KESALAHPAHAMAN TENTANG KARUNIA NUBUAT

Pdt.Samuel T. Gunawan.M.Th.
KESALAHPAHAMAN TENTANG KARUNIA NUBUAT
Sebelum saya menjelaskan secara ringkas kesalahpahaman tentang karunia nubuat, maka terlebih dahulu saya akan menjelaskan secara ringkas apa itu nubuat. Ini adalah pertanyaan yang paling banyak ditanyakan kepada saya. 

Karunia untuk bernubuat dalam 1 Korintus 12:10 adalah kata Yunani “προφητείαν (prophēteian)” dari kata “προφητευω (prophôteuô) yang berarti “bernubuat”. Kata “prophôteuô” itu sendiri berasal dari kata “προφητης (prophêtês) yang berarti “nabi”. 

Pakar pertumbuhan gereja dan misiologi professor C. Peter Wagner mendefinisikan karunia nubuat sebagai “kemampuan istimewa yang diberikan oleh Allah kepada beberapa anggota dalam tubuh Kristus untuk menerima dan menyampaikan suatu pesan langsung dari Allah kepada umatNya melalui suatu ucapan yang diurapi oleh Allah”.

Sementara itu Dick Iverson seorang Kharismatik dari Gerakan Hujan Akhir mendefinsikan nubuat sebagai “berbicara di bawah pengaruh supranatural dipimpin Roh Kudus. Menjadi penyambung lidah Allah, mengucapkan firmanNya sebagaimana Roh memimpin”.

Definisi yang paling saya sukai dan sangat Alkitabiah adalah definisi yang dirumuskan oleh Wayne Grudem seorang profesor teologi sistematika dan riset Alkitab, seorang Calvinis Baptis yang Kharismatik. Ia mendefinisikan nubuat sebagai berikut, “Bernubuat ialah melaporkan sesuatu yang ditimbulkan Allah secara spontan di dalam pikiran kita.”

Definisi Wayne Grudem tersebut didasarkan pada ajaran Rasul Paulus tentang bernubuat yang ditulis dalam 1 Korintus 14:29-31, yang mengatakan, “Tentang nabi-nabi-- baiklah dua atau tiga orang di antaranya berkata-kata dan yang lain menanggapi apa yang mereka katakan. Tetapi jika seorang lain yang duduk di situ mendapat pernyataan, maka yang pertama itu harus berdiam diri. Sebab kamu semua boleh bernubuat seorang demi seorang, sehingga kamu semua dapat belajar dan beroleh kekuatan”.

Selanjutnya Wayne Grudem menjelaskan bahwa “berdasarkan penjelasan Paulus tentang seorang yang mendapat “pernyataan” – yaitu sesuatu secara spontan yang ditimbulkan oleh Allah di dalam pikiran kita. Berdasarkan “pernyataan” inilah, seorang dapat menyampaikan suatu “nubuat” kepada jemaat – yaitu hal yang dapat disebut suatu laporan mengenai sesuatu yang baru saja ditimbulkan Allah dalam pikiran kita. Jadi pada dasarnya bernubuat adalah kemampuan khusus yang diberi kepada seseorang yang dipakai Allah untuk menerima dan menyampaikan suatu berita atau pesan.

Pada umumnya ada tiga kesalahpahaman tentang nubuat, yaitu: (1) Menyamakan karunia bernubuat dengan berkhotbah atau mengajar; (2) Menyamakan karunia nubuat dalam 1 Korintus 12:10 dengan karunia pelayanan jemaat yang disebut dengan “nabi” dalam Efesus 4:11; dan (3) Menyamakan nubuat dengan firman Allah (Alkitab). Kesalahpahaman yang pertama paling sering dijumpai di kalangan non Pentakostal dan Kharismatik, sedangkan kedua dan ketiga merupakan kesalahpahaman yang banyak dijumpai dikalangan Pentakostal dan Kharismatik sendiri.

1. Menyamakan Karunia Nubuat dengan Berkhotbah atau Mengajar

Karunia bernubuat berbeda dengan berkhotbah atau mengajar. Perjanjian Baru jelas membedakan karunia untuk bernubuat (προφητείαν-prophēteian) dengan mengajar (διδασκω-didaskô). Pengajar (διδασκαλονς-didaskalous) adalah mereka yang memiliki karunia mengajar (didaskô) yang diberikan Allah secara khusus untuk menjelaskan, menguraikan secara terperinci, dan memberitakan firman Allah agar membangun tubuh Kristus (Efesus 4:12).

