KEKRISTENAN YANG BERPUSATKAN KRISTUS (KRISTOSENTRIS)

Pdt.Samuel T. Gunawan, M.Th.
KEKRISTENAN YANG BERPUSATKAN KRISTUS (KRISTOSENTRIS)
KEKRISTENAN YANG BERPUSATKAN KRISTUS (KRISTOSENTRIS). Salah satu penyebab kesalahan pemahaman teologis Yahweisme adalah kegagalan mereka memahami bahwa pusat dari Kekristenan adalah Kristus (Kristosentris) bukan tradisi Yahudi atau pun tradisi rabinik Yudaisme. Telah disebutkan sebelumnya bahwa ajaran dan praktek Yahweisme itu bervariasi dan tidak linier. Ada yang hanya ingin memulihkan nama YAHWEH, menyebut Yesus sebagai Yashua. 

Namun ada juga yang sudah melangkah lebih jauh yakni menggunakan ibadat hari-hari Raya Yahudi untuk menggantikan hari-hari raya Kristen. Ada yang sudah tidak lagi merayakan Paskah, kebangkitan Kristus dari antara orang mati dan menggantikan dengan perayaan Paskah Yahudi, yakni mengenang keluarnya Israel dari tanah Mesir. Ada juga yang sudah menjalankan ibadah pada hari sabtu sebagai pengganti hari minggu. Lambat laun seluruh aliran ini akan kembali ke akar Yahudi. 

Teguh Hindarto teolog Yahweisme dari kelompok Messianic Judaism Movement (MJM) Indonesia menulis demikian, “Berbeda dengan mayoritas Kekristenan, maka komunitas Mesianik Yudaisme/Yahudi tidak memelihara tradisi perayaan Christmass (Natal) dan Easter (Paskah ala Gereja Barat), maupun Sunday Worship (Ibadah Minggu). 

Ada alasan-alasan teologis yang mendasarinya… Sebaliknya, komunitas ini memelihara ketetapan mengenai Moedim (Hari Raya) yang telah diperintahkan dalam Imamat 23:1-44 yaitu: Pesakh (14 Nisan), ha Matsah (15-21 Aviv), Sfirat ha Omer (menghitung omer setelah shabat), Shavuot (50 hari setelah Sfirat ha Omer-Buah Sulung), Yom Truah/Rosh ha Shanah (1 Tishri), Yom Kippur (10 Tishri), Sukkot (15-21 Tishri). Selain itu beberapa perayaan tradisi Yahudi yang berkaitan dengan peristiwa bersejarah seperti Purim, Khanukah, Tisha ba Av, dan lain-lain”.[2]

Kelihatannya, kembali ke akar Ibrani ini memang merupakan salah satu tujuan kelompok Yahweisme mewajibkan pemakaian nama YAHWEH, yaitu pemikiran bahwa Kekristenan berakar pada agama Yahudi. 

Selanjutnya, Teguh Hindarto menuliskan, “Tiga karakteristik umum dan khas dari Mesianik Yudaisme, yaitu: Pertama, suatu pergerakan spiritual dikalangan komunitas Yahudi [bangsa] dan Yudaisme [agama]. Kedua, mereka beriman pada Yahshua sebagai Mesias dan menerima TaNaKh dan Brit Khadasha [Perjanjian Baru], sebagai kitab suci yang diilhamkan Ruakh ha Kodesh. Ketiga, mereka tetap mempertahankan gaya hidup, tradisi dan kebudayaan luhur Yahudi yang dipelihara berabad-abad, sebagai warisan kebudayaan suatu bangsa”.[3] 

Salah satu ayat yang paling sering dipakai untuk mendukung pendapat agar kembali ke akar Ibrani ini adalah pernyataan Yesus kepada perempuan Samaria dalam Yohanes 4:22, “.. keselamatan datang dari bangsa Yahudi”. Yusak Hadisiswantoro dalam khotbahnya yang berjudul Seri Yahweh mengatakan, “Yesus sendiri berkata keselamatan itu berasal dari orant-orang Yahudi, bukan dari bangsa Arab, tetapi dari bangsa Yahudi”. [4]

Berikut ini tanggapan saya terhadap pendangan yang mewajibkan Kekristenan kembali akar Ibrani. 

1. Maksud dari penyataan Yesus “οτι η σωτηρια εκ των ιουδαιων εστιν (hoti hê sôtêria ek tôn ioudaiôn)” dalam Yohanes 4:22 ini menunjuk pada keistimewaan yang diberikan Allah kepada bangsa Yahudi, yaitu dengan diberikannya Firman Tuhan kepada mereka (Roma 3:2), sehingga dari merekalah pengertian yang benar tentang Allah dan keselamatan bisa tersebar ke seluruh dunia. Namun yang perlu diperhatikan ialah bahwa keselamatan itu bukan karena bangsa Yahudi melainkan “ek” (dari, datang, atau keluar dari)” orang Yahudi. 

