4 RESOLUSI TAHUN BARU YANG BENAR
KITA ORANG BERDOSA - KITA PERLU BERTUMBUH
Kita ini orang-orang yang berdosa. Dan karena kita orang berdosa, kita perlu bertumbuh, tetapi kemudian waktu bertumbuh, kita berdosa lagi; karena itu kita perlu resolusi. Kalau kita tidak menyadari gambaran ini, kita pikir kita sudah tidak perlu berubah lagi.
Orang yang merasa kehidupannya sudah oke, tidak perlu berubah lagi, dan merasa bahwa yang jadi persoalan dan perlu berubah selalu orang lain bukan dirinya, maka orang seperti ini akan sulit berpikir bahwa dirinya perlu resolusi. Tapi kalau melihat kehidupan kita, kenyataan sebenarnya kita masih banyak kelemahan, kita harus terus berubah dan bertumbuh sepanjang hidup kita.
Waktu membuat resolusi berarti kita mau membuat janji kepada diri kita untuk maju, tidak ada orang yang resolusinya “saya tahun ini mau mulai sakit” atau “tahun ini saya mau penghasilan saya berkurang separuh”. Waktu memikirkan resolusi selalu adalah untuk lebih baik, lebih maju dan di balik keinginan “menjadi lebih baik” tentu asumsinya adalah “kita belum cukup baik”. Necessity to grow - Kebutuhan untuk bertumbuh mengasumsikan gambaran “melihat ke depan”.
Kita bukan bermegah akan hal-hal yang dulu. Orang yang selalu melihat ke belakang, lalu mengenang yang indah-indah yang mungkin tidak bisa dialami lagi, akhirnya jadi diri yang tua sekali, cuma bisa mengenang masa lampau. Resolusi adalah menolong kita untuk melihat ke depan; bahwa kita masih ada kemungkinan untuk bisa ditingkatkan, bertumbuh, menjadi orang yang hidupnya lebih berkenan di hadapan Tuhan.
KITA PERLU ARAH
Di tengah kerutinan, kita bisa kehilangan fokus “sebenarnya hidup untuk apa”. Resolusi Tahun Baru jadi penting karena kita perlu arah/ fokus atau refocusing dalam hidup ini. Kita bisa lupa. Kalau kita punya piano, paling sedikit setahun sekali harus di-stem, kalau tidak akan jadi fals. Hidup kita juga begitu, bisa fals, maka paling sedikit setahun sekali harus di-stem. Di situ kita melihat kembali,” apa benar hidup saya ini kayak begini, sudah fals dalam banyak aspek”, perlu diperbaiki, perlu di-stem.
KITA MAU MELIHAT DENGAN IMAN DAN HARAPAN KEPADA TUHAN
Kita perlu Resolusi Tahun Baru karena kita mau melihat ke depan dengan iman dan harapan kepada Tuhan. Ada potensi dalam masa depan kita yang sangat erat kaitannya dengan iman dan harapan. Kalau orang masih bisa melakukan Resolusi Tahun Baru, artinya dia masih ada harapan akan masa depan, dia masih percaya ada potensi-potensi pada Tuhan, bukan sekedar potensi diri. Dalam perspektif Kristen kita tahu ada potensi dalam masa depan yang disediakan Tuhan bagi kita, dan kita mau mendapatkan itu.
Makna Alkitabiah dalam Resolusi Tahun Baru:
• Ada Dimensi Komunal, Bukan Sekedar Saya Mau Lebih Tinggi
Spiritualitas resolusi ada kaitan dengan Tahun Baru dalam tradisi Yahudi yang disebut Rosh Hashanah, dimulai dari hari raya-hari raya besar dan diakhiri dengan Yom Kippur (Hari Pembenaran/ the day of salvation). Kesempatan itu dipakai bukan hanya untuk merefleksikan kelemahan diri atau introspeksi diri , tapi sekaligus untuk mencari pengampunan dan memberi pengampunan. Perayaan natal , perayaan Tahun Baru dari agama apa pun memberi kesempatan bagi kita untuk saling memaafkan, saling mengampuni, ini hal penting, karena di sini ada dimensi komunal.
Biasanya resolusi cuma berkenaan dengan diri --saya mau apa, saya mau ke mana-- tapi dalam tradisi Tahun Baru Yahudi, yang kemudian juga mempengaruhi kepercayaan lain, ada ‘dimensi relasi’. Saya melihat diri saya punya kelemahan, lalu saya mencari pengampunan kepada orang yang saya sakiti atau bersalah kepadanya, dan juga bersedia mengampuni orang yang menyakiti atau bersalah kepada saya.
• Ada Aspek Pertobatan
Kembali kaitannya dengan resolusi, harusnya ada waktu khusus kita merenungkan ini, memang tidak mutlak harus awal atau akhir tahun, tapi setidaknya satu tahun sekali, mencari dan memberikan pengampunan. Dalam 2 Korintus 7:11 ada prinsip yang penting dalam perenungan tentang resolusi ini:
Sebab perhatikanlah betapa justru dukacita yang menurut kehendak Allah itu mengerjakan pada kamu kesungguhan yang besar, bahkan pembelaan diri, kejengkelan, ketakutan, kerinduan, kegiatan, penghukuman!. Di dalam semuanya itu kamu telah membuktikan, bahwa kamu tidak bersalah di dalam perkara itu.
Bagian ini dilatar-belakangi surat yang sangat keras dari Paulus kepada jemaat Korintus --bukan surat 1 dan 2 Korintus-- yang hidup di dalam dosa. Begitu kerasnya surat itu, sampai Paulus merasa menyesal. Tapi setelah ia lihat kembali ke belakang, ia tidak menyesal karena teguran yang keras itu mendatangkan pertobatan mereka -kesungguhan yang besar untuk membersihkan diri dari perbuatan dosa, ketakutan dalam pengertian takut dibuang Tuhan kalau terus hidup dalam dosa, takut hidup yang sia-sia tidak dipakai Tuhan, kerinduan untuk hidup kudus-- yang semuanya itu positif.
Orang yang berbicara tentang pertobatan tapi pertobatannya tidak mempunyai aspek-aspek penyesalan yang dalam, akhirnya akan menjadi pertobatan yang murah dan sia-sia, tidak berarti. Janji dan janji, new year’s resolution hanya sekedar new year’s resolution, tapi waktu di akhir tahun ternyata gagal, orang seperti ini akan mengatakan “ya, sudah, namanya juga manusia; manusia bisa khilaf; manusia kan tidak bisa sempurna, setidaknya saya sudah berusaha”. Tidak ada penyesalan yang dalam seperti jemaat Korintus, tidak ada ketakutan, kerinduan hidup kudus. Maka Resolusi Tahun Baru seperti ini cuma jadi sesuatu yang tidak ada artinya.
