METODE-METODE PENAFSIRAN KITAB WAHYU

Pdt.Budi Asali, M.Div.
I) The historical method (metode historis / sejarah).

1) Pandangan / metodenya.
METODE-METODE PENAFSIRAN KITAB WAHYU
education, business
Metode ini beranggapan bahwa penglihatan-penglihatan dalam kitab ini menunjuk kepada sejarah dalam Perjanjian Baru, mulai jaman rasul-rasul sampai akhir jaman. Dan mereka selalu memberikan penggenapan-penggenapan yang specific / tertentu terhadap nubuat-nubuat atau penglihatan-penglihatan dalam Kitab Wahyu. Jadi penglihatan / nubuat itu dianggap digenapi oleh suatu peristiwa atau orang tertentu.

Misalnya: binatang yang keluar dari dalam bumi (Wahyu 13:11) dianggap sebagai kepausan gereja Roma Katolik.

2) Para penganutnya.

George Eldon Ladd mengatakan bahwa pandangan ini dianut oleh para tokoh Reformasi.

Orang-orang yang menganut metode historis: John Wycliffe, John Knox, William Tyndale, Martin Luther, John Calvin, Ulrich Zwingli, Philip Melanchthon, Sir Isaac Newton, Jan Huss, John Foxe, John Wesley, Jonathan Edwards, George Whitefield, Charles Finney, C. H. Spurgeon, Matthew Henry, Adam Clarke, Albert Barnes.

Tetapi jaman sekarang jarang sekali ada penafsir yang menganut pandangan ini.

3) Serangan / kritik terhadap pandangan ini.

a. Kitab Wahyu menjadi tidak / kurang relevan bagi penerima orisinil Kitab Wahyu ini.

b. Tidak ada kesesuaian pendapat dalam golongan ini.

Misalnya seseorang mengartikan nubuat / penglihatan tertentu sebagai A, tetapi yang lain mengartikan sebagai B.

Steve Gregg: “One of the weaknesses of the historicist approach is seen in the inability of its advocates to agree upon the specific fulfillments of the prophecies. Moses Stuart (preterist) charged that ‘Hitherto, scarcely any two original and independent (historicist) expositors have been agreed, in respect to some points very important to their bearing upon the interpretation of the book.’ ... If the prophecies’ meanings cannot be identified with certainty, even after their fulfillments, the value of the prophecies to the readers of any period, whether before or following the fulfillments, is in serious question.” [= Salah satu dari kelemahan dari pendekatan historis terlihat dari ketidakmampuan dari para pendukungnya untuk bersepakat tentang penggenapan specific / tertentu dari nubuat-nubuat. Moses Stuart (preterist) menuduh bahwa ‘Sampai saat ini hampir tidak ada 2 penafsir orisinil dan independen yang sepakat berkenaan dengan beberapa hal yang sangat penting terhadap sikap mereka dalam menafsirkan kitab ini’. ... Jika arti dari nubuat-nubuat itu tidak bisa ditentukan dengan pasti, bahkan setelah penggenapannya terjadi, maka nilai dari nubuat itu bagi para pembacanya dari jaman manapun, baik sebelum atau setelah penggenapannya, sangat dipertanyakan.] - ‘Revelation: Four Views’, hal 36-37. 

James B. Ramsey, yang kelihatannya menganut spiritual method / metode rohani, menentang metode historis karena alasan yang sama, dan ia berpendapat bahwa metode historis yang menafsir-kan bahwa setiap bagian nubuat dalam Kitab Wahyu menunjuk kepada satu event / orang tertentu, menyebabkan adanya banyak pendapat, karena yang satu mengatakan bahwa simbol itu menunjuk kepada A sedangkan yang lain mengatakan simbol itu menunjuk kepada B, dsb. Banyak pendapat ini akhirnya menyebabkan orang malas mempelajari kitab Wahyu ini, karena menganggap toh tidak akan bisa mendapatkan penafsiran yang benar (hal 28-29).