Kata Yunani “εστιν (estin)” ditulis dalam bentuk tunggal mengacu kepada Mesias yang datang dari keturunan Yehuda. Secara spesifik keselamatan disini menunjuk pada Kristus Sang Juruselamat. Yesus adalah orang Yahudi dari garis keturunan Yehuda (Bandingkan Roma 9:5).[5] Dengan demikian ayat ini harus ditafsirkan tidak lepas dari penggenapannya dalam Kristus. 

Jadi keselamatan datang dari bangsa Yahudi dalam Yohanes 4:22 tidak boleh ditafsirkan dengan sembarang seakan-akan ayat itu mewajibkan orang-orang Kristen mengikuti budaya Yahudi atau tradisi rabinik Yudaisme. Mengapa? Karena ini bertentangan dengan ayat-ayat sebelumnya, dimana dalam ayat 20 ketika wanita Samaria itu mengatakan, “Nenek moyang kami menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu katakan, bahwa Yerusalemlah tempat orang menyembah”, Yesus langsung membantuh pendapat wanita Samaria ini (juga pendapat umum saat itu) dengan menegaskan demikian bahwa , “saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem” (ayat 21). 

Pertanyaan pentingnya adalah “apakah karena Yesus orang Yahudi dan rasul-rasulNya juga orang Yahudi maka secara otomatis orang-orang bukan keturunan Yahudi harus mengikuti tradisi Yahudi atau tradisi Rabinik Yudaisme ?” Jawabannya dengan tegas “tidak!” Justru pemaksaan yang demikian bertentangan dengan ajaran Yesus dan rasul-rasul. Karena tidak ada satu bagianpun di dalam ajaran Yesus Kristus dan rasul-rasul yang memerintahkan, mewajibankan ataupun mengindikasikan bangsa-bangsa bukan Yahudi untuk mengikuti tradisi Yahudi atau tradisi Rabinik Yudaisme.

2. Gereja [6] merupakan entitas yang berbeda dari Israel (Yudaisme). Ketika Tuhan kita Yesus Kristus mengatakan ”Aku akan mendirikan jemaatKu” jelas tertulis dalam bentuk kata kerja yang akan datang, yang menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang belum dikerjakan Kristus sampai saat itu (Matius 16:18). 

Sesungguhnya Gereja baru mulai sebagai realita yang berfungsi ketika Roh Kudus dicurahkan pada Hari Pentakosta. Gereja bukanlah kesinambungan dari Israel, walaupun ada terdapat kesinambungan antara mereka yang ditebus dari segala zaman yang berhubungan dengan surga sebagai tujuan mereka.[7] Gereja belum ada dalam zaman Perjajian Lama, namun baru ditetapkan pada hari Pentakosta. Gereja ada (eksis) karena Kristus yang mendirikannya. Yesus Kristus Tuhan kita adalah Pendiri Gereja. 

Perhatikanlah dalam Matius 16:18 di mana di dalam Perjanjian Baru untuk pertama kalinya kata gereja disebutkan. Ketika Yesus mengatakan, “οικοδομησω μου την εκκλησιαν (oikodomêsô mou tên ekklêsian) atau yang diterjemahkan “Aku akan mendirikan jemaat-Ku (I will build My church)”, kalimat ini tertulis dalam bentuk kata kerja yang akan datang yang menunjukkan pada sesuatu yang akan digenapi dikemudian hari. Jadi gereja belum berdiri atau belum ada ketika Yesus mengucapkan kata-kata ini. Lalu kapan gereja berdiri? Gereja berdiri pada hari Pentakosta, yaitu setelah Kristus mati, bangkit, naik ke surga, dan mencurahkan Roh Kudus. Kristus juga adalah Pemilik gereja (Matius 16:18). Ia menjadi dasar (pondasi) gereja (1 Korintus 3:11). 

Sebagai pemilik gereja, ada beberapa hal yang dilakukan oleh Kristus, yaitu: (1) Dia memilih murid-murid yang juga akan menempati suatu posisi sebagai dasar bangunan yang akan didirikanNya (Efesus 2:20); (2) Dia mengajar murid-muridNya tentang perkara-perkara yang akan menjadi efektif apabila gereja mulai berfungsi. Sebagian besar dari pengajaranNya itu disampaikan selama percakapan di kamar atas (Yohanes 13-17); (3) Dia menjadi Batu Penjuru melalui kematian dan kebangkitanNya (Kisah Para Rasul 4:11; Efesus 2:20). 

