MENCARI KEBAHAGIAAN (KENDALA DAN KUNCI)

Pdt. Dr. Billy Kristanto.
MENCARI KEBAHAGIAAN (KENDALA DAN KUNCI)
Ada seorang bapak yang sudah tua, umurnya 86 tahun, tapi masih sangat kuat dan energik. Sebetulnya dia menderita kanker ginjal, dan tulang-tulangnya juga sudah rapuh, bahunya baru saja dipasangi pen beberapa bulan lalu. Tapi dia masih bisa menyetir mobil sendiri, mengendarai motor, dan kelihatan begitu bersemangat.

Hanya satu hal yang membuat dia tidak bahagia, setiap kali mengatakan itu, air matanya turun perlahan-lahan. Katanya: “Saya belum sepenuhnya bahagia, saya belum bisa tertawa lebar dan belum bisa  tersenyum, karena anak saya yang paling kecil belum menikah. Itu terus mengganggu pikiran saya, nanti siapa yang akan mengurus dia kalau dia sudah tua tidak ada istri dan anak? Saya tidak bisa bahagia dan sering tidak bisa tidur memikirkan dia, saya akan mati dengan tenang kalau melihat dia sudah menikah.”

Apakah sebenarnya “kebahagiaan”? Apakah kebahagiaan dikaitkan hanya dengan pernikahan, atau dengan anak-anak kita, atau dengan kesehatan, kesuksesan, dan materi?

A.KENDALA KEBAHAGIAAN

1.Menempatkan Kebahagiaan pada Posisi yang Salah

Kendala paling utama dalam kebahagiaan adalah manusia mengejar kebahagiaan, manusia menjadikan kebahagiaan jadi tuhan mereka. Itu persoalan yang paling besar dalam urusan kebahagiaan. Menempatkan pada posisi yang salah, itu  menjadi kendala utama dalam kebahagiaan.

Kebahagiaan itu betul-betul bisa menggantikan posisinya Tuhan. Secara sadar atau tidak sadar, kita bisa menyembah kebahagiaan, memperilah kebahagiaan; dan orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang paling tidak bahagia. Tuhan Yesus sendiri sudah mengajarkan secara prinsip, bahwa manusia tidak pernah puas; demikian juga Pengkotbah mengatakan “mata tidak pernah puas melihat”; bukan tidak pernah puas melihat emas dan uang saja, tapi tidak pernah puas melihat kebahagiaan. Maka semakin orang berambisi untuk itu, dia semakin kekeringan.

Yesus bilang “barangsiapa mempertahankan nyawanya, dia justru kehilangan; barangsiapa melepas, dia justru memperolehnya, malah di dalam kelimpahan”. Kalimat itu juga benar untuk urusan kebahagiaan; yang mati-matian mengejar kebahagiaan, dia justru kehilangan kebahagiaan; yang bisa melepaskan kebahagiaan itu, dia lebih ada harapan untuk jadi orang yang bahagia.

Di dalam perspektif Kristen, istilah “rahasia untuk bahagia” itu sebetulnya tidak ada. Kita tidak mengajarkan rahasia untuk menjadi bahagia, karena itu sama dengan mengajarkan untuk menyembah kebahagiaan; maka berarti tidak ada yang namanya resep kebahagiaan. Tapi kalau tetap mau memaksakan suatu resep kebahagiaan, jawabannya adalah sobeklah resep itu, baru kita bisa bicara tentang apa itu kebahagiaan. Itu poin yang pertama, dan paling penting. Lalu bagaimana seharusnya orang Kristen melihat atau mem-posisikan kebahagiaan?

Kebahagiaan Itu Tujuan Utama Atau Sarana?

Aristoteles, yang pemikiran-pemikirannya sangat kita respek, mengatakan kalimat seperti ini:  kebahagiaan itu seringkali menjadi tujuan utama di dalam kehidupan manusia, sementara hal-hal lainnya yang kelihatannya lebih dikejar, sebetulnya hanyalah sarana untuk mencapai kebahagiaan. Misalnya harta kekayaan. 

Manusia sepertinya mengejar harta atau kekayaan, tapi Aristoteles mengatakan sebetulnya bukan harta yang dikejar, manusia berharap dengan mendapatkan harta atau kekayaan yang banyak, itu akan menjadi sarana untuk membuat dia bahagia. Jadi yang dikejar manusia sebetulnya kebahagiaan, bukan harta atau kekayaan.

Bukan cuma harta, tapi juga kehormatan, dignitas, harga diri. Orang mengejar kehormatan karena dia pikir, kalau dia jadi orang yang dihormati, dia akan bahagia; dihormati itu lebih bahagia daripada dihina.

Maka di sini kehormatan bukan yang paling tinggi --menurut Aristoteles-- kebahagiaan tetap yang paling tinggi. Demikian juga persahabatan atau pertemanan, popularitas, pengetahuan, buku, dan sebagainya. Intinya, di dalam pengertian Aristoteles, bahagia itu tujuan utama, dan yang lain-lainnya cuma alat/ sarana. Pandangan ini kalau Saudara lihat secara pengamatan natural, memang ada betulnya. Orang seringkali mengejar harta, kehormatan, dan lain-lain, tapi sebetulnya mengharapkan kebahagiaan. Jadi, yang lebih layak untuk diperjuangkan sebetulnya adalah kebahagiaan.

