KASIH ADALAH RESPON

Pdt. Dr. Billy Kristanto. 
KASIH ADALAH RESPON
”Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah : Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.”

Paulus menulis dalam 1 Korintus 13 bahwa kita bisa membagi-bagikan pakaian kita, menyerahkan tubuh kita untuk dibakar, punya iman memindahkan gunung, dst., tetapi semua itu harus dimeteraikan dengan “kasih”.

Waktu kita melakukan tindakan-tindakan yang “religius” tetapi di dalamnya tidak ada “kasih”, akan mudah sekali tindakan kita menjadi fanatik dan legalisme. Saya bisa beribadah sebagai legalis agama, dengan spiritualitas legalisme yaitu melihat ibadah sebagai kewajiban, bukan melakukannya karena cinta kasih. Itu juga sebabnya banyak orang yang datang terlambat waktu mau beribadah; hanya terpaksa datang dan akhirnya telat. Kita hendaknya mencoba koreksi diri di bagian ini.

Ini salah satu aplikasi paling sederhana kalau kita mengasihi Tuhan. Tuhan tidak pernah terlambat datang dalam kehidupan kita, bagaimana bisa kita terlambat datang kepada Tuhan? Kita sepertinya tidak mengerti ke-tidak terlambat-an Tuhan karena Tuhan tidak pernah terlambat. Dulu waktu SMA sekolah masuk jam 7, lalu ketika banjir seorang teman terlambat 1 atau 2 jam. Dia bilang kepada guru “hari ini banjir jadi telat”, dan guru menjawabnya: “Kalau begitu, kamu bangun jam 3, dong; kalau jam 3 bangun dan masih telat, ya bangun jam 2”. Sederhana sebenarnya. Kalau kita datang telat 10 menit, ya di-pagi-kan 10 menit bangunnya; kalau telat setengah jam, ya di-pagi-kan setengah jam bangunnya; tidak ada persoalan sebetulnya.

KASIH ADALAH RESPON

Kasih tidak bisa dihayati secara legalisme. Mengapa? Karena kasih adalah urusan respon. Orang tidak bisa mengasihi, tanpa terlebih dahulu dikasihi. Kasih tidak pernah mungkin jadi legalisme, karena orang mengasihi adalah sebagai respon.

Seorang wanita mengasihi sebagai respon, sedangkan inisiatifnya adalah kasih pria. Maka dalam hal ini, wanita yang tidak dicintai suaminya --yang suaminya kurang inisiatif mencintai-- berat sekali pernikahannya karena dia harus berinisiatif mencintai yang laki-laki. Ini terbalik. Apalagi kalau laki-lakinya tetap tidak responsif juga, itu seorang laki-laki yang keterlaluan, tidak ada “laki-laki”-nya sama sekali. 

Kita semua, menurut Alkitab adalah “perempuan” di hadapan Tuhan. Kita adalah mempelai perempuan. Oleh karena itu, cinta kasih kita tidak pernah “inisiatif” in relation dengan Tuhan; kalau kita yang inisiatif, maka kita bukan jadi “mempelai’ melainkan jadi “Kristus”. Kristus mengasihi kita secara inisiatif, jemaat mengasihi Kristus secara responsif.

Orang yang mengasihi secara responsif, barulah dia bisa mengerti artinya inisiasi kasih Tuhan. Semua “kasih” yang tidak mempunyai pengertian dan iman sebagai respon terhadap inisiasi kasih TUHAN, maka akan menjadi kasih yang legalis, atau kasih yang tidak tulus dan murni. Manusia cuma bisa mengasihi Tuhan Allahnya sejauh pemahaman tentang kasih Tuhan Allah kepadanya, yaitu seperti kasih yang dikembalikan lagi. 

Kasih yang hanya karena mau hidup enak tidak ada rintangan, atau karena tidak mau dianggap egois atau jahat, bukanlah kasih yang sejati, itu kasih yang legalis, kasih yang hanya kewajiban Taurat, bukan kasih sempurna melainkan kasih yang hanya sebagai bentuk keharusan, kewajiban, dsb. Akhirnya ketika orang

mendorong orang lain untuk mengasihi dengan cara seperti ini, dia sendiri sebenarnya tidak ada kasih; maka ia akan menjadi orang yang menghakimi, selalu merasa diri benar, karena ia tidak mengerti bahwa:

Sesungguhnya seluruh manusia telah jatuh dalam dosa dan tidak dapat mempunyai kasih yang murni. Dan kasih yang murni datang pertama kali dari Tuhan Allah, Sang Pencipta, Sang Juruselamat, sumber kasih dan kebenaran itu sendiri. Manusia yang dapat mengasihi adalah mereka yang telah menerima kasih Allah, kasih yang mengampuni dan membebaskan dari kutuk dosa; kasih dan belas kasihan-Nya membentuk kita setiap hari untuk dapat mengasihi DIA dan sesama, semakin hari semakin bertambah. 