Tugas khusus para pengajar adalah memelihara Injil (firman Allah) yang dipercayakan kepada mereka dengan pertolongan Roh Kudus (2 Timotius 1:11-14). Mereka harus dengan setia mengarahkan gereja kepada pernyataan Alkitabiah dan berita asli Kristus dan para rasul, serta bertekun di dalam tugas ini. Dick Iverson menegaskan. “tidak ada jaminan untuk menerjemahkan kata “propheteia” sebagai mengkhotbah, atau mengajar dalam bentuk yang merampas sifat supranaturalnya yang langsung. Kitab Suci tidak bingung dan saling tertukar kata-kata ini”.

Saya sepakat dengan penyataan Dick Iverson tersebut. Walaupun berkhotbah bisa mengandung nubuatan, tetapi khotbah itu sendiri bukanlah nubuatan. Nubuatan tidak pernah menjadi pengganti untuk khotbah dan pengajaran Kitab Suci. Bernubuat bersifat supernatural, dan kita sama sekali tidak diberi impresi bahwa itu adalah suatu talenta berkhotbah alami atau kemampuan mengajar. Perhatikan penekanan sifat supernatural nubuatan dalam ayat-ayat berikut: 1 Korintus 4:1a; Ibrani 3:7; Kisah Para Rasul 21:11; Lukas 1:67.

2. Menyamakan Karunia Nubuat dengan Pelayanan Nabi

Kita harus membedakan di antara nubuat sebagai suatu pernyataan sementara dari Roh (1 Korintus 12:10) dan nubuat sebagai suatu karunia pelayanan jemaat (Efesus 4:11). Sebagai suatu karunia pelayanan, nubuat hanya diberikan kepada beberapa orang percaya, yang kemudian harus berfungsi sebagai nabi di dalam jemaat. Sebagai pernyataan (menifestasi) rohani, nubuat itu sebenarnya tersedia bagi setiap orang Kristen yang dipenuhi Roh (Kisah Para Rasul 2:17-18; 1 Korintus 14:29-3). Nubuat merupakan suatu karunia istimewa yang memungkinkan orang percaya untuk meneruskan perkataan atau penyingkapan secara langsung dari Allah di bawah dorongan Roh Kudus (1 Korintus 14:24-25, 29-31).

Ini bukanlah penyampaian sebuah khotbah yang telah dipersiapkan sebelumnya. Nubuat dijalankan di bawah kehendak Allah dan bukan kehendak manusia. Perjanjian Baru tidak pernah menunjukkan bahwa jemaat secara aktif mencari pernyataan atau petunjuk dari mereka yang mengaku sebagai nabi. Nubuat diberikan kepada jemaat hanya pada waktu Allah memprakarsai beritanya (1 Korintus 12:11; 2 Petrus 1:21).

3. Menyamakan Karunia Nubuat dengan Firman Allah (Alkitab)

Dalam Perjanjian Baru, orang yang dipilih mengucapkan perkataan Allah sendiri dan kemudian mencatatnya dalam Alkitab. Namun, kita tahu bahwa Tuhan Yesus tidak menyebut mereka sebagai “nabi” tetapi memakai istilah “rasul”. Para rasul adalah rekan di Perjanjian Baru terhadap nabi-nabi Perjanjian Lama (baca: Galatia 1:8, 9, 11, 12; 1 Korintus 2:13; 14:37; 2 Korintus 13:3; 1 Tesalonika 2:13; 4:8, 15; 2 Petrus 3:2).

Gereja berdiri di atas dasar para rasul dan para nabi ini. Para Rasul dan beberapa orang lain yang diberi kuasa oleh mereka (misalnya: Markus, Lukas, dan Penulis Surat Ibrani) mempunyai otoritas untuk menulis Kitab Perjanjian Baru, tetapi bukan ribuan orang Kristen biasa yang mempunyai karunia bernubuat dalam Gereja mula-mula (Kisah Para Rasul 2:17, 18; 21:4, 9-11; Roma 12:6; 1 Korintus 14:29-38; Efesus 4:11; 1 Tesalonika 5:20; 1 Timotius 4:14).

Maksudnya jelas, ratusan orang bisa bernubuat dalam gereja saat itu, tetapi Allah telah memilihi para rasul atau orang-orang tertentu yang diberi otoritas oleh mereka untuk menulis firman Allah yang kita kenali saat ini dengan Perjanjian Baru.