• Ada Aspek Pengorbanan Bukan Hanya Tanggung Jawab Pribadi
Dalam tradisi Kristen, menurut kalender gereja ada yang namanya masa “Lent” yaitu masa-masa menjelang Paskah. Kita sering kurang peka akan momen-momen seperti ini, kita sudah biasa menganggap semua hari sama saja, bahkan hari Minggu. Natal itu momen.
Advent itu momen. Paskah, Jumat Agung, itu momen. Beberapa minggu sebelum Paskah juga momen, yang disebut Lent – berhutang, Lent berkaitan dengan etika pengorbanan, menggantikan hukuman dosa kita, karena Yesus mati di atas kayu salib untuk kita adalah suatu pengorbanan, bukan sekedar tanggung jawab. Poin ini sangat penting.
Resolusi Tahun Baru orang-orang tidak percaya hanya bergerak dalam aspek tanggung jawab. Contohnya: “saya tahun ini akan lebih hati-hati memakai uang saya, tidak foya-foya”. Ini bagus, tapi cuma bergerak dalam soal tanggung jawab pribadi, tidak ada urusan dengan pengorbanan, tidak ada urusan dengan memberi uang kepada orang lain, cuma berputar dengan diri sendiri untuk jadi manusia yang lebih bertanggung jawab. Ini bukan salah, ini baik, tapi tidak cukup Kristen. Orang-orang tidak Kristen pun bisa melakukan ini, tapi mengapa kita orang Kristen yang percaya telah diampuni dosanya berjanji dan mempunyai target hanya seperti ini?
Yesus Kristus naik ke Golgota bukan mau mencapai tempat yang tinggi lalu bisa lihat Yerusalem dari atas. Itu target yang rendah, bukan itu. Tapi banyak orang Kristen mau mencapai yang lebih tinggi dan lebih tinggi supaya bisa merendahkan semua orang yang di bawah. Allah harusnya merendahkan kita, manusia yang berdosa, tapi Tuhan Yesus turun ke dunia yang paling bawah supaya bisa mengangkat kita, padahal kita tidak layak sama sekali. Maka Resolusi Tahun Baru bagi yang cuma berpikir saya mau tambah tinggi dan tambah tinggi, itu tidak ada hubungannya dengan iman Kristen. Itu Resolusi
Tahun Baru yang sekuler yang meaningless - tidak mempunyai arti.
MENGAPA RESOLUSI SATU TAHUN?
Resolusi Tahun Baru pada praktiknya biasa kita berjanji di awal tahun, lalu dinilai di akhir tahun. Jadi durasinya terbatas.
Apa bedanya orang melakukan Resolusi Tahun Baru per tahun dengan janji yang tidak ada batas waktunya? Kalau saya berjanji “ dalam tahun ini, saya akan seperti ini ” dibandingkan dengan mengatakan “dalam 10 tahun ini, saya seperti ini”, apa bedanya? Sepertinya ada janji untuk waktu yang pendek dan waktu yang panjang.
Tetapi lalu apa implikasinya? Contoh: “Resolusi Tahun Baru: target tahun ini saya mau turun berat 15 kg”, dibandingkan dengan “Resolusi Tahun Baru: dalam 20 tahun ini, saya akan turun 15 kg”, apa bedanya? Juga apa bedanya kalau dibandingkan lagi dengan “dalam bulan ini saya mau turun 15 kg”? Atau contoh lainnya “dalam 50 tahun ini, hai suamiku, aku akan lebih sabar kepadamu”, lalu suaminya satu hari mengatakan, “ini sudah 3 tahun”, maka kita katakan, ”ya, ‘kan target saya dalam 50 tahun... masih ada waktu 47 tahun bagi saya untuk berubah. Apakah kita dapat menangkap intinya? Persoalannya apa dengan durasi 50 tahun?
Dalam konsep Kristen ada durasi yang terbatas. Durasi yang makin pendek justru mempunyai aspek kairos/ momen/ waktu. Kalau 50 tahun, itu tidak jadi kairos lagi, tidak jadi momen lagi, tapi cuma kronos, durasi yang tidak jelas. Seperti kalau mengatakan, “hai istriku, memang saya sudah kegendutan, saya janji dalam 70 tahun ini turun 3 kg”, setelah itu ya, makan martabak manis terus tidak ada persoalan karena janjinya dalam 70 tahun; nanti 3 minggu terakhir saja baru olah raga setengah mati tapi selama 69 tahun suka-sukanya saja.
Jadi kalau Saudara memperpanjang waktunya jadi “sepanjang mungkin”, itu sama saja dengan tidak janji, dan kita kehilangan kairos. Tentu juga tidak masuk akal kalau “dalam 3 detik ini saya turun 15 kg”, bukan itu maksudnya. Kita perlu cari jangka waktu yang realistik. Tapi satu tahun itu minimal, bahkan bisa juga jangka waktu yang lebih pendek, sejauh itu realistis. Intinya, kalau kita kasih waktu “selama-lamanya”, itu jadi bukan kairos. Sedangkan melakukannya sebagai Resolusi Tahun Baru masih memungkinkan jadi kairos.
Yang disebut momen atau saat, selalu ada batasnya, waktu yang pendek. Misalkan “ada diskon besar-besaran 70% dalam 2 minggu ini”, itu artinya kairos. Tapi kalau “diskon 70% selama-lamanya”, ya, saya tidak perlu cepat-cepat datang ke sana, dong, ‘kan dia selalu diskon, saya bisa datang kapan saja, tahun depan atau 2 tahun lagi juga masih kebagian. Tapi kalau dibatasi 2 minggu, maka lewat dari 2 minggu itu kita tidak ada kesempatan lagi. Itu namanya kairos.
Satu tahun adalah satu durasi terbatas, suatu kairos. Sebuah waktu durasi yang penting, kalau kita katakan “saya mau berdoa dengan lebih saleh dalam 17 tahun ini”, kita sepertinya tidak mengerti betapa berharganya waktu, nanti di tahun ke-17 baru kita melakukan. Mengapa banyak orang waktu sudah tua baru mulai cinta Tuhan, mulai religius?
Kita ini orang-orang yang berdosa. Dan karena kita orang berdosa, kita perlu bertumbuh, tetapi kemudian waktu bertumbuh, kita berdosa lagi; karena itu kita perlu resolusi. Kalau kita tidak menyadari gambaran ini, kita pikir kita sudah tidak perlu berubah lagi.
Orang yang merasa kehidupannya sudah oke, tidak perlu berubah lagi, dan merasa bahwa yang jadi persoalan dan perlu berubah selalu orang lain bukan dirinya, maka orang seperti ini akan sulit berpikir bahwa dirinya perlu resolusi. Tapi kalau melihat kehidupan kita, kenyataan sebenarnya kita masih banyak kelemahan, kita harus terus berubah dan bertumbuh sepanjang hidup kita.
