MENGENAL ALLAH DI DALAM KRISTUS

Pdt Dr. Billy Kristanto.
MENGENAL ALLAH DI DALAM KRISTUS
PERTANYAAN PERTAMA DARI KATEKISMUS JENEWA ADALAH: APAKAH TUJUAN TERAKHIR HIDUP MANUSIA?

Dan kemudian dijawab: “Mengenal Allah yang oleh-Nya manusia diciptakan.” Manusia yang tidak mengenal Allahnya dan yang tidak bertumbuh dalam pengenalan akan Allahnya, akan menjalani hidup yang sia-sia. 

Seringkali tujuan ini bersaing dengan tujuan-tujuan lain yang diciptakan oleh manusia sendiri. Manusia tidak terlalu peduli akan pengenalannya akan Allah. Manusia lebih suka mencapai sukses secara materi, dihormati dan disegani oleh orang lain, dikagumi, dilayani, dan seterusnya. Ini semua tentunya tidak harus salah, namun sesungguhnya itu bukanlah tujuan tertinggi hidup manusia.

Seringkali justru tujuan-tujuan yang lebih sepele inilah yang menghalangi manusia untuk lebih mengenal Allah. Berapa banyak orang kaya yang akhirnya tidak bertumbuh dalam pengenalannya akan Allah, karena ia sudah mendapatkan penghiburannya dalam kekayaan (bdk. Lukas 6:24)? Berapa banyak orang yang sangat dihormati, ya, bahkan ditakuti oleh banyak orang, akhirnya kehilangan takut akan Allah? Penulis Kitab Amsal berdoa kepada Tuhan: “Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan.

Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu dan berkata: Siapa TUHAN itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri, dan mencemarkan nama Allahku” (Amsal 30: 8-9). Kekayaan memang dapat membuat manusia menyangkal Allah. Namun, bukan hanya kekayaan saja, ternyata kemiskinan pun bisa membuat manusia mencemarkan nama Allah.

Kitab Amsal banyak mengajarkan jalan hidup yang moderat. Tidak terlalu kaya dan tidak terlalu miskin, melainkan memperoleh bagian yang memang diperuntukkan baginya. Kebutuhan setiap manusia sebenarnya tidak banyak. Tuhan telah membuktikan bahwa Israel bisa hidup dengan manna saja ketika mereka berjalan di padang gurun. 

Mereka bisa mencukupkan diri hanya dengan manna karena ada kehadiran Tuhan di sana. Inilah yang Tuhan kehendaki juga dalam kehidupan Saudara dan saya. Belajar hidup mencukupkan diri, sehingga kita bisa semakin mengenal Allah. Orang yang terlalu kenyang sulit untuk menikmati Allah. Demikian pula orang yang terlalu lapar.

5 Cara mengenal Allah di dalam Kristus:

1. MENGENAL ALLAH YANG ADALAH PENCIPTA

Pengenalan Allah yang pertama, bahwa Dia adalah Pencipta kita. Jika kita percaya bahwa Allah menciptakan kita, maka kita perlu mengetahui apa yang menjadi arti hidup seperti yang diinginkan oleh Pencipta itu. Jika kita mengakui diri kita diciptakan oleh Allah, maka ini berarti kita tidak perlu mencari arti hidup kita sendiri, karena arti hidup itu telah diberikan oleh Pencipta kita.

Kita diciptakan untuk mendapatkan hidup yang kekal, bukan kebinasaan. Namun, apa artinya hidup kekal? Yesus mengatakan, “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satusatunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus” (Yohanes 17:3).

Hidup kekal bukan hanya sekedar hidup yang panjang, tidak ada akhirnya. Hidup kekal terutama bukanlah berurusan dengan durasi kuantitatif (panjangnya umur), melainkan berurusan terutama dengan kualitas hidup, berurusan dengan relasi dengan Allah.