Tetapi, bagaimana Alkitab sendiri melihat kebahagiaan kalau kita mempertahankan kategori ‘tujuan dan sarana’ ini? Kebahagiaan itu tempatnya kategori ‘tujuan utama’  atau kategori ‘sarana’? Kalau kita mengatakan kebahagiaan itu masuk di kategori ‘tujuan utama’, maka pengejaran kebahagiaan bisa menjadi ilah. Apa maksudnya menjadi ilah? Yaitu kalau sesuatu itu menjadi tujuan utama dalam kehidupan kita.

Persoalan dalam pembicaraan tentang kebahagiaan adalah: manusia itu menjadikan kebahagiaan sebagai tujuan yang paling utama. Itu namanya pemberhalaan kebahagiaan. Dengan demikian, dalam perspektif Kristen, kebahagiaan tidak mungkin jadi tujuan, karena jika begitu artinya ‘kebahagiaan’ menduduki posisi Tuhan. 

Kita ingat pertanyaan dalam Katekismus Westminster, “what is the chief end of man?”, apa jawabannya? Untuk bahagia? Tidak. Katekismus Reformed mengatakan, yaitu supaya kita boleh mempermuliakan Tuhan  dan menikmati Tuhan. Tidak anti kebahagiaan, tapi kebahagiaan bukan tujuan utamanya. Tujuan akhirnya adalah  untuk mempermuliakan Tuhan dan menikmati Tuhan.

Jadi, kebahagiaan tidak bisa diletakkan di posisi tujuan utama. Orang yang menjadikan kebahagiaan di posisi tujuan utama, dia memberhalakan kebahagiaan; dan orang-orang itu adalah orang yang paling tidak bahagia. Karena, waktu kebahagiaan disembah, kebahagiaan itu seperti patung mati yang tidak bisa memberikan apa-apa kepada kita. Intinya adalah: menjadikan kebahagiaan sebagai goal, itu absurd dalam perspektif Kristen. Orang yang paling tidak bahagia, adalah orang yang paling ingin bahagia. Orang yang paling ingin bahagia, itulah orang yang tidak bahagia. Itu kalimat paradoksnya.

Kita tidak bisa meletakkan kebahagiaan di kategori ‘tujuan utama’, dan jika demikian berarti kebahagiaan itu cuma sarana. Lalu apa tujuan utamanya? Tujuan utama manusia  adalah mempermuliakan Tuhan.  Dalam hal ini Katekismus Westminster mengatakan: mempermuliakan Tuhan dan menikmati Tuhan; Katekismus Jenewa (Calvin) mengatakan: mengenal Tuhan. Intinya, tujuan utamanya  adalah Tuhan, sedangkan yang lain itu –termasuk kebahagiaan—adalah sebagai sarana.

Tujuan utama-nya cuma satu yaitu Tuhan; sedangkan sarana bisa banyak. Sarana boleh gonta-ganti, tapi hanya untuk satu tujuan saja. Contoh: tujuan saya  adalah saya mau menulis; sarananya tidak harus pakai spidol, bisa memakai pensil, memakai pen, kapur, atau lainnya.  Maksudnya apa? Tuhan mau kehidupan kita mempunyai tujuan utama yaitu mengenal Dia; dan untuk mengenal Dia, Tuhan kadang-kadang memakai sarana kebahagiaan, dan kadang-kadang memakai sarana kesulitan. 

Tuhan tidak harus pakai kebahagiaan (dalam arti kesenangan); ada kalanya Tuhan dalam bijaksana-Nya mengatakan “orang ini akan lebih baik mengenal AKU melalui air mata” –melalui dukacita, maka biarlah itu terjadi.

Jadi, untuk kita lebih mengenal Tuhan, untuk kita lebih bersekutu dengan Tuhan, kadang-kadang lebih efektif melalui dukacita atau kadang-kadang lebih efektif melalui kebahagiaan/ kesenangan. Ini berarti kebahagiaan pun ada tempatnya; dan posisinya di dalam kategori ‘sarana’ bukan sebagai tujuan utama.

Tetapi, ketika di dalam kebahagiaan itu kita mulai hanyut sebagai kenikmatan utama dan  tidak menjadikan itu sebagai sarana untuk mengenal Tuhan, maka kebahagiaan itu mulai bergeser menjadi tujuan utama. Di situlah mulai terjadi masalah karena kita menjadikan kebahagiaan itu sebagai ilah. Tuhan itu Tuhan yang pencemburu, Dia tidak memberikan tempat-Nya kepada siapa pun, termasuk kepada kebahagiaan. Dia tidak akan membiarkan kita mengganti tempat-Nya dengan yang namanya kebahagiaan. Tuhan yang kita sembah, tidak bisa dipermainkan.

Dia akan selalu tetap jadi pusat, tetap menjadi tujuan utama. Dan ada sukacita diberikan dalam kehidupan manusia ketika kita lemah dan dalam kesulitan , supaya kita tidak terus bergantung pada kebahagiaan tapi bergantung kepada Tuhan.

