KEKERASAN: SIKAP KITA, FAKTOR PEMICU DAN PENYEMBUHAN
Pdt.Samuel T. Gunawan,M.Th.
otomotif, bisnis |
“Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel -- juga orang yang menutupi pakaiannya dengan kekerasan, firman TUHAN semesta alam. Maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat! (Maleakhi 2:16)
Dunia kita dipenuhi dengan orang-orang yang menyimpan luka-luka, baik luka fisik sebagai akibat dari kekerasan fisik maupun luka hati (batin) sebagai akibat kekerasan psikologis.
Professor David J. Schawartz dalam bukunya Berpikir dan Berjiwa Besar mengutip apa yang telah diteliti oleh Dr. Schindler. Dia mengatakan bahwa “tiga dari empat orang yang terbaring di rumah sakit, mengidap penyakit Emotionally Induced Illness yaitu semacam penyakit yang disebabkan oleh emosi.
Selanjutnya dia juga mengatakan bahwa “sebenarnya tiga dari empat orang yang sakit sekarang ini akan sehat jika mereka belajar bagaimana menangani masalah emosi mereka”.[1] Sebagian luka dibawa dari sejak kandungan sebagai akibat dari penolakan orang tua yang gagal melakukan aborsi. Sebagian lagi berasal dari masa kecil mereka sebagai akibat kekerasan (fisik, seksual, dan psikis) dalam rumah tangga.
Namun ada juga yang terluka karena tekanan dan persoalan kehidupan modern. Akan tetapi apabila diteliti maka akar penyebab tersebut sebetulnya berasal dari atau berkaitan dengan keluarga. Ironisnya lagi, banyak dari antara orang Kristen yang mengalami kekerasan fisik dan terluka terluka secara psikologis.
Kata kekerasan (abuse), terutama kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan kata yang tidak asing lagi ditelinga kita, bahkan sangat sering kita mendengarnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan kekerasan adalah perihal yang bersifat keras atau perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang milik orang lain.
Pada umumnya dalam masyarakat, kita dapat menjumpai berbagai bentuk kekerasan antara lain: kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikologis dan emosional. Ada juga bentuk kekerasan lainnya seperti kekerasan spiritual, kekerasan sosial dan kekerasan politis.[2]
Segala jenis kekerasan terjadi ketika seseorang yang mempunyai kekuasaan atas orang lain menggunakan kekuasaan itu untuk menyakiti. Kekerasan fisik terjadi ketika seseorang menggunakan kekuasaan atau kekuatan fisik atas orang lain sehingga menyebabkan luka fisik. Kekerasan seksual terjadi ketika seseorang menggunakan kekuasaan seksual atas orang lain sehingga mengakibatkan luka seksual.
Kekerasan spiritual terjadi ketika seseorang yang memiliki wewenang relius menggunakan wewenang posisi itu untuk menimbulkan luka spiritual. Demikian juga berlaku dengan kekerasan sosial, politis, dan psikologis. Semua itu terjadi ketika mereka yang berkuasa (dalam berbagai tingkat dan bentuk) menggunakan kekuasaannya sehingga mengakibatkan orang-orang disekitar mereka menderita ketidakadilan.[3]
KEPRIHATINAN TERHADAP MENINGKATNYA KEKERASAN
Kesadaran, keprihatinan dan kepedulian masyarakat tentang berbagai bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), telah meningkat secara dramatis. Pada umumnya dalam masyarakat kita, kekerasan yang terjadi berupa serangan fisik dan seksual, juga kekerasan psikologis dan emosional. Meskipun kekerasan dialami juga oleh kaum pria, namun pada umumnya perempuan dan anak-anak yang paling banyak menjadi korban kekerasan.
Di Indonesia, data catatan akhir tahun 2014 Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan menunjukkan peningkatan jumlah kasus terhadap perempuan sebanyak 20.000 kasus dibanding kasus tahun 2013. Menurut Catatan Akhir Tahun 2014, terdapat 293.220 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2014. Sebanyak 68% dari kasus tersebut adalah kekerasan domestik dan rumah tangga (KDRT) dengan mayoritas korban ibu rumah tangga dan pelajar. Bentuk-bentuk kekerasan meliputi penelantaran tanggung jawab, penganiayaan fisik dan psikis, serta pernikahan paksa.[4]
Kekerasan juga terjadi di negara yang berbasis Kristen seperti Amerika. Menurut Biro Investigasi Federal (FBI), bahwa satu dari dua perempuan dipukuli oleh suaminya, dan 28%. Di Amerika setiap 15 detik ada seorang perempuan yang sedang disiksa. Penyiksaan menjadi penyebab luka paling banyak bagi perempuan Amerika, lebih banyak daripada kecelakaan, pemerkosaan, dan perampokan. Lebih dari 70% pria yang menyiksa istri mereka juga menyerang anak-anak mereka secara fisik atau seksual. Pada umumnya pelaku pemukulan, pemerkosaan, atau pembunuhan atas perempuan adalah orang yang dekat dengan korban. Sebaliknya, pria biasanya diserang atau dibunuh oleh orang yang tidak mereka kenal. Menurut perkiraan FBI, kekerasan dalam rumah tangga yang dilaporkan kepada pihak berwenang hanya kurang dari 10%.
