dalam memimpin dengan keberanian.
2. Kepemimpinan yang Penuh Kasih dan Empati
Memahami Kelemahan Umat
Ciri kedua dari kepemimpinan Musa adalah kasih dan empati yang ia tunjukkan terhadap umatnya. Musa tidak hanya seorang pemimpin yang kuat, tetapi juga pemimpin yang peka terhadap kebutuhan dan perasaan orang-orang yang dipimpinnya. Dalam Keluaran 32:11-12, ketika Musa berdoa kepada Tuhan, ia memperlihatkan kepedulian yang mendalam terhadap keadaan bangsa Israel. Ia mengingatkan Tuhan bahwa jika Tuhan membinasakan umat-Nya, maka itu akan menjadi sumber ejekan bagi bangsa lain.
Musa memahami bahwa bangsa Israel telah jatuh ke dalam dosa, tetapi ia tetap berjuang untuk mereka. Ia menyadari bahwa mereka adalah umat yang lemah dan terpengaruh oleh keadaan sekitar mereka. Dalam konteks ini, Musa menunjukkan bahwa seorang pemimpin sejati harus memiliki empati dan kepedulian terhadap orang-orang yang mereka pimpin. Dengan memahami kelemahan umatnya, Musa dapat membela mereka di hadapan Tuhan.
Mengorbankan Diri untuk Orang Lain
Satu lagi contoh empati Musa terlihat dalam sikapnya untuk mengorbankan diri demi orang lain. Dalam Keluaran 32:30-32, setelah Tuhan memperlihatkan kemarahan-Nya, Musa menawarkan diri untuk dihapus dari buku kehidupan-Nya jika Tuhan tidak mengampuni umat Israel. Ini adalah ungkapan pengorbanan yang sangat besar. Musa rela mengorbankan diri demi keselamatan umatnya, yang menunjukkan seberapa dalam kasihnya kepada mereka.
Kepemimpinan yang penuh kasih dan empati adalah fondasi yang kuat bagi hubungan antara pemimpin dan pengikut. Musa mengajarkan kita bahwa pemimpin yang baik harus mampu merasakan penderitaan dan kebutuhan orang lain, serta bersedia mengorbankan diri untuk kebaikan bersama. Ini adalah pelajaran berharga bagi kita semua yang ingin menjadi pemimpin yang lebih baik.
3. Kepemimpinan yang Berorientasi pada Tujuan dan Visi
Memiliki Visi yang Jelas
Ciri ketiga dari kepemimpinan Musa adalah orientasi pada tujuan dan visi. Musa memiliki visi yang jelas tentang apa yang Tuhan inginkan bagi bangsa Israel. Ia mengerti bahwa tujuan utama dari pengeluaran bangsa Israel dari Mesir adalah untuk membawa mereka kepada tanah perjanjian, tanah yang dijanjikan Tuhan kepada nenek moyang mereka. Dalam Keluaran 32:13, Musa mengingatkan Tuhan akan janji-Nya kepada Abraham, Ishak, dan Yakub. Ini menunjukkan bahwa Musa tidak hanya memimpin secara asal-asalan, tetapi memiliki tujuan yang jelas dalam setiap langkahnya.
Visi ini menjadi kekuatan pendorong dalam kepemimpinannya. Musa mampu memotivasi bangsa Israel untuk terus bergerak maju meskipun mereka menghadapi berbagai rintangan. Dengan memiliki visi yang jelas, Musa menjadi sosok yang dapat diandalkan, dan umatnya merasa aman di bawah kepemimpinannya.
Menginspirasi Orang Lain untuk Mengikuti Visi
Kepemimpinan Musa juga terlihat dari kemampuannya untuk menginspirasi orang lain agar mengikuti visi yang dia miliki. Ketika bangsa Israel melihat tindakan Musa yang berani dan penuh kasih, mereka mulai memahami betapa pentingnya untuk kembali kepada Tuhan. Dalam Keluaran 32:26, Musa memanggil siapa yang ada di pihak Tuhan untuk mendekat kepadanya. Ini adalah panggilan yang jelas bagi umatnya untuk memilih sisi dan kembali kepada Tuhan.