Dukacita dipakai Tuhan supaya kita tidak terlalu bergantung pada kebahagiaan, karena dukacita juga alat yang berkuasa untuk kita bisa mengenal Tuhan lebih baik. Kalau kita melihat model ini, maka tentu saja Alkitab bisa dengan bebas mengatakan “berbahagialah mereka yang berdukacita, karena mereka akan dihibur”.

Istilah ‘berbahagialah’ ini berbeda dengan bahagia yang dimaksud dalam kategori ‘sarana’ tadi. Jika demikian, waktu kita membicarakan kebahagiaan dalam pernikahan, kita musti mengerti dulu maksudnya kebahagiaan  yang mana; bahagia yang sebagai ‘sarana’ atau bahagia yang seperti dikatakan Alkitab tadi?  Pernikahan Kristen itu tidak selalu bahagia; pernikahan Kristen itu ada air mata juga. Bahagia dan air mata, keduanya ada. Tuhan tidak memberikan pernikahan Kristen yang selalu bahagia, tapi orang Kristen seharusnya terus-menerus bisa disebut “berbahagia”, kalau kita pakai istilah bahagia dalam pengertian Alkitab.

Janji yang diberikan Tuhan adalah bahwa orang Kristen bisa disebut berbahagia oleh karena Tuhan, termasuk juga waktu dia mengalami dukacita. Bahagianya orang yang berdukacita adalah: dia bisa mengenal Tuhan yang menghibur, Tuhan yang adalah The Great Counselor. Tidak semua orang bisa mengenal Tuhan sebagai Penghibur. Jangankan mengenal Tuhan sebagai Penghibur, untuk orang bisa memahami artinya penghiburan pun, itu sudah berbahagia. Tidak semua orang mengerti artinya penghiburan.

Apa maksudnya penghiburan? Dalam bahasa Inggris jelas, yaitu comfort , consolation; tapi dalam bahasa Indonesia kata ‘dihibur, penghiburan’, penghiburan bisa juga dalam pengertian entertainment/ disuguhi penghiburan  padahal itu dua arti yang sangat berbeda. Waktu Alkitab mengatakan “berbahagialah ..., karena mereka akan dihibur”, sudah pasti yang dimaksud adalah consolation, bukan entertainment.

Di dalam saat dukacita, orang bisa lari kepada dunia penghiburan (entertainment), atau memberi dirinya dihibur hatinya (comforted, consoled). Orang yang memberikan dirinya dihibur oleh Tuhan ini yang berbahagia, bukan orang yang melarikan diri ke dunia entertainment. Entertainment  itu hiburan dari luar, bukan dihibur oleh Tuhan dari dalam; orang yang sedih tapi dikatakan Alkitab ‘berbahagia’, adalah orang yang mengalami penghiburan secara pribadi bersama Tuhan.

Yang disebut berbahagia oleh Alkitab adalah orang yang menyadari dan bisa menerima keadaan yang sangat menyakitkan  –namanya saja dukacita--  bukan mengelak atau melarikan diri dari kenyataan.  Menghibur diri dengan entertainment itu sebenarnya pelarian keluar; kita melarikan diri dari keadaan yang menyakitkan, bukannya berlutut mencari penghiburan dari Tuhan.

Ini juga bisa kita aplikasikan dalam pernikahan. Ada orang yang melarikan diri dari kesulitan pernikahan, lalu mencari penghiburan, yang bukan dalam pengertian comfort –mendapat penghiburan dari dalam--  tapi entertainment yaitu mencari  penghiburan dari luar; kalau seperti ini, Alkitab tidak bicara kebahagiaan. Kebahagiaan yang dibicarakan Alkitab adalah orang yang berada dalam keadaan sangat sedih, dan ia menerima itu kesedihan itu dengan rendah hati, lalu di situ dia mengenal Tuhan sebagai Sang Penghibur.

Sebelumnya, dia menyadari dulu bahwa dia membutuhkan penghiburan, perasaan nyaman --dalam pengertian dihibur— lalu dia memberikan diri untuk dihibur oleh Tuhan. “Nyamanlah jiwaku di dalam Tuhan” bukanlah berarti dihibur oleh sesuatu yang bukan dari Tuhan. Di sinilah Alkitab mengatakan“berbahagialah yang berdukacita, karena mereka akan dihibur” –oleh Tuhan pastinya. Dalam hal ini tujuan utama-nya tetap mengenal  Tuhan; Tuhan yang sebagai Sang Penghibur.

Tapi ada juga saat-saat seperti dalam pernikahan di Kana, mengenal Tuhan sebagai orang yang  ikut berbahagia. Tuhan tidak sedang menghibur di sana. Dalam pernikahan di Kana itu, Tuhan hadir di dalam kebahagiaan manusia. Yang menarik di situ, kebahagiaan manusia ternyata tidak selalu sempurna, mereka bisa kekurangan sukacita –yaitu kekurangan anggur (minyak dan anggur itu lambang sukacita). Mereka kekurangan itu, langsung panik, sukacita pernikahan mereka ada batasnya. Lalu Tuhan datang memberikan kepenuhan  sukacita untuk mereka, sukacita itu lebih sempurna dengan kehadiran Tuhan yang membawa sukacita sejati.