James B. Ramsey: “Perhaps nothing so much as this has tended to increase the apparent obscurity, and to lessen the spiritual influence of this book, and the blessedness here promised.” [= Mungkin tidak ada yang lebih dari ini (maksudnya metode historis) yang begitu cenderung mengaburkan, dan mengurangi pengaruh rohani dari kitab ini dan berkat yang dijanjikan di sini.] - hal 29.

c. Pandangan ini terlalu sempit / picik, karena penggenapan nubuat Kitab Wahyu selalu hanya diarahkan kepada gereja di Eropah pada jaman Reformasi, dan tidak memperhitungkan gereja-gereja lain di tempat yang berbeda dan pada jaman yang berbeda.

Steve Gregg: “Another criticism of historicism has been that it is too flexible in the service of its advocates, allowing most of them to identify their own times as the culmination of history. Walvoord (futurist) criticizes historicism on these very grounds, saying ‘its adherents have succumbed to the tendency to interpret the book in some sense climaxing in their generation.’ Historicism is criticized as being too parochial, failing to take the development of the church throughout the world into consideration. Tenney (futurist) has made this observation: The Historicist view which attempts to interpret the Apocalypse by the development of the church in the last nineteen centuries, seldom if ever takes cognizance of the church outside Europe. It is concerned mainly with the period of the Middle Ages and the Reformation and has relatively little to say of developments after A.D. 1500.” [= Kritik yang lain terhadap metode historis adalah bahwa bahwa metode ini terlalu flexibel dalam melayani para pendukungnya, mengijinkan kebanyakan dari mereka untuk mengenali jaman mereka sendiri sebagai puncak dari sejarah. Walvoord (futurist) mengkritik metode historis berdasarkan hal ini, dengan berkata: ‘para pengikutnya menyerah pada kecenderungan untuk menafsirkan kitab ini dalam arti tertentu mencapai klimaxnya dalam generasi mereka’. Metode historis ini dikritik sebagai terlalu berpandangan sempit / picik, dan tidak mempertimbangkan perkembangan gereja di seluruh dunia. Tenney (futurist) membuat pengamatan ini: Pandangan historis yang mencoba untuk menafsirkan kitab Wahyu menurut perkembangan gereja dalam 19 abad yang terakhir, jarang, dan mungkin tidak pernah, memperhatikan gereja di luar Eropah. Pandangan ini sebagian besar hanya memperhatikan jaman Abad Pertengahan dan Reformasi, dan secara relatif hanya berbicara sedikit tentang perkembangan setelah tahun 1500 M.] - ‘Revelation: Four Views’, hal 37.

II) The preterist method (metode preteris / lampau).

1) Pandangan / metodenya.

Kata preterist berasal dari kata bahasa Latin ‘PRAETER’, yang berarti ‘past / lampau’.

Penganut metode Preteris ini sangat memperhatikan kata-kata:

a) ‘apa yang harus segera terjadi’ (Wahyu 1:1).

b) ‘waktunya sudah dekat’ (Wahyu 1:3).

c) ‘apa yang harus segera terjadi’ (Wahyu 22:6).

d) ‘Aku datang segera’ (Wahyu 22:7).

Ini menyebabkan mereka lalu berpendapat bahwa seluruh / mayoritas nubuat dalam Kitab Wahyu sudah digenapi pada masa lalu, tidak lama setelah jaman rasul Yohanes sendiri, khususnya dalam kejatuhan kekaisaran Romawi. Sebagian preterist mengecualikan pasal-pasal terakhir dari Kitab Wahyu dan mereka berpendapat bahwa pasal-pasal terakhir ini melihat ke depan pada kedatangan Kristus yang kedua. Tetapi sebagian yang lain berpendapat bahwa seluruh Kitab Wahyu (tanpa kecuali) sudah terjadi.

Steve Gregg: “Some preterists believe that the book of Revelation looks no further into the future than the Jewish holocaust in A.D. 70. Others, however, believe that the first half of Revelation describes the fall of Jerusalem, the second half predicts the fall of the Roman Empire, and the final chapters describe the second coming of Christ.” [= Sebagian preterist percaya bahwa kitab Wahyu memandang ke masa depan tidak lebih jauh dari penghancuran masal terhadap bangsa Yahudi pada tahun 70 M. Tetapi para preterist yang lain percaya bahwa setengah yang pertama dari kitab Wahyu menggambarkan kejatuhan Yerusalem, sedangkan sisanya meramalkan kejatuhan kekaisaran Romawi, dan pasal-pasal yang terakhir menggambarkan kedatangan Kristus yang keduakalinya.] - ‘Revelation: Four Views’, hal 39.