Musa tidak hanya memberikan visi, tetapi juga memberi kesempatan kepada orang lain untuk terlibat dalam visi tersebut. Ini adalah ciri kepemimpinan yang sangat penting. Pemimpin yang baik tidak hanya memimpin, tetapi juga memberdayakan orang lain untuk berpartisipasi dalam mencapai tujuan bersama. Dalam konteks ini, Musa menjadi teladan bagi kita dalam bagaimana menginspirasi orang lain untuk mengikuti visi yang telah ditetapkan.
Kesimpulan
Kepemimpinan Musa dalam Keluaran 32:11-32 memberikan kita banyak pelajaran berharga. Tiga ciri utama yang dapat kita ambil dari kepemimpinan Musa adalah keberanian dalam menghadapi tantangan, kasih dan empati terhadap umatnya, serta orientasi pada tujuan dan visi yang jelas. Musa menunjukkan bahwa seorang pemimpin sejati tidak hanya kuat, tetapi juga peka terhadap kebutuhan orang lain dan mampu menginspirasi mereka untuk bersama-sama mencapai tujuan yang lebih besar.
Dalam dunia saat ini, kita semua dapat belajar dari contoh kepemimpinan Musa. Kita diingatkan untuk menjadi pemimpin yang berani, penuh kasih, dan memiliki visi yang jelas, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, maupun dalam komunitas kita. Semoga artikel ini dapat menginspirasi kita untuk mengikuti jejak Musa dalam menjadi pemimpin yang lebih baik.
-----------------
Pdt. Tumpal Hutahaean, M.Th.
Bacaan Alkitab: Keluaran 32:11-32; Markus 10:45.
|
gadget, bisnis, otomotif |
Pendahuluan: 3 Ciri Kepemimpinan Musa (Keluaran 32:11-32)
Apa keunikan seorang pemimpin Kristen? Jikalau kita tidak mengerti hal ini, maka kita bisa menganut standar ganda di dalam pekerjaan atau usaha kita. Di dalam gereja kita bisa memiliki motivasi untuk melayani namun di luar gereja kita bisa lupa untuk menjadi pemimpin yang melayani. Pemimpin Kristen adalah pemimpin yang melayani baik di gereja maupun di luar gereja.
Apakah benar seorang pemimpin identik dengan: kuasa, uang, fasilitas, dan kenikmatan? Jikalau kita melihat keseluruhan Alkitab maka kita akan menemukan bahwa seorang pemimpin tidak harus identik dengan semua hal itu. Banyak orang mengikut Tuhan Yesus ketika mereka sudah melihat mukjizat. Tuhan Yesus berkata kepada mereka: Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya (Matius 8:20).
Ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin tidaklah identik dengan uang, kuasa, fasilitas, atau kenikmatan. Seorang pemimpin identik dengan sejauh mana ia mau menggenapkan rencana Kerajaan Allah melalui hidupnya.
Mengapa Alkitab melihat seorang pemimpin itu sebagai hamba dan bukan bos? Kita mengetahui bahwa Tuhan adalah pemimpin dari semua pemimpin. Dia-lah yang memberikan panggilan, pengetahuan, hikmat, peluang, dan anugerah bagi kita. Kita memiliki tanggung jawab di hadapan-Nya. Ketika kita boleh mencicipi hal-hal yang baik maka kita harus mengakui bahwa itu semua adalah anugerah Tuhan.
Kita adalah orang yang sombong jika mengatakan bahwa semua itu adalah karena kehebatan, kepintaran, dan kekuatan kita. Di saat itu kita menjadi orang yang akan dihukum oleh Tuhan. Jadi seorang pemimpin Kristen tidak boleh bermental bos di dalam situasi apa pun juga. Orang yang bermental bos tidak akan memiliki hati yang melayani. Di saat itu ia tidak mencerminkan identitasnya sebagai orang Kristen.
