MENJADI SAHABAT BAGI SEMUA ORANG (YOHANES 15:14-15)
Pdt.Samuel T.Gunawan, M.Th.
MENJADI SAHABAT BAGI SEMUA ORANG.“Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu. Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku” (Yohanes 15:14-15)
Pertama-tama saya ingin menyampaikan selamat tahun baru 2022 kepada kita semua. Kita telah meninggalkan tahun 2021 dan memasuki tahun 2022. Banyak hal telah terjadi yang kita alami dalam hidup kita pada tahun 2021, ada keberhasilan dan ada juga kegagalan. Kita tidak dapat mengubah apa yang telah terjadi, itu akan menjadi sejarah hidup kita. Namun, kita dapat mengubah masa depan kita dengan harapan dan keyakinan untuk kehidupan yang lebih baik di tahun 2022 ini.
Kedua, Khotbah saya hari ini berhubungan dengan tema dan sub tema natal kita. PGI dan KWI telah menetapkan tema natal tahun 2021 yaitu ““Hiduplah Sebagai Sahabat Bagi Semua Orang” (Bdk. Yohanes 15:14-15). Sedangkan Sub Tema natal kita hari ini adalah “Tuhan Yesus Kristus telah memberikan contoh sebagai teladan bagi kita Keluarga Besar Betang Toyoi Tumbang Malahoi Palangka Raya untuk melaksanakan tema tersebut yaitu menjadi sahabat bagi semua orang”.
Apabila dicermati, maka tema dan sub tema ini intinya sama yaitu bentuk ajakan dan atau dorongan untuk kita bersahabat dengan semua orang tanpa memandang ras, agama status sosial. Kita ingat bahwa suatu ketika seorang ahli Taurat bertanya kepada Yesus, “Dan siapakah sesamaku manusia?” (Lukas 10:29) berdasarkan hukum kedua “kai agapêseis ton plêsion sou hôs seauton” atau “dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (Lukas 10:27). Kata “sesama” dalam ayat ini berasal dari kata Yunani “plêsion” yang berarti “semua orang yang ada disekitar / diseliling kita”.
Sebuah kata yang dipakai untuk menunjukkan orang yang bukan saudara kandung, sedarah, sesuku atau sekebangsaan. Sebab jika yang dimaksud dengan sesama itu adalah orang yang sedarah, sesuku, atau sekebangsaan maka kata Yunani yang biasa dipakai adalah “adelphos”. Namun disini saya mengingatkan kita bahwa menjadi sahabat bukan berarti kita harus pindah agama atau menjadi seagama dengan sahabat kita atau pun mengadopsi budaya atau adat-istiadat orang lain orang lain.
Ketiga, ada ungkapan yang mengatakan “the only way to have a friend is to be one” yang artinya “satu-satunya cara mendapatkan sahabat adalah dengan menjadi sahabat". Secara eksegesis teologis, jujur saja merupakan hal yang tidak mudah bagi saya untuk menjelaskan “bagaimana kita menjadi sahabat bagi semua orang” dengan menggunakan teks Yohanes 15:14-15 yang menjadi rujukan dalam tema natal kita ini.
Mengapa? Karena konteks dekat dalam ayat ini bukan merupakan ajakan langsung bagi murid-murid Yesus untuk menjadi sahabat semua orang”, melainkan suatu deklarasi yang dilakukan Yesus tentang perubahan status yang meningkat dari para murid menjadi tingkat sahabat. Perlu diketahui, dalam budaya Yahudi seorang guru memiliki status di atas para murid. Posisi Yesus lebih tinggi di atas para murid karena Dia adalah Tuhan, Guru, Putra Allah (bdk. Yohanes 3:18; 5:17-23; 10:36).
Meski demikian, Yesus sebagai seorang sahabat, mengangkat status para murid dari tingkat murid ke tingkat menjadi sahabat-sahabatNya. Dan secara konstan dalam waktu yang sama, Dia merendahkan diriNya sebagai seorang sahabat sejati, yang menyerahkan nyawaNya bagi para sahabat, i sampai mati, bahkan sampai mati di salib (bdk. Filipi 2:8).