2) Penganut metode ini.

Gereja Roma Katolik senang dengan pandangan / metode ini, karena metode ini menjadi perisai bagi mereka terhadap serangan para tokoh Reformasi yang menganut metode historis.

A. T. Robertson: “Roman Catholic scholars have been fond of the preterist view to escape the Protestant interpretation of the second beast in chapter 13 as papal Rome.” [= Para ahli theologia Roma Katolik senang dengan pandangan preterist untuk menghindari penafsiran Protestan tentang binatang yang kedua dalam pasal ke 13 sebagai kepausan Roma.] - hal 277.

Tetapi tentu saja bukan hanya Gereja Roma Katolik saja yang menerima metode ini.

3) Positifnya pandangan ini.

a) Metode ini membuat Kitab Wahyu relevan bagi penerima orisinil Kitab Wahyu ini.

b) Kata-kata ‘apa yang harus segera terjadi’ (1:1 bdk. 1:3 22:6) bisa diartikan secara hurufiah dan tidak perlu dicari-carikan arti lain.

4) Serangan / kritik terhadap pandangan ini.

a) Metode ini membuat Kitab Wahyu tidak terlalu berguna untuk orang kristen yang hidup setelah jaman penerima orisinil dari Kitab Wahyu.

Leon Morris (Tyndale): “this view has the merit of making the book exceedingly meaningful for the people to whom it was written. And it has the demerit of making it meaningless (except for the information it gives about that early generation) for all subsequent readers.” [= pandangan ini mempunyai kebaikan dalam membuat kitab ini sangat berarti untuk orang-orang kepada siapa kitab itu ditulis (pembaca orisinil). Dan pandangan ini mempunyai kejelekan dalam membuat kitab itu tidak mempunyai arti (kecuali memberikan informasi tentang generasi yang lebih awal) untuk semua pembaca yang hidup setelah para pembaca orisinil.] - hal 16.

b) Pandangan ini sangat bersandar pada penulisan kitab Wahyu sebelum 70 M, padahal ini adalah suatu hal yang diperdebatkan.

c) Asal mula dari Preterist adalah dari kalangan Roma Katolik, sebagai reaksi terhadap serangan Protestan / para tokoh Reformasi.

Steve Gregg: “preterism is said to share similar disreputable origins with futurism ..., with both of them being Roman Catholics responses to Protestantism.” [= metode preteris dikatakan mempunyai asal usul yang sama jeleknya dengan metode futurist ..., karena keduanya merupakan tanggapan Roma Katolik terhadap ajaran / pandangan Protestan.] - ‘Revelation: Four Views’, hal 39.

Tetapi dalam hal ini Steve Gregg membela metode Preteris, dan mengatakan bahwa metode / pandangan ini sudah ada jauh sebelum jaman Reformasi, dan karena itu asal usulnya bukan dari Roma Katolik.

III) The futurist method (metode futuris / akan datang).

1) Pandangan / metodenya.

Seluruh / mayoritas isi Kitab Wahyu (ada yang mengecualikan pasal-pasal permulaan) menunjuk pada masa depan yang jauh, sesaat sebelum Kristus datang kembali.

Berbeda dengan metode historis dan preteris, metode futuris tidak bisa ditest dari sejarah, karena apa yang mereka nubuatkan melalui Kitab Wahyu semuanya belum terjadi, misalnya tentang Rapture / Pengangkatan orang suci (Steve Gregg, hal 43).

2) Penganut metode / pandangan futuris ini.

Sebetulnya Futuris terbagi 2 golongan, yaitu:

a) Futurist yang moderat.

George Eldon Ladd termasuk penganut pandangan moderat ini.

b) Futurist yang extrim.

Ini merupakan pandangan dari Dispensationalisme, yaitu pandangan yang percaya terhadap 2 macam kedatangan Kristus yang kedua, yaitu kedatangan di awan-awan untuk menjemput / mengangkat orang-orang suci (Rapture), dan kedatangan bersama dengan orang-orang suci.