Waktu membuat resolusi berarti kita mau membuat janji kepada diri kita untuk maju, tidak ada orang yang resolusinya “saya tahun ini mau mulai sakit” atau “tahun ini saya mau penghasilan saya berkurang separuh”. Waktu memikirkan resolusi selalu adalah untuk lebih baik, lebih maju dan di balik keinginan “menjadi lebih baik” tentu asumsinya adalah “kita belum cukup baik”. Necessity to grow - Kebutuhan untuk bertumbuh mengasumsikan gambaran “melihat ke depan”.
Kita bukan bermegah akan hal-hal yang dulu. Orang yang selalu melihat ke belakang, lalu mengenang yang indah-indah yang mungkin tidak bisa dialami lagi, akhirnya jadi diri yang tua sekali, cuma bisa mengenang masa lampau. Resolusi adalah menolong kita untuk melihat ke depan; bahwa kita masih ada kemungkinan untuk bisa ditingkatkan, bertumbuh, menjadi orang yang hidupnya lebih berkenan di hadapan Tuhan.
KITA PERLU ARAH
Di tengah kerutinan, kita bisa kehilangan fokus “sebenarnya hidup untuk apa”. Resolusi Tahun Baru jadi penting karena kita perlu arah/ fokus atau refocusing dalam hidup ini. Kita bisa lupa. Kalau kita punya piano, paling sedikit setahun sekali harus di-stem, kalau tidak akan jadi fals. Hidup kita juga begitu, bisa fals, maka paling sedikit setahun sekali harus di-stem. Di situ kita melihat kembali,” apa benar hidup saya ini kayak begini, sudah fals dalam banyak aspek”, perlu diperbaiki, perlu di-stem.
KITA MAU MELIHAT DENGAN IMAN DAN HARAPAN KEPADA TUHAN
Kita perlu Resolusi Tahun Baru karena kita mau melihat ke depan dengan iman dan harapan kepada Tuhan. Ada potensi dalam masa depan kita yang sangat erat kaitannya dengan iman dan harapan. Kalau orang masih bisa melakukan Resolusi Tahun Baru, artinya dia masih ada harapan akan masa depan, dia masih percaya ada potensi-potensi pada Tuhan, bukan sekedar potensi diri. Dalam perspektif Kristen kita tahu ada potensi dalam masa depan yang disediakan Tuhan bagi kita, dan kita mau mendapatkan itu.
Makna Alkitabiah dalam Resolusi Tahun Baru:
• Ada Dimensi Komunal, Bukan Sekedar Saya Mau Lebih Tinggi
Spiritualitas resolusi ada kaitan dengan Tahun Baru dalam tradisi Yahudi yang disebut Rosh Hashanah, dimulai dari hari raya-hari raya besar dan diakhiri dengan Yom Kippur (Hari Pembenaran/ the day of salvation). Kesempatan itu dipakai bukan hanya untuk merefleksikan kelemahan diri atau introspeksi diri , tapi sekaligus untuk mencari pengampunan dan memberi pengampunan. Perayaan natal , perayaan Tahun Baru dari agama apa pun memberi kesempatan bagi kita untuk saling memaafkan, saling mengampuni, ini hal penting, karena di sini ada dimensi komunal.
Biasanya resolusi cuma berkenaan dengan diri --saya mau apa, saya mau ke mana-- tapi dalam tradisi Tahun Baru Yahudi, yang kemudian juga mempengaruhi kepercayaan lain, ada ‘dimensi relasi’. Saya melihat diri saya punya kelemahan, lalu saya mencari pengampunan kepada orang yang saya sakiti atau bersalah kepadanya, dan juga bersedia mengampuni orang yang menyakiti atau bersalah kepada saya.
• Ada Aspek Pertobatan
Kembali kaitannya dengan resolusi, harusnya ada waktu khusus kita merenungkan ini, memang tidak mutlak harus awal atau akhir tahun, tapi setidaknya satu tahun sekali, mencari dan memberikan pengampunan. Dalam 2 Korintus 7:11 ada prinsip yang penting dalam perenungan tentang resolusi ini:
Sebab perhatikanlah betapa justru dukacita yang menurut kehendak Allah itu mengerjakan pada kamu kesungguhan yang besar, bahkan pembelaan diri, kejengkelan, ketakutan, kerinduan, kegiatan, penghukuman!. Di dalam semuanya itu kamu telah membuktikan, bahwa kamu tidak bersalah di dalam perkara itu.
Bagian ini dilatar-belakangi surat yang sangat keras dari Paulus kepada jemaat Korintus --bukan surat 1 dan 2 Korintus-- yang hidup di dalam dosa. Begitu kerasnya surat itu, sampai Paulus merasa menyesal. Tapi setelah ia lihat kembali ke belakang, ia tidak menyesal karena teguran yang keras itu mendatangkan pertobatan mereka -kesungguhan yang besar untuk membersihkan diri dari perbuatan dosa, ketakutan dalam pengertian takut dibuang Tuhan kalau terus hidup dalam dosa, takut hidup yang sia-sia tidak dipakai Tuhan, kerinduan untuk hidup kudus-- yang semuanya itu positif.
Orang yang berbicara tentang pertobatan tapi pertobatannya tidak mempunyai aspek-aspek penyesalan yang dalam, akhirnya akan menjadi pertobatan yang murah dan sia-sia, tidak berarti. Janji dan janji, new year’s resolution hanya sekedar new year’s resolution, tapi waktu di akhir tahun ternyata gagal, orang seperti ini akan mengatakan “ya, sudah, namanya juga manusia; manusia bisa khilaf; manusia kan tidak bisa sempurna, setidaknya saya sudah berusaha”. Tidak ada penyesalan yang dalam seperti jemaat Korintus, tidak ada ketakutan, kerinduan hidup kudus. Maka Resolusi Tahun Baru seperti ini cuma jadi sesuatu yang tidak ada artinya.
• Ada Aspek Pengorbanan Bukan Hanya Tanggung Jawab Pribadi
Dalam tradisi Kristen, menurut kalender gereja ada yang namanya masa “Lent” yaitu masa-masa menjelang Paskah. Kita sering kurang peka akan momen-momen seperti ini, kita sudah biasa menganggap semua hari sama saja, bahkan hari Minggu. Natal itu momen.
Advent itu momen. Paskah, Jumat Agung, itu momen. Beberapa minggu sebelum Paskah juga momen, yang disebut Lent – berhutang, Lent berkaitan dengan etika pengorbanan, menggantikan hukuman dosa kita, karena Yesus mati di atas kayu salib untuk kita adalah suatu pengorbanan, bukan sekedar tanggung jawab. Poin ini sangat penting.