Ia menebus Gereja dengan darahnya sendiri (Kisah Para Rasul 20:28). Kebangkitan dan kenaikanNya ke surga menjadikan Dia sebagai Kepala dari Gereja (Efesus 1:20-23).[8] Ia memberikan karunia-karunia kepada anggota-anggota tubuhNya (Efesus 4:8); (4) Dia juga mengirim Roh Kudus yang menghidupkan Gereja sehingga dapat sungguh-sungguh berfungsi (Kisah Para Rasul 2:23). Karena Kristus adalah Pendiri dan Pemilik gereja maka dapat dipastikan gereja akan tetapi berdiri kokoh hingga akhir zaman, bahkan alam maut pun tidak dapat mengalahkan gereja (Matius 16:18).[9] Jadi gereja atau Kekristenan berpusat pada Kristus sendiri.

3. Pusat dari Kekristenan adalah Kristus, bukan tradisi Yahudi atau pun tradisi rabinik Yudaisme. Tepat seperti yang dikatakan oleh Michael Eaton, “Kekristenan adalah Kristus”.[10] 

Rasul Paulus menjelaskan, “Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapi tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan” (Efesus 2:19-21). 

Disini, Rasul Paulus menjelaskan bahwa “oikos Theou atau “keluarga Allah” , yaitu jemaat Allah yang hidup (ekklesia Theou zôntos) dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi. Kata Yunani “dibangun’’ dalam ayat ini adalah “epoikodomethen” berasal dari kata “epoikodomeian”, dimana kata ini seringkali Paulus gunakan dalam hubungannya dengan gereja atau jemaat (Roma 15:20; 1 Korintus 3:10, 12,14; Kolose 2:7; bandingkan 1 Petrus 2:5). 

Keluarga Allah ini dibangun di atas dasar (ho themelios) para rasul dan para nabi (tôn apostolôn kai prophetôn). Para rasul disini merujuk pada rasul-rasul Perjanjian baru termasuk rasul Paulus, sedangkan para nabi merujuk pada nabi-nabi Perjanjian Baru bukan nabi-nabi Perjanjian Lama. Genetif “tôn apostolôn kai prophetôn” bukan berarti para rasul dan nabi yang membangun dasar itu tetapi mereka merupakan dasar bangunan yang diletakkan Allah bagi gereja. Mereka adalah dasar jemaat dimana Kristus sendiri yang menjadi batu penjuru (akrogomaios) yang membangun jemaatNya (Matius 16:18) [11]

Yesus adalah Batu Penjuru yang menjadi pondasi seluruh bangunan, yaitu gerejaNya (1 Korintus 3:11. Karena itulah, maka hanya di dalam Dia saja seluruh bangunan itu rapi tersusun menjadi bait Allah yang kudus (Efesus 2:21). Karena gereja dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi Perjanjian Baru ini dengan Kristus sendiri sebagai Batu Penjuru dan PendiriNya, maka gereja harus mengikuti Kristus serta ajaran para rasulNya, dan seperti yang dikatakan rasul Paulus “dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala. Dari pada-Nyalah seluruh tubuh, -- yang rapi tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota -- menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih” (Efesus 4:14-15).

4. Karena pusat dari Kekristenan adalah Kristus, maka cara menafsirkan Alkitab harus berpusat pada Kristus (Kristosentris). Prinsip penafsiran Kristosentris ini pada dasarnya menafsirkan Alkitab dalam kaitannya dengan pusatnya, yaitu Kristus. 

Menurut W. Gary Crampton, Kristosentris ini merupakan tema dari seluruh Alkitab ketika ia mengatakan, “Terdapat sekitar 40 orang penulis dengan 20 pekerjaan, hidup di 10 negara, masa penulisan lebih dari 1500 tahun, dalam 3 bahasa, dan menghasilkan 66 kitab mencakup banyak pokok permasalahan, tetapi satu tema yang ditujukan seluruhnya, yaitu Yesus Kristus. Martin Luther menegaskan bahwa seluruh Alkitab mengajarkan tentang Kristus”.[12] 

Jadi dasar untuk prinsip ini adalah fakta bahwa Kristus merupakan pribadi sentral dari Alkitab. Pribadi dan karyaNya merupakan tema dari pernyataan tertulis Allah. Pada roda pernyataan ilahi, Kristus adalah porosnya, dan semua kebenaran adalah bagaikan jari-jari (ruji) yang terkait padaNya yang adalah Sang Kebenaran. 