Mana yang lebih tepat: pemimpin yang melayani atau pelayan yang memimpin? Pemimpin yang melayani. Saat kita menjadi seorang pelayan, kita harus siap untuk menunjukkan nilai seorang pemimpin yang menyatakan kebesaran Tuhan. Kita tidak boleh bermental budak yang tidak siap untuk menyatakan kebesaran Tuhan. Orang yang bermental budak hanya bisa menyatakan keminderannya dan ketidakberdayaannya. Mental seorang pemimpin sejati adalah menyatakan Tuhan. Oleh karena itu seorang pemimpin tidak identik dengan semua kebesaran duniawi. Saat kita memimpin keluarga, orang-orang di gereja, atau orang-orang di tempat usaha kita kepada Tuhan, kita sudah bisa disebut sebagai pemimpin.
Pembahasan
Apa yang disebut sebagai seorang pemimpin oleh dunia? Kita perlu menyelaraskan paradigma kepemimpinan dalam Alkitab (Markus 9:30-37 dan 10:43-45). Orang yang ingin menjadi yang terdahulu harus menjadi yang terakhir dari semuanya dan menjadi pelayan dari semuanya. Kita diperintahkan untuk menjadi hamba bagi semua orang. Tuhan juga menyatakan bahwa mereka yang seperti anak kecil menjadi terbesar dalam Kerajaan Sarga (Matius 18:3-4). Ketika kita menjalin relasi dengan orang lain, kita harus membuat mereka bukan melihat kita tetapi melihat kepada Tuhan. Jadi mental seorang hamba yang sejati adalah untuk menyatakan kebesaran Tuhan.
Ketika para murid bertanya siapa yang bisa menjadi yang terbesar maka Yesus menjawab ia yang menjadi hamba bagi semua orang. Kita harus siap untuk menjadi pelayan bagi semua orang. Yesus berkata: Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang (Matius 20:28). Ini mengajarkan bahwa di dalam nilai kepemimpinan, di mana pun kita berada, kita harus menyatakan kehadiran Tuhan. Tuhan-lah sumber kemuliaan dan bukan diri kita. Dia-lah pemimpin yang sejati dan sumber hikmat.
Pemimpin identik dengan otoritas sebagai atasan, jadi tidak mungkinkah dalam waktu bersamaan menjadi pelayan? Pemimpin harus menjadi otoritas karena ia menjadi atasan. Namun kita harus memiliki hati yang melayani. Kita harus menjadi teladan. Kita tidak boleh hanya bisa menyuruh orang lain bekerja namun kita sendiri tidak bisa menjadi contoh. Jika kita dipercayakan menjadi pemerintah, maka kita harus memiliki mental untuk melayani masyarakat.
Kita harus berani bekerja keras dan menyelesaikan semua tanggung jawab kita. Kemalasan bukanlah bagian dari etos kerja Kristen. Banyak orang tidak menyukai orang Kristen yang jujur dan rajin karena kehadirannya membuat banyak usaha curang menjadi gagal. Identitas kita adalah menjadi pemimpin yang memberikan teladan. Contoh hidup kita harus mengajarkan keberanian, kejujuran, kesetiaan, karakter, dan tanggung jawab. Pemimpin yang arogan dan mementingkan diri sendiri adalah pemimpin yang gagal untuk mencerminkan nilai Kristus.
Pemimpin besar identik dengan seberapa banyak pengikutnya (hukum memengaruhi) dan jadi tidak mungkin disamakan dengan seberapa banyak orang yang dilayaninya? Tuhan Yesus menjadi pemimpin dan menyatakan diri-Nya sebagai Mesias. Ia memiliki 12 murid. Banyak orang pada saat itu ingin menjadi orang Farisi atau ahli Taurat dan mereka ingin menjadi murid Gamaliel.