Kata-kata ‘naiklah ke mari’ dalam Wahyu 4:1 dijadikan dasar dari Rapture / pengangkatan orang-orang suci.

Futuris golongan kedua ini sangat mendominasi dan merupakan pandangan yang paling populer pada jaman ini, dan merupakan pandangan dari J. N. Darby, C. I. Scofield, Clarence Larkin, Charles Ryrie, John Walvoord, Hal Lindsey, dsb.

3) Ciri khas metode / pandangan ini.

a) Kitab Wahyu dianggap bersifat khronologis.

Steve Gregg: “Futurists, like historicists, often understand Revelation to be chronologically continuous, though some futurists see two parallel sections of Revelation (chapters 4-11 and chapters 12-19), both of which describe a future time of tribulation.” [= Futurist, seperti historist, sering mengerti kitab Wahyu sebagai terus menerus bersifat khronologis, sekalipun sebagian futurist melihat 2 bagian yang paralel dalam kitab Wahyu (pasal 4-11 dan pasal 12-19), yang sama-sama meng-gambarkan masa penganiayaan yang akan datang.] - ‘Revelation: Four Views’, hal 40.

b) Penafsiran yang hurufiah dari Kitab Wahyu.

Steve Gregg: “Belief in the futurist approach frees the reader to take a more literal view of the visions, reducing the difficulties of interpreting the symbols. Of the various approaches to Revelation, the futurist is most likely to take a literal interpretation, since it alone has the luxury of doing so. For example, there has never been a time in the past when a third of the sea turned to blood, killing a third of the fish and sinking a third of the ships (Revelation 16). If this is to have a literal fulfillment, it must still be in the future. Other approaches must take the passage nonliterally. The same is true of other events anticipated in the chapters of Revelation, such as hailstone of a hundred pounds weight, locusts that sting like scorpions, two prophets who die in Jerusalem and rise again in three and a half days only to be publicly translated into the heavens for all to see, a mandatory mark applied to the forehead or right hand of every noncompliant citizen, etc. Henry Morris makes this point: It is inevitable that literalistic expositors of Revelation will be primarily futurists since practically none of the events of Revelation 4-22 have yet taken place in any literal sense.” [= Kepercayaan terhadap pendekatan futuris memberikan pembaca kebebasan untuk mengambil pandangan yang lebih hurufiah tentang penglihatan-penglihatan itu, mengurangi kesukaran dari penafsiran simbol-simbol itu. Dari bermacam-macam pendekatan kepada kitab Wahyu, futuris adalah yang paling mungkin mengambil penafsiran hurufiah, karena hanya metode itu saja yang mempunyai kepuasan dalam melakukannya. Sebagai contoh, tidak pernah ada saat dalam masa lampau dimana sepertiga dari laut menjadi darah, pembunuhan sepertiga dari ikan-ikan dan penenggelaman sepertiga dari kapal-kapal (Wah 16). Jika ini harus mempunyai penggenapan hurufiah, maka penggenapannya pasti ada di masa yang akan datang. Pendekatan-pendekatan yang lain harus menganggap bagian itu sebagai tidak bersifat hurufiah. Hal ini juga berlaku untuk peristiwa / kejadian lain yang diantisipasi oleh kitab Wahyu, seperti hujan es dengan berat seratus pounds, belalang yang menyengat seperti kalajengking, dua nabi yang mati di Yerusalem dan bangkit kembali dalam tiga setengah hari hanya untuk diangkat ke surga untuk dilihat semua orang, pemberian tanda pada dahi atau tangan kepada setiap orang yang tidak tunduk, dsb. Henry Morris menyatakan hal ini: Tidak bisa dihindarkan bahwa penafsir-penafsir hurufiah dari kitab Wahyu pada umumnya adalah futurist karena secara praktis tidak ada dalam peristiwa-peristiwa dari Wah 4-22 yang telah terjadi dalam arti hurufiah.] - ‘Revelation: Four Views’, hal 40-41.