Keempat, berdasarkan penjelasan di atas, maka “menjadi sahabat bagi semua orang” tidak akan dapat kita pahami hanya berdasarkan konteks dekat Yohanes 15:14-15, tetapi harus dilihat dari konteks yang lebih luas. Perlu diketahui bahwa Yohanes pasal 15 bukanlah literatur narasi melainkan “diskursus mashal” yakni suatu gaya literatur Ibrani yang merujuk baik pada tindakan simbolik (lambang) yang diungkapkan melalui bahasa kiasan (figuratif), maupun kalimat pepatah atau peribahasa yang berbasis parenetis atau nasihat hidup.
Karena itulah teks ini sekali lagi bukanlah teks narasi melainkan diskursus yang berisi nasihat, wejangan atau pesan-pesan Yesus kepada murid-muridNya. Melalui bentuk sastra diskursus ini Yohanes selaku penulis Injil Yohenes ini hendak memperkenalkan ajaran hakiki tentang persatuan antara Yesus dengan Bapa dan para murid, tentang kasih dan konsekuensi dari kebersatuan para murid itu dengan diri Yesus.
Dan teks Yohanes 15:14-15 ini persis berada dalam konteks diskursus yang berbicara tentang metafora pokok anggur dan ranting-rantingnya serta nilai dari tinggal bersatu dengan Dia (Yohanes 15:1-11), tentang memelihara perintah kasihNya (Yohanes 15:12-17), dan juga tentang perkataanNya mengenai kebencian dan kekerasan dunia terhadap diriNya maupun para muridNya (Yohanes 15: 18-27).
Dan pada bagian tentang bagaimana para murid memelihara kasihNya, Yesus menegaskan keberadaan mereka sebagai sahabatNya bukannya hanya murid, apalagi sebagai hamba (lihat Yohanes 15:14-15). Teks ini pada dasarnya merupakan sebuah status istimewa yang dihadiahkan Yesus kepada para murid.
Dan inisiatif penganugerahan status dari murid menjadi sahabat itu mendapat respon positif dari para murid pilihanNya. Melalui pengetahuan dan iman, para murid diarahkan pada kebenaran ilahi yang diwahyukan. Bahwa kini status mereka bukan hanya sebagai murid tetapi sahabat, yaitu sebuah status baru. Status baru ini didasarkan pada perintah hakiki yang diberikan Yesus: “mengasihi seperti Yesus telah mengasihi. Perihal mengasihi seperti Yesus mengasihi inilah yang akan saya jelaskan saat ini.
MENGASIHI SESAMA SEPERTI YESUS TELAH MENGASIHI KITA
Kira-kira 2000 tahun yang lalu Kristus berkata kepada murid-muridNya, “εντολην καινην διδωμι υμιν ινα αγαπατε αλληλους καθως ηγαπησα υμας ινα και υμεις αγαπατε αλληλους (entolên kainên didômi humin hina agapate allêlous kathôs êgapêsa humas hina kai humeis agapate allêlous) yang diterjemahkan “Perintah baru Aku berikan kepada kamu supaya kamu saling mengasihi satu sama lain seperti Aku telah mengasihi kamu begitu juga kamu harus saling mengasihi satu sama lain” (Yohanes 13:34-35).
Sebuah pernyataan yang luar biasa! Dimana Yesus sendiri yang mengatakan bahwa hal utama yang akan menunjukkan kepada orang-orang yang belum percaya bahwa Ia nyata dan hidup di dalam kehidupan kita hari ini ialah kehidupan yang mengasihi. Kasih sangat penting sehingga Kristus mengulangi pengajaran tersebut kepada murid-muridNya beberapa waktu kemudian, “Inilah perintahKu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. Kamu adalah sahabatKu, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu” (Yohanes 15:12-14).
Namun pertanyaan pentingnya adalah ini : Yesus mengatakan bahwa Ia memberikan “entolên kainên” (yang diterjemahkan “perintah atau hukum baru”) kepada murid-muridNya (Yohanes 13:34-35). Namun ternyata yang Ia bicarakan adalah perihal saling mengasihi.
Bukankah mengasihi itu merupakan perintah yang lama, yang juga terdapat dalam hukum Taurat? Bahkan menurut Yesus perintah untuk mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia tersebut merupakan kesimpulan dari seluruh hukum Taurat dan kitab Para Nabi ketika Ia mengatakan, “en tautais tais dusin entolais holos ho nomos kai hoi prophêtai kremantai” atau yang diterjemahkan menjadi “pada kedua perintah ini seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi terikat (tergantung)” (Matius 22:40).
Kita segera teringat kisah tentang seorang pakar dalam hukum Musa yang datang kepada Yesus dan menanyakan pertanyaan, “hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?” Yesus menjawab, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama.
Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Matius 22:37-40). Jadi disini Yesus telah mengumpulkan semua peraturan, tata tertib, dan perintah Perjanjian Lama, kemudian mengikatnya dalam dua perintah yang ringkas yaitu mengasihi Allah dan mengasihi sesama.
Lalu, apakah yang dimaksud Yesus dengan perintah yang baru tersebut? Bukankah kedua perintah mengasihi tersebut juga diperintahkan dalam Perjanjian Lama (lihat: Ulangan 6:5; Imamat 19:18)? Jika memang itu adalah perintah baru, bagian manakah dari perintah tersebut yang telah diperbaharui oleh Kristus? Perintah “agapêseis ton plêsion sou hôs seauton” yang diterjemahkan “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 22:39) kini telah berubah menjadi “agapate allêlous kathôs êgapêsa humas” yang diterjemahkan “kamu harus mengasihi satu sama lain, seperti Aku telah mengasihi kamu” (lihat Yohanes 15:12). Inilah yang disebut Yesus sebagai perintah yang baru (Yohanes 13:34).
Sementara tolok ukur dari perintah lama adalah diri sendiri, maka tolok untuk perintah baru ini adalah Kristus sendiri, yang telah memberikan nyawaNya bagi kita (Yohanes 15:12-14). Perintah baru ini merupakan suatu standar yang lebih tinggi bagi kita, yang oleh rasul Paulus disebut sebagai “ton nomon tou khristou” atau “hukum Kristus” (Galatia 6:2). Jadi kita diperintahkan untuk mengasihi sesama bukan lagi dengan standar seperti kita mengasihi diri sendiri, melainkan seperti Kristus telah mengasihi kita.
Namun, kita tidak bisa mengasihi orang lain seperti Yesus mengasihi jika kita tidak memiliki dan mengalami kasih Yesus tersebut dalam hidup kita.
Seringkali kita diajarkan tentang bagaimana kita seharusnya mengasihi orang lain. Meskipun ini tentu saja wajar dan merupakan ciri yang paling membedakan dari seorang Kristen sejati dan yang bukan (Yohanes 13:35).
Tetapi, kita tidak akan pernah dapat memberikan apa yang belum kita terima. Hanya dengan menerima dan mengalami kasih Kristus barulah kita bisa mengasihi dengan kasih sejati. Ketika kita datang pada Tuhan dan percaya pada Kristus, kita disatukan dengan Dia dan diselamatkan. Ini membawa kita dalam relasi yang telah diperbaharui dengan Tuhan, dimana kita mengasihi Tuhan, mengasihi sesama dan mengasihi (bukan mementingkan) diri sendiri dalam cara yang baru. Kasih ini kita terima dalam Kristus oleh anugerah Roh Kudus yang melahirbarukan kita (Roma 5:5).
Dengan demikian tidaklah mungkin bagi kita memiliki kasih sejati diluar relasi kita dengan Kristus. Sampai kita memiliki pengertian tentang seberapa besarnya Kristus mengasihi kita, barulah kita bisa mengasihi dengan kasih sejati. Jadi, mengasihi orang lain adalah buah (bukan akar) dari kasih Allah bagi kita. Mengapa? Karena kehidupan Kristen tidak hanya sulit untuk dijalani, tetapi mustahil dijalani dengan kekuatan kita sendiri.
Dan ini paling jelas kelihatan dalam mengasihi orang lain. Jenis kasih sejati Yesus perintahkan termasuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan (Matius 5:39; Roma 12:17); mengampuni dan mendoakan mereka yang memusuhi kita (Lukas 10:25-37); memperhatikan mereka yang miskin, memberi makan yang lapar, memberi pakaian kepada yang telanjang, serta mengunjungi yang sakit dan dipenjara (Matius 25:31-46).
Inilah jenis kasih dalam tindakan yang menunjukkan bahwa kita mengasihi. Seperti yang dikatakan oleh Thomas A. Kempis, “whoever loves much, does much (siapakah yang mengasihi lebih, bertindak lebih)”. Jenis kasih ini mustahil secara manusia untuk kita lakukan. Kita dapat hidup seperti ini dengan berjalan dalam kasih sejati yang hanya berasal dari Allah dalam Kristus, dan hanya dengan kasih seperti itu sajalah kita akan dapat menjadi sehabat semua orang”. Amin.