Pada saat itu muridnya bisa mencapai ratusan, sedangkan murid Yesus hanya 12 orang. Manakah yang lebih berpengaruh? Dari sisi pengaruh dan keuangan pasti Yesus tidak sukses. Namun Yesus mengajarkan bukan kuantitas melainkan kualitas. Apakah Yudas murid berkualitas? Ia adalah orang cerdas namun hatinya tidak benar. Jadi kecerdasannya tidak dipimpin oleh rasa takut akan Tuhan. Orang yang takut akan Tuhan tidak akan memamerkan kecerdasannya.
Ia akan hidup dengan prinsip tidak mau mempermalukan nama Tuhan. Yesus juga memiliki 70 murid yang dididik dengan baik. Seorang pemimpin tidak boleh berpikir untuk menjadi pemimpin yang besar namun tidak memiliki pengaruh dalam nilai Kerajaan Allah. Kita tidak mengincar kuantitas yang tidak memuliakan Tuhan. Jika kita menjadi pengusaha besar yang tidak memberikan pengaruh kepada bawahan agar mereka melihat Tuhan, maka kita adalah pemimpin yang gagal. Jika kita memiliki keinginan untuk menjadi besar dalam hal yang salah, maka Setan bisa menggoda kita. Ada orang-orang yang berhasil menjadi besar karena ada pertolongan dari Setan.
Mereka pasti mendapatkan penghakiman. Kita mau menjadi pemimpin yang setia, bukan sukses. Kesuksesan adalah anugerah dari Tuhan. Kita harus menjadi pemimpin bagi banyak orang dengan prinsip kasih, keadilan, dan edukasi. Orang-orang yang dipimpin oleh kita harus dikembangkan kapasitasnya sehingga mereka menjadi orang-orang yang lebih baik. Dengan demikian kita menjadi agen perubahan bagi orang-orang di sekitar kita.
Di dalam Perjanjian Lama tidak ada sekolah formal, hanya ada sekolah di rumah dan sekolah Taurat. Semua anak dididik oleh ibunya secara penuh. Ayah menjadi pembina karakter di rumah. Oleh karena itu orang tua di Perjanjian Lama menguasai banyak ilmu. Hati yang takut akan Tuhan itu sangat penting untuk ditanamkan pada diri anak. Anak harus diajarkan untuk menghormati otoritas dari sejak dini.
Kepintaran dan paras yang baik itu penting, namun hati yang takut akan Tuhan itu jauh lebih penting. Kita harus waspada terhadap keinginan untuk menjadi besar. Banyak cara bisa dihalalkan untuk mencapai tujuan tersebut. Banyak orang demi jabatan akhirnya memakai cara-cara yang tidak benar untuk mencapai tujuan tersebut. Pemimpin yang setia adalah pemimpin yang melayani banyak orang di sekitarnya. Mungkin ia tidak bisa melayani secara fisik namun ia bisa melayani dengan memberikan edukasi. Setiap kita sudah diberikan talenta yang berbeda-beda oleh Tuhan untuk kita pakai dalam pelayanan kita sebagai seorang pemimpin.
Kita dipercayakan bagian-bagian yang berbeda. Kita harus mengingat bahwa Tuhan mau kita setia dalam perkara-perkara yang kecil. Mereka yang setia pada perkara kecil akan dipercayakan perkara yang besar. Sebelum menjadikan kita seorang pemimpin yang besar, Tuhan akan melatih mental kita seperti Yusuf. Yusuf menjadi budak di rumah Potifar namun di sana ia sebenarnya menjadi saksi bagi Tuhan. ia melayani dan mengerjakan semua hal dengan baik.
Semua pekerjaannya beres karena ia setia. Kita harus belajar untuk setia dan memiliki mental melayani dan bukan ingin dilayani. Jadi kita harus menggunakan prinsip kasih dan edukasi. Tuhan datang ke dunia karena kasih-Nya, dan kasih-Nya adalah agape. Agape mengandung kesetiaan, pengorbanan, dan penebusan. Yesus telah menjadi teladan bagi kita. Dia adalah teladan yang lebih tinggi daripada pemimpin-pemimpin lainnya karena Ia adalah pemimpin yang sejati.
