PRINSIP DASAR PERNIKAHAN MENURUT KRISTEN
Chandra sigalingging.
Meninggalkan dan bersatu adalah sebuah tema yang Tuhan berikan sebagai dasar membangun sebuah keluarga. Diambil dari Kejadian 2: 24 ”Sebab itu satu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”. Konsep ini merupakan rancangan Allah bagi keluarga. Apa yang menjadi tujuan Allah akan keluarga baru akan terwujud ketika pria dan wanita dapat menerapkan konsep meninggalkan dan bersatu dalam membangun keluarga.[37]
Kata ”meninggalkan” menunjuk pada suatu tindakan secara hukum dan terbuka yang harus dilaksanakan agar suatu perkawinan menjadi sah. Meninggalkan ayah dan ibu, menjadi suatu tuntutan dari pada kebahagiaan. Harus ada pemisahan yang jelas dan tegas. Sebagaimana satu bayi yang masih merah takkan bisa tumbuh selama tali pusatnya belum dipotong, demikian pula suatu perkawinan tidak bisa bertumbuh dan berkembang selama tidak ada perpisahan dan pemisahan dari pada keluarga.[38]
Meninggalkan orang tua memiliki arti yang lebih dalam dari sekedar berpisah secara fisik. Di sini terkandung maksud perpisahan secara emosi. Jika salah satu dari pihak pasangan suami isteri tetap memiliki ketergantungan yang besar kepada keluarga asalnya, maka akan sulit baginya membentuk keluarga yang mandiri. Ketika salah satu pihak membawa terlalu banyak karakteristik dan sistem keluarga asalnya ke dalam keluarganya yang baru, maka proses ”bersatu” akan sulit terjalin.[39] Unsur meninggalkan tidak hanya meminta kesediaan untuk melepaskan, melainkan juga kesanggupan untuk meninggalkan, khususnya pada pihak anak laki-laki.[40]
Hubungan dasar yang utama dalam keluarga bukanlah hubungan orang tua dan anak, melainkan hubungan suami isteri. Tuhan telah menetapkan hal ini. Di dalam Kejadian 2: 24, Allah menekankan bahwa seorang laki-laki harus meninggalkan ayahnya dan ibunya. Hubungan ini harus disahkan secara tepat (bukan sama sekali dihapuskan, tetapi dipisahkan secara tepat) sehingga hubungan yang mula-mula, yang ada ketika seorang anak masih tinggal di rumah orang tuanya, tidak akan berlanjut. Karena dia akan menjadi kepala bagi keluarganya dan menjadi teladan bagi isteri dan anak-anaknya.[41] Perintah ini sudah Tuhan tetapkan di dalam firman-Nya, jadi setiap pasangan yang mau menikah harus siap untuk meninggalkan orang yang dikasihi yaitu orangtua.
Meninggalkan orang tua berarti bahwa hubungan dengan orang tua harus dirubah. Pertama, harus lebih memperhatikan pendapat, pandangan serta kebiasaan-kebiasaan pasangan sendiri dari pada pendapat serta kebiasaan-kebiasaan orang tua. Kedua, jangan terlalu menggantungkan diri kepada orang tua dalam hal kasih sayang, persetujuan, bantuan dan nasihat.[42] Dengan demikian pasangan suami isteri dapat hidup bersama-sama di dalam keluarga yang akan mereka bangun.
Bersatu dengan Isterinya
Sebelum menikah, satu suami terikat erat-erat dengan orang tuanya. Apabila menikah, ia harus terikat erat-erat dengan isterinya. Suami harus berusaha supaya kehidupannya menjadi satu dengan kehidupan isterinya. Bersatu berarti melekat seperti dilekatkan dengan semen atau lem. Bersatu dapat juga berarti diikat bersama-sam atau ditenun bersama-sama. Suami dan isteri itu menjadi satu di dalam perasaan dan pikiran, dan juga secara tubuh. Bersatu membawa persekutuan dalam segala segi kehidupan. Suami diperintahkan untuk bersatu dengan isterinya karena dia adalah kepala. Ia harus menjadi pemimpin dalam ikatan suami isteri. Ia juga harus berusaha menjalin hubungan yang erat dengan kasih, kesetiaan dan perhatian.[43]
Laki-laki harus bersatu dengan isterinya, artinya bahwa apa yang telah Tuhan persatukan tidak boleh dipisahkan oleh manusia. Tidak seperti hubungan orangtua dan anak, hubungan suami dan isteri itu kekal adanya. Menurut ajaran Alkitab, hubungan ini tidak bisa dirusak. Meskipun begitu dekat hubungan antara orangtua dan anak, hubungan mereka tak pernah digambarkan dengan istilah ”menjadi sedaging”. Tetapi seorang laki-laki dan isterinya harus bersatu dan terus hidup di dalam kesatuan jiwa, roh dan tubuh sepanjang sisa hidupnya. Tidak ada lain kecuali kematian yang dapat memisahkan persatuan itu.[44] Jadi, apa yang sudah Tuhan persatukan tidak dapat dipisahkan oleh manusia, terkecuali kematian.
Jay Adams dalam bukunya ”Christian Living in the Home” menegaskan bahwa komunikasilah yang utama. Menurut dia, komunikasi kristiani ialah ketrampilan yang diperlukan untuk membangun dan memelihara hubungan yang sehat. Hubungan suami isteri yang sehat tidak mungkin tanpa komunikasi yang baik”.
Kemudian penjelasan Dwight Hervey Small yang senada dalam bukunya ”After You’ve said I Do” mengatakan bahwa jiwa dari perkawinan adalah sistem komunikasinya. Dapat juga dikatakan bahwa keberhasilan dan kebahagiaan setiap pasangan dapat diukur menurut dalam tidaknya dialog mereka sebagai ciri khas dari kesatuan mereka.[67] Dengan demikian pernikahan dapat bertahan sampai selama-lamanya oleh karena komunikasi yang baik antara suami dan isteri.
Pernikahan yang langgeng dan bahagia ditandai dengan Komunikasi yang baik dan dalam antara suami-isteri itu. Melalui Komunikasi yang baik, satu suami/ isteri dapat mengerti pasangannya secara mendalam. Untuk mencapai Komunikasi yang baik, perlu ada empati dan keterbukaan.
Empati
Empati terjadi bilamana sesuatu dapat memasuki dunia orang lain sehingga ia dapat memahami arti-arti dan nilai-nilai pribadi orang itu, dapat melihat keadaan-keadaan sama seperti orang itu melihatnya, dan dapat merasakan sama seperti orang itu merasakannya. Kalau pasangan suami isteri tidak dapat berempati dengan pasangan sendiri, maka pasangan suami isteri tidak akan mengerti mengapa pasangannya berbuat sesuatu, pendapat-pendapatnya, ataupun perasaan-perasaannya.
Keterbukaan
Dalam Kejadian 2: 25 menjelaskan bahwa adanya keterbukaan antara Adam dan Hawa sebelum mereka jatuh ke dalam dosa. Dikatakan bahwa, ”Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu.” Ketelanjangan ini pertama tentunya dalam arti harfiah. Mereka tidak berpakaian dan tidak malu. Memang belum ada manusia lain dan belum ada dosa. Tetapi ketelanjangan ini secara kejiwaan juga berarti adanya keterbukaan antara suami isteri. Antara Adam dan Hawa ada keterbukaan yang dalam dalam di mana mereka saling mengetahui keadaan masing-masing, dan mereka tidak malu.
Segala kelebihan dan kekurangan boleh diketahui dan hal itu baik karena pasangannya menerima dirinya sepenuhnya dan tetap mengasihinya. Tetapi setelah mereka jatuh ke dalam dosa, mereka malu dan ingin menutupi diri mereka dengan daun-daun ara sebagai cawat. Mereka merasa bahwa mulai saat itu pasangannya tidak dapat menerima dirinya sepenuhnya lagi dan memang hal itu bemar.[68] Dengan demikian keterbukaan sangat penting dalam suatu pernikahan. Karena dengan adanya keterbukaan suami isteri, maka pernikahan itu akan selalu harmonis.
Pernikahan adalah miliknya Allah. Konsep dasar ini dimulai pertama kali di dalam taman Eden ketika Allah memberkati dan mempersatukan Adam dam Hawa. Karena itu, setiap pernikahan harus dibawa kepada Allah sebagai pemilik yang sah untuk diberkati oleh-Nya.