Menurut Ken Blue dalam artikelnya tentang Kekerasan menyatakan bahwa kekerasan dapat dilihat sebagai suatu rangkaian kesatuan. Disalah satu ujung rangkaian tersebut kita tempatkan eksploitasi dan penindasan yang berlangsung secara terstruktur, sistematis dan brutal. Dalam kasus-kasus semacam itu, kekerasan sering sudah dirancang sebelumnya, dan pelakunya sangat sadar bahwa tindakannya menyakiti orang lain.
Diujung lainnya dari rangkaian kesatuan itu, kita tempatkan manipulasi sosial yang relatif ringan dan sporadis. Di sana, sang pelaku kekerasan tidak berniat menyakiti orang lain, tetapi dengan membabi buta ia mengejar keinginan-keinginan pribadinya dan menyakiti orang lain di dalam prosesnya. Banyak dari pelaku yang semacam itu yang sama sekali tidak menyadari kerugian yang mereka timbulkan terhadap orang lain. Faktor kenaifan itulah yang pada umumnya kita temukan dalam kasus-kasus kekerasan di berbagai tempat.[5]
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, bahwa yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Dalam catatan tahunan yang dirilis oleh Komisi Nasional Perempuan, ditemukan fakta bahwa jumlah KDRT yang dialami oleh perempuan di Indonesia mencapai angka 8.626 kasus pada tahun lalu 2014. Dengan angka tersebut, maka rumah tangga menjadi ranah terbesar penyumbang munculnya 293.220 kasus kekerasan terhadap perempuan 2014 lalu. Selain KDRT, kasus perceraian dengan gugatan yang diajukan istri terhadap suami juga menempati porsi besar dalam hal pemicu lahirnya tindak kekerasan terhadap perempuan.
Indraswari, Komisioner Komnas Perempuan menjelaskan, dalam melakukan riset tahun 2014, Komnas Perempuan telah membagi ranah kekerasan terhadap perempuan ke dalam tiga wilayah besar. Dari ketiga ranah tersebut, rumah tangga atau relasi personal menjadi ranah terbesar yang didalamnya terjadi tindak kekerasan terhadap para perempuan.
Ranah kekerasan pada perempuan ada di tingkat yaitu: personal atau KDRT, komunitas, dan kekerasan oleh negara.
(1) Di rumah tangga terjadi 8.626 kekerasan terhadap perempuan.
(2) kekerasan di lingkup komunitas ada 3.860 kasus; dan
(3) negara menyumbang 24 kasus kekerasan sepanjang tahun lalu. Indraswari yakin, jumlah kekerasan terhadap perempuan di Indonesia sebenarnya jauh lebih banyak lagi jumlahnya dibandingkan data yang dimiliki Komnas Perempuan.
Karena dari 664 lembaga pengadaan layanan di seluruh Indonesia yang dikirimi lembar pendataan, hanya 191 lembaga yang mengembalikan ke Komnas Perempuan. Keyakinan Indraswari didasarkan pada fakta bahwa seluruh data tindak kekerasan terhadap perempuan yang diperoleh Komnas Perempuan hanya berasal dari 191 lembaga yang mengembalikan lembar data tersebut. Dalam KDRT, kekerasan terhadap istri menjadi kasus yang paling banyak dilaporkan ke sejumlah lembaga pengadaan seperti pengadilan agama, pengadilan negeri, maupun pihak kepolisian.
Total, terdapat 5.102 kasus kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga sepanjang tahun lalu. Sementara itu, dalam ranah komunitas kasus pemerkosaan menjadi penyumbang utama dengan jumlah 1.033 temuan sepanjang tahun lalu. Tindak pencabulan mengikuti di urutan kedua dengan jumlah kasus sebanyak 834 yang ter data dari lembaga pengada layanan di Indonesia.[6]
KEKERASAN SEBAGAI AKIBAT DOSA DALAM HATI MANUSIA
Kitab Suci menyatakan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Alkitab menyatakan "Hanya Engkau adalah TUHAN! Engkau telah menjadikan langit, ya langit segala langit dengan segala bala tentaranya, dan bumi dengan segala yang ada di atasnya, dan laut dengan segala yang ada di dalamnya. Engkau memberi hidup kepada semuanya itu dan bala tentara langit sujud menyembah kepada-Mu” (Nehemia 9:6; Bandingkan Kejadian 1).
Tujuan penciptaan adalah untuk kemuliaan-Nya. Saat Tuhan menciptakan, maka semua yang diciptakannya itu baik dan sempurna adanya (Kejadian 1:12,18,21,25,31). Tidak ada kejahatan, tidak ada rasa sakit, tidak ada kekerasan, penderitaan dan tidak ada kematian. Taman Eden tidak memiliki bencana alam, kekerasan, penderitaan atau kematian sampai setelah Adam dan Hawa berdosa (baca Kejadian pasal 1-3).
Wayne Grudem menuliskan, “Dosa merusak segala sesuatu. Kita tidak hidup dalam tujuan hidup yang telah ditetapkan sejak semula bagi kita, dan kita tidak hidup di dalam dunia yang telah dirancang sejak semula untuk ditinggali. Dosa merusak gambar Allah di dalam diri kita; kita tidak lagi merefleksikan kesempurnaan sebagaimana yang dirancang Allah saat menciptakan kita. Karena dosa, berbagai hal tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan semula”.[7] Betapa mengerikan akibat dari dosa, tepat seperti yang dikatakan Wayne Grudem di atas “dosa merusak segala sesuatu.