Intinya adalah Tuhan hadir memperkenalkan diri-Nya. Ada saatnya Tuhan memperkenalkan diri di dalam dukacita, ada saatnya Tuhan memperkenalkan diri di dalam sukacita / bahagia/ senang. Saya suka sekali kalimat Paulus, “aku tahu apa itu kelimpahan, aku tahu apa itu kekurangan”; kalau boleh saya terjemahkan bebas, “aku tahu apa itu bahagia, aku tahu apa itu dukacita”. 

Paulus bukan orang yang berat sebelah yang tahunya cuma bahagia dan tidak tahu dukacita. Dia bilang “dalam hidup ini tidak ada yang rahasia, saya tahu apa itu di atas apa itu di bawah, saya tahu apa itu kaya apa itu kekurangan; dua-duanya saya tahu”. Kemudian kalimat terakhirnya dia mengatakan “segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku”.

Karena tujuan utama-nya Paulus adalah persekutuan dengan Kristus, itu membuat dia bisa menanggung baik bahagia maupun dukacita. Kita perlu kekuatan dari Tuhan bukan cuma waktu di saat dukacita; waktu di saat bahagia kita juga sangat perlu kekuatan dari Tuhan supaya kita tidak kehilangan tujuan utama tadi.

Kebahagiaan Itu Sebab atau Akibat?

Berbicara tentang kebahagiaan, kita bisa juga pakai kategori yang lain, misalnya ‘sebab dan akibat’. Kalau pakai paradigma ini, kebahagiaan itu tempatnya di mana, di dalam perspektif Kristen Kebahagiaan dalam perspektif Kristen adalah akibat. Lalu pendahulunya / penyebabnya apa? Kembali lagi, Tuhan. Alkitab bilang “carilah dahulu Kerajaan Allah, maka segala sesuatu akan ditambahkan kepadamu –termasuk kebahagiaan”. 

Alkitab tidak pernah bilang “bahagialah lebih dahulu, lalu kalau kamu bahagia, jangan lupa layanilah Tuhan”. Prinsip seperti itu tidak pernah ada. Yang ada adalah kita melayani Tuhan, kita mencari Kerajaan Allah, kita mengenal Tuhan, kita mempermuliakan Dia, kita menikmati Dia, dst., dst.; dan itu berakibat kita berbahagia.

Seni bahagia adalah seni memposisikan ‘kebahagiaan’ di dalam kehidupan Kristen. Kalau orang salah memposisikan antara kategori ‘tujuan utama’  dan ‘sarana’, dan kebahagiaan posisinya di ‘tujuan utama’. Sehingga dalam kategori ‘sebab dan akibat’, kebahagiaan posisinya adalah sebagai  ‘akibat’ dari sarana.

Oleh sebab itu kalau kita menunggu sampai bahagia dulu kemudian baru mengikrarkan untuk melakukan sesuatu, itu bagaimanapun tidak akan terjadi. Persoalan pertamanya, bahagianya itu kapan? Kalau mau jujur, bukankah kita susah untuk bahagia juga, jadi kapan kita mencapai keadaan seperti itu? Dan kalaupun itu terjadi, tidak tentu yang kita ikrarkan akan kejadian juga. Maka dari itu kebahagiaan benar-benar tidak mungkin posisinya di ‘sebab’, kebahagiaan selalu di posisi ‘akibat’. Mencari lebih dahulu kebahagiaan, itu sebuah gang buntu.

Alkitab bilang “carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka segala sesuatu ditambahkan kepadamu”. Tapi ini bukan berarti kita mencari lebih dahulu Kerajaan Allah supaya kita bahagia; ini jadi manipulasi lagi karena kita sebetulnya tetap mencari kebahagiaan. Ada orang yang komplain, “Saya sudah cari Kerajaan Allah dan kebenarannya, tapi tetap tidak ditambahkan”. Itu orang yang motivasi sebenarnya mencari yang ‘ditambahkan’ tadi, bukan benar-benar cari Kerajaan Allah dan kebenarannya. Kerajaan Allah dan kebenarannya itu yang terlebih dahulu, baru kemudian kebahagiaan ditambahkan.

Salah satu aliran pemikiran Reformed yang sangat besar, yang mungkin dipopulerkan pertama kali oleh William Ames, tapi sebelumnya Calvin juga sudah mengatakannya, yaitu tentang definisi teologi sebagai: hidup dalam kebenaran, hidup kudus, bukan hidup senang bahagia; mulai dari kekudusan kemudian berakibat kebahagiaan. Penekanannya adalah kehidupan yang dikuduskan, lalu dari sinilah kita mendapatkan kebahagiaan.