Maka, pernikahan itu adalah sesuatu yang suci, kudus dan mulia. Pernikahan Kristen bukanlah sesuatu yang main-main, gampangan dan murahan. Pernikahan Kristen harus diberkati dulu baru beranakcucu, tidak sebaliknya. Namun demikian, kasih Allah tidak pudar, maka setiap pernikahan yang telah rusak atau salah melangkah perlu diperbaharui dihadapan Allah kembali dengan melalui pertobatan dan percaya sungguh kepada Tuhan Yesus Kristus (Kejadian 1: 28; 2: 18, 24).
Pernikahan merupakan wadah Ilahi yang telah dirancang dan dibentuk oleh Allah sendiri. Firman Tuhan dalam Kejadian 1: 27-28; 2: 19, 21-25 menjelaskan bahwa Allah bertindak secara aktif merancangkan dan mempersatukan manusia, yakni laki-laki dan perempuan dan memberkati mereka menjadi sebuah keluarga. Keluarga yang telah dirancang dan dibentuk oleh Allah itu tidak akan lepas dalam kontrol Allah.
Pernikahan adalah hubungan yang paling bermanfaat dan paling sulit. Pernikahan itu dimulai ketika Tuhan Allah mengatakan,”tidak baik, kalau manusia itu satu diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” Margaret Mead mengatakan bahwa rumah tangga sebagai lembaga yang paling kokoh yang dimiliki oleh pasangan suami isteri.[1]
Di dalam 1 Korintus 7: 3- 4, Rasul Paulus menjelaskan satu hal penting mengenai pernikahan, yaitu pernikahan merupakan media untuk memberi, menyerahkan, atau menaklukkan diri kepada pasangan. Dengan demikian, menikah berarti membuat komitmen untuk memberi yang seharusnya kepada pasangan, bukan sebaliknya yaitu meminta yang seharusnya dari pasangan.[2]
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini memberikan definisi pernikahan yaitu tahap kehidupan, yang dalamnya laki-laki dan perempuan boleh hidup bersama-sama dan menikmati seksual secara sah.[3] Selanjutnya Marulak Pasaribu menjelaskan bahwa pernikahan adalah penyatuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam jalinan cinta kasih yang berlaku untuk seumur hidup.[4] Glen H. Stassen juga memberikan penjelasan bahwa pernikahan adalah hidup berdampingan yang penuh sukacita antara laki-laki dan perempuan dalam persatuan (kembali) menjadi satu daging.[5] Jadi, pernikahan merupakan ikatan janji antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang dipersatukan oleh Tuhan menjadi satu.
Hakikat Pernikahan Menurut kristen
Dalam pengertian secara umum pernikahan dapat diartikan sebagai hubungan antara satu laki-laki dan satu perempuan di mana keduanya mengadakan kesepakatan untuk hidup bersama secara sah dan hidup sebagai suami isteri. Perintah yang pertama yang diberikan Allah kepada manusia adalah untuk menikah dan berkeluarga. Alkitab berkata bahwa: ”maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka (Kejadian 1: 27).
Dalam teks tersebut jelas sekali disebutkan bahwa Allah sendiri yang menciptakan pernikahan melalui penciptaan satu laki-laki dan satu perempuan. Selanjutnya dalam Kejadian 2: 18 menjelaskan bahwa tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia. Dalam teks tersebut ada kata yang menarik yaitu kata ”penolong”. Istilah Ibrani untuk kata ”penolong” adalah kata ”ezer” yang memiliki pengertian, yaitu:
a. Tuhan memberi seorang penolong kepada laki-laki sebab Allah melihat bahwa laki-laki itu belum lengkap tanpa satu penolong.
b. Kata ”penolong” dapat diartikan sebagai penolong ilahi yang menyelamatkan laki-laki dari kesepian. Sangat jelas disini bahwa Allah yang menciptakan pernikahan untuk kebaikan manusia.
Penciptaan laki-laki dan perempuan secara eksistensinya adalah setara dihadapan Allah namun mempunyai peranan yang berbeda-beda. Penyatuan dua pribadi yang berbeda dan setara ini hendak mengajarkan kepada manusia bahwa laki-laki memberi hidup bagi wanita dan wanita memberi hidup bagi laki-laki dan menjadi satu ibu bagi semua umat manusia.[6] Jadi kedua-duanya saling membutuhkan dalam segala hal. Dengan demikian seharusnya tahu tugasnya masing-masing.
Sejarah Dan Perkembangan Pernikahan Menurut Alkitab
Dalam Kejadian 1: 26-27 Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya. Allah juga memberikan kuasa atas semua ciptaan-Nya kepada manusia. Artinya bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan begitu istimewa dibandingkan dengan ciptaan-Nya yang lain. Namun dalam ayat 28 Allah memberkati manusia dan Allah memberikan suatu mandat untuk beranak cucu dan bertambah banyak. Puncaknya dalam Kejadian 2, Allah menciptakan satu penolong yang sepadan dengan manusia yang diciptakan dari tulang rusuknya.
Dari penciptaan Adam dan Hawa, satu fakta yang terlihat dengan jelas, bahwa Allah terlibat secara pribadi dan langsung dalam peristiwa tersebut. Jadi, bukanlah Adam yang mulai merasa bahwa ia memerlukan jodoh, melainkan Allah. Allah sendirilah yang menjadikan Hawa dengan mengambil tulang rusuk Adam. Allah sendirilah yang membawa Hawa kepada Adam. Allah sendiri yang menetapkan persyaratan-persyaratan yang berlaku dalam hubungan ikatan janji yang menyatukan mereka berdua.[7] Sehingga pernikahan ada sampai sekarang ini karena sudah ditetapkan oleh Tuhan dalam Firman-Nya.
Alkitab tidak memandang pernikahan sebagai suatu perjanjian antara dua orang yang bisa dibatalkan semuanya, tetapi sebaliknya sebagai suatu rahasia ajaib. Dalam tulisan Paulus kepada jemaat di Efesus, Paulus berkata ”Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Kemudian ia melanjutkan pesan itu dan berkata rahasia ini benar, tetapi yang Paulus maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat (Efesus 5: 31, 32).[8] Dengan demikian, setiap pernikahan Kristen dimaksudkan sebagai pantulan atau gambaran hubungan antara Kristus dan gereja-Nya dan apa yang sudah Tuhan persatukan tidak dapat dipisahkan oleh manusia.
Dalam Efesus 5: 32, Paulus menjelaskan bahwa dengan menikah, orang Kristen dipanggil masuk ke dalam satu panggilan pelayanan khusus, yakni menyaksikan Kristus melalui wadah keluarga. Implikasinya adalah hubungan dan komunikasi suami isteri menjadi wadah anak-anak belajar mengenal kasih Tuhan. Di samping itu, keluarga juga menjadi tempat persiapan dan latihan anak-anak untuk menjadi suami atau isteri dan menjadi orang tua. Selanjutnya, model itu akan terus terbawa ke dalam pola mereka mendidik anak-anak kelak.