Pemimpin identik dengan kewibawaan yang besar jadi tidak mungkin dalam waktu bersamaan menjadi pelayan? Kewibawaan kita bukan bergantung pada apa yang kita pakai dan status kita melainkan karakter kita. Kita harus memiliki mental seorang hamba dan sadar akan panggilan kita. Kita adalah utusan Tuhan yang mewakili Tuhan untuk menyatakan kebesaran Tuhan kepada orang-orang di sekitar kita.
Kewibawaan kita datang dari atas yaitu Tuhan. Yohanes Pembaptis hadir untuk mempersiapkan jalan dan memperkenalkan Mesias. Ia memakai pakaian yang terbuat dari kulit unta dan ia makan belalang (Matius 3:4). Penampilannya tidak megah dan mewah namun ia adalah utusan Tuhan yang memberitakan pertobatan. Perkataannya memiliki kuasa. Banyak orang yang mendengarnya bertobat dan memberikan diri mereka dibaptis (Matius 3:5-6, 11). Ia tidak seperti para orang Farisi atau ahli Taurat yang memakai pakaian terhormat namun mungkin tidak memiliki kuasa ketika mengajar. Yesus mengajar secara berbeda, yaitu dengan kuasa. Alkitab berkata: Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka (Matius 7:29).
Ini menunjukkan bahwa kewibawaan datang dari Tuhan. Saat kita diutus, kita harus berdoa memohon kuasa dan wibawa dari Tuhan. Dengan demikian menjadi seorang pemimpin dan menjadi seorang pelayan bukanlah 2 peran yang berkontradiksi. Pemimpin yang melayani itu ingin agar orang-orang di sekitarnya terberkati. Mental seorang hamba mengajarkan diri kita agar tidak sombong. Nebukadnezar dengan sombong menyatakan kuasanya yang besar. Ia sombong di dalam seluruh keberhasilannya dan Tuhan menghukumnya (Daniel 4:33).
Tuhan merendahkannya sehingga ia bertindak seperti seekor hewan. Banyak orang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan, salah satunya dengan cara menipu orang lain. Setan adalah bapa dari segala dusta (Yohanes 8:44). Manusia berdosa bisa memalsukan setiap data demi keuntungan dirinya sendiri. Penipuan adalah gaya hidup mereka dan mereka adalah pengikut Setan. Banyak penipu tampil sebagai orang yang baik untuk menipu korban-korban mereka. Karena itulah kita harus waspada. Pemimpin yang sejati pasti mau menjadi hamba untuk semua orang dan ia memiliki karakter yang baik.
3. Ciri kepemimpinan Musa yang melayani.
Pertama, Ia melayani umat Israel untuk menaati Tuhan dan bergantung pada Tuhan (Keluaran 32:11-14). Di dalam bagian itu Musa berusaha melunakkan hati Tuhan yang sedang murka terhadap Israel. Israel telah membuat lembu emas dan Tuhan mau menghukum mereka. Musa menghadap Tuhan dan berdoa kepada-Nya. Ia menyatakan janji Tuhan tentang membuat Israel menjadi bangsa yang besar. Ia memohon belas kasihan lalu dinyatakan bahwa Tuhan menyesal. Ini adalah bahasa antropomorfis.
Tuhan tidak menyesal seperti penyesalan manusia. Tuhan mau mendengarkan permohonan Musa yang memohon belas kasihan Tuhan. Tuhan itu maha tahu dan maha hadir serta keputusan-Nya sempurna sehingga tidak mungkin bersalah. Setelah itu Tuhan memberikan 10 hukum lagi kepada Musa dan Tuhan mau Israel hidup secara taat. Ketika kita dipercayakan menjadi seorang pemimpin maka kita harus mengajarkan orang-orang di bawah kita untuk taat kepada Tuhan, pemerintah, lalu kepada perusahaan. Roma 13:1-7 menyatakan bahwa kita harus menghormati pemerintah karena Tuhan-lah yang menetapkan pemerintah.