Resolusi Tahun Baru orang-orang tidak percaya hanya bergerak dalam aspek tanggung jawab. Contohnya: “saya tahun ini akan lebih hati-hati memakai uang saya, tidak foya-foya”. Ini bagus, tapi cuma bergerak dalam soal tanggung jawab pribadi, tidak ada urusan dengan pengorbanan, tidak ada urusan dengan memberi uang kepada orang lain, cuma berputar dengan diri sendiri untuk jadi manusia yang lebih bertanggung jawab. Ini bukan salah, ini baik, tapi tidak cukup Kristen. Orang-orang tidak Kristen pun bisa melakukan ini, tapi mengapa kita orang Kristen yang percaya telah diampuni dosanya berjanji dan mempunyai target hanya seperti ini?
Yesus Kristus naik ke Golgota bukan mau mencapai tempat yang tinggi lalu bisa lihat Yerusalem dari atas. Itu target yang rendah, bukan itu. Tapi banyak orang Kristen mau mencapai yang lebih tinggi dan lebih tinggi supaya bisa merendahkan semua orang yang di bawah. Allah harusnya merendahkan kita, manusia yang berdosa, tapi Tuhan Yesus turun ke dunia yang paling bawah supaya bisa mengangkat kita, padahal kita tidak layak sama sekali. Maka Resolusi Tahun Baru bagi yang cuma berpikir saya mau tambah tinggi dan tambah tinggi, itu tidak ada hubungannya dengan iman Kristen. Itu Resolusi
Tahun Baru yang sekuler yang meaningless - tidak mempunyai arti.
MENGAPA RESOLUSI SATU TAHUN?
Resolusi Tahun Baru pada praktiknya biasa kita berjanji di awal tahun, lalu dinilai di akhir tahun. Jadi durasinya terbatas.
Apa bedanya orang melakukan Resolusi Tahun Baru per tahun dengan janji yang tidak ada batas waktunya? Kalau saya berjanji “ dalam tahun ini, saya akan seperti ini ” dibandingkan dengan mengatakan “dalam 10 tahun ini, saya seperti ini”, apa bedanya? Sepertinya ada janji untuk waktu yang pendek dan waktu yang panjang.
Tetapi lalu apa implikasinya? Contoh: “Resolusi Tahun Baru: target tahun ini saya mau turun berat 15 kg”, dibandingkan dengan “Resolusi Tahun Baru: dalam 20 tahun ini, saya akan turun 15 kg”, apa bedanya? Juga apa bedanya kalau dibandingkan lagi dengan “dalam bulan ini saya mau turun 15 kg”? Atau contoh lainnya “dalam 50 tahun ini, hai suamiku, aku akan lebih sabar kepadamu”, lalu suaminya satu hari mengatakan, “ini sudah 3 tahun”, maka kita katakan, ”ya, ‘kan target saya dalam 50 tahun... masih ada waktu 47 tahun bagi saya untuk berubah. Apakah kita dapat menangkap intinya? Persoalannya apa dengan durasi 50 tahun?
Dalam konsep Kristen ada durasi yang terbatas. Durasi yang makin pendek justru mempunyai aspek kairos/ momen/ waktu. Kalau 50 tahun, itu tidak jadi kairos lagi, tidak jadi momen lagi, tapi cuma kronos, durasi yang tidak jelas. Seperti kalau mengatakan, “hai istriku, memang saya sudah kegendutan, saya janji dalam 70 tahun ini turun 3 kg”, setelah itu ya, makan martabak manis terus tidak ada persoalan karena janjinya dalam 70 tahun; nanti 3 minggu terakhir saja baru olah raga setengah mati tapi selama 69 tahun suka-sukanya saja.
Jadi kalau Saudara memperpanjang waktunya jadi “sepanjang mungkin”, itu sama saja dengan tidak janji, dan kita kehilangan kairos. Tentu juga tidak masuk akal kalau “dalam 3 detik ini saya turun 15 kg”, bukan itu maksudnya. Kita perlu cari jangka waktu yang realistik. Tapi satu tahun itu minimal, bahkan bisa juga jangka waktu yang lebih pendek, sejauh itu realistis. Intinya, kalau kita kasih waktu “selama-lamanya”, itu jadi bukan kairos. Sedangkan melakukannya sebagai Resolusi Tahun Baru masih memungkinkan jadi kairos.
Yang disebut momen atau saat, selalu ada batasnya, waktu yang pendek. Misalkan “ada diskon besar-besaran 70% dalam 2 minggu ini”, itu artinya kairos. Tapi kalau “diskon 70% selama-lamanya”, ya, saya tidak perlu cepat-cepat datang ke sana, dong, ‘kan dia selalu diskon, saya bisa datang kapan saja, tahun depan atau 2 tahun lagi juga masih kebagian. Tapi kalau dibatasi 2 minggu, maka lewat dari 2 minggu itu kita tidak ada kesempatan lagi. Itu namanya kairos.
Satu tahun adalah satu durasi terbatas, suatu kairos. Sebuah waktu durasi yang penting, kalau kita katakan “saya mau berdoa dengan lebih saleh dalam 17 tahun ini”, kita sepertinya tidak mengerti betapa berharganya waktu, nanti di tahun ke-17 baru kita melakukan. Mengapa banyak orang waktu sudah tua baru mulai cinta Tuhan, mulai religius?
Karena tidak ada kairos dalam kehidupannya. Orang pikir, “Selagi saya masih muda, hidup untuk saya dulu. Nanti kalau sudah mendekati liang kubur, baru untuk Tuhan.” Menyedihkan. Tidak ada kairos bagi orang seperti ini karena dia pikir bahwa dia selalu punya kesempatan di waktu yang lain untuk berubah, untuk bertobat, untuk kurus, dsb. Kenyataannya kesempatan itu tidak selalu ada.
BEBERAPA CONTOH RESOLUSI TAHUN BARU
Target-target yang populer dalam Resolusi Tahun Baru misalnya meningkatkan kesehatan dan kecantikan tubuh seperti ‘turunkan berat badan’ , “saya tahun ini mau turun 15 kg”. Yang lain lagi misalnya memperbaiki karakter, “saya berjanji jadi orang yang lebih ceria, lebih suka tertawa dan tersenyum pada orang lain”.
Atau bisa juga dalam urusan keuangan, “saya tahun ini tidak mau ada utang lagi, semua utang harus lunas”. Atau dalam hal karir, “saya tahun ini harus dapat pekerjaan yang lebih baik, gaji lebih tinggi, pesangon lebih banyak; tahun ini saya harus bisa mempunyai business sendiri. Atau mungkin juga janji tentang hal-hal yang sederhana, seperti misalnya, “saya berjanji tahun ini, kalau ada orang saya akan menyapa terlebih dahulu, saya mau jadi orang yang menyenangkan”.