Manusia pun diciptakan oleh Allah.[8] Manusia diciptakan oleh “Arsitektur Agung”[9] dengan sempurna tanpa cacat atau cela sedikit pun dalam seluruh keberadaannya. Manusia adalah makhluk mulia yang luar biasa, dikaruniakan hikmat dan kuasa atas seluruh ciptaan karena Ia merupakan “gambar” dan “rupa” Allah,[10] sehingga tidak heran jika Pemazmur dalam kekagumannya berkata: “Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia sehingga Engkau mengindahkannya?” (Mazmur 8:5; 144:3; Bandingkan Ayub 7:17,18).
Manusia adalah makhluk ciptaan yang berpribadi, bukan mesin atau robot.[11] Manusia diciptakan dengan “kehendak bebas” yang terpelihara dalam kekudusan Allah. Dengan kehendak bebas itu manusia dapat melayani Allah. Hal baik yang diciptakan Tuhan adalah bahwa mahkluk ciptaanNya memiliki kebebasan untuk memilih.
Manusia diuji untuk mempercayai Allah dan taat kepada Allah ataukah tidak. Setiap pilihan akan mengakibatkan konsekuensi yang berlawanan. Fakta bahwa manusia yang menggunakan pilihan bebas yang diberikan Allah untuk memberontak terhadap Tuhan tidak mengejutkan-Nya, karena Tuhan Mahatahu. [12]
Tetapi Tuhan bukanlah pencipta dosa, namun Dia mengizinkan dosa. Tuhan mengizinkan kemungkinan terjadinya dosa supaya manusia bisa betul-betul memilih untuk mempercayai Allah dan taat pada-Nya atau sebaliknya menolak mempercayai Allah dan memberontak. Asal-usul dosa sebenarnya datang dari manusia yang mengarahkan keinginannya menjauh dari Allah dan menuju kepada keinginannya sendiri.
Dengan kata lain sebagaimana yang ditegaskan oleh Norman Gleiser dan Jeff Amanu “Allah menciptakan fakta kebebasan, manusia melakukan tindakan bebas tersebut; ciptaan membuatnya menjadi aktual” (Baca Kejadian pasal 3).[13]
Setelah Adam dan Hawa menolak mempercayai Allah dan membuat dosa menjadi aktual pada saat pertama kalinya di Taman Eden, sejak saat itu natur dosa telah diwariskan kepada semua manusia (Roma 5:12; 1 Korintus 15:22), dan akibat natur dosa itulah kita sekarang ini terus menggunakan kehendak bebas itu untuk membuat kejahatan, (termasuk kekerasan dalam berbagai tingkat dan bentuk) itu menjadi aktual (Markus 7:20-23).
Bahkan kejahatan natural seperti gempa bumi, badai, banjir dan hal-hal lainnya yang serupa, berakar dari penyalahgunaan kehendak bebas manusia. Saat ini kita hidup dalam dunia yang telah jatuh dan karena itu, rentan terhadap bencana alam yang tidak akan terjadi jika manusia tidak memberontak melawan Allah pada mulanya (Roma 8:20-22).
Perlu ketahui bahwa kekerasan dalam rumah tangga bisa membawa kepada perceraian dan kerusakan lainnya dalam rumah tangga. Namun kita diingatkan bahwa Tuhan tidak merancang perceraian. Apa pun pandangan orang mengenai perceraian dan kekerasan, adalah penting untuk mengingat kata-kata Alkitab bahwa Tuhan membenci perceraian dan membenci orang yang melakukan kekerasan.
Perhatikanlah firman Tuhan dalam Maleakhi 2:16 ini, “Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel -- juga orang yang menutupi pakaiannya dengan kekerasan, firman TUHAN semesta alam. Maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat!
Kekerasan jelaslah bersumber dari hati manusia yang keras akibat dosa. (Bandingkan Matius 19:8; Markus 5:10). Kata Yunani “ketegaran hati” dalam ayat tersebut adalah “sklerokardia” yang lebih tepat diterjemahkan dengan “kekerasan hati”. Alkitab memberitahu kita bahwa perbuatan-perbuatan dosa bersumber dari hati manusia. Yesus dalam kesempatan lain mengatakan demikian, “Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinaan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat.
Itulah yang menajiskan orang.” (Matius 15:19-20a). Dosa telah membuat hati manusia menjadi keras. Kekerasan hati manusia mengakibatkan manusia melakukan berbagai kejahatan, sulit mengampuni, menganggap diri benar, meremehkan firman Tuhan, menutup diri terhadap koreksi, menolak untuk berubah, menyebabkan hubungan suami dan istri rusak, keluarga berantakan, bahkan menyebabkan kekerasan dan perceraian.