Pernikahan yang sehat dan berfungsi, pada umumnya, akan menghasilkan anak-anak yang sehat pula. Jadi, setiap mereka yang akan menikah dan menjadi orang tua perlu menyadari konsekuensi ini dipanggil menjadi reflektor kasih Allah bagi anak-anak. Dalam tulisannya, "Parenting: A Theological Model", Myron Charter menjabarkan tujuh dimensi dari kasih Allah Bapa yang harus direfleksikan setiap orang tua, yakni: sikap yang penuh peduli, tanggung jawab, disiplin, murah hati, respek, pengenalan, dan pengampunan.[9]
Rasul Paulus membandingkan pernikahan Kristen dengan persekutuan antara Kristus dengan umat-Nya atau Gereja (Efesus 5: 21-33). Kasih Kristus adalah teladan cinta yang harus dimiliki setiap pasangan suami-isteri, seperti kasih memberi diri, kasih yang tak bergantung pada bagaimana pasangan suami isteri atau apa yang dilakukan pasangan suami isteri; kasih yang betul-betul tanpa syarat, kasih yang tidak menuntut ganjaran apa pun.[10] Gary Smalley juga menjelaskan bahwa pasangan suami isteri harus saling mengasihi, sehingga rumah tangga yang sudah dibangun akan tetap kokoh. Karena ada kasih Kristus yang akan selalu memepersatukan pasangan suami isteri, sekalipun ada masalah dalam keluarga.[11]
Prinsip-prinsip Pernikahan Menurut Alkitab
Prisip-prinsip paling mendasar dari Alkitab tentang hidup manusia dicantumkan di halaman-halaman pertama Kitab Suci (Kejadian 1: 26-28). Pertama, Allah menciptakan manusia menurut peta teladan Allah. Kedua, tidak baik manusia itu hidup satu diri saja maka Allah menciptakan wanita untuk menolong laki-laki. Ketiga, kedua orang itu akan meninggalkan ayahnya dan ibunya, dan keduanya menjadi satu daging. Keempat, mereka diberkati Allah untuk menurunkan anak, berkembang biak, menjadi bangsa yang besar. Prinsip-prinsip seperti ini tidak ditemukan di dalam agama lain dan juga di dalam penemuan budaya dan agama manusia. Prinsip ini merupakan wahyu Allah, maka disitulah diletakkan dasar untuk menentukan mati-hidup atau bahagia-tidaknya seluruh umat manusia selama-lamanya.[12]
Secara Spiritual
Allah merencanakan supaya pernikahan dan kehidupan rumah tangga orang percaya baik. Pernikahan dan kehidupan rumah tangga yang baik itu dapat menjadi berkat bagi semua orang. Allah menciptakan pernikahan yang pertama. Ia menciptakan laki-laki dan perempuan, sehingga mereka dipersatukan. Pernikahan yang sesuai dengan rencana Allah disebut pernikahan Kristen. Pernikahan Kristen dibangun atas dasar ketaatan pada Firman Tuhan. Allah tidak akan memberkati pernikahan, jika pernikahan itu tidak menaati Firman Tuhan karena Firman Tuhan jalan satu-satunya untuk menerima berkat.[13]
Prinsip Dasar Pernikahan Menurut Kristen
Iman Kristen mengakui, bahwa pernikahan berasal dari Allah sendiri, pernikahan bukanlah hasil ciptaan manusia, namun Allah sendiri yang menciptakan pernikahan. Wadah pernikahan sudah ditetapkan Allah tatkala menciptakan manusia pertama yaitu laki-laki dan perempuan dan pernikahan merupakan pemberian Allah bagi seluruh umat manusia.
Penetapan Allah
Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka, ”beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi. Sebab itu satu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.”[14]
Pernikahan adalah wadah pertama yang ditetapkan dan dikehendaki oleh Allah sendiri dalam pembentukan keluarga. Di dalam Alkitab dengan tegas menyatakan bahwa penetapan dan pembentukan wadah pernikahan telah diselenggarakan sebelum dunia jatuh kedalam dosa. Kejatuhan manusia dalam dosa tertulis di dalam Kejadian 3, sedangkan pernikahan terjadi langsung setelah penciptaan.
Ketika Allah menciptakan manusia, Ia menciptakan manusia pria dan wanita, dan melaluinya Allah merancang lembaga pernikahan. Oleh karena itu, pernikahan tidak dapat dikatakan sebagai akibat dosa dan dengan sendirinya pernikahan itu bersifat baik adanya.[15] Dengan demikian bahwa pernikahan telah Tuhan tetapkan bahkan sebelum dosa masuk kedalam dunia, maka pernikahan harus bersandar kepada peraturan Allah yang paling suci.
Monogami
Pernikahan itu berhubungan antara laki-laki dan perempuan yang dipersatukan oleh Allah bukan manusia, tradisi, adat, dan juga budaya. Konsep dasarnya adalah seorang laki-laki dan seorang perempuan seumur hidup dalam segala keadaan. Allah tidak berkenan pada pernikahan yang poligami (seorang laki-laki dengan beberapa perempuan atau seorang perempuan dengan beberapa laki-laki). Allah sangat membenci pernikahan yang sejenis (laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan). Allah menegaskan bahwa pernikahan adalah seorang pria dengan seorang wanita.
Allah tidak memberikan banyak Adam kepada seorang Hawa, atau banyak Hawa kepada seorang Adam. Tidak mungkin kasih pernikahan dibagi dengan banyak orang. Maka pernikahan yang sejati adalah ”tulang dari tulangku dan daging dari dagingku.” Itu berarti hanya seorang wanita untuk seorang pria.[16] Karena Tuhan tahu kebutuhan setiap orang sehingga Dia hanya menghendaki satu perempuan untuk satu laki-laki, demikian sebaliknya.
Batasan satu isteri untuk Adam merupakan dasar pijakan yang Allah telah tetapkan untuk menjadi dasar bagi pernikahan monogami sepanjang zaman. Jikalau Allah tahu bahwa manusia tidak cukup memenuhi kebutuhan biologisnya dengan satu perempuan saja maka Allah mungkin akan menciptakan empat atau lima perempuan sekaligus untuk Adam, tetapi hal itu tidak dilakukan. Dengan hanya seorang perempuan Allah telah mencukupi kebutuhan biologis manusia pada takaran yang sesungguhnya.
Kecenderungan laki-laki tidak pernah puas dengan memiliki hanya satu pasangan tidak hanya terjadi saat ini saja tetapi juga terjadi pada masa Nabi Nuh hidup, sebab masalah hawa nafsu yang menyangkut kebutuhan biologis manusia merupakan sesuatu yang dianggap bersifat pribadi.[17] Dengan seorang perempuan ataupun seorang laki-laki tidak terpuaskan, tetapi sampai kapan manusia dapat belajar untuk mencukupkan apa yang sudah Tuhan berikan bahkan yang sudah Tuhan tetapkan untuk kita lakukan.
Monogami bukan hanya suatu tuntutan belaka, tetapi suatu anugerah Tuhan yang sangat besar diberikan kepada manusia. Barangsiapa merusak dan mencemarkan rahasia itu akan mengetahui bahwa dengan demikian ia telah merusak dan mencemarkan salah satu pemberian Tuhan yang terbesar. Orang yang meninggalkan monogami dan menempuh jalan poligami mungkin merasa bahwa jalan yang dia tempuh adalah jalan kebahagiaan. Tetapi barangsiapa menempuh jalan itu, pastilah akan mengalami bahwa jalan itu bukanlah jalan yang menuju kebahagiaan, melainkan kehancuran.[18] Jadi hanya pernikahan yang bersifat monogamilah yang Allah kehendaki terhadap manusia.
Kesepadanan Pria dan Wanita
Kejadian 2: 18, 20 Tuhan Allah berfirman: ”tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” Manusia itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan, tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia. Ketika Allah meniciptakan pria dan wanita, Alkitab menyatakan bahwa pria dan wanita itu bersifat berpadanan. Allah menciptakan wanita untuk menjadi ”penolong yang sepadan” bagi pria. Pengertian kata ”sepadan” setara atau sama, melainkan mengandung pengertian yang saling melengkapi dan menutup kekurangan satu sama lain.[19]
Alkitab memaparkan bahwa Tuhan melihat tidak baik jika Adam seorang diri, karena ia membutuhkan seorang penolong yang sepadan dengan dia (Kejadian 2: 18). Keberadaan pasangannya bersifat sepadan dengan dia. Dalam kesepadanan, harus ada unsur kesamaan untuk membentuk kesepadan (seperti keduanya harus sama-sama manusia, setelah kejatuhan dituntut untuk sama-sama anak-anak Tuhan, dan harus sama-sama bisa dan mau diproses dalam pembentukan Tuhan).[20]
Tujuan Pernikahan Menurut Alkitab
Dalam Alkitab, pernikahan mempunyai tujuan dalam rencana Allah. Itu sebabnya pernikahan itu harus dilandasi cinta kasih. Jelaslah bahwa pernikahan mempunyai tujuannya dan tujuan itu harus diperhatikan supaya orang tidak menikah sekedar memenuhi kewajiban kodrat atau hukum alam, melainkan supaya ia menikah karena kasih karunia Tuhan. Secara umum orang berbicara tujuan pernikahan sebagai kebahagiaan. Tetapi kebahagiaan itu adalah konsep abstrak. Itu sebabnya banyak pula yang mereduksi kebahagiaan sebagai kesejahteraan material.