Karena itu sudah jelas bahwa karunia bernubuat berbeda dengan “firman Allah” dalam pengertian yang biasanya kita pakai untuk frase “firman Allah,” yaitu untuk merujuk kepada kata-kata yang terdapat dalam Alkitab, yang memiliki otoritas ilahi yang mutlak dan tidak pernah dapat salah. Sebaliknya, kesalahan-kesalahan dapat dibuat dalam nubuat-nubuat yang diucapkan seorang percaya saat ini. Itulah sebabnya Rasul Paulus berkata, “Biarlah yang lain menanggapi apa yang mereka katakan” (1 Korintus 14:29) dan “janganlah anggap rendah nubuat-nubuat.

Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik” (1 Tesalonika 5:20-21). Paulus tidak akan mengatakan hal ini jika nubuat-nubuat itu adalah perkataan Allah sendiri dalam arti Kitab Suci. Karena itu, otoritas yang dimiliki nubuat-nubuat ini tidak sebesar otoritas yang dimiliki Alkitab.

Mengenai perbedaan nubuat dengan firman Allah (Alkitab) ini juga ditegaskan oleh C. Peter Wagner sebagai berikut, “Karunia-karunia yang sedang kita bicarakan ini bukanlah firman Allah, yaitu Alkitab, tetapi adalah suatu firman dari Allah”. Jadi kita tidak boleh mengacaukan nubuat dengan perkataan Allah yang terdapat dalam Alkitab. 

Wagner menegaskan, “Kita percaya bahwa Alkitab itu tak dapat keliru dalam segala hal yang ditegaskannya dan bahwa Allah melakukan suatu hal yang istimewa ketika Ia mengilhamkan para penulis Kitab Suci untuk menjaga tempat unik Alkitab diantara semua karya tulisan yang terdapat di dunia.

Alkitab adalah Firman Allah yang tertulis dan tidak ada yang lain seperti itu”. Paulus mengetahui bahwa orang-orang yang berkarunia nubuat di jemaat Korintus tidak mengucapkan perkataan Allah sendiri sebab ia berkata, “Atau adakah firman Allah mulai dari kamu?” (1 Korintus 14:36, terjemahan harfiah), dan jawaban yang tersirat dalam kalimat ini ialah tidak.

Dalam Kisah Para Rasul 21:4, kita membaca mengenai murid-murid yang berada di Tirus, “Oleh bisikan Roh murid-murid itu menasihati Paulus, supaya ia jangan pergi ke Yerusalem.” Rupanya ini merujuk kepada nubuat yang ditujukan langsung kepada Paulus, tetapi Paulus tidak menaatinya! Paulus tidak akan pernah berbuat demikian seandainya nubuat ini berisi perkataan Allah sendiri. Kemudian dalam Kisah Para Rasul 21:10, 11, Agabus bernubuat bahwa Paulus akan “diikat oleh orang-orang Yahudi di Yerusalem dan diserahkan ke dalam tangan bangsa-bangsa lain,” suatu prediksi yang hampir tepat, namun tidak sepenuhnya tepat.

Tentara Romawi yang mengikat Paulus (Kisah Para Rasul 21:33), dan orang-orang Yahudi tidak menyerahkan dia secara sukarela, melainkan berusaha hendak membunuhnya dan ia harus diselamatkan dengan kekuatan tentara (Kisah Para Rasul 21:32). Prediksi itu tidak meleset terlalu jauh, tetapi prediksi ini tidak akurat secara detail. Orang-orang yang menyampaikan nubuat melalui karunia-karunia rohani bukanlah orang yang tak dapat keliru, karena itu setiap nubuat atau pernyataan selalu harus diperiksa dan diuji berdasarkan firman tertulis (Alkitab).

Ringkasnya, karunia nubuat adalah kemampuan khusus yang diberi kepada seseorang yang dipakai Allah untuk menerima dan menyampaikan suatu berita atau pesan. Namun orang-orang yang menyampaikan nubuat bukanlah orang yang tidak dapat keliru, karena itu setiap nubuat atau pernyataan selalu harus diperiksa dan diuji berdasarkan firman tertulis (Alkitab) sebagai satu-satunya otoritas mutlak dan tertinggi dalam gereja.