FAKTOR PEMICU MENINGKATNYA KEKERASAN
Banyak faktor yang berperan dalam meningkatnya peristiwa kekerasan, antara lain: faktor kemasyarakatan, politik, budaya, dan spiritual. Saat ini banyak orang merasa semakin tidak berdaya dan tertekan karena berada di tengah masyarakat yang semakin banyak menggunakan teknologi canggih dan mesin-mesin otomatis, bersifat global, dan tidak menghormati hakikat perseorangan.
Salah satu reaksi terhadap ketidakberdayaan adalah melakukan kekerasan, dan orang-orang yang terdekat sering menjadi target dari pelampiasan rasa frustasi itu. Selain itu, masyarakat pada umumnya sedang mengalami kemerosotan moral. Salah satu gejalanya adalah pengabaian dan pelanggaran terhadap perilaku etis dalam Kitab Suci. Akibatnya orang cenderung melakukan apa yang benar menurut pandangan mereka sendiri.
Kegagalan keluarga atau yang kita kenal dengan istilah “broken home (keluarga beratakan)” memberikan sumbangsih yang signifikan bagi meningkatnya perilaku kekerasan di kalangan anak-anak. Anak-anak yang bertumbuh dalam rumah tangga yang hancur atau menyimpang, sering kali menderita gangguan kesehatan emosional dan cenderung memiliki kejiwaan yang labil.
Para psikolog dan praktisi kesehatan jiwa mengenali sepuluh jenis gangguan kepribadian (personality disorder), yaitu:
(1) Paranoid, polanya adalah orang tidak mudah percaya dan selalu curiga;
(2) Skizoid, yaitu orang mengalami keterpisahan secara sosial dan emosi yang terkungkung;
(3) Skizopital, yaitu orang yang biasanya mengalami gangguan pikiran, perilaku eksentrik, dan kapasitas yang kurang untuk berhubungan dekat;
(4) Antisosial, biasanya terdapat pada pola sikap tidak peduli, dan pelanggaran atas hak orang lain;
(5) Borderline, biasanya ditandai dengan ketidakstabilan dalam hubungan, gambar diri, suasana hati, dan sikap yang impulsif dramatis;
(6) Histrionik, polanya adalah emosi yang berlebihan dan mencari perhatian;
(7) Narsistik, polanya ditunjukkan oleh adanya rasa sombong, haus pujian, dan kurangnya empati;
(8) Avoidant, biasanya dicirikan oleh adanya hambatan sosial, perasaan tidak mampu, dan kepekaan yang berlebihan terhadap kritik;
(9) Dependent, pada masalah ini terdapat kebutuhan yang sangat besar akan perhatian, sikap patuh, perilaku bergantung, dan takut akan perpisahan;
(10) Obsesif Kompulsif, biasanya ditandai dengan kesenangan akan keteraturan, kesempurnaan, dan kontrol sebagai ganti fleksibilitas, keterbukaan, dan efisiensi”.[14]
Statistik juga menunjukkan bahwa anak-anak yang bertumbuh dalam rumah tangga yang hancur sangat rentan terhadap kekerasan. Ditambah lagi dengan kemarahan dan rasa frustrasi karena diabaikan (ditelantarkan) serta usaha untuk bertahan hidup di bawah kondisi kehidupan yang menekan, tidak heran jika anak-anak yang malang itu sering dan cenderung menganiaya orang lain.
Floyd McClung mengindentifikasikan keadaan orang yang mengalami luka-luka psikologis, yaitu: Penarikan atau pengucilan diri, sifat ingin memiliki, mental kami versus atau lawan mereka, manipulatif dan menolak kerja sama, tidak mau diajar, tidak sabar, berprasangka buruk atau curigaan terhadap orang lain, suka mengkritik atau menghakimi, tidak setia, tidak tahu berterima kasih dan idealisme yang tidak sehat yaitu suka memaksakan pendapatnya kepada orang lain.[15]
Jadi akar penyebab kekerasan tersebut sebenarnya paling banyak berasal dari keluarga dan sangat erat hubungannya dengan orang tua. Orang tua yang melakukan kekerasan kemungkinan besar adalah korban kekerasan orang tuanya di masa lalu. Dengan demikian kekerasan berpotensi melahirkan masa depan yang suram.
Namun fakta yang memprihatinkan tentang kekerasan adalah bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam tingkat kekerasan antara orang-orang Kristen dan orang-orang bukan Kristen. Dengan kata lain, kenyataan menunjukkan bahwa tingkat kekerasan di antara orang-orang Kristen dan bukan Kristen kurang lebih sama.
KEKERASAN DAN PENYALAHGUNAAN KEKUASAAN (OTORITAS)
Otoritas adalah wewenang, hak atau kuasa untuk mewajibkan kepatuhan. Dari segi iman Kristen, Allah mempunyai hak, kedaulatan dan kuasa tertinggi untuk menuntut kepatuhan dari ciptaan, karena Dialah sang Pencipta dan Tuhan segala bangsa. Allah juga berdaulat menetapkan semua otoritas yang ada, baik orang tua, pemerintah, atasan dalam pekerjaan, dan pemimpin rohani.