Secara teologis, kebahagiaan itu dipahami sebagai shalom di mana ada kesejahteraan material tetapi juga kesejahteraan rohani, kedamaian, keharmonisan dan cinta kasih dapat dilihat dalam Mazmur 128 bahwa kebahagiaan dalam pernikahan dan rumah tangga, dimulai dari takut akan Tuhan.[21] Jadi kebahagian suatu pernikahan tidak dapat dinilai dari segi materi tetapi dapat dilihat dari persekutuan mereka dengan Tuhan.
Ketika dua pribadi dipertemukan di dalam Tuhan, kemuliaan Allah harus terlihat. Dengan demikian tujuan pernikahan adalah untuk merefleksikan gambar Allah dan keberadaan-Nya.[22]
Pernikahan merupakan suatu penggenapan kehendak Allah yang sudah Allah tetapkan sejak penciptaan manusia. Pernikahan merupakan suatu perpaduan dari dua pribadi yang berbeda, yaitu satu pria dan satu wanita. Allah sendiri yang menciptakan supaya manusia bisa saling melengkapi dalam membentuk suatu keutuhan dan kelengkapan, demi menjalankan kehendak Allah dan dinyatakan dalam firman.[23]
John Stott mengatakan bahwa pernikahan dibentuk Allah dengan tujuan untuk menciptakan satu masyarakat baru milik Allah "God`s new society" satu masyarakat tebusan yang dapat menjadi berkat dan membawa kesejahteraan bagi sesamanya. Wadah yang Allah pilih sebagai sarana mensejahterakan manusia tebusan-Nya di dunia ini adalah keluarga. Rencana ini telah Allah tetapkan jauh sebelum manusia jatuh ke dalam dosa. Untuk itu, Allah pertama-tama memilih keluarga Abraham, Ishak, Yakub, dan seterusnya sampai akhirnya dalam keluarga Yusuf dan Maria yang melahirkan Yesus.[24]
Pernikahan menjadi dasar keluarga dan memberikan pengaruh dan tanggung jawab yang paling panjang di dalam diri dan hidup manusia. Pernikahan bukan sekedar mengisi waktu yang belum sampai, atau mengasihi sesatu, tetapi merupakan sesuatu yang akan menghasilkan keturunan yang terus menerus.[25] Dalam hal ini ada beberapa tujuan pernikahan Kristen, dijelaskan berikut ini.
Persekutuan Hidup
Maksud Tuhan dengan pernikahan ialah supaya pernikahan itu menjadi suatu persekuatuan hidup. Persekutuan hidup ini meliputi seluruh kehidupan. Tuhan menghendaki supaya yang dua menjadi satu. Satu di dalam kasih kepada Tuhan, satu di dalam kasih mengasihi, satu di dalam kepatuhan, satu di dalam menghayati kemanusiaan mereka, satu di dalam memikul beban pernikahan dan satu di dalam menunjukkan perhatian kepada pekerjaan masing-masing. Satu di dalam pengabdian kepada Tuhan dan rencana-Nya.[26] Dengan demikian persekutuan dalam suatu pernikahan dapat terlihat bahagia dan menjadi berkat bagi orang lain.
Jelaslah bahwa Allah bertindak sebagai pemersatu yang menghendaki persekutuan hidup yang total, eksklusif dan kontinyu. Dalam pernikahan hubungan ikat janji yang terdapat pada saat penciptaan (Kejadian 1: 27-28) mempunyai dua dimensi yaitu persekutuan horizontal dan vertikal. Secara horizontal persekutuan itu menyatukan Adam dan Hawa, tetapi secara vertikal hubungan itu menyatukan mereka. Mereka berjanji untuk hidup menjadi satu dalam ikatan persekutuan yang tidak dapat dipisahkan oleh apapun kecuali kematian.
Jadi persekutuan suami isteri sebagai kiasan dari persekutuan kasih antara Kristus dan jemaat. Suami dan isteri sebagai suatu kesatuan untuk suaminya, isterinya tidaklah lain dari pada dirinya sendiri. Isteri adalah tubuh yang hidup, sama seperti jasadnya sendiri, ia di sebut tubuh. Hidupnya meliputi asuhan dan pemeliharaan tubunya. Mengasuh dan merawat berarti memelihara hidupnya sendiri. Dalam hubungan ini tidak mungkin ada perceraian atau perpisahan. Kalau ia benar-benar ditentukan oleh Kristus, yang mengasihi jemaatnya.[27] Dengan demikian tujuan pernikahan adalah tolong-menolong yang merupakan persekutuan yang hidup suami isteri menjadi satu kehidupan yang paling intim.
Memuliakan Allah
Manusia diciptakan sesuai dengan kehendak Allah, dan menjadi teman sekerja Allah. Itu sebabnya manusia diciptakan sebagai peta dan teladan Allah. Manusia yang diciptakan oleh Allah harusnya mencerminkan sifat-sifat Allah. Allah mau membentuk keluarga di mana komunitas yang kecil ini merefleksikan dan menjadi wakil dari komunitas yang ada di dalam pribadi Allah sendiri. Sehingga keluarga mencerminkan bagaimana harus berkasih-kasihan sebagaimana Allah antara oknum yang satu dengan yang lain.
Allah menciptakan keluarga dengan tujuan untuk memuliakan Allah, oleh karena itu prinsip-prinsip hidup berkeluarga harus sesuai dengan apa yang dilakukan Kristus terhadap jemaat-Nya.[28] Dengan demikian, keluarga Kristen harus dapat menghadirkan kerajaan Allah di dalam hidup berkelurga (Efesus 5: 22-23). Jadi pernikahan yang digambarkan dalam hubungan Kristus dengan jemaat-Nya direfleksikan di dalam kehidupan berkeluarga sehingga keluarga yang dibentuk oleh Allah mencerminkan seperti kasih Kristus kepada jemaat-Nya.
Memenuhi Amanat Kebudayaan (Kejadian 1: 28)
Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya diciptakan-Nya dia, laki-laki dan perempuan. Penciptaan laki-laki dan perempuan menjadi kesempatan bagi manusia untuk menikah dan berkeluarga dan menjadi sarana yang memberi kesempatan bagi manusia untuk melakukan hubungan seksual. Tuhan menciptakan pernikahan dan keluarga dengan tujuan agar melaluinya suami-isteri dapat memberi keturunan yang takut akan Tuhan.
Tuhan memberikan kehormatan kepada manusia untuk mengerjakan sesuatu yang membawa kemuliaan bagi sang pencipta-Nya, yaitu dengan cara memenuhi dan menaklukkan bumi. Dikatakan dengan jelas bahwa dari sejak semula Tuhan Allah menciptakan pernikahan agar manusia itu hidup untuk dunia dan untuk semua ciptaan Allah. Inilah kehendak Allah dalam pernikahan. Allah menciptakan pernikahan adalah agar suami isteri saling melengkapi dan bukan untuk kompetisi dalam memelihara dan menaklukkan ciptaan Allah.
Setiap orang tua mempunyai tugas tanggung jawab untuk mengajarkan Firman Tuhan kepada anak-anak (Ulangan 6: 6-7). Dalam kitab Bilangan, Musa juga menekankan agar para orang tua melatih anak-anak untuk mengambil keputusan. Dalam kitab Perjanjian Baru juga ditekankan bahwa keluarga menjadi tempat yang tepat untuk mencari kehendak Allah bagi anak-anak (Matius 20: 20-21).[29] Jadi orang tua mempunyai tugas untuk mendidik anak-anak yang sudah Tuhan berikan di dalam keluarga.
Kejadian 1: 28, dinyatakan demikian: ”beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”. Istilah ”beranakcuculah” merupakan berkat Allah atas pembiakan kelamin yang harus dimengerti sebagai berkat dan karunia Allah.[30] Hal inilah yang harus dilakukan oleh orang percaya yang dipersatukan oleh Tuhan.
Dengan demikian mandat untuk beranakcucu harus disadari dan diterima oleh setiap orang yang akan memasuki rumah tangga. Menurut pandangan Verkuyl sebagai berikut: Apabila dua orang menikah, janganlah mereka itu saling memandang hanya sebagai suami isteri, tetapi juga sebagai calon ayah dan ibu. Apabila dua orang menikah, mereka pun harus mempunyai keberanian untuk menerima anak-anak.[31] Karena kehadiran satu anak merupakan berkat yang Tuhan berikan di tengah-tengah keluarga dan orang tua harus mendidiknya dengan takut akan Tuhan.