KARUNIA NUBUAT TUNDUK PADA OTORITAS ALKITAB YANG ABSOLUT

Alkitab adalah Firman Allah yang lebih tinggi dan tidak akan pernah tersamakan atau terlampaui oleh karunia nubuat. Tidak pernah, sekali lagi, tidak pernah, bahwa suatu perkataan nubuat dari Roh Kudus bertentangan dengan Alkitab. Alkitab diberikan oleh Allah untuk tujuan menjadi Kitab Suci dan yang berotoritas bagi seluruh zaman Gereja (2 Petrus 1:21; Efesus 2:20). 

Berkaitan dengan karunia nubuat ada dua kesalahan yang perlu dihindari, yaitu : 

(1) mengangkat karunia nubuat pada suatu tingkat tidak bisa salah sehingga sama dengan otoritas Alkitab; 

(2) menganggap rendah nubuat bahkan mengabaikannya begitu saja. Karena itu, kita seharusnya tidak boleh memberikan otoritas yang terlalu besar pada nubuat, tetapi kita juga tidak boleh merendahkan nubuat hingga menghilangnya sama sekali. Rasul Paulus menasehati, “janganlah anggap rendah nubuat-nubuat. Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik” (1 Tesalonika 5:20-21). Paulus tidak akan mengatakan hal ini jika nubuat-nubuat itu adalah perkataan Allah sendiri dalam arti sama seperti Kitab Suci yang adalah perkataan Allah sendiri. 

Karena itu, otoritas yang dimiliki nubuat-nubuat ini tidak sebesar otoritas yang dimiliki Alkitab. Semua perkataan nubuat masa kini harus dipertimbangkan oleh Firman Allah yang tertulis dan tunduk kepadanya (Bandingkan Ulangan 4;2; Amsal 30:6; Wahyu 22:18).

Pakar misi dan pertumbuhan gereja profesor C. Peter Wagner menyatakan bahwa “orang-orang yang meneruskan firman dari Allah melalui karunia-karunia Roh bukanlah orang yang tak dapat keliru”. Sebab itu sangat penting untuk memeriksa apakah perkataan nubuat tersebut cocok seratus persen dengan firman yang diinspirasikan. 

Selanjutnya Wagner menegaskan bahwa pernyataan yang diberikan melalui karunia nubuat atau bahasa roh harus selalu diperiksa atau diuji dari segi firman Allah yang tertulis. Ujian pertama yang menentukan benarnya suatu nubuat adalah kesesuaiannya dengan ayat-ayat Alkitab. 

Wagner memberikan contoh seorang pria yang menjalankan mobilnya dengan kecepatan 125 km per jam melewati jalan-jalan yang ramai di sebuah kota di negera bagian Ohio, dan akhirnya menabrak tiga orang hingga mereka tewas. Saat, diwawancarai, pria tersebut mengatakan bahwa ia berbuat demikian karena di suruh oleh Tuhan. Tentu saja kita mengetahui bahwa ini adalah suatu nubuat palsu karena tidak sesuai dengan ajaran etis dari Alkitab.

Bila suatu perkataan nubuat yang disampaikan tidak terjadi, mengapa? Sekitar dua puluh tahun yang lalu, saya diberitahu oleh seorang pendeta bahwa istrinya sedang mengandung seorang anak perempuan, dan Tuhan langsung yang berbicara kepadanya, bahkan Tuhan memberikan nama bagi anak itu. Jadi ia mengabaikan bantuan medis seperti USG untuk meramalkan / mengetahui jenis kelamin anak di kandungan istrinya. 

Tepat pada hari persalinan istrinya, ternyata anak yang lahir adalah seorang bayi laki-laki. Dalam kasus ini siapakah yang salah? Apakah Tuhan ? Jawabannya tentu saja “tidak”! Allah tidak pernah membuat kesalahan, dan Ia tidak memberitakan pernyataan yang salah kepada kita. Tetapi kita dapat membuat kesalahan. 

Kesalahan ini menurut professor Wayne Grudem (seorang pakar teologi sistematika dan riset Perjanjian Baru) dapat terjadi dalam beberapa cara, yaitu: (1) kita mungkin saja tidak dapat membedakan dengan sempurna apa yang berasal dari Allah dan apa yang berasal dari pikiran (keinginan) kita sendiri; (2) Kita mungkin salah memahami pernyataan yang mana berasal dari Allah; (3) Kita mungkin tidak melaporkan wahyu itu dengan tepat sekali, artinya, bisa saja beberapa gagasan dan penafsiran kita sendiri tercampur dalam pernyataan itu.