Alkitab menyatakan “Hanya Engkau adalah TUHAN! Engkau telah menjadikan langit, ya langit segala langit dengan segala bala tentaranya, dan bumi dengan segala yang ada di atasnya, dan laut dengan segala yang ada di dalamnya. Engkau memberi hidup kepada semuanya itu dan bala tentara langit sujud menyembah kepada-Mu” (Nehemia 9:6; Bandingkan Kejadian 1). Namun, Alkitab juga menyatakan bahwa bahwa Allah membagi-bagikan kekuasaan dan menetapkan seseorang atau beberapa orang di atas kita untuk kebaikan kita.
Otoritas itu bisa merupakan bentuk hubungan vertikal antara suami dan istri (Efesus 5:22-23), orang tua dan anak (Efesus. 6:1-3), pemerintah dan masyarakat (Roma 13:1-5), atasan dan bawahan dalam bisnis atau pekerjaan (Efesus. 6:5-8), para pemimpin rohani dan jemaat (Ibrani 13:7,17). Ayat-ayat yang disebutkan di atas merupakan dasar bagi pemberlakuan otoritas dalam berbagai bentuk relasi tersebut.
Pemberontakan terhadap otoritas merupakan penyebab kekacauan! Sebagai contoh, seorang staf yang tidak tidak mau tunduk pada otoritas pimpinannya menyebabkan ia kehilangan kesempatan bahkan kehilangan otoritas (bandingkan Roma 13:1-5 dan Matius 8:9).
Begitu juga seorang istri yang tidak mau tunduk pada otoritas suaminya atau seorang suami yang tidak mau tunduk pada otoritas Kristus telah menjadi penyebab utama kekacauan dalam banyak rumah tangga. Rasul Paulus mengingatkan, “Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah Allah” (1 Korintus 11:3).
Jadi, pertama-tama suami harus tunduk kepada Kristus karena kepala dari pria adalah Kristus. Kemudian, sebagaimana suami tunduk kepada Kristus demikian juga hendaknya istri tunduk kepada suaminya, dan mengizinkan suami bertanggung jawab bagi dirinya. Tetapi, perkataan “istri tunduk pada suami” bukan berarti suami boleh sewenang-wenang dan berbuat sembarang terhadap istrinya melainkan di sini keistimewaan yang diberikan Tuhan, yaitu kedudukannya sebagai kepala.
Kata Yunani untuk “kepala” adalah “kephale” yang berarti “memerintah” dan “otoritas” yang bermakna “tanggung jawab”. Tunduk pada suami adalah pengaturan yang ditetapkan Tuhan agar istri dapat memberi rasa hormat pada suaminya.
Namun, gagasan tentang kekuasaan itu sangat kompleks. Setiap manusia yang hidup memiliki kuasa dalam berbagai tingkat dan bentuk. Maksudnya, setiap individu mempunyai kemampuan untuk bertindak terhadap lingkungannya dan mengadakan perubahan, baik perubahan kecil maupun perubahan besar.
Sebagian orang memiliki kekuatan fisik, spiritual, politik, sosial, dan sebagainya. Mereka memiliki kekuatan dan kekuasaan yang lebih besar. Sementara itu, sebagian yang lainnya lemah. Mereka memiliki kekuatan atau kekuasaan yang lebih kecil. Masyarakat menilai bagaimana aneka kekuasaan tertentu dibagi-bagikan. Sebagian orang mendapat lebih banyak kekuasaan, sementara yang lainnya lebih sedikit. Artinya, beberapa orang bisa bersikap dominan, sementara yang lainnya harus tunduk.
Di berbagai negara, pemimpin diberi kekuasaan oleh rakyat melalui pemilihan langsung ataupun melalui parlemen. Di berbagai tempat, polisi diberikan kekuasaan. Dalam dunia bisnis, pemimpin perusahaanlah yang mendapat kekuasaan. Di bidang agama, para pendeta dan imam dianugerahkan kekuasaan. Dalam segenap struktur sosial kita, kekuasaan dibagikan secara tidak merata.
Menurut Alkitab, pembagian kekuasaan yang tidak merata itu bukanlah masalah. Masalah muncul ketika mereka yang memegang otoritas menggunakan kekuasannya untuk menyakiti orang lain. Segala jenis kekerasan terjadi ketika seseorang yang mempunyai kekuasaan atas orang lain menggunakan kekuasaan itu untuk menyakiti (Bandingkan Ayub 35:9).
SIKAP ORANG KRISTEN TERHADAP KEKERASAN
Karena itulah ada dua sikap orang Kristen terhadap otoritas.
(1) Secara positif setiap orang Kristen harus tunduk dan taat pada otoritas. Sikap ini kita sebut sebagai respons yang benar terhadap otoritas. Tunduk artinya menerima dan menghormati otoritas yang di atas kita. Taat artinya melakukan perintah selama otoritas di atas kita tersebut tidak membawa kita berbuat dosa, sesuai aturan kebenaran dan sesuai dengan firman Tuhan.
(2) Secara negatif, sikap yang harus dihindari orang Kristen terhadap otoritas adalah penyalahgunaan otoritas dan melawan otoritas. Sikap ini kita sebut sebagai reaksi yang salah terhadap otoritas.
Penyalahgunaan otoritas terjadi saat seseorang menggunakan kewenangan yang dimiliki untuk kepentingan yang salah; atau saat ia bertindak sewenang-wenang terhadap yang seharusnya dipimpin dan diayomi. Sedangkan melawan otoritas dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu: egoisme dan pemberontakan.