Kolose 3:23 mengajarkan bahwa kita harus bekerja seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Jadi sebagai seorang pekerja kita harus menjaga kekudusan kita dan melakukan pekerjaan kita untuk kemuliaan Tuhan. Kita harus bisa menjadi agen moral untuk orang-orang di sekitar kita. Orang-orang yang kita pimpin harus kita didik untuk takut akan Tuhan. Segala kulakukan kita harus mencerminkan bahwa diri kita adalah orang Kristen. Kebenaran yang kita hidupi itu akan menjadi suatu pesan yang sangat jelas bagi orang-orang di sekitar kita.
Firman itu harus terpancar dalam kehidupan kita. Musa mengarahkan orang Israel untuk melihat kepada Tuhan dan bukan dirinya sendiri. Orang Israel diajarkan untuk bergantung dan beribadah kepada Tuhan dan bukan kepada Musa. Sebagai orang tua kita juga harus mengajarkan demikian kepada anak-anak kita. Mereka adalah milik Tuhan dan bukan milik kita. Tuhan menitipkan anak-anak di dalam keluarga kita untuk kita bina. Tubuh kita juga milik Tuhan. Dalam waktunya, tubuh kita akan kembali ke dalam tanah. Tubuh kemuliaan akan kita terima ketika Tuhan Yesus datang kembali. Sebagai seorang pemimpin yang melayani kita harus mengingat bahwa segala sesuatu adalah dari Tuhan.
Kedua, Musa melayani umat Israel dengan pengorbanan dan bukan mengorbankan (Keluaran 32:30-31). Musa mau Tuhan mengampuni bangsa Israel. Ia bahkan rela namanya dihapus dari kitab yang Tuhan tulis jika itu bisa membuat Tuhan mengampuni Israel. Ini adalah pengorbanan yang luar biasa. Yesus datang untuk melayani dan bukan untuk dilayani serta memberikan nyawa-Nya untuk semua orang percaya.
Musa juga memiliki kerelaan untuk berkorban. Stefanus mau mengorbankan dirinya demi kemuliaan Tuhan (Kisah Para Rasul 7:60). Kita harus memiliki semangat pengorbanan seperti ini. Mengapa Musa berani berdoa demikian? Apakah Musa sedang putus asa? Pemimpin yang melayani tidak akan mengorbankan orang yang dipimpinnya demi dirinya sendiri. Pemimpin yang sejati berdiri di depan dan mengorbankan dirinya demi orang-orang yang dipimpinnya. Pengorbanan yang kita lakukan harus kita kaitkan dengan kemuliaan Tuhan.
Di sana kita tidak akan merasa sudah berkorban. Jika kita merasa sudah berkorban, maka kita akan menjadi orang yang sombong. Pengorbanan itu kita lakukan bukan agar orang lain melihat kita sebagai orang yang baik melainkan agar orang lain melihat Tuhan. Pengorbanan Musa yang pertama adalah harus berpisah dari istri dan anaknya supaya ia bisa fokus melayani Tuhan ketika akan membebaskan bangsa Israel. Di dalam hidup kita, kita harus lebih banyak berkorban daripada mengorbankan orang lain. Alkitab berkata bahwa mereka yang memberi itu lebih berbahagia daripada mereka yang menerima (Kisah Para Rasul 20:35).
Kita harus menghidupi Roma 12:1, yaitu mengorbankan hidup kita sebagai persembahan yang kudus di hadapan Tuhan. Tuhan ingin kita memiliki kesetiaan dan pengenalan akan Tuhan. Orang tua berani berkorban untuk anak dan anak harus mengerti pengorbanan orang tuanya. Jika seorang anak hanya memiliki mental untuk menuntut dan meminta maka mereka mirip seperti bangsa Israel yang terus bersungut-sungut di padang gurun. Segala pengorbanan kita yang tulus harus dipersembahkan untuk Tuhan. Kerelaan hati membuat kita mau berkorban.