Yesus sendiri mengajar murid-muridNya tentang bagaimana setiap bagian Kitab Suci menujuk kepada diriNya, “Ia berkata kepada mereka: "Inilah perkataan-Ku, yang telah Kukatakan kepadamu ketika Aku masih bersama-sama dengan kamu, yakni bahwa harus digenapi semua yang ada tertulis tentang Aku dalam kitab Taurat Musa dan kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur.” Lalu Ia membuka pikiran mereka, sehingga mereka mengerti Kitab Suci.Kata-Nya kepada mereka: “Ada tertulis demikian: Mesias harus menderita dan bangkit dari antara or ang mati pada hari yang ketiga, dan lagi: dalam nama-Nya berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa, mulai dari Yerusalem. Kamu adalah saksi dari semuanya ini” (Lukas 24:44-48). 

Berikut ini beberapa ayat yang menujukkan sentralitas Kristus dalam Alkitab (Yohanes 1:45; 5:39; Kisah Para Rasul 10:43; Ibrani 10:7).[13] Karena itu, setiap ajaran utama dalam Alkitab selalu ditemukan dalam perkataan Tuhan Yesus. Entah itu bersifat eksplit maupun implisit. Karena Yesus Kristus sendiri adalah Firman itu, yang berinkarnasi (Yohanes 1:1,14), dan sementara di bumi Ia sendiri memiliki pewahyuan penuh dari Bapa dan Roh. Ia mempunyai kemampuan dan otoritas untuk menambah, menegaskan, menjernihkan, dan mengesahkan kata-kata dalam Perjanjian Lama (Ibrani 1:1-2).[14] Ingatlah, bahwa Injil awalnya diberitakan oleh Tuhan, selanjutnya Injil tersebut diberitakan oleh murid-muridNya (Ibrani 2:3-4). 

Pauline Hoggarth mengatakan, “Kisah-kisah Alkitab memfokuskan tujuan misional Allah di dalam pribadi Yesus. Jadi, selagi kita bersekutu dengan firman Allah, kita mesti menangkap bagaimana tiap-tiap penggalan Alkitab memberi kontribusinya pada kisah rencana-rencana Allah dan memberi petunjuk mengenai sentralitas figur Yesus di dalam rencana-rencana tersebut”.[15]

 Arturo G. Azurdia III menjelaskan demikian, “Alkitab bukan sekedar buku manual yang diberikan Allah untuk mengarahkan kita supaya mempunyai kehidupan yang sukses. Sebaliknya, Alkitab adalah sebuah buku yang menunjukkan kondisi buruk manusia dan tujuan Allah untuk menyelamatkan manusia melalui anakNya. Yesus Kristus sudah dijanjikan sejak halaman-halaman pertama Alkitab. Di bagian tengah Alkitab ada catatan sejarah tentang kedatanganNya dan apa yang telah diperbuatNya. Pada bagian Akhir Alkitab, Yesus Kristus dinyatakan sebagai Pribadi yang mulia yang disembah oleh segala ciptaan sampai selama-lamanya”.[16]

 Alkitab berbicara tentang banyak hal yang penting dan benar, tetapi kita tidak boleh membiarkan satupun dari padanya memudarkan pesan utamanya, kabar baik dari Injil, yaitu tentang Yesus Kristus. Demikian juga kita tidak boleh membiarkan satupun menyalahgunakan tawarannya yang utama, yaitu keselamatan di dalam Yesus Kristus. Greg Scharf menjelaskan, “Meskipun tidak semua ayat-ayat Alkitab mengarahkan kita kepada Yesus secara langsung, tetapi semuanya, dengan cara tertentu, bersaksi tentang Kristus.”[17] 

Yesus sendiri menegaskan bahwa Kitab-kitab Suci (mengacu pada Perjanjian Lama karena pada saat itu Perjanjian Baru belum ada) memberi kesaksian tentang Dia, ketika Ia mengatakan, “Kamu menyelidiki Kitab-kitab Suci, sebab kamu menyangka bahwa oleh-Nya kamu mempunyai hidup yang kekal, tetapi walaupun Kitab-kitab Suci itu memberi kesaksian tentang Aku, namun kamu tidak mau datang kepada-Ku untuk memperoleh hidup itu”. (Yohanes 5:39-40). 

Itu sebabnya, tidak berlebihan jika John Calvin menyimpulkan, “Ayat-ayat Alkitab seharusnya dibaca dengan tujuan menemukan Kristus di dalamnya. Siapapun yang menyimpang dari tujuan ini, walaupun ia menghabiskan seluruh hidupnya untuk mempelajari Alkitab, ia tidak akan pernah mencapai pengetahuan tentang kebenaran”.[18]


5. Yahweisme merupakan bentuk baru dari Legalisme dalam Kekristenan karena gerakan ini dalam ajaran dan prakteknya ingin membawa Kekristenan kembali kepada adat istiadat Yahudi atau tradisi rabinik Yudaisme tertentu, padahal Yesus dan para rasulNya sudah melepaskan kita dari kuk tersebut. 