Tidak ada gunanya bagi seseorang memiliki hidup yang sangat panjang namun tidak mengenal Allah. Yesus mengatakan bahwa hidup yang kekal berarti mengenal Allah, mengenal Bapa yang mengutus Anak, dan mengenal Anak, yaitu Yesus Kristus. Kekristenan mengajarkan hidup yang mengenal Allah.

2. MENGENAL ALLAH YANG ADALAH PEMBERI HIDUP

Tadi kita mengatakan pengenalan akan Allah yang pertama adalah mengenal Dia sebagai Pencipta kita. Setelah kita mendapati arti hidup kita dari Sang Pencipta, kita sekarang tahu bahwa Allah bukan hanya Pencipta kita melainkan juga Pemberi hidup. Ya, tanpa Allah, Sang Sumber Hidup, kita binasa. Alkitab mengajarkan, bahwa kejatuhan manusia ke dalam dosa telah mendatangkan maut atau kematian. 

Semua manusia akan mengalami ajalnya suatu saat. Yang satu menemuinya pada usia yang relatif dini, yang lain pada usia yang sangat lanjut. Ini bukanlah isu yang terpenting dalam hidup manusia. Yang terpenting sesungguhnya adalah: dalam hidupnya yang pendek ataupun panjang, apakah manusia masuk ke dalam pengenalan akan Allah yang benar.

• Mengenal Allah Berarti Menjadi Saksi-Nya
Ketika Yesus menyebut diri-Nya sebagai yang diutus oleh Allah, ini berarti Dia datang membawa pesan untuk umat manusia, dan bahwa pesan-Nya tersebut berasal dari Allah, Bapa-Nya. Mereka yang menerima perkataan Yesus sebagai Firman Allah, berarti mengakui Yesus sebagai yang diutus oleh Allah. Yesus tidak berkata-kata dari diri-Nya sendiri, melainkan Dia mengatakan yang diterima-Nya dari Bapa.

Jika kita sungguh mengenal Allah dan mengenal Anak-Nya yang telah diutus ke dalam dunia, kita harus sadar bahwa kita sendiri yang percaya juga diutus untuk menjadi saksi-Nya di dunia ini. Sama seperti Yesus yang tidak berbicara dari diri-Nya sendiri, orang-orang Kristen tidak seharusnya berbicara dari dirinya sendiri, melainkan berbicara mewakili Allah, mengatakan yang diterimanya dari Allah. Ketika orang yang mengaku percaya berkata-kata dari dirinya sendiri dan bukan yang dari Allah, sesungguhnya dia bukanlah utusan Allah, melainkan seorang nabi palsu. Nabi palsu mengatas-namakan Allah, padahal Allah tidak pernah menyuruhnya berbicara demikian.

Seorang yang mengenal Allah tahu membedakan suara Allah. Yesus mengatakan domba-domba-Nya mengenal suara-Nya (bdk. Yohanes 10:4). Ini adalah janji Allah yang besar. Bukan dengan kehebatan kita dapat membedakan suara Gembala yang sejati dari pencuri dan perampok, melainkan berdasarkan janji Allah sendiri. Mereka yang sungguh-sungguh adalah milik Allah akan bisa membedakan mana suara Allah yang sesungguhnya, mana yang bukan.

•  Mengenal Allah Berarti Mengasihi  Allah dan Dikuduskan
Kita mengenal Allah karena Allah telah terlebih dahulu mengenal kita. Apa artinya Allah mengenal kita? Mengenal di dalam pengertian Alkitab artinya mengetahui di dalam kasih. Allah mengenal kita karena Dia menjadikan kita obyek kasih-Nya. Kematian Kristus di atas kayu salib menjadi dasar identitas kita sebagai orang yang percaya. Pengenalan tidak dapat dipisahkan dari mengasihi.