Maka kalau kita bicara tentang pernikahan yang bahagia (yang berakibat kebahagiaan), itu adalah pernikahan yang terus-menerus dikuduskan oleh Tuhan. Tidak ada jalan yang lain, pengudusan lalu menjadi kebahagiaan. Kalau pengudusan tidak terjadi, tidak mungkin ada kebahagiaan; atau kalaupun ada, itu bukan kebahagiaan yang menurut Alkitab, tapi kebahagiaan fenomenal atau kebahagiaan yang superfisial dan bahkan palsu. Jadi, pusatnya, atau tujuan utamanya , atau akibatnya –apapun istilah yang dipakai—adalah kekudusan, bukan happines /kebahagiaan/ kesenangan.

Tuhan itu merancang  kehidupan pernikahan kita lebih untuk menjadi kudus daripada bahagia. Tapi banyak orang menikah mengejar kebahagiaan, bukan kekudusan. Mereka tidak terlalu peduli dengan kekudusan, tapi sangat sensitif terhadap urusan bahagia dan tidak bahagia. Akhirnya mereka menciptakan konsep kebahagiaan mereka sendiri, yang seringkali mengorbankan kebahagiaan pasangannya.

Bahagia itu sangat subjektif;  apa yang dimaksud bahagia dalam pernikahan, itu bahagianya versi siapa? Tapi kalau kita bicara kekudusan, sudah pasti kekudusan menurut Tuhan, tidak mungkin kekudusan menurut versi saya. Kekudusan bukan sesuatu yang bisa kita paksakan secara subjektif, kita hanya bisa melihat Alkitab bicara apa tentang kekudusan. Sebenarnya kebahagiaan juga begitu, tapi kenyataannya dalam kehidupan manusia waktu bicara soal kebahagiaan, dia bukan buka Alkitab mencari apa yang dikatakan Alkitab tentang kebahagiaan.

Orang tidak tertarik untuk itu. Waktu bicara soal kebahagiaan, langsung artinya “kebahagiaanku” –kebahagiaan versi dirinya. Kebahagiaan itu langsung lekat dengan urusan pribadi. Tapi kalau bicara soal kekudusan, paling tidak kita berpikir untuk buka Alkitab; Alkitab mengajarkan apa tentang kekudusan, lalu kita musti merenungkan, mentaati, dsb.

Orang yang hidup kudus, hidupnya bahagia. Ini prinsip besar; bukan hanya dalam hidup pernikahan tapi dalam semua aspek hidup manusia. Mengapa hidup kita kurang bahagia (bahagia dalam pengertian Alkitab)? Mengapa kita tidak disebut“berbahagia” oleh Tuhan? Karena kita hidupnya kurang suci, alias kurang kudus. Kehidupan yang kurang kudus akan membatasi kebahagiaan manusia, memberikan kesengsaraan; ini hidup yang menyedihkan dalam kehidupan manusia .

Kalau begitu, mari kita bicarakan tentang kekudusan daripada bicara tentang kebahagiaan, karena di dalam kekudusan sudah termasuk kebahagiaan. Sebaliknya di dalam kebahagiaan, tidak tentu termasuk kekudusan; jangan-jangan kebahagiaannya itu menurut definisi kita sendiri, dan tidak ada kekudusan di dalamnya. Kita tidak usah terlalu memusingkan kebahagiaan, lebih baik kita memikirkan bagaimana supaya kita dalam hidup ini dikuduskan. Itu saja. Memang dalam kehidupan orang yang dikuduskan, tidak selalu senang-senang, bisa juga ada ratapan seperti yang terjadi dalam hidup Ayub. Tapi dia tetap disebut orang yang berbahagia.

Mengapa kekudusan berakibat pada kebahagiaan? Mengapa di dalam kekudusan kita mendapatkan semua yang lain, seperti perkataan Alkitab “carilah dahulu Kerajaan Allah, maka segala sesuatu akan ditambahkan kepadamu”? Jawabannya adalah: karena waktu kita dikuduskan, kita jadi semakin menyerupai Tuhan, kita semakin menikmati persekutuan dengan Tuhan; dan Tuhan itu sumber segala kebahagiaan. 

Manusia manapun, tidak ada yang lebih bahagia dari manusia didalam  Tuhan. Tuhan adalah puncak segala kebahagiaan. Jadi orang yang paling bahagia adalah dia yang semakin dekat dengan Tuhan; dan jalannya adalah melalui pengudusan.

Dan jangan lupa, di dalam kebahagiaannya Tuhan, tetap ada air mata, tapi juga  tetap itu adalah kebahagiaan. Orang yang punya kesedihan yang suci, dia punya kebahagiaan yang seperti Tuhan. Bukan air mata cengeng atau air mata mengasihani diri, tapi air mata yang suci. Ada kebahagiaan di dalam orang yang menangisi kelemahan orang-orang berdosa, yang menangisi kerusakan seperti yang ditangisi Tuhan.

2.Kebosanan

Kendala lain dalam kebahagiaan, yaitu kebahagiaan seringkali terancam dengan isu kebosanan. Dalam pernikahan juga sama.