Saya setuju dengan pendapat Wayne Grudem yang menyatakan bahwa ada beberapa orang Kharismatik (dan Pentakostal tentunya) membuat kesalahan pada waktu mereka memulai suatu nubuat dengan berkata, “Demikian Tuhan berfirman,…” seolah-olah mereka tidak pernah membuat kesalahan ketika menyampaikan pernyataannya dan seolah-olah nubuat-nubuat mereka sama dengan Alkitab, 100 persen Firman Allah tanpa terdapat ketidakmurnian atau ketidaksempurnaan sekecil apa pun. 

Karena itu, saat menyampaikan nubuat, lebih baik dan lebih aman jika diawali dengan berkata, “Saya pikir Tuhan sedang memberitahu kepada saya bahwa …” atau, “saya pikir Allah sedang menaruh firman ini dalam hati saya bahwa …”. Menurut Grudem, cara ini tidak akan mengurangi keefektifan perkataan yang sungguh-sungguh berasal dari Tuhan, sebab jika suatu pernyataan berasal dari Allah, Ia akan menerangkannya dengan sejelas-jelasnya di dalam hati orang yang dimaksudkan-Nya.

Orang-orang yang bernubuat kadangkala membual (omong kosong) pada saat mereka berkata, “Beginilah firman Tuhan, …”. Mereka berbuat itu karena mereka membaca frase ini berulang-ulang dalam kitab-kitab nabi Perjanjian Lama. Namun, kita harus menyadari bahwa karunia bernubuat sekarang ini berbeda dengan nubuat-nubuat Perjanjian Lama yang kita baca di Alkitab. 

Nabi-nabi Perjanjian Lama, misalnya Yesaya dan Yeremia, mempunyai tanggung jawab yang menakjubkan, yaitu mereka mampu berbicara dan menulis kata-kata yang memiliki otoritas Ilahi yang mutlak. Ini disebabkan Allah tidak hanya menyatakan berbagai hal kepada mereka, tetapi ia juga menjamin bahwa laporan mereka mengenai pernyataan (wahyu) tersebut disampaikan dengan kata-kata yang dimaksudkan-Nya, yaitu hal yang belakangan disebut dalam Alkitab, “Segala Tulisan yang diilhamkan Allah” (2 Timotius 3:16). 

Jadi nabi-nabi Perjanjian Lama dapat berkata, “Beginilah firman Tuhan, …” dan kata-kata yang mengikutinya benar-benar adalah Firman Allah. Nabi-nabi Perjanjian Lama menulis kata-kata mereka sebagai kata-kata Allah dalam Alkitab yang berlaku sepanjang waktu (baca: Ulangan 18:18-20; Yeremia 1:9; Bilangan 22:38; Yeheshiel 2:7 dan lain sebagainya). Karena itu, tidak mempercayai atau tidak menaati perkataan seorang nabi adalah sama dengan tidak mempercayai atau tidak menaati Allah (Ulangan 18:19; 1 Samuel 8:7; I Raja-raja 20:36, dan seterusnya).

Dalam Perjanjian Baru, orang yang dipilih mengucapkan perkataan Allah sendiri dan kemudian mencatatnya dalam Alkitab. Namun, kita tahu bahwa Tuhan Yesus tidak menyebut mereka sebagai “nabi” tetapi memakai istilah “rasul”. Para rasul adalah rekan di Perjanjian Baru terhadap nabi-nabi Perjanjian Lama (baca: Galatia 1:8, 9, 11, 12; 1 Korintus 2:13; 14:37; 2 Korintus 13:3; 1 Tesalonika 2:13; 4:8, 15; 2 Petrus 3:2). 

Para Rasul dan beberapa orang lain yang diberi kuasa oleh mereka (misalnya: Markus, Lukas, dan Penulis Surat Ibrani) mempunyai otoritas untuk menulis Kitab Perjanjian Baru, tetapi bukan ribuan orang Kristen biasa yang mempunyai karunia bernubuat dalam Gereja mula-mula (Kisah Para Rasul 2:17, 18; 21:4, 9-11; Roma 12:6; 1 Korintus 14:29-38; Efesus 4:11; 1 Tesalonika 5:20; 1 Timotius 4:14). Jadi, walaupun karunia nubuat yang berasal dari Roh Kudus masih ada di dalam gereja saat ini tetapi itu bukan untuk menggantikan Alkitab atau bukan menjadi alasan orang Kristen menjadi malas mempelajari Alkitab. Orang Kristen harus mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah.KESALAHPAHAMAN TENTANG KARUNIA NUBUAT
https://teologiareformed.blogspot.com/
Next Post Previous Post