Egoisme adalah sikap mementingkan diri sendiri, sulit diatur dan tidak mengikuti aturan, lebih mengutamakan perasaan dan keinginan sendiri; Sedangkan pemberontakan yaitu sikap konfrontasi terhadap otoritas yang disebabkan berbagai hal seperti kekecewaan dan atau ketidakpuasan terhadap otoritas, sehingga menghasilkan gosip, penghakiman dan konflik yang tak terselesaikan.
Apabila tingkatan kekuasaan dalam gereja dan masyarakat menimbulkan ketidakadilan, maka Allah akan menentang orang-orang yang menyalahgunakan kekuasaan dan menolong mereka yang menjadi korban. Sebagai umat Allah, kita harus mempunyai sikap yang sama.
Para nabi Perjanjian Lama sering berbicara atas nama Allah untuk menentang orang-orang yang menyalahgunakan kekuasaan politis dan agama pada zaman mereka (Bandingkan Amos 1:3). Jika mereka yang menyalahgunakan kekuasaan tidak bertobat dari dosa mereka, Allah akan turun tangan untuk menghakimi mereka dan menegakkan keadilan bagi para korban (Bandingkan Yehezkiel 34:10-11). Yesus meneruskan karya keadilan Allah dengan menentang orang-orang yang menyalahgunakan kekuasaan pada zamannya dan menawarkan pertolongan-Nya kepada orang-orang yang teraniaya. (Bandingkan Matius 11:28; 23:4,13; Lukas 4:17-21).
Jadi Allah tidak hanya membagi-bagikan kekuasaan dan mengizinkan masyarakat untuk mengatur pembagian kekuasaan, tetapi juga menuntut mereka yang berkuasa agar bertindak secara bertanggung jawab. Secara khusus Allah menghimbau orang-orang yang memegang kekuasaan dalam berbagai tingkat dan bentuknya agar menggunakan kekuasaan untuk melayani orang lain yang berada di bawah kekuasaannya.
Yesaya berkata kepada orang-orang yang menyalahgunakan kekuasaan pada zamannya demikian, “Pada waktu itulah engkau akan memanggil dan TUHAN akan menjawab, engkau akan berteriak minta tolong dan Ia akan berkata: Ini Aku! Apabila engkau tidak lagi mengenakan kuk kepada sesamamu dan tidak lagi menunjuk-nunjuk orang dengan jari dan memfitnah, apabila engkau menyerahkan kepada orang lapar apa yang kauinginkan sendiri dan memuaskan hati orang yang tertindas maka terangmu akan terbit dalam gelap dan kegelapanmu akan seperti rembang tengah hari. TUHAN akan menuntun engkau senantiasa dan akan memuaskan hatimu di tanah yang kering, dan akan membaharui kekuatanmu; engkau akan seperti taman yang diairi dengan baik dan seperti mata air yang tidak pernah mengecewakan” (Yesaya 58:9-11).
Artinya, mereka yang berkuasa dan dapat melayani orang-orang lain, berwajiban untuk melakukannya (Matius 20:25-26). Di dalam ayat ini Yesus tidak menentang penguasa selama kekuasaannya dilaksanakan dengan semangat melayani dan untuk kebaikan sesama.
MEMBANTU KORBAN KEKERASAN
Setiap orang yang memiliki kekuasaan atas orang lain berpotensi untuk melakukan kekerasan atau menyalahgunakan kekuasaannya. Orang tua berkuasa atas anak-anak; suami berkuasa atas istri; majikan berkuasa atas para pekerja. Guru berkuasa atas para murid; polisi berkuasa atas warga negara, pendeta atau pastor berkuasa atas anggota gereja.
Di hadapan Allah, otoritas dan kekuasaan itu bersifat istimewa tetapi selalu diikuti dengan sejumlah kewajiban. Misalnya: Kewajiban pemerintah terhadap masyarakatnya (Roma 13:4-7). Kewajiban tuan terhadap pekerja (Efesus 6:9; Kolose 4:1). Kewajiban suami terhadap istri (Efesus 5:22-33); Kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya (Efesus 6:4; Kolose 3:21); Kewajiban pemimpin rohani terhadap jemaat (1 Petrus 5:1-4).
Jelaslah bahwa bersamaan dengan penerimaan kekuasaan maka ada kewajiban yang harus dilaksanakan, yaitu kewajiban untuk memimpin, mengatur, menjalankan keadilan, menghukum yang bersalah dengan adil, melindungi pihak yang lemah, mengayomi dan memberi rasa aman.
Karena itu, masalah penyalahgunaan kekuasaan dan kekerasan tidak boleh menjadi momok yang memicu sikap main hakim sendiri di kalangan masyarakat. Namun kita harus berhati-hati dalam membedakan pola-pola kekerasan atau penyalahgunaan (yang terjadi berulang-ulang) dengan kekeliruan yang tidak disengaja. Meskipun demikian, Yesus banyak bersuara terkait dengan hal itu. Jadi kita patut mengikuti teladan Yesus.
Penyalahgunaan kekuasaan atau kekerasan biasanya berkelanjutan karena ketidaktahuan dan kebungkaman. Sambil membahasnya secara bertanggung jawab, kita dapat mengidentifikasi dan menghentikannya.