Mengapa orang jadi bosan? Jawabannya bisa bermacam-macam --karena sesuatu berlangsung terus-menerus, tidak ada perubahan situasi/ kondisi, statis, monoton, salah tujuan. Kita bosan karena kita mengharapkan adanya perjumpaan yang tidak statis; kalau bolak-balik begitu lagi begitu lagi, memang sangat beralasan kita bisa bosan. Lalu solusinya orang bisa lari ke dunia entertainment; di situ orang seakan dijanjikan keluar dari kebosanan. Tapi ada orang yang setelah berulang-kali masuk dunia entertainment, akhirnya mentok dan bosan lagi, sampai dia mencoba entertainment lain yang lebih dalam lagi, lalu akhirnya mentok lagi dan bosan lagi, dst. dst.

Jawaban Alkitab tentang kebosanan sebenarnya sederhana, yaitu: kita sendiri harusnya bertumbuh. Kalau kita bertumbuh, kita akan jadi orang yang tidak terlalu gampang bosan. Orang yang gampang sekali bosan, pasti karena tidak bertumbuh. Bukan karena yang dia lihat selalu sama, tapi karena waktu dia melihat, dia selalu melihat dalam perspektif yang sama.

Orang yang tidak bertumbuh, waktu dia melihat  Alkitab, baginya Alkitab itu selalu sama; padahal kita tahu Alkitab tidak statis seperti begitu. Alkitab itu mempertumbuhkan kita; baik dalam karakter diri –termasuk juga mengikis kita menjadi rendah hati, dalam pengenalan akan orang lain, dan dalam mempunyai perspektif yang benar akan Tuhan baik dalam dukacita maupun dalam bahagia.

Dan waktu kita bertumbuh, kita bisa melihat Alkitab yang sama itu, yang kelihatannya statis itu, sebagai kekuatan yang terus-menerus mengubah kehidupan kita. Jadi kita tidak akan bosan dengan perjumpaan itu. Melihat Tuhan itu tidak mungkin bosan, karena setiap kali berjumpa dengan Tuhan yang nyata, kehidupan kita diubahkan; selalu ada perspektif yang baru, yang sebelumnya tidak ada pada kita. Itu mencegah kita dari kebosanan.

Tetapi alangkah celakanya orang yang tidak bertumbuh. Semua yang dilihatnya jadi sama terus. Dia tidak ada perspektif yang baru, selalu lihat itu lagi, itu lagi, itu lagi, akhirnya tidak mungkin bahagia. Kebosanan menghancurkan kebahagiaan.

3.Iri Hati

Kendala kebahagiaan yang lain yaitu persoalan iri hati, seperti Saul yang iri hati kepada Daud. Iri hati membuat penampungan orang akan anugerah Tuhan menjadi sempit. Seseorang cuma bisa bahagia kalau dia menjumpai anugerah Tuhan, dan bahwa anugerah Tuhan itu begitu limpah. Tapi kalau dia membatasi penerimaan anugerah Tuhan dengan iri hatinya, artinya dia tidak bisa melihat kemurahan, kebesaran, dan kasih karunia Allah, sebaliknya dia melihatnya sempit sekali, maka tidak mungkin bisa bahagia.

Kalau orang mau bahagia, dia musti membuka perspektifnya lebar-lebar untuk menerima anugerah Tuhan, bukan cuma di dalam dirinya saja, tapi juga di dalam diri orang lain. Itu baru benar-benar bahagia. Tuhan itu bahagia, karena di dalam hati-Nya Dia melihat banyak orang, bukan cuma melihat diri-Nya sendiri.

4.Terlalu Bergantung Pada Keadaan Eksternal

Kendala kebahagiaan yang lain dalam kebahagiaan adalah waktu kita terlalu bergantung dengan keadaan di sekeliling kita, melebihi pengenalan kita akan Tuhan. Kita lebih sedih waktu keadaan sekitar kita tidak sesuai dengan yang kita harapkan, daripada waktu kita tidak mengenal Tuhan lebih dalam lagi.

Alkitab tidak mengajarkan supaya kita tidak tersentuh sama sekali dengan situasi diluar –itu tidak manusiawi, dan juga tidak pernah diajarkan oleh Yesus—tapi maksudnya jangan meletakkan penghiburan kita di sana. Yesus berkata: “celakalah kamu orangorang yang kaya” –bukan soal karena kaya-nya—kalimat berikutnya adalah “di dalam kekayaanmu kamu menemukan penghiburanmu”. 

Jadi bukan orang yang kaya yang celaka, kekayaan itu sendiri juga bukan sesuatu yang celaka, yang celaka adalah orang yang menjadikan kekayaan itu sebagai tempat penghiburannya. Tempat penghiburan sebetulnya adalah di dalam Tuhan, bukan di dalam kekayaan, bukan di dalam keadaan luar kita.

Oleh sebab itu, ketika dalam pernikahan kita mengalami saat-saat disakiti, dsb., kita musti menjadikan hal itu sarana supaya kita menjadikan Tuhan tempat penghiburan kita.

Calvin, pernikahannya mungkin salah satu yang paling bahagia, tapi di dalam pernikahan yang bahagia itu Calvin mengatakan “kita tidak bisa dipuaskan sepenuhnya oleh pasangan kita, itu cuma bisa dilakukan oleh Tuhan”. Inilah orang yang tidak meletakkan kebahagiaannya pada keadaan di luar. Secara sederhana, kebahagiaan pernikahan itu adalah Tuhan –pengenalan akan Tuhan--, bukan soal ‘saya puas dengan pasangan saya’. Dan ini bukan kalimat klise, tapi kalimat yang sungguh-sungguh. Pasangan kita juga bisa menjadi keadaan eksternal juga, yang kepadanya kita terlalu bergantung, akhirnya kita punya pengharapan yang tidak realistis lagi, menuntut dia menjadi kebahagiaan kita.