Tugas tersebut hanya dapat dilaksanakan oleh manusia yang hidup bersama dalam pernikahan yang sudah disahkan, dan melaluinya mereka dapat membentuk keturunan. Karena itu anak harus diterima di dalam persekutuan pernikahan dan dipandang sebagai berkat Tuhan, juga sebagai anak perjanjian bahkan sebagai ahli waris kerajaan Allah.[32] Dengan demikian keturunan merupakan berkat Allah dalam pernikahan. Karena anak-anak membawa berkat khusus dan menghidupkan suasana kelurga dan memperkuat ikatan kelurga itu sendiri.
Syarat Pernikahan Menurut Alkitab
Di dalam membangun suatu pernikahan Kristen, maka ada persyaratan yang harus dipahami dan dimengerti oleh orang percaya yang mau menikah. Uraiannya sebagai berikut.
Ditetapkan Oleh Allah
Pertama-tama Allah menciptakan sepasang makhluk manusia, laki-laki dan perempuan. Perintah-Nya yang pertama kepada mereka ialah ”beranakcuculah dan bertambah banyak dan penuhilah bumi” (Kejadian 1: 28). Dengan mempersatukan pasangan ini, Allah menetapkan pernikahan, hubungan yang paling mendasar dari semua hubungan sosial. Pernikahan memungkinkan umat manusia untuk memenuhi perintah Allah yaitu memerintah dan memenuhi bumi. Pernikahan bukan sekedar sebuah kontrak yang diadakan oleh dua orang demi keuntungan mereka berdua, tetapi pernikahan merupakan suatu hubungan yang permanen.
Ditandai Oleh Kasih Allah
Kasih merupakan pengikat suatu hubungan sehingga pernikahan itu dapat bertahan dengan lama. Ketika pasangan suami isteri memiliki kasih, maka apapun masalah dalam pernikahan mereka pasti dapat diatasi dengan baik. Jadi, kasih yang didasarkan pada persahabatan sejati dan rasa hormat, memeteraikan ikatan perkawinan.
Suatu Lambang Rohani
Pernikahan melambangkan di antara Allah dan Umat-Nya. Israel disebut sebagai isteri Tuhan dan Tuhan sendiri bersabda, ”Aku menjadi tuan yang berkuasa atas mereka (Yeremia 31: 32). Para nabi menyatakan bahwa bangsa itu telah melakukan persundalan dan pernikahan ketika mereka berpaling dari Allah kepada berhala-berhala (Bilangan 25: 1). Sebagaimana satu mempelai laki-laki bergirang hati melihat mempelai perempuannya, demikian Tuhan bergirang hati untuk menjadikan Israel bangsa yang kudus, orang-orang tebusan-Nya.
Perjanjian Baru menggambarkan gereja sebagai mempelai perempuan Kristus yang mempersiapkan dirinya untuk tinggal dalam kerajaan yang kekal (Efesus 5: 23). Gambar ini menggarisbawahi kebenaran bahwa pernikahan harus menjadi hubungan kasih dan kesetiaan yang abadi. Para suami harus mengasihi isteri mereka sebagaimana Kristus mengasihi mempelai yang telah ditebus-Nya, demikian juga para isteri hendaknya tunduk kepada suami mereka, sebagaimana mereka tunduk kepada Kristus.[33] Dengan demikian pasangan suami isteri dapat menerapkan hubungan yang melambangkan Kristus dengan jemaat.
Sifat Pernikahan Menurut Alkitab
Alkitab dengan terbuka mengisahkan contoh-contoh keluarga yang bahagia dan keluarga yang tidak bahagia. Contoh keluarga yang tidak bahagia pada dasarnya tidak memiliki sifat yang dikehendaki Tuhan. Karena itu, keluarga Kristen harus memiliki sifat-sifat pernikahan yang terdiri dari. Berikut ini sifat dari sebuah pernikahan.
Suci
Tuhan sendiri yang merancang bangunan suatu keluarga, maka Ia menuntut bangunan pernikahan itu dipelihara sesuai dengan sifatnya sendiri. Salah satu sifat pernikahan yang ditekankan-Nya adalah kesucian. Kesucian pernikahan dalam Alkitab sering kali dipakai sebagai lambang hubungan Tuhan dengan umat-Nya atau hubungan Kristus dengan gereja-Nya. Kesucian Tuhan menuntut tidak ada cacat dan kerut baik sebelum pernikahan maupun sesudah pernikahan.[34] Oleh sebab itu pernikahan yang akan dibangun harus tetap dijaga supaya pernikahan itu tetap suci seperti yang diinginkan Tuhan kepada umat-Nya yaitu bangsa Israel.
Setia
Jawab Yesus: ”tidakkah kamu baca, bahwa ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: sebab laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging”. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.[35]
Ketika pasangan suami isteri melaksanakan pemberkatan pernikahan, maka kedua mempelai mengungkapkan satu janji yaitu ”selalu mengasihi atau tetap setia, baik dalam keadaan senang atau susah”.[36] Dengan demikian kesetiaan merupakan salah ssatu syarat untuk membangun keluarga Kristen yang bahagia. Pernikahan Kristen tanpa didasari dengan kesetiaan, maka pernikahan itu tidak akan bertahan lama.
Tuntutan Dalam Pernikahan Menurut Kristen
Dalam suatu pernikahan ada beberapa prinsip yang harus dilakukan oleh kedua mempelai yang sudah siap untuk membangun rumah tangga di dalam Tuhan.
Meninggalkan Orang Tua
Kata ”meninggalkan” menunjuk pada suatu tindakan secara hukum dan terbuka yang harus dilaksanakan agar suatu perkawinan menjadi sah. Meninggalkan ayah dan ibu, menjadi suatu tuntutan dari pada kebahagiaan. Harus ada pemisahan yang jelas dan tegas. Sebagaimana satu bayi yang masih merah takkan bisa tumbuh selama tali pusatnya belum dipotong, demikian pula suatu perkawinan tidak bisa bertumbuh dan berkembang selama tidak ada perpisahan dan pemisahan dari pada keluarga.[38]
Meninggalkan orang tua memiliki arti yang lebih dalam dari sekedar berpisah secara fisik. Di sini terkandung maksud perpisahan secara emosi. Jika salah satu dari pihak pasangan suami isteri tetap memiliki ketergantungan yang besar kepada keluarga asalnya, maka akan sulit baginya membentuk keluarga yang mandiri. Ketika salah satu pihak membawa terlalu banyak karakteristik dan sistem keluarga asalnya ke dalam keluarganya yang baru, maka proses ”bersatu” akan sulit terjalin.[39] Unsur meninggalkan tidak hanya meminta kesediaan untuk melepaskan, melainkan juga kesanggupan untuk meninggalkan, khususnya pada pihak anak laki-laki.[40]
Hubungan dasar yang utama dalam keluarga bukanlah hubungan orang tua dan anak, melainkan hubungan suami isteri. Tuhan telah menetapkan hal ini. Di dalam Kejadian 2: 24, Allah menekankan bahwa seorang laki-laki harus meninggalkan ayahnya dan ibunya. Hubungan ini harus disahkan secara tepat (bukan sama sekali dihapuskan, tetapi dipisahkan secara tepat) sehingga hubungan yang mula-mula, yang ada ketika seorang anak masih tinggal di rumah orang tuanya, tidak akan berlanjut. Karena dia akan menjadi kepala bagi keluarganya dan menjadi teladan bagi isteri dan anak-anaknya.[41] Perintah ini sudah Tuhan tetapkan di dalam firman-Nya, jadi setiap pasangan yang mau menikah harus siap untuk meninggalkan orang yang dikasihi yaitu orangtua.
Meninggalkan orang tua berarti bahwa hubungan dengan orang tua harus dirubah. Pertama, harus lebih memperhatikan pendapat, pandangan serta kebiasaan-kebiasaan pasangan sendiri dari pada pendapat serta kebiasaan-kebiasaan orang tua. Kedua, jangan terlalu menggantungkan diri kepada orang tua dalam hal kasih sayang, persetujuan, bantuan dan nasihat.[42] Dengan demikian pasangan suami isteri dapat hidup bersama-sama di dalam keluarga yang akan mereka bangun.