Jika Allah sendiri mengenal kita di dalam kasih-Nya kepada kita, maka pengenalan kita akan Allah juga tidak mungkin tanpa kasih. Orang yang mengenal Allah mengasihi Allah. Tidak mungkin seseorang mengenal Allah tanpa kasih kepada-Nya. Mengetahui tentang Allah atau mengetahui ajaran tentang Allah adalah suatu hal, sedangkan mengenal Allah adalah hal yang lain lagi. Banyak orang yang memiliki pengetahuan ide tentang Allah; namun, Alkitab mengajarkan pengenalan akan Allah yang disertai dengan sikap mengasihi Allah.

Mengenal Allah berarti mengasihi Allah. Mengasihi Allah berarti mempersembahkan semua yang ada pada kita bagi Allah. Kasih bukan hanya sebatas perasaan sentimental yang kita dapat ekspresikan pada saat beribadah pada hari Minggu. Kasih kepada Allah berarti membiarkan Dia membentuk dan menguduskan kehidupan kita. Ketika kita hidup dikuduskan, semakin menyerupai Kristus, itu berarti juga kita semakin mengenal Allah; bukan hanya secara teoretis belaka, melainkan mengenal Dia karena kita menjadi serupa dengan Dia.

Dikuduskan oleh Allah berarti juga dipakai oleh Allah. Allah menguduskan kita agar kita boleh dengan leluasa dipakai menjadi alat-Nya. Dua hal ini (keserupaan dengan Allah dan berguna bagi Allah) tidak perlu dipertentangkan. Mereka yang hanya mementingkan bagaimana dipakai oleh Allah tanpa mementingkan pentingnya dibentuk oleh Allah sebenarnya tidak akan sungguh-sungguh dipakai oleh Allah.

Sebaliknya, mereka yang hanya mementingkan pembentukan karakter dan spiritualitas namun tidak/ kurang bersedia untuk dipakai oleh Allah sebenarnya juga tidak sungguh-sungguhsedang hidup dikuduskan. Allah tidak mengenal dualisme ini. Bagi Dia, dikuduskan termasuk di dalamnya keserupaan dengan Allah dan juga siap untuk dipakai oleh-Nya. Keserupaan dalam karakternya yang benar, adil, setia dan penuh kasih.

• Mengenal Allah Itu Tidak Statis
Mengenal Allah tidak dapat direduksi hanya berdasarkan kategori sudah atau belum. Karena jika kita memaksakannya, kita cenderung akan berpuas diri jika menganggap diri kita sudah mengenal Allah. Sementara di dalam Alkitab, pengenalan akan Allah itu terus bertumbuh. Pertanyaannya bukan apakah kita sudah mengenal Allah, melainkan apakah kita semakin mengenal Allah. Pengenalan akan Allah tidak statis sifatnya.

Pengenalan yang benar membawa kita ke dalam sikap semakin mengasihi dan mempersembahkan diri bagi Allah. Orang yang sudah mengenal Allah tidak berhenti mengejar kedalaman pengenalan akan Allah. Inilah arti persekutuan dengan Allah yang sesungguhnya. Paulus menulis: “Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati” (Filipi 3:10-11).

Ayat di atas memberikan makna yang penting atas penderitaan yang dialami oleh manusia, yaitu agar melaluinya kita dapat mengenal Allah. Penderitaan dapat dipakai oleh Allah untuk membuat kita semakin mengenal Dia. Penderitaan adalah sebuah sarana untuk mencapai tujuan hidup yang tertinggi yaitu mengenal Allah. Alangkah indahnya jika ketika kita menderita, kita belajar untuk semakin mengenal Allah; karena Kristus pun juga telah menderita bagi kita.

Kristus menderita dalam kasih-Nya kepada umat manusia. Maka kita pun seharusnya berani menderita ketika kita mengasihi. Sama seperti pengenalan akan Allah tidak dapat dipisahkan dari kasih, maka penderitaan yang menurut kehendak Tuhan tidak mungkin dapat dipisahkan dari mengasihi. Tuhan tidak memuji segala jenis penderitaan. Tidak semua penderitaan manusia menjadikan kita serupa dengan Kristus. Penderitaan karena mengasihilah yang serupa dengan penderitaan Kristus.