Target-target populer seperti ini tidak harus Kristen, siapa pun bisa. Tidak dikatakan yang seperti ini salah, tapi kalau Resolusi Tahun Baru orang Kristen cuma hal-hal seperti itu, berarti kita tidak berbeda dengan orang dunia yang tidak mengenal Yesus Kristus. Masalahnya, resolusi dalam hal-hal seperti itu tidak ada kaitan dengan spiritual dan iman kita, itu bukan resolusi spiritual.
BEBERAPA CONTOH RESOLUSI TAHUN BARU
Target-target yang populer dalam Resolusi Tahun Baru misalnya meningkatkan kesehatan dan kecantikan tubuh seperti ‘turunkan berat badan’ , “saya tahun ini mau turun 15 kg”. Yang lain lagi misalnya memperbaiki karakter, “saya berjanji jadi orang yang lebih ceria, lebih suka tertawa dan tersenyum pada orang lain”.
Atau bisa juga dalam urusan keuangan, “saya tahun ini tidak mau ada utang lagi, semua utang harus lunas”. Atau dalam hal karir, “saya tahun ini harus dapat pekerjaan yang lebih baik, gaji lebih tinggi, pesangon lebih banyak; tahun ini saya harus bisa mempunyai business sendiri. Atau mungkin juga janji tentang hal-hal yang sederhana, seperti misalnya, “saya berjanji tahun ini, kalau ada orang saya akan menyapa terlebih dahulu, saya mau jadi orang yang menyenangkan”.
Target-target populer seperti ini tidak harus Kristen, siapa pun bisa. Tidak dikatakan yang seperti ini salah, tapi kalau Resolusi Tahun Baru orang Kristen cuma hal-hal seperti itu, berarti kita tidak berbeda dengan orang dunia yang tidak mengenal Yesus Kristus. Masalahnya, resolusi dalam hal-hal seperti itu tidak ada kaitan dengan spiritual dan iman kita, itu bukan resolusi spiritual.
Apakah itu turun berat badan, lebih mengasihi, penghasilan yang lebih tinggi, dan seterusnya, hal tersebut tidak berurusan dengan dimensi spiritual. Kita tidak menyatakan bahwa hal-hal itu tidak spiritual sama sekali, tapi perlu direnungkan bagaimana membuat janji seperti itu dengan perspektif spiritual.
Kita mau turunkan berat badan, tapi mengapa orang Kristen tidak berjanji turunkan perbuatan dosa, turunkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang tidak menyenangkan Tuhan? Daripada punya target mau menjadi lebih ceria dan lebih banyak tertawa --yang tidak jelas ceria dan tertawa karena apa-- bukankah lebih baik kita berjanji untuk lebih bersukacita di dalam Tuhan dan lebih bersyukur? Karena hal ini bukan sekedar tertawa seperti orang yang minum-minum dan mabuk-mabukan yang mereka pun bisa tertawa.
Tentang hal keuangan seperti “penghasilan lebih tinggi, keluar dari utang”, dsb., bukan berarti memperbaiki aspek keuangan tidak spiritual, tetapi yang menjadikan tidak spiritual adalah kalau itu cuma berurusan dengan diri kita, titik. Kita harusnya bisa saja resolusi dalam aspek keuangan, tapi misalnya dengan janji “tahun ini saya akan lebih memberi untuk diakonia” yang tetap urusannya soal keuangan dan iman, tapi juga mempunyai kaitan dengan etika pengorbanan.
Dalam hal karier, daripada kita berjanji untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, bagaimana jika kita berjanji untuk jadi orang yang lebih setia dalam panggilan atau pekerjaan yang Tuhan berikan? Ada wanita yang gelisah sekali kalau jadi ibu rumah tangga, menganggap itu pekerjaan tidak berarti, karena di rumah hanya mengurus anak, sementara orang lain jadi wanita karier.
Kita mau turunkan berat badan, tapi mengapa orang Kristen tidak berjanji turunkan perbuatan dosa, turunkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang tidak menyenangkan Tuhan? Daripada punya target mau menjadi lebih ceria dan lebih banyak tertawa --yang tidak jelas ceria dan tertawa karena apa-- bukankah lebih baik kita berjanji untuk lebih bersukacita di dalam Tuhan dan lebih bersyukur? Karena hal ini bukan sekedar tertawa seperti orang yang minum-minum dan mabuk-mabukan yang mereka pun bisa tertawa.
Tentang hal keuangan seperti “penghasilan lebih tinggi, keluar dari utang”, dsb., bukan berarti memperbaiki aspek keuangan tidak spiritual, tetapi yang menjadikan tidak spiritual adalah kalau itu cuma berurusan dengan diri kita, titik. Kita harusnya bisa saja resolusi dalam aspek keuangan, tapi misalnya dengan janji “tahun ini saya akan lebih memberi untuk diakonia” yang tetap urusannya soal keuangan dan iman, tapi juga mempunyai kaitan dengan etika pengorbanan.
Dalam hal karier, daripada kita berjanji untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, bagaimana jika kita berjanji untuk jadi orang yang lebih setia dalam panggilan atau pekerjaan yang Tuhan berikan? Ada wanita yang gelisah sekali kalau jadi ibu rumah tangga, menganggap itu pekerjaan tidak berarti, karena di rumah hanya mengurus anak, sementara orang lain jadi wanita karier.
Kalau Tuhan memberikan kita panggilan itu, kita harus menaatinya, tidak ada gunanya menggerutu dan marah kepada diri dan lingkungan, membanding-bandingkan dengan orang lain, karena lebih baik kita setia pada apa yang Tuhan percayakan dalam kehidupan kita.
Baik menjadi wanita karier ataupun ibu rumah tangga, atau sebagai istri yang tidak mempunyai keturunan, atau siapa pun juga, tetap kita harus mengerti bahwa menerima panggilan yang dari Tuhan dan mengerjakannya dengan sungguh-sungguh, lebih penting daripada mempunyai target menjadi lebih dan lebih.
Orang bisa bicara Resolusi Tahun Baru dengan kalimat “pokoknya tahun ini” harus punya anak, harus nikah, dsb. Lalu kalau tidak terjadi, kita mau apa? Resolusi Tahun Baru juga penting karena kita perlu arah/ fokus atau mengarahkan kembali hidup ini. Mengapa? Karena kita harus fokus kepada janji Tuhan baik dalam hal-hal yang dinyatakan secara universal maupun hal hal khusus diperuntukkan bagi orang percaya. Kita tidak punya kuasa untuk menjamin hal-hal partikular itu pasti terjadi karena kita bukan Tuhan.
Dari mana kita tahu bahwa “saya tahun ini harus menikah” kalau saya belum punya pacar; atau juga bagaimana dengan “saya harus naik pangkat tahun ini” dan saya bisa memastikan itu terjadi? Tidak ada yang bisa memastikan, cuma Tuhan yang tahu. Itu dalam wilayah kedaulatan Tuhan, lalu kalau ternyata tidak terjadi, kita bagaimana? Memang, tentu ada reaksi. Pertama, coba lagi tahun depan siapa tahu berhasil. Lalu kalau belum berhasil, setiap tahun begitu terus.