Bersatu dengan Isterinya
Sebelum menikah, satu suami terikat erat-erat dengan orang tuanya. Apabila menikah, ia harus terikat erat-erat dengan isterinya. Suami harus berusaha supaya kehidupannya menjadi satu dengan kehidupan isterinya. Bersatu berarti melekat seperti dilekatkan dengan semen atau lem. Bersatu dapat juga berarti diikat bersama-sam atau ditenun bersama-sama. Suami dan isteri itu menjadi satu di dalam perasaan dan pikiran, dan juga secara tubuh. Bersatu membawa persekutuan dalam segala segi kehidupan. Suami diperintahkan untuk bersatu dengan isterinya karena dia adalah kepala. Ia harus menjadi pemimpin dalam ikatan suami isteri. Ia juga harus berusaha menjalin hubungan yang erat dengan kasih, kesetiaan dan perhatian.[43]
Laki-laki harus bersatu dengan isterinya, artinya bahwa apa yang telah Tuhan persatukan tidak boleh dipisahkan oleh manusia. Tidak seperti hubungan orangtua dan anak, hubungan suami dan isteri itu kekal adanya. Menurut ajaran Alkitab, hubungan ini tidak bisa dirusak. Meskipun begitu dekat hubungan antara orangtua dan anak, hubungan mereka tak pernah digambarkan dengan istilah ”menjadi sedaging”. Tetapi seorang laki-laki dan isterinya harus bersatu dan terus hidup di dalam kesatuan jiwa, roh dan tubuh sepanjang sisa hidupnya. Tidak ada lain kecuali kematian yang dapat memisahkan persatuan itu.[44] Jadi, apa yang sudah Tuhan persatukan tidak dapat dipisahkan oleh manusia, terkecuali kematian.
Menjadi satu daging
Perempuan diciptakan dari tulang dan daging laki-laki. Hal itu menjadi jawaban kenapa perempuan dan laki-laki saling tertarik. Laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan hidup bersatu dengan perempuan. Perempuan dan laki-laki akan menjadi satu daging untuk mendapatkan keturunan.[45]
Pengertian menjadi satu daging mempunyai pengertian yang sangat mendasar tentang maksud Tuhan dalam pernikahan. Telah disebutkan bahwa hakekat pernikahan adalah penyatuan pribadi yang berbeda. Kedua pribadi yang berbeda ini disatukan Allah sehingga keduanya menjadi satu daging, demikianlah mereka bukan lagi dua melainkan satu. Menjadi satu daging dalam seluruh area kehidupan, kesatuan hubungan seksual, pernikahan menjadi sumber kehidupan.[46]
Menjadi satu daging mempunyai pengertian lebih dalam dari pada sekedar bersatu secara jasmani. Arti yang lebih dalam itu ialah bahwa dua orang saling membagi segala apa yang mereka miliki. Bukan cuma tubuhnya, bukan cuma harta bendanya, tetapi juga segala pikiran dan perasaan, segala sukacita dan pahit getirnya, segala harapan dan kekuatiran, keberhasilan dan kegagalannya. Menjadi satu daging berarti bahwa dua orang melebur menjadi satu tubuh, jiwa dan roh, namun masing-masing tetap memiliki kepribadiannya.[47] Kesatuan secara tubuh, namun juga secara emosi menjadi satu daging berarti ada kedekatan dan keintiman secara fisik, seksual dan juga emosional.
Pernikahan adalah satu daging dari dua pribadi, tidak ada campuran dari pihak ketiga (selain Allah sebagai pencipta dan penetap lembaga pernikahan). Alkitab secara tegas mengatakan bahwa ”pria itu akan meninggalkan ayahnya dan ibunya, dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”.
Oleh karena itu, seorang laki-laki dan seorang wanita harus memikirkan secara masak-masak rencana pernikahan supaya dapat menjalankan prinsip Alkitab ini. Alkitab juga menegaskan bahwa pernikahan adalah ”dwitunggal”.[48] Artinya bahwa Tuhan mempunyai tujuan untuk mempersatukan manusia yang dua menjadi satu. Jadi dengan cara seperti inilah pasangan suami isteri akan saling mengenal satu dengan yang lain.
Secara Biologis
Seseorang yang sudah siap untuk menikah atau membangun satu rumah tangga Kristen, maka orang tersebut harus siap untuk melakukan prinsip secara biologis karena itu sudah menjadi kewajiban dalam pernikahan.
Memenuhi Kebutuhan Secara Seksual
Hubunngan seks baru bermakna ketika diintegrasikan dengan cinta. Artinya, hubungan seks dilakukan bukan karena nafsu birahi belaka, tetapi karena dorongan cinta kasih. Dalam hubungan cinta, orang saling menerima dan memberi, maka dalam hubungan seks yang merupakan ungkapan cinta yang paling mendalam, pasangan saling memberi dan menerima dan mengalami kepuasaan dan kesenangan bersama. Dalam arti ini tujuan seks dilihat sebagai wujud dari cinta kasih asmara.[49]
Kejadian 1: 27, artinya bagi Tuhan Yesus, keberadaan manusia sebagai laki-laki dan perempuan serta perbedaan kelamin itu adalah sesuai dengan kehendak Pencipta. Keberadaan sebagai laki-laki atau perempuan bukan sifat tambahan, tetapi diberikan kepada manusia dalam penciptaan-Nya. Karena itu sifat seksualitas ini tidak mungkin dipisahkan dari keberadaan manusia.
Seksualitas bukan akibat jatuhnya manusia ke dalam dosa, melainkan sesuatu yang merupakan ciptaan Allah.[50] Allah memaksudkan seks antara satu suami dan isterinya untuk menciptakan suatu keakraban yang penuh kasih sayang yang membuat dua orang yang berbeda menjadi satu sepanjang hayat.[51]
Dalam pernikahan seksualitas mempunyai dua tujuan. Kedua tujuan itu berbeda secara prinsip tetapi berkaitan satu dengan yang lain. Tujuan yang pertama yaitu sebagai pernyataan kasih, sedangkan tujuan yang kedua adalah untuk melanjutkan keturunan atau regenerasi.[52] Selanjutnya Alkitab juga mengatakan dengan jelas kepada orang percaya bahwa ekspresi seksual dari cinta yang menyenangkan antara suami isteri dan isteri merupakan rencana Allah.[53]
Pernikahan adalah peraturan suci yang ditetapkan oleh Tuhan sendiri. Dalam peraturan atau tata tertib pernikahan itu Tuhan mengaruniakan persekutuan khusus antara suami dan isteri untuk dijalani bersama sebagai sumber yang membahagiakan kehidupan mereka, seperti seksualitas yang menjadi karunia Tuhan yang suci. Seksualitas adalah hubungan jiwa-jiwa di antara suami dan isteri. Khususnya hubungan seks merupakan karunia yang sangat khusus, karena persekutuan suami isteri yang paling dalam dialami dalam hubungan seks yaitu hubungan jiwa raga. Kejadian 1: 31 juga menjelaskan bahwa seksualitas itu adalah ciptaan Allah sendiri, karena itu seksualitas itu dikuduskan oleh Allah.[54]
Alkitab menjelaskan bahwa seks adalah suatu hal yang wajar dan indah. Seks bukanlah suatu hal yang aneh atau jahat dalam diri manusia karena manusia membutuhkannya. Alkitab mengajarkan bahwa seks dibentuk dan diciptakan oleh Allah sendiri untuk kebaikan manusia. Seks sudah ada sebelum dosa masuk dalam dunia, Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka seperti di dalam Kejadian 1: 28.[55]
Seks adalah ciptaan Tuhan. Ia menciptakan manusia dengan perlengkapan seks. Adapun tujuan Tuhan untuk memberikan seks kepada manusia adalah untuk kebahagiaan manusia dan dalam rangka menggenapi perintah Tuhan untuk beranak cucu dan bertambah banyak dan seks adalah sarana untuk mencapai tujuan itu. Dengan kata lain bahwa hubungan seks adalah sarana yang pertama yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk menggenapi perintah tersebut.[56]
Kesatuan seks merupakan suatu rahasia ajaib, karena tidak dapat dijelaskan dengan akal betapa pengaruhnya yang ampuh dan meresap dalam suatu pernikahan. Sekalipun pada dasarnya merupakan tindakan jasmaniah, namun seks mempengaruhi dari pada hanya daging saja. Hubungan ini ditentukan sebagai cara untuk mendapatkan keturunan, namun itu tidak selalu menjadi tujuan langsung. Hubungan itu demikian menyatu sehingga Alkitab mengungkapkan keduanya sebagai satu daging.[57] Dengan demikian seks adalah ciptaan Tuhan, seks adalah anugerah dari Tuhan kepada manusia. Sebagai ciptaan Tuhan, maka seks itu adalah baik.