Kita dipanggil bukan hanya untuk diselamatkan, melainkan juga untuk menderita. Memang, penderitaan ini bukanlah tujuan akhir pada dirinya sendiri, melainkan lebih merupakan sebuah sarana, ya, sarana agar kita dapat lebih bersekutu dengan Kristus, yang juga telah menderita. Ketika kita mendapati kenyataan bahwa hidup kita kurang menderita, itu hanya menyatakan bahwa kita kurang mengasihi. 

Dunia ini adalah dunia yang tidak bersahabat. Ketika kita mengasihi orang-orang berdosa, tidak mungkin kita tidak mengalami penderitaan karena di dalam kasih tersebut selalu melibatkan pengorbanan. Ketika kita belajar berkorban bagi sesama kita, di situlah kita belajar untuk semakin mengerti isi hati Allah, yang telah berkorban terlebih dahulu bagi kita.

3.MENGENAL ALLAH YANG ADALAH PEMELIHARA

Allah bukan saja Allah Pencipta, melainkan juga adalah Allah Pemelihara. Pertanyaan ke-26 dari Katekismus Heidelberg berbunyi: “Apa yang Saudara percayai bila Saudara berkata, Aku percaya kepada Allah Bapa, Yang Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi?” Dan kemudian dijawab: “Bahwa Bapa yang kekal dari Tuhan kita Yesus Kristus, yang telah menciptakan langit dan bumi serta segala isinya dari yang tiada, dan juga tetap memelihara dan memerintahnya menurut rencana-Nya yang kekal dan pemeliharaan-Nya, adalah Allah dan Bapaku karena Anak-Nya, yaitu Kristus.

Aku percaya kepada-Nya, bahkan aku tidak meragukan, Dia akan memeliharaku dalam semua kebutuhan tubuh dan jiwaku, dan juga mengubah segala bencana yang ditimpakan-Nya atasku di dunia yang penuh sengsara ini, menjadi kebaikan untukku. Sebagai Allah yang Mahakuasa Dia memang sanggup berbuat demikian, dan sebagai Bapa yang setiawan Dia berkehendak pula melakukannya.”

Bukan hanya kebutuhan kita saja yang ada dalam pemeliharaan Allah, melainkan juga bencana atau kesulitan yang menimpa kita pun, dalam pemeliharaan Allah akan menjadi kebaikan bagi kita yang percaya (bdk. Roma 8:28). Memang, kita tidak dapat menyelami hikmat Allah sepenuhnya. Kita sangat terbatas untuk memahami apa yang direncanakan-Nya. 

Bagi Paulus, “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan”, artinya adalah Allah yang sanggup memelihara kita dan memastikan bahwa kita akan menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya (Roma 8:29). Kebaikan di sini artinya bukan kualitas hidup yang lebih baik menurut ukuran dunia ini. Tidak! Kebaikan artinya di sini adalah keserupaan dengan Kristus.

Di dalam pengajaran teologi Reformed, doktrin penetapan dan kedaulatan Allah tidak dapat dipisahkan dengan pemeliharaan Allah. Pengajaran ini kita terima dari Alkitab. Ketika Yesus Kristus mengatakan, “Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit? Namun seekor pun dari padanya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak Bapamu. Dan kamu, rambut kepalamupun terhitung semuanya” (Matius 10:29-30), Ia hendak mengatakan bahwa kehendak kedaulatan Allah memberikan kita penghiburan, bahwa Allah kita adalah Allah yang memelihara hidup kita, bahkan melampaui kesanggupan kita memelihara diri kita sendiri.

Istilah “providensia” yang berasal dari bahasa Latin memiliki arti harafiah penglihatan sebelum. Allah telah melihat kehidupan kita sebelum kita memasuki nya. Ini berarti Allah telah mengetahui apa yang kita butuhkan sebelum kita berada pada saat itu. Jika kita mengenal Allah sebagai pemelihara, kita tidak perlu terlalu menguatirkan hidup ini.