B.KUNCI KEBAHAGIAAN

Setelah melihat kendala-kendala dalam kebahagiaan, lalu apa sebenarnya yang menjadi kunci kebahagiaan?

1.Pengenalan

Kebahagiaan itu kaitannya dengan pengenalan, ini kata kuncinya; yaitu pengenalan akan Tuhan, dan pengenalan akan sesama, bukan keadaan eksternal. Saya bahagia kalau saya mengenal pasangan saya (sesama saya), seperti juga kalau saya mengenal Tuhan itu kebahagiaan.
Pertanyaannya: apa artinya mengenal? Menurut definisi Alkitab, mengenal adalah mengenalnya  di dalam kasih. Dan kita tahu “kasih/cinta” pada orang Kristen bukan dalam pengertian suka atau senang.

Anak saya yang masih kecil kadang mengatakan “aku suka papa”, memang dia levelnya masih di situ. Menurut anakanak, cinta itu artinya suka; karena dia baru mendapatkan sesuatu dari kita, jadi dia suka kita. Nanti kalau dia lagi sebel, dia tidak suka. Jadi ini adalah tentang  suka atau tidak suka, yang sangat tergantung pada orang yang menerimanya  secara subyektif.

Tapi di dalam Alkitab, kita bicara ‘kasih/ cinta’ bukan dalam level suka-tidak suka itu, melainkan mengetahui di dalam kasih. Tuhan itu mengenal kita, Dia mengetahui kita di dalam kasih. Dan waktu Tuhan melihat kita, kita bukan di dalam keadaan kudus; Alkitab mengatakan, Yesus itu mati di atas kayu salib waktu kita masih menjadi seteru Allah. Itu pengertian Alkitab tentang ‘mengenal dalam kasih’.

Kita semakin mengenal pasangan kita, melalui kasih/cinta. Sebagaimana Tuhan mengenal kita di dalam cinta-Nya / kasih-Nya dan kita juga mengenal Tuhan di dalam kasih  kita kepada-Nya, demikian juga kita mengenal sesama melalui kasih.

Peribahasa mengatakan “tak kenal maka tak sayang”, artinya orang di dunia ini maunya tahu lebih dahulu, baru dari situ dia memutuskan apakah mau sayang atau tidak. Ini peribahasa yang sebetulnya tidak komplit; yang komplit adalah bukan cuma “tak kenal maka tak sayang” saja, tapi juga “tak kenal maka tak benci”. Orang bilang:“Kamu belum tahu sih ini orang baik sekali, kalau kamu tahu, baru kamu bisa suka sama dia”, itu maksudnya tak kenal maka tak sayang / tak suka.


Tapi sebaliknya juga betul; “Kamu belum tahu kelemahannya dia, kalau kamu tahu betapa pelitnya dia, betapa egoisnya dia, kamu akan sebel; sekarang saja kamu masih naif mengira dia baik.”
Inti dari peribahasa itu, bahwa kita ini berdaulat untuk menentukan siapa yang akan kita suka dan tidak suka, berdasarkan pengetahuan itu telah membuat saya selektif untuk memilah-milah siapa yang layak saya cintai dan tidak layak saya cintai. Tapi kalau dalam perspektif Alkitab, kita justru mengenal orang waktu kita mencintai.

Yang lebih dahulu, kalau menurut dunia adalah mengetahui, lalu setelah itu baru mencintai. Menurut Alkitab, yang lebih dulu adalah mencintai, setelah itu baru mengenal. Oleh sebab itu di dalam pernikahan, kebahagiaan bukan dengan mengetahui kelebihan dia atau kekurangan dia, dsb., melainkan dari cinta. Pendekatannya dari cinta, kemudian masuk ke dalam pengenalan, termasuk pengenalan akan kekurangan dia, yang sanggup saya topang karena ada cinta. Waktu cinta itu berhenti, kita punya pengenalan juga akan berhenti. Cinta selalu mendahului pengenalan.

Yang lebih dahulu, kalau menurut dunia adalah mengetahui, lalu setelah itu baru mencintai. Menurut Alkitab, yang lebih dulu adalah mencintai, setelah itu baru mengenal. Oleh sebab itu di dalam pernikahan, kebahagiaan bukan dengan mengetahui kelebihan dia atau kekurangan dia, dsb., melainkan dari cinta. Pendekatannya dari cinta, kemudian masuk ke dalam pengenalan, termasuk pengenalan akan kekurangan dia, yang sanggup saya topang karena ada cinta. Waktu cinta itu berhenti, kita punya pengenalan juga akan berhenti. Cinta selalu mendahului pengenalan.