Memang perjanjian Lama dipakai sebagai Kitab Suci pada saat Yesus hidup, namun Tuhan Yesus sendiri membuat banyak sekali pembaharuan dan penjelasan akan makna dari Perjanjian Lama itu. Pemahaman orang Yahudi akan Taurat direformasi oleh Tuhan Yesus (Matius 5:27-48; Matius 6: 1-18). 

Hari Sabat sendiri diberikan pengertian yang baru. Ia menjelaskan bahwa Daud melanggar Sabat lahiriah demi membebaskan kehidupan yang nyata bagi pengikutnya (Lukas 6:4-5). Bahkan Yesus menyembuhkan pada hari Sabat (Lukas 6:6-11; 13:14) dan boleh berbuat baik pada hari Sabat. Sikap Tuhan Yesus terhadap hari Sabat juga dinyatakan dengan kebangkitanNya pada hari Minggu dan bukan pada hari Sabat hari ketujuh (Matius 28:1). 

Hari dimana Tuhan Yesus menampakkan diri kepada murid-muridNya seminggu setelah kebangkitannya, juga terjadi pada hari Minggu (Yohanes 20: 24-29). Ini artinya, kita telah dibebaskan dari hukum Taurat, sebab kita telah mati bagi dia, yang mengurung kita, sehingga kita sekarang melayani dalam keadaan baru menurut Roh dan bukan dalam keadaan lama menurut huruf hukum Taurat (Roma7:6). Rasul Paulus dalam Galatia 3:11, mengatakan bahwa tidak seorangpun akan dibenarkan dengan mematuhi hukum Taurat. 

Jika pembenaran dalam Perjanjian Lama dilihat berdasarkan perbuatan ketaatan pada hukum Taurat, maka pembenaran dalam Perjanjian Baru berdasarkan kasih karunia dalam Kristus. Ajaran tentang pembenaran berdasarkan anugerah dan iman ini merupakan ajaran yang sangat penting dalam Kekristenan karena ajaran ini membedakan Kekristenan dari agama-agama lain yang menekankan keselamatan berdasarkan perbuatan. 

R.C Sproul menegaskan, “Kita tidak mempercayai keselamatan karena perbuatan-perbuatan baik ataupun karena iman ditambah perbuatan baik, tetapi hanya karena anugerah oleh iman”. [19]Kemudian ia menambahkan, “deklarasi utama dari reformasi adalah sola gratia, yaitu keselamatan hanya merupakan anugerah Allah semata-mata”.[20] Kita tahu bahwa rasul Paulus lahir dan dibesarkan dalam keluarga Yahudi yang ketat terhadap hukum Taurat dan tradisi Yahudi. Ia adalah seorang lulusan terbaik dari sekolah Farisi di Yerusalem, dibawah bimbingan Gamaliel (Filipi 3:5; Galatia 1:13-14; Kisah Para Rasul 5:34). 

Kita juga tahu, bahwa Gamaliel yang membimbing Paulus dalam hukum Taurat dan tradisi Yahudi adalah seorang pakar hukum Taurat, satu-satunya dari tujuh sarjana dalam sejarah bangsa Yahudi yang menerima sebutan “Rabban (tuan kami)”. Tetapi, rasul Paulus dengan tegas menolak para pengajar Yudaiser (Yahudi Kristen) yang menghasut dan mempengaruhi orang-orang Kristen yang masih baru di Galatia agar kembali ke legalisme hukum Taurat dengan cara memaksa mereka agar disunat dan mengikat diri dengan hukum Taurat sebagai syarat utama untuk diselamatkan dan menjadi anggota gereja (Galatia 5). 

Paulus menyampaikan ajaran dan pendiriannya bahwa satu-satunya syarat untuk selamat adalah iman kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat (Galatia 2:16), dan bahwa syarat-syarat yang dituntut hukum Taurat tidak ada hubungannya dengan pekerjaan kasih karunia Allah dalam Kristus untuk keselamatan (Galatia 5:1-6). 

Perhatikan juga kalimat akhir dalam khotbah Paulus pada waktu ia berada di Antiokhia dalam Kisah Para Rasul 13:14-41, yang menegaskan, “Jadi ketahuilah, hai saudara-saudara, oleh karena Dialah maka diberitakan kepada kamu pengampunan dosa. Dan di dalam Dialah setiap orang yang percaya memperoleh pembebasan dari segala dosa, yang tidak dapat kamu peroleh dari hukum Musa” (Kisah Para Rasul 13:38-39). Rasul Paulus menegaskan pentingnya hidup di dalam kasih karunia Yesus Kristus dengan berkata, “kamu lepas dari Kristus, jikalau kamu mengharapkan kebenaran oleh hukum Taurat; kamu hidup di luar kasih karunia” (Galatia 5:4). 