4.MENGENAL ALLAH DI DALAM SALIB

Mengenal Allah yang sejati berarti mengenal Dia dalam kelemahan-Nya. Ini menjadi pernyataan tesis dari Martin Luther dalam disputasi yang dilakukannya di kota Heidelberg, Jerman, pada bulan Maret 1518, sekitar setengah tahun setelah peristiwa 95 tesis di kota Wittenberg. Konsep ini dikenal dengan istilah teologi salib (theologia crucis).


Apa artinya mengenal Allah dari perspektif salib? Bagi Luther, ini berarti mengenal Dia dalam kelemahan dan kebodohan seperti dikatakan oleh Rasul Paulus dalam 1 Korintus 1:19-25. Allah tidak mendemonstrasikan kuasa dan kebesaran-Nya melalui cara kebesaran dunia. Ya, di atas kayu salib kita tidak melihat kemuliaan melainkan kehinaan. Namun, apa yang dipandang hina oleh dunia inilah yang dinyatakan mulia oleh Allah. 

Apa yang dianggap bodoh oleh dunia dinyatakan berhikmat oleh Allah. Apa yang lemah dinyatakan sebagai apa yang kuat dan berkuasa oleh Allah. Inilah teologi salib. Teologi salib menolak kemuliaan menurut dunia ini, dan memilih jalan kemuliaan menurut Allah.

Jika kita mengenal Allah, jika Gereja sungguh-sungguh mengenal Allah, maka gereja tidak akan turut bersaing dan berlomba-lomba untuk menyatakan kebesaran dan kemuliaannya menurut cara dunia ini, karena bagi Allah itu suatu kebodohan. Gereja yang diberkati Allah adalah gereja yang berjalan dalam kerendahan dan kehinaan salib. Mereka yang suka menonjolkan diri dan bermegah seperti dunia ini sesungguhnya adalah orang-orang yang tidak mengenal Allah.

Paulus mengatakan, “Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus” (Filipi 3:8). Ini adalah konsep nilai. Jika seseorang sungguh-sungguh mengenal Kristus, apa yang dahulu merupakan keuntungan dan kemuliaan baginya, sekarang dianggap rugi dan hina. Pengenalan akan Kristus menjadikan semua yang lain seperti sampah yang tidak berharga.

5.MENGENAL ALLAH DI DALAM SANG ANAK

Mengenal Allah berarti mengenal Kristus, Sang Anak Allah. Dalam Kristus dinyatakan hidup Allah dalam segala kepenuhan dan kesempurnaannya. Yesus berkata kepada Filipus, “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yohanes 14:9). Ini bukan berarti bahwa Yesus adalah Bapa, melainkan bahwa Yesus merepresentasikan kehidupan Bapa-Nya dengan sempurna. Ia hanya mengerjakan pekerjaan Bapa-Nya dan berkata-kata dari Bapa-Nya.

Ketidakmengertian Filipus yang dinyatakan dengan pertanyaan “Tunjukanlah Bapa itu kepada kami” disebabkan karena Filipus, sekalipun telah sekian lama Yesus bersamanya, tidak mengenal Yesus. Yesus adalah satu-satunya jalan kepada Bapa. Barangsiapa tidak mengenal Yesus tidak mengenal Bapa. Allah telah berkenan menyatakan diri-Nya melalui Anak yang telah diutus-Nya ke dalam dunia. Penolakan terhadap Sang Anak berarti penolakan terhadap Dia yang telah mengutus Sang Anak.

Apa artinya mengenal Allah Bapa melalui Allah Anak? Ini berarti kita menjadikan Yesus sebagai jalan hidup kita. Tidak cukup hanya mengakui Yesus satu-satunya jalan menuju kepada Bapa, namun masing-masing kita mengambil jalan kita sendiri. Jika kita menyebut Yesus sebagai jalan, kita diundang untuk menjadikan hidup-Nya sebagai jalan hidup kita. Ini tidak berarti kita akan menjalani kehidupan yang sama persis seperti yang dialami oleh Yesus (tidak semua orang percaya akan mati sebagai martir), namun kita berjalan sesuai dengan prinsip pengajaran yang telah diberikan-Nya.