Akhirnya Resolusi Tahun Baru jadi tidak berarti, tidak berguna, sudah mengotot habis tapi tidak terjadi pula. Akhirnya kalimat yang akan keluar, “Sudahlah jalani hidup saja, tidak usah punya target apa-apa, tidak usah punya target yang muluk-muluk, harus realistis. Terlalu banyak mimpi akan buat kita jadi putus asa.” Maka Resolusi Tahun Baru seperti ini tidak berguna, kita harusnya mengarahkan diri kita kepada janji Allah dan kepada ketaatan yang Tuhan mau dalam hidup kita.
BEBERAPA CONTOH DARI JONATHAN EDWARDS
Beberapa resolusi dari Jonathan Edwards, orang yang sangat diberkati Tuhan:
• Bahwa saya akan berbuat, berpikir, berbicara hanya untuk kemuliaan Allah, dan tidak untuk menyenangkan diri atau untuk keuntungan pribadi.
• Bahwa jika saya jatuh lagi dalam dosa dan bertumbuh dengan sia-sia, maka saya akan bertobat dan mengemba likan kemurnian hati saya.
• Bahwa saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menyia-nyiakan sedetik pun kesempatan yang Tuhan berikan, karena waktu adalah anugerah Tuhan.
• Bahwa saya akan hidup sepenuhnya bagi Allah bukan untuk diri.
• Bahwa dalam situasi apa pun saya mau mengikuti peta dan teladan Kristus, berbicara dengan penuh kasih.
4 Resolusi Tahun Baru yang benar:
Pertama, resolusi Kristen adalah resolusi spiritual. Kalaupun ada yang berkaitan dengan fisik pun, tetap harus ada dimensi spiritual yaitu pengorbanan, berkaitan dengan orang lain, dsb.
Kedua, perhatikan perbedaan antara resolusi yang berpusat pada diri dan akhirnya hanya self improvement - perbaikan diri/ kemajuan diri versus self sacrifice – self giving - berkorban dan memberikan diri bagi orang lain.
Ketiga, perhatikan perbedaan antara resolusi yang self improvement dan self achievement , saya makin lama makin maju, makin hebat, makin cantik, dsb., versus yang bersifat communal forgiveness – saling mengampuni antar sesama yang mengarahkan kita kepada keeratan kehidupan komunitas kepada seluruh lapisan masyarakat baik Kristen maupun non Kristen bahkan dengan mengantisipasi adanya ketidak sempurnaan, baik ketidak sempurnaan saya maupun sesama.
Sesama saya berarti siapa saja, tidak membedakan suku, agama dan bangsa bahkan musuh kita juga. Waktu kita mengampuni, berarti asumsinya orang itu bersalah pada kita, maka dalam communal forgiveness ada kesiapan untuk menerima ketidak sempurnaan sesama saya, tapi juga sekaligus kerendahan hati untuk mengakui ketidak sempurnaan saya yang juga perlu diampuni oleh sesama saya. Improvement (peningkatan) menunjuk kepada keadaan yang makin lama makin tinggi, sebaliknya forgiveness ( pengampunan, mengampuni ) itu gerakan turun, gerakan mengampuni, gerakan penerimaan.
Contoh: “saya berjanji tahun ini akan lebih kelihatan awet muda, karena itu saya harus pergi ke gym kira-kira sekian kali seminggu, pakai produk perawatan kulit jenis A, dst. dst.”. Ini meningkatkan diri. Saya bukan mengatakan ini berdosa, tapi kalau kita cuma bergerak di sini, ya, itu sama seperti orang dunia yang tidak mengenal Kristus, tidak ada bedanya.
Sedangkan kalau: “saya tahun ini berjanji untuk lebih sabar terhadap suami saya yang banyak kelemahan”, itu communal forgiveness – relasi pengampunan. Dan begitu juga arah sebaliknya juga: “saya berjanji tahun ini mau mengaku salah kalau saya memang salah, dengan pengharapan saya diterima dan diampuni karena kita komunitas Kristen”. Ini sangat berbeda dengan urusan awet muda tadi karena ada hubungannya dengan orang lain dan Tuhan.
Keempat dan terakhir, fokus kepada kehendak Tuhan yang dinyatakan. Kehendak yang dinyatakan itu perintah yang umum, universal, seperti yang Alkitab katakan: “kasihilah
Allahmu dengan segenap hatimu, segenap jiwamu, segenap akal budimu, segenap kekuatanmu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Sehingga Resolusi Tahun Baru mempunyai dasar iman yang mau bertumbuh, “saya berjanji untuk semakin mengasihi Tuhan dengan segenap hati, segenap kekuatan,... ”, bukan “saya tahun ini dapat ini dan itu” karena itu berada dalam kedaulatan Tuhan yang kita tidak tahu.
Kalau kita fokus pada kehendak Tuhan yang tersembunyi, berarti ada yang kita tidak tahu dan karenanya kita tidak bisa memaksakan. Tapi dalam hal kehendak Tuhan yang dinyatakan --supaya kita mengampuni sesama dan supaya kita lebih bergantung kepada Tuhan sehingga kita punya kepekaan terhadap orang-orang yang dalam kesulitan-- itu tidak mungkin luput karena tidak tersembunyi, absolut dinyatakan, Tuhan sendiri menginginkan hal itu terjadi dalam kehidupan kita.
Resolusi Tahun Baru dari Jonathan Edwards semuanya berurusan dengan hal-hal seperti itu. “Resolved never to lose one moment of time but use it to the most profitable way I can” adalah janji tidak menyia-nyiakan waktu yang adalah anugerah Tuhan, kesempatan yang diberikan Tuhan. Hal seperti ini berkaitan dengan kehendak Tuhan yang dinyatakan, ajaran Firman Tuhan mengatakan: “Tebuslah waktumu, karena hari-hari ini adalah jahat”. Janji seperti ini tidak mungkin luput.
BAGAIMANA MENILAINYA DI AKHIR TAHUN?
Kalau saya berjanji “tahun ini berat saya turun 15 kg”, menilainya gampang, jika ditimbang memang turun berarti berhasil, kalau tidak, berarti gagal. Tapi kalau berjanji bahwa saya akan berpikir dan berkata-kata untuk kemuliaan Tuhan, bagaimana menilainya waktu akhir tahun lihat ke belakang? Ada kesulitan tertentu karena itu tidak konkret. Tapi tetap saja justru yang seperti ini lebih benar. Mengapa? Karena kalau kita jujur di hadapan Tuhan, kita tahu kita kurangnya di mana. Kekristenan bukan masalah skala atau timbangan.