6. Jadi pada dasarnya kita tidak berada dibawah hukum Taurat (tradisi Yahudi atapun tradisi Rabinik Yudaisme), tetapi kita berada dibawah kasih karunia. Kehidupan Kristen bukanlah tentang mematuhi legalisme rabinik ataupun Yudaisme tetapi tentang mengikut Kristus dengan iman (Bandingkan Kolose 2:20-23; Galatia 2:20-21). Apakah hal ini berarti kita bebas melanggar semua peraturan dan bahwa perintah-perintah Alkitab yang tidak berlaku bagi kita? Tidak, kebebasan seperti itu adalah antinominianisme![21] Bukan kebebasan yang demikian yang Alkitab maksudkan. 

Mengikut Kristus dengan iman berarti mengasihi dan hidup dalam kasih karunia, bukan hidup dalam dosa (Galatia 5:6). Sebuah kehidupan yang mengasihi Tuhan dan sesama tentu sangat berlawanan dengan dosa. Paulus menegaskan, “Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu? Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?” (Roma 6:1-2). 

Sebenarnya, orang yang hidup dalam kasih karunia di dalam Kristus telah mati terhadap dosa dan hidup bagi Allah! Dengan demikian, kasih karunia yang melimpah bukanlah ijin bagi ketidaktaatan! Sejauh perintah-perintah itu menolong kita hidup dalam kasih karunia perintah-perintah itu berguna. Tetapi, jika memperlakukan perintah-perintah tersebut hanya sebagai aturan yang wajib diikuti dengan kemampuan kita, maka kita telah menyalahgunakannya. 


Seberapapun besarnya kemampuan kita, itu tidak akan pernah cukup. Karena itu, hidup dalam iman membuat kita wajib mematuhi sebuah hukum yang baru, yaitu hukum kasih karunia.[22] Kegagalan untuk mengerti kebenaran sederhana ini adalah akar dari semua legalisme dan mentalitas perbuatan, dan membawa kembali ke tradisi Yahudi ataupun tradisi rabinik Yudaisme, yaitu legalisme kebenaran karena perbuatan persis seperti yang Paulus tolak ketika ia berkata, “jangan jamah ini, jangan kecap itu, jangan sentuh ini; semuanya itu hanya mengenai barang yang binasa oleh pemakaian dan hanya menurut perintah-perintah dan ajaran-ajaran manusia. 

Peraturan-peraturan ini, walaupun nampaknya penuh hikmat dengan ibadah buatan sendiri, seperti merendahkan diri, menyiksa diri, tidak ada gunanya selain untuk memuaskan hidup duniawi” (Kolose 2:21-23). Perhatikan kecaman Paulus kepada jemaat di Galatia yang ingin kembali kepada legalisme hukum Taurat, “Hai orang-orang Galatia yang bodoh, siapakah yang telah mempesona kamu? Bukankah Yesus Kristus yang disalibkan itu telah dilukiskan dengan terang di depanmu? Hanya ini yang hendak kuketahui dari pada kamu: Adakah kamu telah menerima Roh karena melakukan hukum Taurat atau karena percaya kepada pemberitaan Injil? Adakah kamu sebodoh itu? Kamu telah mulai dengan Roh, maukah kamu sekarang mengakhirinya di dalam daging? Sia-siakah semua yang telah kamu alami sebanyak itu? Masakan sia-sia! 

Jadi bagaimana sekarang, apakah Ia yang menganugerahkan Roh kepada kamu dengan berlimpah-limpah dan yang melakukan mujizat di antara kamu, berbuat demikian karena kamu melakukan hukum Taurat atau karena kamu percaya kepada pemberitaan Injil?” (Galatia 3:1-5). Kata Yunani “bodoh” adalah “anoētos” yang berarti “tidak terpelajar; atau tidak berpengertian”. Kata ini digunakan sebanyak 6 kali dalam Perjanjian Baru Yunani (Galatia 3:1,3; bandingkan Lukas 24:25; Roma 1:14; 1 Timotius 6:9; Titus 3:3). 

Kata Yunani “mempesona” adalah “baskainō” yang berarti “menyihir, mempengaruhi, menipu”. Kata ini digunakan hanya 1 kali dalam Perjanjian Baru. Dibandingkan jemaat Galatia ada satu jemaat yang paling paling bermasalah, yaitu jemaat di Korintus. Jemaat Korintus ini bermasalah baik secara doktrinal, kurangnya moralitas, hubungan seksual di antara anggota keluarga (incert), hubungan dengan persembahan berhala dan sebagainya. 