Ini berarti kita perlu mengenal sifat-sifat yang ada pada Kristus, yang adalah sifat Allah sendiri, yang dikomunikasikan kepada kita: kerendahan hati-Nya, kelemah-lembutan-Nya, kesabaran-Nya, kasih-Nya, belas kasihan-Nya, ketekunan dan kesetian-Nya, keadilan-Nya, kekudusan-Nya, dan sifatsifat yang lain. Mengenal Allah berarti hidup dalam sifat-sifat Allah.

Katekismus Singkat Westminster mengajarkan, bahwa Firman Allah sebagaimana tercantum dalam Kitab-kitab Suci adalah satu-satunya pedoman yang menunjukkan bagaimana kita memuliakan dan menikmati Allah (pertanyaan ke-2). Pertanyaan ke-3 menyambungnya dengan mengajarkan, bahwa yang terutama diajarkan oleh Kitab-kitab Suci adalah apa yang harus dipercayai oleh manusia tentang Allah dan apa tugas kewajiban yang dituntut Allah dari manusia.

Dalam Mikha 6:8 kita membaca bahwa yang dituntut TUHAN dari pada kita yaitu “berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allah.” Manusia yang mengenal Allah mencintai dan memperjuangkan keadilan. Tidak bergaul hanya dengan orang-orang kaya melainkan dengan orang miskin juga. Tidak hanya memperhatikan mereka yang terhormat melainkan mereka yang sederhana juga. Ini seperti cerita Injil penebusan yang bukan hanya bagi sekelompok jenis orang melainkan bagi semua manusia.

Mencintai kesetiaan atau kebaikan berarti bukan hanya sekedar secara pasif tidak berbuat jahat melainkan terutama secara aktif melakukan kebaikan. Allah yang kita kenal adalah Allah yang menerbitkan matahari dan menurunkan hujan bagi orang yang jahat dan orang yang baik (bdk. Matius 5:45). Orang yang mengenal Allah tidak hanya berbuat baik kepada mereka yang berbuat baik kepadanya, melainkan juga kepada musuhnya.


Hidup dengan rendah hati pertama-tama adalah sikap hati di hadapan Allah, bukan di hadapan manusia. Kerendahan hati di hadapan manusia bisa lahir dari kepura-puraan, kemunafikan, atau ketakutan. Namun, tidak ada orang yang bisa berpura-pura di hadapan Allah. Orang yang mengenal Allah merendahkan dirinya di hadapan Allah. Ia bergantung pada Allah dan mengharapkan belas kasihan dan pengampunan-Nya. Ia menyadari dosa-dosa dan kekurangannya. Ia memberi dan mengembalikan semua kemuliaan bagi Allah.

Dari relasi yang seperti inilah terpancar kehidupan yang rendah hati di hadapan sesama manusia. Orang yang tidak rendah hati di hadapan sesamanya, sesungguhnya hanya menyatakan ketidak-rendah-hatiannya di hadapan Allah. Seseorang yang mengenal Allah yang Mahabesar tahu bahwa dirinya kecil dan tidak berarti. Seseorang yang mengenal Allah yang Mahakuasa tahu bahwa dirinya lemah dan tidak berdaya. Seseorang yang mengenal Allah yang Mahasuci tahu bahwa dirinya najis dan berdosa.

Kita seringkali kurang mengenal diri kita karena kita suka berdiri di hadapan manusia dan bukan di hadapan Allah. Mikha mengatakan, bahwa kepada kita manusia telah diberitahukan apa yang baik. Manusia yang mengenal Allah menjalankan apa yang dituntut Allah dari pada mereka. Kiranya Allah menolong kita.AMIN=
Next Post Previous Post