Itulah kasih yang Tuhan Allah ajarkan melalui pengorbanan kematian dan kebangkitan Kristus, Sang Juruselamat. Kasih yang dapat mengampuni siapa pun sepenuhnya, tidak mendendam dan merusak, bahkan dapat mendoakan dan mengasihi musuh-musuh. Di dalamnya ada belas kasihan dan pengampunan yang tidak ada batasnya.

KEBENARAN DAN KASIH TIDAK DAPAT DIPISAHKAN

Apa sebenarnya yang harus terus-menerus diajarkan dalam ajaran kasih? Bukan ajaran kasih itu sendiri, melainkan bagaimana TUHAN mengasihi kita, karena inilah yang mendorong orang untuk mengasihi. Kita bukan mengajak, mendorong, meneror orang untuk mengasihi Tuhan Allahmu dan mengasihi sesama. Tidak ada gunanya. Manusia tidak punya kekuatan itu dari dirinya sendiri, kecuali dia menghayati, terharu dengan kasih Tuhan yang diterima dalam kehidupannya.

Kalau bagian itu tidak ada, bagaimana kita bisa mengasihi Tuhan Allahmu dengan segenap, segenap, segenap? Mendengar kata “segenap” saja juga sudah semacam teror, seperti habis habisan. Kekristenan itu bukan mengajarkan agama dari bawah; bukan kita yang habis-habisan, tapi TUHAN yang memberikan Anak-Nya yang tunggal Tuhan Yesus yang habis-habisan mengasihi kita dengan pengorbanan di atas kayu salib. Apakah kita mengerti bahwa TUHAN habis-habisan untuk kita? Kalau kita mengerti, baru kita ada kemungkinan meresponi juga dengan habis-habisan, dengan segenap akal budi, segenap kekuatan, segenap jiwa, dsb.

Menguji kerohanian kita juga sama. Henry Drummond menulis buku “Greatest Thing In The World”, membahas 1 Korintus 13. Dia mengatakan kalimat: “The final test of religion –ujian terakhir keagamaan-- bukanlah kebenaran manusia, atau keadilan manusia, bukan bagaimana kita disebut benar, melainkan love (kasih).” Kita bukan mengatakan bahwa dalam agama Kristen ‘kebenaran’ tidak ada tempatnya sama sekali, tentu saja tidak. Tetapi jika kembali dikaitkan dengan kasih, maka divine righteousness --keadilan Ilahi-- yang kita baca dalam Alkitab itu dinyatakan paling sempurna di atas kayu salib, dan itu langsung berkait dengan kasih.

Keadilan kita seringkali tanpa kasih. Waktu berjuang untuk keadilan, apa yang ada dalam pikiran kita tentang keadilan? Mungkin seperti ini: “Kita ini kaum minoritas, mengapa kita di-diskriminasi? Kita harus berjuang untuk keadilan”, perjuangan semacam itu, tidak terlalu berkait dengan kasih. Memang benar diskriminasi adalah isu keadilan, tetapi tidak terlalu berkait dengan kasih melainkan lebih berkait dengan “ego saya” yang jadi korban (victim).

Tetapi Alkitab menceritakan bahwa Yesus Kristus menyatakan “Kebenaran dan Keadilan Allah dengan Kasih” , dan kasih itu bukan untuk Yesus, tetapi justru di atas kayu salib Yesus menyatakan kasih yang sempurna, kasih-Nya untuk orang lain, untuk kita. Inilah kebenaran di dalam Alkitab. Kebenaranan dan belas kasihan, semuanya secara kategori seperti dua hal yang berbeda.


Contoh: bila kita meresponi orang yang dihukum karena narkoba, “ya, harus Nusakambangan yang terlibat narkoba, ya memang harus setimpal hukumannya”. Kita tidak melihat belas kasihan di situ, kita melihat respon yang menyepelekan jiwa orang yang terhukum bahwa orang ini perlu pengampunan dari Allah melalui Kristus. 

Dan tentu saja memang benar bahwa dia tetap harus menjalankan hukumannya di dunia sesuai keputusan pengadilan. Kalau menurut dunia, righteousness, ya righteousness; kebenaran, ya kebenaran; compassion atau belas kasihan itu urusan lain. Tapi dalam Alkitab righteousness and compassion (kebenaran dan belas kasihan ), righteousness and love (kebenaran dan kasih); itu semua tidak dapat dipisahkan.

“Final test of religion is love”. Ujian akhir keagamaan kita bukanlah berapa banyak buku teologi yang kita baca, bukan berapa kali kita tamat membaca Alkitab, bukan berapa banyak kita memberi persembahan, bukan berapa banyak pengorbanan yang kita berikan, bukan berapa banyak kita kegereja , bukan... , bukan..., seperti itu , kita dapat tambahkan sendiri daftarnya-- melainkan kasih yang menjadi kematangan mengasihi; kematangan kita mengasihi Tuhan, kematangan kita mengasihi sesama. Kiranya Tuhan memberkati kita.
Next Post Previous Post