Sekalipun demikian, Paulus tidak pernah menyebut jemaat Korintus ini sebagai “orang-orang yang bodoh”. Reaksi Paulus ini menunjukkan bahwa ia begitu tidak senang terhadap legalisme hukum Taurat bagi keselamatan yang diajarkan dalam jemaat di Galatia. Sebab bagi pakar hukum Taurat yang telah diubahkan oleh Kristus ini jelaslah bahwa “Kamu tahu, bahwa tidak seorang pun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus. Sebab itu kami pun telah percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan hukum Taurat. Sebab: "tidak ada seorang pun yang dibenarkan" oleh karena melakukan hukum Taurat” (Galatia 2:16).

DAFTAR PUSTAKA: 

[1] Samuel T. Gunawan, S.Th.,SE.,M.Th adalah teolog Protestan Kharismatik, Pendeta dan Gembala di Bintang Fajar Ministries Palangka Raya; Dosen Filsafat dan Apologetika Kharismatik; Penulis buku Apologetika Kharismatik. Menyandang dua gelar Magister of Theology dari STT Trinity, M.Th (Christian Leadership) dan M.Th (Systematic Theology and Apologetics).

[2] Hindarto, Teguh dalam “Messianic Judaism Movement”. artikel facebooh yang diunggah tanggal 9 mei 2010. (https://www.facebook.com/note.php?created&&suggest&note_id=390200233810) 

[3] Ibid.

[4] https://m.youtube.com/watch?v=FcATjGxTe4k

[5] Kita tahu bahwa Yusuf merupakan keturunan Daud melalui Salomo dan garis keturunan raja-raja Yehuda. Matius mencatat garis silsilah vertikal ke bawah dengan menyebutkan sekitar 41 nama terpilih dari Abraham hingga Yusuf (Matius 1:1-16). Injil Matius merunut garis keturunan Yesus melalui garis keturunan Yusuf, yaitu dari Abraham, Daud, dan Yusuf (Matius 1:17), Ini sesuai dengan tradisi Yahudi, dimana Matius memang menulis Injil Matius yang ditujukan kepada orang-orang Kristen Yahudi. Karena Allah sudah berjanji bahwa Mesias merupakan keturunan Abraham (Kejadian 12:3; 22:18; Galatia 3:16) dan Daud (2 Samuel 7:12-19; Yeremia 23:5), maka Matius merunut silsilah Yesus sampai kepada kedua tokoh ini untuk membuktikan kepada orang Yahudi bahwa Yesus mempunyai silsilah yang tepat sehingga memenuhi syarat sebagai Mesias. Dengan demikian Matius menetapkan Yesus adalah keturunan Abraham dan Daud yang sah. Walaupun Yesus bukan anak Yusuf secara biologis karena Yesus dikandung oleh Roh Kudus (Matius 1:18; Lukas 1:35), namun secara hukum Yahudi ia dicatat sebagai anak Yusuf dari putra Daud yang bernama Salomo. 

[6] Kata gereja dalam bahasa Inggris adalah “Church” yang artinya “that which belongs to the Lord”. Gereja disebut dengan istilah Yunani εκκλησια (ekklêsia) berasal dari dua kata, yaitu εκ (ek) yang berarti keluar dan καλεω (kaleô) yang berarti memanggil. Ekklesia berarti orang-orang yang dipanggil Allah dari dunia, untuk kemudian menjadi umatNya. Gereja ialah kumpulan orang-orang yang percaya Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, yang ditebus, dipanggil keluar dari dunia dan menjadi umat Tuhan. Kata ini dipakai untuk menyatakan secara khusus identitas orang yang percaya. Dalam pengertian ini, gereja itu satu, yang terdiri dari orang-orang pilihan yang disatukan oleh Tuhan.

[7] Ryrie, Charles C., 1991. Teologi Dasar. Jilid 2, Terjemahan, Penerbit ANDI Offset : Yogyakarta, hal. 193.

[8] Ketika Yesus mengatakan, “και επι ταυτη τη πετρα (kai epi tautê tê petra)” atau diterjemahkan “dan di atas batu karang ini (and on this rock)”, maka kata Yunani yang dipakai untuk “batu karang” adalah “πετρα (petra)” yang menunjuk pada batu besar atau batu karang. Ini merujuk kepada Kristus sendiri yang menjadi pondasi gereja. Rasul Paulus menyebutkan bahwa “Petra (Batu Karang) itu adalah Kristus (1 Korintus 10:4). 