Ketika kita belajar untuk menyoroti dan mengoreksi para pemegang otoritas atau pemimpin serta sistem yang melakukan penyalahgunaan atau kekerasan, kita juga dapat mengidentifikasi dan mendukung pemimpin serta sistem yang sehat, yang tidak melakukan penyalahgunaan. Selain itu, kita dapat memberikan pemahaman dan penyembuhan kepada banyak orang yang masih malu dan terluka oleh kekerasan yang dialaminya sebagai korban di masa lampau.
Obat utama bagi kekerasan adalah penyembuhan rohani, yang dimulai dengan mengetahui kebenaran. Yesus berkata, “Dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekaan kamu” (Yohanes 8:32).
Kebenaran yang perlu diketahui adalah bahwa Allah membenci kekerasan (Mazmur 11:5; Bandingkan Maleakhi 2:16; Kejadian 6:11-13; 2 Samuel 22:23) yang dilakukan atas nama-Nya, yaitu dengan menyalahgunakan kekuasaan (otoritas) yang diberikan-Nya. Selain itu, kita juga perlu mengetahui dan menegakkan hukum dan peraturan-peraturan yang melindungi hak-hak mereka yang mengalami kekerasan, serta memberikan hukum yang diperlukan bagi mereka yang tertindas dan teraniaya.
PENYEMBUHAN HATI PARA KORBAN KEKERASAN
Alkitab menegaskan keinginan Allah untuk memulihkan orang-orang yang mengalami luka-luka batin. Dalam Perjanjian Lama, Yesaya menubuatkan tentang Juru selamat yang akan menyelamatkan manusia dari dosa, dengan menulis bahwa juru selamat itu ialah “seorang yang penuh kesengsaraan dan biasa menderita kesakitan”. Selanjutnya dikatakan bahwa “penyakit kitalah yang ditanggung-Nya, dan kesengsaraan kita yang dipikul-Nya”, dan bahwa “oleh bilur-bilur-Nya kita menjadi sembuh” (Yesaya 53:3,4).
Kesembuhan ini tidak hanya untuk fisik tetapi juga mencakup kesembuhan dari luka-luka batin. Yesaya menubuatkan bahwa Yesus Kristus Sang Juru selamat akan “menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara.. (dan) merawat orang-orang yang remuk hati” (Yesaya 61:1,3). Dalam Mazmur 34:19 dikatakan bahwa “Tuhan itu dekat kepada orang-orang yang patah hati dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.”
Selanjutnya Daud juga menulis bahwa “Ia menyembuhkan orang-orang yang patah hati dan membalut luka-luka mereka” (Mazmur 147:3). Yesus berkata : “Marilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadaMu” (Matius 11:28). Inilah kabar baik bagi dunia yang telah rusak, Yesus Kristus Gembala yang baik datang untuk menyembuhkan, memulihkan dan menyegarkan jiwa kita. (Yohanes 10:11; Mazmur 23:3).
BACA JUGA: LANGKAH-LANGKAH PEMULIHAN LUKA-LUKA BATIN
Langkah-langkah berikut ini sangat bermanfaat dan membantu penyembuhan bagi mereka yang terluka karena kekerasan, khususnya kekerasan psikologis dan spiritual.
(1) Membawa mereka menyadari dan mengakui bahwa bahwa mereka perlu disembuhkan. Ini merupakan bukti awal keseriusan untuk mengalami kesembuhan;
(2) Mengidentifikasi luka-luka emosi mereka dan mengakui bahwa mereka memang mengalami luka-luka itu. Banyak orang tidak diajar untuk mengenali dan mengkomunikasikan perasaan mereka. Sehingga mereka mengarungi kehidupan dengan mengumpulkan emosi yang negatif. Menimbun kemarahan, kekecewaan, ketakutan, kepahitan dan lain-lain sehingga menumpuk menjadi timbunan sampah yang menghasilkan akibat-akibat tragis mulai dari tukak lambung (mag) sampai bunuh diri;
(3) Mengajak mereka untuk mengampuni pelaku kekerasan yang telah menyakitkan atau membuat mereka terluka. Mengampuni adalah sebuah proses, dan mereka harus terus mengampuni sampai rasa sakit mereka hilang dan mereka dapat menerima orang lain tersebut, sebab mengampuni berarti menunjukkan kasih dan penerimaan meskipun disakiti (Matius 6:14,15);
(4) Ajak mereka untuk menerima pengampunan. Dengan cara meminta ampun kepada Allah atas setiap kesalahan sendiri kepada orang lain dan juga mengampuni diri mereka sendiri. Ada kesembuhan di dalam pengampunan (1 Yohanes 1:7);
(5) Bawa mereka untuk menerima kasih Allah, karena Ia adalah Allah yang penuh kasih (Yohanes 3:16; Matius 10:30); (6) Pikirkanlah pikiran Allah dan hidup dengan dipimpin oleh Roh Kudus (Filipi 2:5,6; 4:8; Galatia 5:15-17).
[1]Scahwartz, David. J., 1992. Berpikir Dan Berjiwa Besar. Terjemahan, Penerbit Binarupa Aksara: Jakarta, hal. 20.