Oleh karena itu saya kuatir kalau Resolusi Tahun Baru menekankan pada “jumlah”. Itu bisa mencelakakan, karena itu memang paling mudah. Contoh: “saya berjanji tahun ini akan menginjili 20 orang”. Lalu akhir tahun dicek memang betul ada 20 orang. Tapi, hal itu ternyata masih bisa salah di hadapan Tuhan karena mungkin kita menginjili bukan dengan kasih, hanya karena ‘kejar setoran’ dan akhirnya angka 20 itu tidak ada gunanya. Saya tahun ini berjanji akan berdoa. Saya akan baca Alkitab sampai habis. Itu semua bagus, tapi kalau baca Alkitab hanya sambil lewat, apa gunanya? Tidak ada nilainya juga. Di sini ada jebakan karena Resolusi Tahun Baru kita jadi lebih berkaitan kepada hal-hal
lahiriah, urusan jumlah dan seterusnya, pertanyaannya adalah:
Apakah kita melakukannya dalam satu kerendahan hati, memberikan segala kemuliaan kepada Tuhan, melakukannya dengan cinta kasih yang didorong oleh Tuhan?
Jonathan Edwards tidak berjanji “saya tahun ini akan tulis dua buku”, dsb. karena itu bukan kehendak Allah yang dinyatakan; itu kehendak Allah yang tersembunyi. Bisa jadi dia memang tulis 2 buku tahun itu tapi bisa juga tidak, jika Tuhan memang tidak menghendaki. Lalu kalau dia paksakan tulis dua buku, akhirnya dia tidak setia pada kehendak Tuhan.
BACA JUGA: 4 PELAJARAN: TAHUN BARU TAHUN PENGHARAPAN
Resolusi Tahun Baru dalam hal-hal yang konkret seperti ini akan mengacaukan kita dan dapat salah arah, karena membuat kita tidak peka terhadap kehendak Tuhan. Tidak ada satu tahun pun yang Tuhan kehendaki selain supaya kita lebih mencintai Dia. Jadi janji seperti ini tidak mungkin salah. Karenanya kita tidak bergerak dalam Resolusi Tahun Baru untuk hal-hal yang tidak berarti, yang tidak mempunyai makna spiritual, dan tidak ada kaitan dengan Kerajaan Allah. Tetapi resolusi kita adalah harus dari Firman Tuhan; belajar dari orang-orang seperti Jonathan Edwards, atau dari Rosh Hashanah orang Yahudi, atau dari tokoh-tokoh lainnya.
New year’s resolution bukan sekedar melakukan new year’s resolution, tapi penting di pikiran esensinya, arahnya, dan fokusnya. Kiranya kita dapat merenungkan dan melakukannya di hadapan Tuhan.4 RESOLUSI TAHUN BARU YANG BENAR
Baik menjadi wanita karier ataupun ibu rumah tangga, atau sebagai istri yang tidak mempunyai keturunan, atau siapa pun juga, tetap kita harus mengerti bahwa menerima panggilan yang dari Tuhan dan mengerjakannya dengan sungguh-sungguh, lebih penting daripada mempunyai target menjadi lebih dan lebih.
Orang bisa bicara Resolusi Tahun Baru dengan kalimat “pokoknya tahun ini” harus punya anak, harus nikah, dsb. Lalu kalau tidak terjadi, kita mau apa? Resolusi Tahun Baru juga penting karena kita perlu arah/ fokus atau mengarahkan kembali hidup ini. Mengapa? Karena kita harus fokus kepada janji Tuhan baik dalam hal-hal yang dinyatakan secara universal maupun hal hal khusus diperuntukkan bagi orang percaya. Kita tidak punya kuasa untuk menjamin hal-hal partikular itu pasti terjadi karena kita bukan Tuhan.
Dari mana kita tahu bahwa “saya tahun ini harus menikah” kalau saya belum punya pacar; atau juga bagaimana dengan “saya harus naik pangkat tahun ini” dan saya bisa memastikan itu terjadi? Tidak ada yang bisa memastikan, cuma Tuhan yang tahu. Itu dalam wilayah kedaulatan Tuhan, lalu kalau ternyata tidak terjadi, kita bagaimana? Memang, tentu ada reaksi. Pertama, coba lagi tahun depan siapa tahu berhasil. Lalu kalau belum berhasil, setiap tahun begitu terus.
Akhirnya Resolusi Tahun Baru jadi tidak berarti, tidak berguna, sudah mengotot habis tapi tidak terjadi pula. Akhirnya kalimat yang akan keluar, “Sudahlah jalani hidup saja, tidak usah punya target apa-apa, tidak usah punya target yang muluk-muluk, harus realistis. Terlalu banyak mimpi akan buat kita jadi putus asa.” Maka Resolusi Tahun Baru seperti ini tidak berguna, kita harusnya mengarahkan diri kita kepada janji Allah dan kepada ketaatan yang Tuhan mau dalam hidup kita.
BEBERAPA CONTOH DARI JONATHAN EDWARDS
Beberapa resolusi dari Jonathan Edwards, orang yang sangat diberkati Tuhan:
• Bahwa saya akan berbuat, berpikir, berbicara hanya untuk kemuliaan Allah, dan tidak untuk menyenangkan diri atau untuk keuntungan pribadi.
• Bahwa jika saya jatuh lagi dalam dosa dan bertumbuh dengan sia-sia, maka saya akan bertobat dan mengemba likan kemurnian hati saya.
• Bahwa saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menyia-nyiakan sedetik pun kesempatan yang Tuhan berikan, karena waktu adalah anugerah Tuhan.
• Bahwa saya akan hidup sepenuhnya bagi Allah bukan untuk diri.
• Bahwa dalam situasi apa pun saya mau mengikuti peta dan teladan Kristus, berbicara dengan penuh kasih.
4 Resolusi Tahun Baru yang benar:
Pertama, resolusi Kristen adalah resolusi spiritual. Kalaupun ada yang berkaitan dengan fisik pun, tetap harus ada dimensi spiritual yaitu pengorbanan, berkaitan dengan orang lain, dsb.
Kedua, perhatikan perbedaan antara resolusi yang berpusat pada diri dan akhirnya hanya self improvement - perbaikan diri/ kemajuan diri versus self sacrifice – self giving - berkorban dan memberikan diri bagi orang lain.
Ketiga, perhatikan perbedaan antara resolusi yang self improvement dan self achievement , saya makin lama makin maju, makin hebat, makin cantik, dsb., versus yang bersifat communal forgiveness – saling mengampuni antar sesama yang mengarahkan kita kepada keeratan kehidupan komunitas kepada seluruh lapisan masyarakat baik Kristen maupun non Kristen bahkan dengan mengantisipasi adanya ketidak sempurnaan, baik ketidak sempurnaan saya maupun sesama.