Catatan: Mungkin ‘Wah 16’ dalam kutipan di atas lebih baik diganti dengan ‘Wahyu 8:8-9’, kecuali kalau kedua bagian itu dianggap paralel.

4) Serangan / kritik terhadap futurist.

a) Kata-kata ‘apa yang harus segera terjadi’ (Wahyu 1:1), ‘waktunya sudah dekat’ (Wahyu 1:3), ‘apa yang harus segera terjadi’ (Wahyu 22:6) sukar disesuaikan dengan metode futuris.

b) Ini menyebabkan Kitab ini menjadi tidak mempunyai arti / tidak relevan untuk penerima surat orisinil, bahkan juga tidak mempunyai arti / tidak relevan juga untuk generasi-generasi selanjutnya, dan hanya berguna untuk generasi orang kristen sesaat sebelum kedatangan Kristus keduakalinya. Bagi generasi-generasi selain generasi terakhir ini, Kitab Wahyu sangat sedikit artinya, mungkin hanya menunjukkan bahwa Allah mempunyai rencana.

Steve Gregg: “If we go along with the dispensational interpreters in finding the Rapture of the church at Revelation 4:1, then the book becomes largely irrelevant, not only to the original readers, but also to all Christians of any age. This is because the church will be in heaven before the majority of the prophecies begin to unfold, neither experiencing nor witnessing their fulfillment. This leaves it far from obvious why Christians should take an interest in such events, or why God wished to reveal them.” [= Jika kita setuju dengan para penafsir dispensationalis dengan menganggap bahwa Pengangkatan / Rapture dari gereja terjadi pada Wah 4:1, maka sebagian besar kitab ini menjadi tidak relevan, bukan hanya bagi pembaca orisinil, tetapi juga bagi semua orang kristen dalam jaman manapun. Ini disebabkan karena gereja akan ada di surga sebelum mayoritas dari nubuat-nubuat itu mulai dibukakan, dan tidak mengalami maupun menyaksikan penggenapan nubuat-nubuat itu. Ini membuat sangat tidak jelas mengapa orang kristen harus memperhatikan peristiwa-peristiwa seperti itu, atau mengapa Allah ingin menyatakannya.] - ‘Revelation: Four Views’, hal 42.

c) Sifat khronologis dari Kitab Wahyu sukar dipertahankan.

Steve Gregg: “There is no reason to insist on a strictly chronological sequence to the unfolding of events predicted in Revelation, though some approaches have a tendency to assume such a sequence. ... A certain amount of parallelism is to be observed in Revelation, regardless of which of the four approaches one takes. That is, some portion double back to cover the same ground as was covered in previous sections. Scholars do not agree as to how many parallel sections are present.” [= Tidak ada alasan untuk berkeras pada urut-urutan kronologis yang ketat terhadap dibukanya peristiwa-peristiwa yang diramalkan dalam Kitab Wahyu, sekalipun beberapa pendekatan mempunyai kecenderungan untuk beranggapan adanya urut-urutan seperti itu. ... Sejumlah bagian paralel tertentu harus diperhatikan dalam Kitab Wahyu, tak peduli yang mana dari empat pendekatan yang ia ambil. Yaitu, beberapa bagian mengulangi hal yang sama yang telah diliput dalam bagian sebelumnya. Para penafsir tidak sependapat berkenaan dengan berapa jumlah bagian paralel yang ada.] - ‘Revelation: Four Views: A Parallel Commentary’, hal 18-19.

d) Penafsiran hurufiah mereka sering tidak dilakukan dengan konsisten, dimana mereka sering ‘membaca terlalu dalam ke dalam text’, dan bahkan kadang-kadang terpaksa mengakui bahwa penafsiran harus dilakukan secara simbolis.