[2]Banks, Robert & R. Paul Stevens, editor., 2012. The Complete Book of Everyday Christianity. Terjemahan Penerbit Kalam Hidup : Bandung, hal. 20-21.
[3]Ibid.
[4]Sumber:http://print.kompas.com/baca/2015/04/27/Laporan-KDRT-Meningkat%2c-Penanganan-Belum-Optimal)
[5]Banks, Robert & R. Paul Stevens, editor., The Complete Book of Everyday Christianity, hal. 20.
[6]Sumber:http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150306185211-20-37339/rumah-tangga-jadi-ranah-utama-kekerasan-terhadap-perempuan/
[7]Wayne, Grudem., Christian Beliefs. Terjemahan, Penerbit Metanonia Publising: Jakarta. Hal, 83.
[8]Menyatakan bahwa manusia diciptakan oleh Allah berarti sekaligus juga menyangkal teori evolusi yang menyatakan bahwa manusia berasal dari bentuk kehidupan yang lebih primitif (sejenis hewan primata) yang mengalami proses evolusi yang sangat panjang serta dipengaruhi oleh faktor mutasi dan seleksi alam. Di dalam Kitab Kejadian 1:27 Kata “menciptakan” merupakan terjemahan kata kerja Ibrani “bara” yang berarti membuat sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada, terkenal dengan frase “creatio ex nihilo”. Kata “bara” ini juga digunakan dalam Kejadian 1:1 dan 1:21 (Charles C. Ryrie, Teologi Dasar, jilid 1, hal 245).
[9]Saya menyebut Allah sebagai “Arsitektur Agung” karena di dalam Kejadian 2:7 digunakan kata “membentuk” yang merupakan terjemahan dari kata Ibrani “yatsar“ yang menunjuk kepada aktivitas Allah yang kreatif. Membentuk atu membangun berarti menata struktur penting yang membutuhkan upaya yang konstruktif, bandingkan Kejadian 2:21-23 (Ibid., hal 256-257).
[10]Menurut Charles C. Ryrie dalam bukunya Teologi Dasar, kata Ibrani “gambar” adalah “tsalem” yang berarti gambar yang dihias, suatu bentuk dan figur yang representatif yaitu suatu gambar dalam pengertian yang konkret atau nyata. Kata Ibrani “rupa” adalah “demuth” yang mengacu pada arti kesamaan tapi lebih bersifat abstrak atau ideal. Menyatakan bahwa manusia adalah gambar dan rupa Allah berarti menjelaskan bahwa manusia dalam hal tertentu merupakan refleksi yang nyata dari Allah yang hidup, yang cerdas dan bermoral”. Dengan kata lain, manusia memiliki “citra” Allah di dalam dirinya. Namun menurut Eugene H. Merrill dalam bukunya Teologi Alkitabiah Perjanjian Lama mengatakan, “sejalan dengan disiplin keilmuan yang muncul belakangan, diyakini di sini bahwa terjemahan dari ‘betsaléménú’ (dalam gambar Kita) dan ‘kiemuthénú ú (menurut rupa Kita) seharusnya berbunyi ‘seperti gambar Kita dan menurut rupa Kita’. Artinya manusia bukanlah diciptakan dalam gambar Allah, dia adalah gambar Allah. Sebagaimana pada masyarakat Timur Dekat Kuno, gambar-gambar atau patung-patung mewakili dewa-dewa dan raja-raja, sehingga mereka pada akhirnya dapat saling dipertukarkan, demikian juga manusia sebagai gambar Allah diciptakan untuk mewakili Allah sendiri sebagai penguasa tertinggi atas semua ciptaan.
[11]Saat menyatakan bahwa manusia adalah “mahluk ciptaan yang berpribadi”, disatu sisi hal ini menekankan bahwa manusia sebagai ciptaan bergantung kepada Allah bagi keberlagsungan hidup mereka dan disisi lain menyatakan kemandirian manusia yang relatif dalam pengertian bahwa manusia mampu membuat keputusan dan membuat pilihan-pilihannya sendiri. (Hoekema, Anthony A., Created in God’s Image. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta., hal, 7-14)
[12]Allah itu kasih, Ia berkeinginan memberikan diriNya kepada ciptaan yang dapat respon dan memilih secara bebas. Karena manusia diciptakan dengan diberi kehendak bebas maka ini berarti manusia memiliki kuasa untuk menentukan pilihan sebagai mahluk yang bermoral dan bertanggung jawab. Kebebasan itu sendiri masih tetap dalam koridor yang diberikan oleh Allah.
[13]Norman I. Gleiser & J.Y. Amanu, 2009. Evil, dalam New Dictionary of Theology. Jilid 2, Terjemahan, Literatur SAAT: Malang, Hal 80-82.
[14]Lazarus, Arnold A & Clifford N. Lazarus., 2005. Staying Sane in a Crazy World. Terjemahan, Penerbit PT. Bhuana Ilmu Populer: Jakarta, hal. 297-299).
[15]McClung, Floyd.,1995. Mengenal Hati Bapa. Terjemahan, Penerbit Metanoia: Jakarta, Hal. 31-34.KEKERASAN: SIKAP KITA, FAKTOR PEMICU DAN PENYEMBUHAN
https://teologiareformed.blogspot.com/