Sesama saya berarti siapa saja, tidak membedakan suku, agama dan bangsa bahkan musuh kita juga. Waktu kita mengampuni, berarti asumsinya orang itu bersalah pada kita, maka dalam communal forgiveness ada kesiapan untuk menerima ketidak sempurnaan sesama saya, tapi juga sekaligus kerendahan hati untuk mengakui ketidak sempurnaan saya yang juga perlu diampuni oleh sesama saya. Improvement (peningkatan) menunjuk kepada keadaan yang makin lama makin tinggi, sebaliknya forgiveness ( pengampunan, mengampuni ) itu gerakan turun, gerakan mengampuni, gerakan penerimaan.
Contoh: “saya berjanji tahun ini akan lebih kelihatan awet muda, karena itu saya harus pergi ke gym kira-kira sekian kali seminggu, pakai produk perawatan kulit jenis A, dst. dst.”. Ini meningkatkan diri. Saya bukan mengatakan ini berdosa, tapi kalau kita cuma bergerak di sini, ya, itu sama seperti orang dunia yang tidak mengenal Kristus, tidak ada bedanya.
Sedangkan kalau: “saya tahun ini berjanji untuk lebih sabar terhadap suami saya yang banyak kelemahan”, itu communal forgiveness – relasi pengampunan. Dan begitu juga arah sebaliknya juga: “saya berjanji tahun ini mau mengaku salah kalau saya memang salah, dengan pengharapan saya diterima dan diampuni karena kita komunitas Kristen”. Ini sangat berbeda dengan urusan awet muda tadi karena ada hubungannya dengan orang lain dan Tuhan.
Keempat dan terakhir, fokus kepada kehendak Tuhan yang dinyatakan. Kehendak yang dinyatakan itu perintah yang umum, universal, seperti yang Alkitab katakan: “kasihilah
Allahmu dengan segenap hatimu, segenap jiwamu, segenap akal budimu, segenap kekuatanmu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Sehingga Resolusi Tahun Baru mempunyai dasar iman yang mau bertumbuh, “saya berjanji untuk semakin mengasihi Tuhan dengan segenap hati, segenap kekuatan,... ”, bukan “saya tahun ini dapat ini dan itu” karena itu berada dalam kedaulatan Tuhan yang kita tidak tahu.
Kalau kita fokus pada kehendak Tuhan yang tersembunyi, berarti ada yang kita tidak tahu dan karenanya kita tidak bisa memaksakan. Tapi dalam hal kehendak Tuhan yang dinyatakan --supaya kita mengampuni sesama dan supaya kita lebih bergantung kepada Tuhan sehingga kita punya kepekaan terhadap orang-orang yang dalam kesulitan-- itu tidak mungkin luput karena tidak tersembunyi, absolut dinyatakan, Tuhan sendiri menginginkan hal itu terjadi dalam kehidupan kita.
Resolusi Tahun Baru dari Jonathan Edwards semuanya berurusan dengan hal-hal seperti itu. “Resolved never to lose one moment of time but use it to the most profitable way I can” adalah janji tidak menyia-nyiakan waktu yang adalah anugerah Tuhan, kesempatan yang diberikan Tuhan. Hal seperti ini berkaitan dengan kehendak Tuhan yang dinyatakan, ajaran Firman Tuhan mengatakan: “Tebuslah waktumu, karena hari-hari ini adalah jahat”. Janji seperti ini tidak mungkin luput.
BAGAIMANA MENILAINYA DI AKHIR TAHUN?
Kalau saya berjanji “tahun ini berat saya turun 15 kg”, menilainya gampang, jika ditimbang memang turun berarti berhasil, kalau tidak, berarti gagal. Tapi kalau berjanji bahwa saya akan berpikir dan berkata-kata untuk kemuliaan Tuhan, bagaimana menilainya waktu akhir tahun lihat ke belakang? Ada kesulitan tertentu karena itu tidak konkret. Tapi tetap saja justru yang seperti ini lebih benar. Mengapa? Karena kalau kita jujur di hadapan Tuhan, kita tahu kita kurangnya di mana. Kekristenan bukan masalah skala atau timbangan.
Oleh karena itu saya kuatir kalau Resolusi Tahun Baru menekankan pada “jumlah”. Itu bisa mencelakakan, karena itu memang paling mudah. Contoh: “saya berjanji tahun ini akan menginjili 20 orang”. Lalu akhir tahun dicek memang betul ada 20 orang. Tapi, hal itu ternyata masih bisa salah di hadapan Tuhan karena mungkin kita menginjili bukan dengan kasih, hanya karena ‘kejar setoran’ dan akhirnya angka 20 itu tidak ada gunanya. Saya tahun ini berjanji akan berdoa. Saya akan baca Alkitab sampai habis. Itu semua bagus, tapi kalau baca Alkitab hanya sambil lewat, apa gunanya? Tidak ada nilainya juga. Di sini ada jebakan karena Resolusi Tahun Baru kita jadi lebih berkaitan kepada hal-hal
lahiriah, urusan jumlah dan seterusnya, pertanyaannya adalah:
Apakah kita melakukannya dalam satu kerendahan hati, memberikan segala kemuliaan kepada Tuhan, melakukannya dengan cinta kasih yang didorong oleh Tuhan?
Jonathan Edwards tidak berjanji “saya tahun ini akan tulis dua buku”, dsb. karena itu bukan kehendak Allah yang dinyatakan; itu kehendak Allah yang tersembunyi. Bisa jadi dia memang tulis 2 buku tahun itu tapi bisa juga tidak, jika Tuhan memang tidak menghendaki. Lalu kalau dia paksakan tulis dua buku, akhirnya dia tidak setia pada kehendak Tuhan.
BACA JUGA: 4 PELAJARAN: TAHUN BARU TAHUN PENGHARAPAN
Resolusi Tahun Baru dalam hal-hal yang konkret seperti ini akan mengacaukan kita dan dapat salah arah, karena membuat kita tidak peka terhadap kehendak Tuhan. Tidak ada satu tahun pun yang Tuhan kehendaki selain supaya kita lebih mencintai Dia. Jadi janji seperti ini tidak mungkin salah. Karenanya kita tidak bergerak dalam Resolusi Tahun Baru untuk hal-hal yang tidak berarti, yang tidak mempunyai makna spiritual, dan tidak ada kaitan dengan Kerajaan Allah. Tetapi resolusi kita adalah harus dari Firman Tuhan; belajar dari orang-orang seperti Jonathan Edwards, atau dari Rosh Hashanah orang Yahudi, atau dari tokoh-tokoh lainnya.
New year’s resolution bukan sekedar melakukan new year’s resolution, tapi penting di pikiran esensinya, arahnya, dan fokusnya. Kiranya kita dapat merenungkan dan melakukannya di hadapan Tuhan.4 RESOLUSI TAHUN BARU YANG BENAR