Steve Gregg: “The futurist believes that Revelation 20 describes a period of world peace and justice with Christ reigning on earth from Jerusalem, though no part of this description can be found in the chapter itself, taken literally. This observation does not mean that this futurist scenario cannot be true. But it must be derived by reading into the passages in Revelation features that are not plainly stated. Dispensationalists themselves often must admit to the necessity of recognizing some symbolism in Revelation, all the while clinging as much as possible to the literal hermeneutic that is their boast in contrast to most other theological systems.” [= Futurist percaya bahwa Wah 20 menggambarkan masa dunia yang damai dan adil dengan Kristus memerintah di dunia dari Yerusalem, sekalipun tidak ada bagian dari penggambaran ini bisa ditemukan dalam pasal itu sendiri, diartikan secara hurufiah. Pengamatan ini tidak berarti bahwa skenario futurist ini tidak mungkin benar. Tetapi itu harus didapatkan dengan membaca ke dalam bagian kitab Wahyu itu hal-hal yang tidak ditulis / dinyatakan secara jelas / nyata. Para penganut Dispensationalis sering harus mengakui keharusan untuk mengenali beberapa simbol dalam Kitab Wahyu, sementara tetap berpegang seerat mungkin pada hermeneutic hurufiah yang merupakan kebanggaan mereka, bertentangan dengan kebanyakan sistim theologia yang lain.] - ‘Revelation: Four Views’, hal 41.

e) Sama seperti Preteris, Futuris juga diserang dalam persoalan asal usul, karena Futuris juga dianggap berasal usul dari kalangan gereja Roma Katolik, sebagai reaksi atas serangan Protestan / para tokoh Reformasi terhadap Roma Katolik.

Steve Gregg: “Francisco Ribeira, a Spanish Jesuit, is known to have originated this approach to Revelation in 1585 for the purpose of refuting the historicist view, and the Reformers’ insistence that the ‘beast’ was the papacy. Ribeira taught that the ‘Antichrist’ had not yet come and would be an individual arising ‘in the last days.’ Protestants rejected this view for over 200 years, but it was finally introduced in Protestant circles by Samuel Maitland in 1827 and popularized in the works of J. N. Darby, the founder of dispensationalism, beginning in 1830.” [= Francisco Ribeira, seorang Jesuit Spanyol, diketahui memulai pendekatan Kitab Wahyu ini dalam tahun 1585 dengan tujuan untuk menentang pandangan historis, dan desakan para tokoh Reformasi bahwa sang ‘binatang’ itu adalah kepausan. Ribeira mengajar bahwa sang Anti-Kristus belum datang dan akan merupakan seorang individu yang muncul ‘pada hari-hari terakhir’. Protestan menolak pandangan ini selama lebih dari 200 tahun, tetapi pandangan itu akhirnya dimasukkan / diajukan dalam lingkungan Protestan oleh Samuel Maitland dalam tahun 1827 dan dipopulerkan dalam pekerjaan J. N. Darby, pendiri dari Dispensationalisme, dimulai pada tahun 1830.] - ‘Revelation: Four Views’, hal 42.

IV) The spiritual method (metode spiritual / rohani).

1) Nama lain untuk metode ini.

Metode ini juga disebut dengan istilah ‘idealist method’ [= metode idealis] atau ‘symbolical method’ [= metode simbolis].

2) Metode / pandangannya.

Nubuat-nubuat dalam kitab Wahyu tidak hanya mempunyai satu penggenapan specific / tertentu. Penggenapan nubuat-nubuat itu terjadi secara rohani, dan bisa terjadi berulang-ulang. Karena itu nubuat-nubuat itu bisa diterapkan pada orang-orang kristen dalam sepanjang jaman.

Steve Gregg: “I am using the label ‘spiritual approach’ to include all approaches that do not look for individual or specific fulfillments of the prophecies of Revelation in the natural sense, but which believe only that spiritual lessons and principles (which may find recurrent expression in history) are depicted symbolically in the visions.” [= Saya menggunakan label ‘pendekatan spiritual / rohani’ untuk mencakup semua pendekatan yang tidak mencari penggenapan-penggenapan individu atau specific / tertentu dari nubuat-nubuat Kitab Wahyu dalam arti alamiah, tetapi yang percaya bahwa hanyalah pelajaran-pelajaran dan prinsip-prinsip rohani (yang bisa mendapatkan expresi / pernyataan berulang-ulang dalam sejarah) yang digambarkan secara simbolis dalam penglihatan-penglihatan itu.] - ‘Revelation: Four Views’, hal 43.

3) Keuntungan dan positifnya pandangan ini.