Ketiga, Musa melayani umat Israel sampai garis akhir (Bilangan 27:12-23, Ulangan 3:23-29, dan 34:1-12). Setelah Musa melakukan kesalahan yaitu tidak mengikuti petunjuk Tuhan, ia tidak diperbolehkan masuk ke dalam tanah Kanaan. Ia memukul bukit batu sebanyak 2 kali dalam kemarahan yang tidak suci. Ia diizinkan untuk naik ke gunung Pisga sehingga ia bisa melihat Tanah Perjanjian itu namun ia sendiri tidak boleh masuk ke dalamnya.
Setelah itu ia harus menyerahkan tongkat kepemimpinan kepada Yosua. Ia melayani Tuhan sampai garis akhir. Ia tidak berhenti melayani karena umurnya atau karena urusan keluarganya. Ketika kita mengutamakan Tuhan, kita pasti dipelihara oleh Tuhan. Tuhan sudah menunjukkan kasih setia-Nya dan kita harus setia sampai mati kepada Tuhan. Musa adalah seorang pemimpin yang setia dan mau berubah untuk menjadi lebih baik. Saat Musa diperintahkan untuk menyiapkan seorang pemimpin yang baru, ia setia menjalankannya. Ia tetap mau melayani bangsa Israel sampai akhir hidupnya. Seorang pemimpin yang baik pasti mempersiapkan pemimpin yang baru.
BACA JUGA:
SURAT FILEMON (KAJIAN MODEL KEPEMIMPINAN PAULUS)
Pemimpin yang tidak baik tidak akan mau turun dari jabatannya dan ia tidak rela menyerahkan semua itu kepada orang lain. Ini adalah orang yang gila kekuasaan. Hal yang kita butuh kan bukanlah jabatan tetapi penyertaan Tuhan. pemimpin yang baik pasti mau melayani sampai mati. Setiap orang yang jabatannya dicabut oleh Tuhan harus rela menerima keputusan itu.
Setiap kita dipanggil menjadi seorang pemimpin, minimal pemimpin bagi diri kita sendiri. Di dalam setiap perkara kecil kita harus setia demi kemuliaan Tuhan. Yusuf setia dalam setiap perkara kecil sehingga ia diperkenan oleh Tuhan. Wibawa kita sebagai seorang pemimpin bergantung bukan pada harta dan jabatan melainkan penyertaan Tuhan.
Penutup
Milikilah hati seorang pemimpin yang melayani dan bukan untuk dilayani sebagai bos. Ini bukan berarti seorang anak bisa menuntut agar orang tuanya tidak memberikan perintah kepadanya. Setiap anggota keluarga memiliki peran masing-masing yang sudah diberikan oleh Tuhan dan ini harus dijalankan. Pekerjaan rumah tangga bukanlah pekerjaan yang remeh karena di dalam pekerjaan itu seorang ibu sedang melayani Tuhan. Setiap pemimpin harus melayani dan tidak semua pelayan menjadi pemimpin. Jadi di dalam segala hal ada ordo dan aturan. Jika semua orang memperebutkan jabatan maka akan terjadi kekacauan sehingga pekerjaan Tuhan tidak mungkin dikerjakan.
Ketika seorang pemimpin melupakan apa yang seharusnya menjadi fokus dan hanya mementingkan uang dan jabatan, ia kehilangan identitas. Banyak orang telah kehilangan identitas demi mencapai hal-hal yang berharga di mata dunia. Jika kita bisa menjadi seorang pemimpin maka itu adalah anugerah untuk menyatakan Tuhan yang besar. Kita harus memiliki mental seorang pemimpin sejati supaya Kerajaan Allah semakin dinyatakan melalui hidup kita.
3 CIRI KEPEMIMPINAN MUSA (KELUARAN 32:11-32). AMIN-