Memperoleh Keturunan
Jelaslah ”beranakcucu” merupakan perintah dan juga merupakan berkat yang diberikan Allah kepada manusia.[58] Tetapi anak bukan merupakan tujuan pernikahan. Dengan demikian pernikahan yang tidak dikaruniai anak tidak berarti pernikahan suami isteri yang sia-sia, tetapi pernikahan tersebut tetap mempunyai nilai yang tinggi dihadapan Allah. Keturunan hanya merupakan berkat Allah yang memperkaya suatu pernikahan. Tanpa kehadiran anak dalam keluarga hubungan suami isteri adalah tetap berkat Tuhan.[59] Oleh karena itu rumah tangga lengkap juga walaupun tanpa anak, sebagaimana halnya keadaan rumah tangga adalah lengkap pada waktu mereka menikah, walaupun belum ada anak.
BACA JUGA: PRINSIP-PRINSIP ABSOLUT PERNIKAHAN KRISTEN
Walter Trobisch mengungkapkan, pernikahan tanpa adanya seorang anak, tetap juga bermakna pernikahan. Kemandulan tidaklah menjadi alasan bagi perceraian, tetapi anugerah tambahan.[60] Pernikahan walaupun tanpa anak tidak merupakan kutuk dari Tuhan, karena Allah berkuasa untuk membuka serta menutup kandungan.
Ini dapat dilihat dalam peristiwa kehidupan Sarah, Ribka dan Hana. Nyatalah bahwa kemandulan dihadapan Tuhan tidaklah dipandang hina. Menurut Abineno: Maksud Tuhan Allah memberikan hubungan seksual kepada manusia ialah bukan saja untuk memperoleh anak, tetapi juga sebagai ekspresi atau realisasi dan cintah kasih suami dan isteri dalam perkawinan mereka. Jadi hubungan seksual janganlah sebagai alat prokreasi.[61] Dengan demikian bahwa tujuan pernikahan bukan untuk mendapatkan keturunan karena itu adalah berkat tambahan yang Tuhan berikan kepada pasangan suami isteri.
Secara Psikologis
Dalam bagian ini prinsip secara psikologis merupakan prinsip yang harus dilakukan oleh sepasang suami isteri, sehingga keluarga mereka dapat tetap harmonis.
Pemenuhan Cinta Kasih
Jalinan cinta kasih adalah intisari tujuan dan rencana Allah dalam menciptakan pernikahan dan keluarga. Suami isteri menjadi partner atau sahabat terdekat dan mempunyai hubungan yang intim. Jalinan kasih yang dimaksud di sini adalah dimana sesatu mengikat dirinya dengan sesatu dengan jalinan cinta kasih dan perjanjian. Dengan demikian, isteri atau suami menjadi teman sekutu, teman terdekat yang dijalin oleh sebuah perjanjian dan diwujudkan dalam sikap dan perbuatan (Mal. 2: 14).
Penyesuaian Diri
Dalam kejadian pasal 1, Allah menciptakan semuanya dengan baik dan tidak kurang suatu apapun. Kejadian 2: 18 dapat dilihat bahwa Allah sendiri yang menjodohkan manusia. Ia yang mempertemukan Adam dan Hawa. Jadi, dengan iman juga dapat berkata bahwa Allah yang menciptakan penolong bagi semua orang, termasuk pemilihan teman hidup.
Dalam suatu pernikahan sangat dibutuhkan yang namanya penyesuaian diri. Karena dengan penyesuaian diri, maka pasangan suami isteri akan saling mengenal satu sama lain. Seperti contohnya, anak kunci dengan induknya harus cocok, kalau tidak cocok maka otomatis keduanya hilang kegunaannya. Harusnya kalau cocok, kunci dan induknya berfungsi sebagaimana mestinya. Tetapi untuk menjadi cocok diperlukan proses dan usaha.
Demikian juga dengan pernikahan, pasangan yang diberikan Allah kepada kita, maupun kita sendiri harus juga melalui proses penyesuaian diri yang memerlukan usaha keras dan konflik yang menyakitkan sehingga tercapai keharmonisan seperti yang dikehendaki oleh Allah.[62] Jadi, kebahagiaan dalam keluarga tidak akan pernah datang secara otomatis tanpa melalui suatu proses dari Tuhan.
Penyesuaian diri dalam segala hal yang berhubungan dengan kepribadian pasangan mutlak diperlukan apabila pasangan suami isteri menginginkan pernikahan dan keluarga menjadi lebih baik. Ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dengan pasangan dapat menghancurkan sebuah pernikahan, artinya masing-masing pasangan suami istri harus memahami bahwa masing-masing pribadi ada kekurangan dan jika kekurangan itu tidak antisipasi, maka proses penyatuan dua pribadi menjadi satu dalam rumah tangga bisa menjadi bubar.[63] Dengan demikian pasangan suami isteri harus dapat menyesuaikan diri dengan pasangan dan juga dengan keluarga pasangan suami isteri.
Mengingat setiap laki-laki adalah tidak sama, maka kebutuhan-kebutuhan itu juga berbeda. Oleh sebab itu, menjadi tugas seorang isteri untuk mempelajari suaminya agar menemukan bagaimana ia dapat melayani kebutuhan-kebutuhan itu secara optimal.[64]
Komunikasi
Komunikasi merupakan bagian yang terpenting dalam membangun sebuah pernikahan dan keluarga. Tanpa komunikasi yang baik, konflik akan terus berkepanjangan bahkan dapat mengancam keharmonisan pernikahan dan keluarga. Secara singkat dapat disebut bahwa komunikasi adalah suatu proses interaksi dan transaksi antara suami dan isteri. Jadi yang dimaksud dengan komunikasi dalam bagian ini adalah komunikasi antara pribadi oleh suami isteri yaitu bagaimana mereka membagikan informasi tentang apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka ketahui, apa yang mereka rasakan dan inginkan dari pasangan masing-masing.
Marulak Pasaribu mengatakan bahwa komunikasi yang baik sangat dibutuhkan dalam kehidupan sesatu. Hidup sesatu dirasakan tidak berarti jika ia tidak mempunyai teman untuk berkomunikasi. Oleh sebab itu komunikasi adalah salah satu pengikat hubungan pasutri. Komunikasi yang baik sangat penting dalam menciptakan hubungan keluarga yang kuat dan harmonis. Komunikasi keluarga bukanlah sesuatu yang secara otomatis dapat diperoleh. Ia membutuhkan usaha, suatu keinginan yang kuat atau sesuatu yang perlu dipertahankan dan ditumbuhkan.[65]
Semua orang membutuhkan komunikasi karena komunikasi merupakan cara untuk menyampaikan sesuatu kepada orang yang dituju. Demikian hal dengan pernikahan dapat bertahan atau langgeng dan bahagia ditandai dengan komunikasi yang baik. Melalui komunikasi yang baik, pasangan suami isteri dapat mengerti pasangannya secara mendalam.[66] Jadi komunikasi sangat penting dalam membangun suatu pernikahan Kristen yang harmonis.
BACA JUGA: TUJUAN PERNIKAHAN KRISTEN
Kemudian penjelasan Dwight Hervey Small yang senada dalam bukunya ”After You’ve said I Do” mengatakan bahwa jiwa dari perkawinan adalah sistem komunikasinya. Dapat juga dikatakan bahwa keberhasilan dan kebahagiaan setiap pasangan dapat diukur menurut dalam tidaknya dialog mereka sebagai ciri khas dari kesatuan mereka.[67] Dengan demikian pernikahan dapat bertahan sampai selama-lamanya oleh karena komunikasi yang baik antara suami dan isteri.