Intinya adalah: jangan coba untuk mengenal sesama tanpa kasih. Itu akan membawa kita kepada suka-tidak suka tadi. Mulai dari pengetahuan dan  pengenalan saya maka itu membangkitkan ‘suka’ saya –itu namanya jalan favoritisme, jalan memihak dan membeda-bedakan orang. Seseorang bisa membeda-bedakan orang karena dia masuk melalui pengetahuan lebih dahulu. Kalau orang masuk melalui kasih, pengenalannya akan selau beres. Kalau kasih tidak masuk ke sana, pengenalan pun tidak akan masuk juga. Dan orang yang memulai dengan model seperti ini, dia tidak mungkin masuk ke dalam kebahagiaan.

2.Pemenuhan Panggilan Tuhan

Kebahagiaan itu ada kaitannya dengan pemenuhan akan panggilan Tuhan atau batasan tugas yang Tuhan berikan. Siapakah suami yang bahagia atau istri yang bahagia? Yaitu orang yang tahu limitasi panggilannya. Kalau masingmasing menjalankan peran/ panggilan yang Tuhan berikan, maka itulah bahagia.

Orang tidak bahagia ketika dia tidak memenuhi panggilan Tuhan. Ada pernikahan yang suaminya menjalankan panggilan Tuhan tapi istrinya tidak; atau sebaliknya. Atau juga dua-duanya tidak menjalankan panggilan Tuhan, tentu tidak mungkin bahagia. Ada juga pernikahan yang si istri menjalankan panggilan suaminya; akhirnya tidak bahagia. Juga sebaliknya. Itu kekacauan di dalam pernikahan, karena tidak mengerti batasan tugas  panggilan Tuhan atau porsi yang Tuhan berikan. Perlu hikmat untuk menyelami hal ini.

3.Menerima Kedaulatan Allah

Kebahagiaan itu tidak bisa dipisahkan dari kedaulatan Allah. Terlepas dari kegagalan kita, kita memberikan diri dihibur dengan Allah yang berdaulat. Apa maksudnya?

Jonathan Edwards menjelaskan demikian: Tuhan itu sumber segala bahagia. Melalui Paulus, Tuhan memberikan perintah supaya kita senantiasa bersukacita, jadi pasti Dia sendiri senantiasa bersukacita.

Lalu bagaimana Tuhan bisa senantiasa bersukacita sementara di dunia ini masih banyak pelanggaran?  Dalam hal ini, kalau dilihat dari perspektif awal kejatuhan manusia, sepertinya Tuhan tidak mungkin bahagia; tapi waktu kita melihat rencana  Tuhan secara keseluruhan –artinya melihat kejatuhan manusia berada dalam kedaulatan Allah--  Tuhan punya alasan mengapa Ia tetap sebagai sumber sukacita.

Hal ini cuma bisa dilihat dari perspektif kedaulatan Allah. Yang bisa melihat seperti ini adalah Tuhan, kita tidak bisa melihat secara keseluruhan karena hidup kita pun belum selesai. Tapi di dalam iman kepada Tuhan yang berdaulat, kita bisa mengatakan bahwa ini semuanya indah, termasuk juga hal-hal yang tidak menyenangkan; meski sulit sekali mengatakan seperti ini. Kalau kita konsisten dengan perspektif kedaulatan Allah, kita harusnya mengatakan bahwa di dalam rajutan keseluruhan --meskipun kita belum mengerti-- itu indah. Kita tidak mungkin mengerti kebahagiaan tanpa mengerti kedaulatan Allah dalam arti sebenarnya.

Kalau kita tidak percaya kedaulatan Allah, bersukacita senantiasa itu tidak mungkin, karena kita cuma melihat kepingankepingan tanpa ada kaitannya, tidak berkaitan satu dengan yang lain, tidak ada rajutannya, dan seakan-akan Tuhan juga tidak berbuat apa-apa di atas sana. Jadi tidak ada alasan untuk bahagia, karena sepertinya Tuhan tidak memegang kendali.

Kedaulatan Allah bukan doktrin klise. Ini doktrin yang sangat berkaitan dengan hidup sehari-hari, termasuk soal yang sederhana seperti kebahagiaan. Seluruh ciptaan dalam kendali dan kedaulatan Allah.

4.Memberi

Alkitab juga mengajarkan kalimat yang sederhana: “memberi lebih bahagia daripada menerima”. Kalau diterapkan dalam pernikahan, kebahagiaan adalah waktu kita lebih banyak memberi daripada menerima. Ini benar untuk urusan individual suami istri, tapi juga benar untuk keluarga secara keseluruhan –keluarga musti belajar memberi, lebih daripada menerima. Itulah keluarga yang bahagia.

Jadi, kita perlu mengenali hal-hal yang seringkali ternyata menjadi kendala untuk kita menikmati kebahagiaan dalam arti yang sebenarnya. Sebagai manusia yang diciptakan oleh Tuhan, kunci “kebahagiaan” kita adalah mengenal Allah di dalam kasih dan kekudusan-Nya, serta mengenal kedaulatan-Nya. Itu juga berarti memenuhi tugas panggilan pelayanan dalam batasan yang Ia berikan, belajar menikmati kebahagiaan dengan memberi dan berkorban bagi orang-orang sekeliling kita di dalam kasih-NYA.
Next Post Previous Post