[9] Ketika Yesus mengatakan “και πυλαι αδου ου κατισχυσουσιν αυτης - kai pulai hadou ou katiskhusousin autês” yang diterjemahkan “dan alam maut tidak akan sanggup menguasainya (and the gates of Hades will not overcome it)”, maka kata Yunani yang digunakan untuk kata alam maut adalah “pulai hadou” atau pintu gerbang dunia orang mati. NIV menerjemahkannya dengan “gates of Hades (pintu gerbang maut)” sedangkan KJV menejemahkannya dengan “gates of hell (gerbang neraka)”. Maksud ayat ini jelas menyatakan bahwa gereja yang didirikan Kristus, yang tidak dapat dikalahkan; sekalipun oleh maut”. 

[10] Eaton, Michael 2008. Jesus Of The Gospel. Terjemahan, Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta, hal 8.

[11] Lihat pembahasan ini dalam : Abineno, J.L.Ch., 2012. Tafsiran Alkitab: Surat Efesus. Penerbit BPK Gunung Mulia: Jakarta; O’Brien, Peter T., 2013. Surat Efesus. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta; Wiersbe, Warren W., 1993. Kaya Di Dalam Kristus: Tafsiran Surat Efesus. Terjemahan, Yayasan Kalam Hidup : Bandung. 

[12] Crampton, W. Gary, 2000. Verbum Dei: Alkitab Firman Allah. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta, hal. 62.

[13] Conner, Kevin J & Ken Malmin., 2004. Interprenting The Scripture. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang, hal. 235. 

[14] Alan Vincent menuliskan “Beberapa kali dalam khotbah di bukit, dimulai dalam Matius 5, Yesus mengambil kata-kata Musa dan mengoreksinya, mengembangkannya atau menegaskannya kembali – membawanya ketingkat yang lebih tinggi dalam Kerajaan dimana hati dan juga tindakan lahiriah diselidiki. Dia mengajar tentang doa (Lihat Matius 6:5-13), pemberian (Matius 6:1-4), puasa (Matius 6:16-18), kemarahan (Matius 5:22), nafsu (Matius 5:28), perzinahan (5:27-28), pengampunan (Matius 6:14-15), dan pembunuhan (Matius 5:21-22). Dalam Matius 19:3-10, Dia mengoreksi ajaran Musa tentang perkawinan dan perceraian, dan masih banyak contoh lainnya” (Vincent, Alan., Heaven On Earth. Terjemahan, Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta, hal 20).

[15] Hoggarth, Pauline., 2011. Menabur Firman: Mengkomunikasikan Firman Allah Secara Tepat dan Relevan. Terjemahan, Yayasan Kumunikasi Bina Kasih: Jakarta, hal. 103.

[16] Azurdia III, Arturo G., 2009. Spirit Empowered Peaching. Terjemahan, Penerbit Andi: Yogyakarta, hal. 38

[17] Scharf, Greg., 2013. Khotbah Yang Transformatif: Memperdalam Hubungan Dengan Allah, Firman Allah, dan Pendengar. Terjemahan, Penerbit Yayasan Komunikasi Bina kasih: Jakarta, hal. 197.

[18] Azurdia III, Arturo G., Spirit Empowered Peaching. Terjemahan, hal. 39.

[19] Sproul, R.C., 1997. Kebenaran-Kebenaran Dasar Iman Kristen. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT: Malang, hal. 263

[20] Ibid, hal. 263.

[21] Antinomianisme secara harafiah berarti anti hukum. Penganut pandangan ini menolak untuk melakukan hukum Allah. Kesalahan dari pandangan ini terutama adalah bahwa anugerah dipakai sebagai ijin bagi ketidaktaatan. Sebenarnya, orang Kristen memang telah dibebaskan dari hukum Taurat dan segala tuntutannya, tetapi bukan dari hukum Allah. Artinya orang Kristen bukanlah hidup tanpa hukum Allah yang mengaturnya karena saat ini mereka hidup berdasarkan hukum Kristus (Galatia 6:2).

[22] Lalu, apakah hukum Kristus itu? Hukum Kristus berbeda dengan hukum Taurat. Hukum Kristus bukanlah kelanjutan dari hukum Taurat. Hukum Kristus adalah hukum kasih karunia. Hukum ini terdiri dari beberapa perintah baru (1 Timotius 4:4), beberapa perintah lama (Roma 13:9); dan beberapa perintah yang telah diperbaharui (Roma 13:4). Hukum kasih karunia mengajarkan etika, moral dan spiritual yang jauh melampaui hukum Taurat, karena hukum ini diukir dan ditulis oleh Roh Kudus dalam hati kita (2 Korintus 3:4-8). 
https://teologiareformed.blogspot.com/
Next Post Previous Post