Pernikahan yang langgeng dan bahagia ditandai dengan Komunikasi yang baik dan dalam antara suami-isteri itu. Melalui Komunikasi yang baik, satu suami/ isteri dapat mengerti pasangannya secara mendalam. Untuk mencapai Komunikasi yang baik, perlu ada empati dan keterbukaan.
Empati
Empati terjadi bilamana sesuatu dapat memasuki dunia orang lain sehingga ia dapat memahami arti-arti dan nilai-nilai pribadi orang itu, dapat melihat keadaan-keadaan sama seperti orang itu melihatnya, dan dapat merasakan sama seperti orang itu merasakannya. Kalau pasangan suami isteri tidak dapat berempati dengan pasangan sendiri, maka pasangan suami isteri tidak akan mengerti mengapa pasangannya berbuat sesuatu, pendapat-pendapatnya, ataupun perasaan-perasaannya.
Keterbukaan
Dalam Kejadian 2: 25 menjelaskan bahwa adanya keterbukaan antara Adam dan Hawa sebelum mereka jatuh ke dalam dosa. Dikatakan bahwa, ”Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu.” Ketelanjangan ini pertama tentunya dalam arti harfiah. Mereka tidak berpakaian dan tidak malu. Memang belum ada manusia lain dan belum ada dosa. Tetapi ketelanjangan ini secara kejiwaan juga berarti adanya keterbukaan antara suami isteri. Antara Adam dan Hawa ada keterbukaan yang dalam dalam di mana mereka saling mengetahui keadaan masing-masing, dan mereka tidak malu.
Segala kelebihan dan kekurangan boleh diketahui dan hal itu baik karena pasangannya menerima dirinya sepenuhnya dan tetap mengasihinya. Tetapi setelah mereka jatuh ke dalam dosa, mereka malu dan ingin menutupi diri mereka dengan daun-daun ara sebagai cawat. Mereka merasa bahwa mulai saat itu pasangannya tidak dapat menerima dirinya sepenuhnya lagi dan memang hal itu bemar.[68] Dengan demikian keterbukaan sangat penting dalam suatu pernikahan. Karena dengan adanya keterbukaan suami isteri, maka pernikahan itu akan selalu harmonis.
Ikuti saya di google news untuk membaca artikel lainnya :
[1] Cecil G. Osborne, Seni Memahami Pasangan anda, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), 1
[2] Arliyanus Larosa, Kunci Sukses Karier Pernikahan, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2009), 56
[3] J. D Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1996), 154
[4] Marulak Pasaribu, Pernikahan dan Keluarga Kristen, (Jawa Timur: Departemen Literatur YPPII, 2001), 5
[5] Glen H. Stassen, Etika Kerajaan, (Surabaya: Momentum, 2008), 352
[6] Pasaribu, Pernikahan …, 15-16
[7] Derek Prince, Pernikahan Ikatan Yang Kudus, (Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil Immanuel, 1992), 22
[8] Jaliaman Sinaga, Tujuh Pilar Pernikahan, (Jakarta: Divisi Pengajaran Unit Seminar, 2004), 88
[9] http://www.sabda.org/publikasi/e-konsel/313 Tujuan Pernikahan, On Line, 17 Oktober 2013
[10] Bill Ameiss, Cinta, seks & Allah, (Yogyakarta: Yayasan ANDI, 1998), 109
[11] Gary Smalley, Seandainya Ia Tahu, (Jakarta: Yayasan Media Buana Indonesia, 1995), 39
[12] Stephen Tong, Takhta Kristus dalam Keluarga, (Surabaya: Momentum, 2011), 18
[13] Margaret Simbiri, Rencana Allah bagi Rumah Tangga Kristen, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1978), 14
[14] Kejadian 1: 27, 28
[15] Sutjipto Subeno, Indahnya Pernikahan Kristen, (Surabaya: Momentum, 2008), 2
[16] Subeno, Indahnya Pernikahan …, 16
[17] Sinaga, Tujuh Pilar… , 147-148
[18] J. Verkuyl, Etika Kristen Seksuil , (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1956), 62
[19] Subeno, Indahnya Pernikahan…, 33
[20] Ibid., 35
[21] Robert P. Borrong, Etika Seksual Kontemporer, (Bandung: Ink Media, 2006), 17-18
[22] Sinclair B. Ferguson, Menemukan Kehendak Allah, (Surabaya: Momentum, 2003), 91
[23] Subeno, Indahnya Pernikahan…, 11
[24] http://www.sabda.org/publikasi/e-konsel/313 Tujuan Pernikahan, On Line, 17 Oktober 2013
[25] Stephen Tong, Keluarga Bahagia, (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1991), 60-61
[26] Verkuyl, Etika Kristen …, 65
[27] Jeffry Herrykson Siahaan, Upacara Perkawinan Menurut Adat Batak Toba, Skripsi, (Batu Malang: STT ”I-3”), 102
[28] Siahaan, Upacara Perkawinan…, 103
[29] Pasaribu, Pernikahan dan Keluarga…, 31-33
[30] Witer Lemp, Tafsiran Kejadian , (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1964), 54
[31] Vekuyl, Etika Kristen…, 82
[32] Vekuyl, Etika Kristen…, 80
[33] J. I. Packer, Ensiklopedi Fakta Alkitab Vol 2, (Jawa Timur: Gandum Mas, 2001), 892
[34] Titus Lukman, Keluarga Kristen, (Diktat), (Tanjung Enim: STTE, 1998), 6
[35] Matius 19: 4-6
[36] Rubin Adi Abraham, Pria Antik Wanita Unik, (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2006), 19
[37] http://hikmat pembaharuan.wordpress.com/ 18 April 2012 Dasar-dasar dalam pernikahan, On Line, 17 Oktober 2013
[38] Walter Trobisch, Jodohku, (Malang: Gandum Mas, 1973), 22
[39] Dave, Memulai dan Membangun Keluarga Bersama, (Malang: Departemen Literatur SAAT, 2000), 14
[40] Volkhard, Hidup Sebelum dan Sesudah Nikah, (Jawa Timur: Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia, 1979), 22
[41] Jay E. Adams, Masalah dalam Rumah Tangga Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 71
[42] Wayne A. Mack, Kesatuan yang Kukuh, (Surabaya: Yakin Genteng Besar, 1977), 10
[43] Simbiri, Rencana Allah…, 87-89
[44] Adams, Masalah dalam …, 72
[45] Darmawan MM, Haruskah Tuhan Disembah, (Bandung: CV Hikayat Dunia, 2005), 17
[46] Pasaribu, Pernikahan dan Keluarga…, 34
[47] Trobisch, Jodohku…, 31
[48] Subeno, Indahnya Pernikahan …, 18
[49] Subeno, Indahnya Pernikahan …, 28
[50] Henk ten Napel, Jalan Yang Lebih Utama Lagi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), 44
[51] Ray Mossholder, Pernikahan Plus, (Yogyakarta: Yayasan ANDI, 1990), 294
[52] Borrong, Etika Seksual…, 28
[53] Ed Wheat, Cinta dan Kemesraan, (Jakarta: IMMANUEL, 1999), 70
[54] Karel Sosipater, Etika Perjanjian Lama, (Jakarta: Suara Harapan Bangsa, 2010), 164
[55] Jonathan A. Trisna, Pernikahan Kristen, (Jakarta: Kalam Hidup, 1986), 89
[56] Pasaribu, Pernikahan dan Keluarga…, 39
[57] Larry Christenson, Keluarga Kristen, (Semarang: Yayasan Persekutuan Betania, 1970), 16
[58] Kejadian 1: 28
[59] Verkuyl, Etika Kristen …, 82-83
[60] Trobisch, Jodohku…, 30
[61] Siahaan, Upacara Perkawinan…, 52
[62] Subeno, Indahnya Pernikahan …, 62
[63] Pasaribu, Pernikahan dan Keluarga…, 83
[64] Detmar Scheunemann, Romantika Kehidupan Suami-Isteri, (Malang: YPPII, 1987), 16
[65] Pasaribu, Pernikahan dan Keluarga…, 103-104
[66] Trisna, Pernikahan Kristen…, 100
[67] Mack, Kesatuan Yang Kukuh…, 53
[68] Trisna, Pernikahan Kristen…, 100- 109
SYARAT PERNIKAHAN MENURUT ALKITAB.
https://teologiareformed.blogspot.com/
_AMIN_