Keuntungan dari pandangan ini adalah bahwa pandangan ini terhindar dari problem untuk mengharmoniskan bagian tertentu dari Kitab Wahyu dengan penggenapan tertentu, yang merupakan kesukaran yang besar pandangan-pandangan yang lain.

Sedangkan positifnya pandangan ini adalah bahwa pandangan ini membuat setiap bagian Kitab Wahyu relevan bagi semua orang Kristen di segala jaman.

William Hendriksen: “A sound interpretation of the Apocalypse must take as its starting-point the position that the book intended for believers living in John’s day and age. ... we should give equal prominence to the fact that this book was intended not only for those who first read it, but for all believers throughout this entire dispensation.” [= Penafsiran yang sehat dari Kitab Wahyu harus mulai dari posisi bahwa Kitab ini dimaksudkan untuk orang-orang percaya pada jaman Yohanes. ... kita harus memberi penekanan yang sama pada fakta bahwa Kitab ini dimaksudkan bukan hanya untuk mereka yang pertama membacanya, tetapi untuk semua orang percaya dalam seluruh jaman ini.] - hal 10.

4) Problem bagi pandangan ini.

Problem bagi pandangan ini adalah ayat-ayat yang menunjukkan bahwa hal-hal itu akan segera terjadi, seperti Wahyu 1:1,3 dan Wahyu 22:6. Karena itu penafsir-penafsir modern menggabungkan pandangan ini dengan metode Preteris atau metode Historis.

Catatan:

Steve Gregg memasukkan William Hendriksen, yang menamakan pandangannya sebagai progressive parallelism, ke dalam spiritual method ini. Tetapi karena metode William Hendriksen agak unik, maka saya membahasnya secara terpisah sebagai metode / pendekatan ke 5 di bawah ini.

V) The progressive parallelism method (metode paralelisme yang progresif).

1) Penganut pandangan / metode ini.

Ini adalah pandangan William Hendriksen, dan juga Geoffrey B. Wilson (hal 11).

2) Pandangan / metodenya.

a) Bagian-bagian yang paralel.

Kitab Wahyu dibagi menjadi 7 bagian yang paralel, dan setiap bagian menjangkau seluruh sejarah gereja. Ketujuh bagian Kitab Wahyu itu adalah:

1. Wahyu 1-3.

Wahyu 1:12-13 menunjukkan Kristus di tengah-tengah 7 kaki dian emas. 7 kaki dian emas itu melambangkan 7 jemaat / gereja (Wahyu 1:20). Bilangan 7 melambangkan kesempurnaan / kelengkapan (completeness), dan karena itu ini menunjuk kepada seluruh gereja sampai pada akhir jaman. Karena itu bagian I ini (Wah 1-3) menjangkau mulai kedatangan Kristus yang pertama (Wah 1:5) sampai kedatangan Kristus yang keduakalinya (Wahyu 1:7).

2. Wahyu 4-7.

Bagian ke II ini juga menjangkau mulai kedatangan Kristus yang pertama sampai kedatangan Kristus yang keduakalinya, karena Wahyu 5:5-6 menunjukkan Kristus yang telah disembelih itu sekarang bertahta di surga; sedangkan Wah 6:16-17 dan Wahyu 7:16-17 jelas menunjuk pada akhir jaman.

3. Wahyu 8-11.

Ini adalah 7 sangkakala yang mempengaruhi dunia. Apa yang terjadi dengan gereja digambarkan dalam Wah 10-11. Dan akhir dari bagian ke 3 ini (Wahyu 11:15,18), jelas menunjuk pada penghakiman akhir jaman.

4. Wahyu 12-14.

Kelahiran Anak (Wahyu 12:5) menunjuk pada kelahiran Kristus. Dan bagian IV ini diakhiri dengan kedatangan Kristus yang keduakalinya (Wahyu 14:14,16).

5. Wahyu 15-16.

7 cawan murka Allah menunjuk pada penghakiman terakhir dan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi yang berhubungan dengan penghakiman itu.

6. Wahyu 17-19.

Ini menggambarkan jatuhnya Babil, dan penghukuman terhadap binatang dan nabi palsu. Wahyu 19:11-16 menunjuk pada kedatangan Kristus yang keduakalinya.

7. Wahyu 20-22.

Ini dimulai dengan pengikatan Iblis selama 1000 tahun (Wahyu 20:1-3). Nanti Iblis akan dilepaskan untuk sedikit waktu (Wahyu 20:7). Ini lalu diikuti oleh kedatangan Kristus yang keduakalinya dengan penghakimanNya (Wahyu 20:9-15) disusul dengan langit dan bumi yang baru (Wah 21-22).

Catatan: jelas bahwa Hendriksen dalam persoalan Kerajaan 1000 tahun menganut Amillenialisme.

b) Sifat progresif [= maju / berkembang] dari bagian-bagian yang paralel tersebut.

Hendriksen mengatakan bahwa dalam 7 bagian yang paralel itu ada ‘progress’ [= kemajuan / perkembangan], yaitu dalam:

1. Intensitas dari peperangan rohani. Misalnya dalam Wahyu 12-22 intensitasnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Wahyu 1-11.

2. Revelation / wahyu tentang kejahatan manusia, kebenaran ilahi, dan pemerintahan ilahi.

3. Penekanan eschatology / akhir jaman. Setiap bagian bergerak sedikit lebih jauh ke masa depan.

William Hendriksen: “... although all the sections of the Apocalypse run parallel and span the period between the first and second coming of Christ and are rooted in the soil of the old dispensation, yet there is also a degree of progress. The closer we approach the end of the book the more our attention is directed to the final judgment and that which lies beyond it. The seven sections are arranged, as it were, in an ascending, climactic order. The book reveals a gradual progress in eschatological emphasis.” [= ... sekalipun semua bagian dari kitab Wahyu berjalan paralel dan menjangkau masa di antara kedatangan pertama dan kedatangan kedua dari Kristus dan berakar dalam tanah Perjanjian Lama, tetapi di sana juga ada tingkat kemajuan / perkembangan. Makin kita mendekati akhir kitab itu, makin perhatian kita diarahkan kepada penghakiman terakhir dan hal-hal yang terletak di baliknya. Ketujuh bagian itu diatur dalam suatu urut-urutan yang menanjak dan membentuk suatu klimax. Kitab ini menyatakan suatu kemajuan perlahan-lahan dalam penekanan eskatologi.] - hal 35.

Beberapa hal penting yang harus diketahui tentang macam-macam metode / pendekatan ini:

1) Ada banyak penafsir yang menggabungkan lebih dari satu pandangan / metode.

Leon Morris (Tyndale): “It seems that elements from more than one of these views are required for a satisfactory understanding of Revelation.” [= Kelihatannya dibutuhkan elemen-elemen dari lebih dari salah satu dari pandangan-pandangan ini untuk mendapatkan suatu pengertian yang memuaskan tentang kitab Wahyu.] - hal 18.

2) Perbedaan penafsiran antara metode yang satu dengan yang lain baru terlihat secara menyolok mulai Wah 4, dan menjadi makin menyolok dalam Wahyu 6-19.

Steve Gregg: “It is not until the beginning of Revelation 4 that the four views really part company (and the radical differences apply only to chapters 6-19). Thus the first three and the last three chapters of Revelation are not debated on the same basis as are the chapters in the middle of the book. There is by no means unanimity as to the meaning of these opening and closing sections, however.” [= Baru pada permulaan Wah 4 ke 4 pandangan ini betul-betul berpisah (dan perbedaan yang radikal hanya berlaku pada pasal 6-19). Jadi 3 pasal yang pertama dan 3 pasal yang terakhir dari kitab Wahyu tidak diperdebatkan pada dasar yang sama seperti pasal-pasal pada pertengahan kitab ini. Tetapi itu sama sekali tidak berarti bahwa ada kesatuan pandangan tentang arti dari bagian-bagian awal dan akhir ini.] - ‘Revelation: Four Views: A Parallel Commentary’, hal 5.

Catatan: Pdt. Budi Asali, M.Div:  meraih gelar Master of Divinity (M.Div) dari Reformed Theological Seminary (RTS), Jackson, Mississippi, United States of America
https://teologiareformed.blogspot.com/
-o0o-
Next Post Previous Post