HANYA KRISTUS DI TENGAH ANCAMAN KEMATIAN AKIBAT WABAH (FILIPI 1:21)
Pdt. Daniel Lucas Lukito.
Pada bulan April 1849, puluhan ribu tikus tiba-tiba berkeliaran sempoyongan di siang hari dan tidak lama kemudian entah kenapa tikus-tikus tersebut tergeletak mati di tengah kota Oran, sebuah kota pelabuhan yang gersang dan tidak berpohon di sebelah baratlaut Aljazair, Afrika Utara.
Kematian tikus yang jumlahnya begitu banyak diikuti dengan merebaknya wabah pes atau sampar dengan akibat berjangkitnya penyakit kolera yang menyerang penduduk setempat, terutama anak-anak. Seperti biasa, timbullah reaksi histeris berupa kepanikan dan ketakutan pada masyarakat waktu itu, apalagi selain penderitaan karena kolera, satu per satu warga Oran bertumbangan dan meninggal dunia. Itulah narasi awal yang diceritakan oleh Albert Camus (1913-1960), dalam bukunya yang terkenal, La Peste (The Plague, Sampar), yang ditulis 1947 dan membuatnya memenangkan hadiah Nobel bidang sastra tahun 1957.
Kematian tikus yang jumlahnya begitu banyak diikuti dengan merebaknya wabah pes atau sampar dengan akibat berjangkitnya penyakit kolera yang menyerang penduduk setempat, terutama anak-anak. Seperti biasa, timbullah reaksi histeris berupa kepanikan dan ketakutan pada masyarakat waktu itu, apalagi selain penderitaan karena kolera, satu per satu warga Oran bertumbangan dan meninggal dunia. Itulah narasi awal yang diceritakan oleh Albert Camus (1913-1960), dalam bukunya yang terkenal, La Peste (The Plague, Sampar), yang ditulis 1947 dan membuatnya memenangkan hadiah Nobel bidang sastra tahun 1957.
gadget, bisnis, otomotif |
Karya tulis Camus ini berusaha menggambarkan kerasnya kehidupan, suasana peperangan, dan kehampaan masa depan, teristimewa ketika manusia diterpa penderitaan dan kematian disebabkan oleh epidemi bakteri kolera yang misterius itu. Sebagai seorang filsuf eksistensialis yang ateistis, selain tidak percaya kepada Allah atau kehidupan setelah kematian, Camus [dilafal: keh-meu] juga tidak percaya bahwa penderitaan, kematian, atau eksistensi manusia memiliki arti secara moral, karena kehidupan semua manusia menuju pada sebuah arah kematian yang hampa, irasional, dan tidak dapat dijelaskan.
Itulah sebabnya ia melukiskan keadaan kota Oran yang sedang dilanda wabah dengan deskripsi muram demikian: Kota itu dilockdown. Pintu gerbangnya ditutup bersamaan dengan berhentinya lalu lintas kereta api serta pengiriman barang dan surat. Semua komunikasi dengan dunia luar dihentikan. Di bulan Agustus ketika keadaan semakin memburuk dan banyak orang mulai tertekan oleh isolasi kota ini, terjadi upaya beberapa orang yang berusaha melarikan diri dari Oran, namun tertangkap basah dan mereka ditembak mati oleh tentara yang berjaga. Lalu timbul penjarahan dan kekerasan yang kemudian dilanjutkan dengan diberlakukannya jam malam. Setiap hari berlangsung pemakaman yang semakin sering terjadi dan dikerjakan oleh petugas-petugas dengan terburu-buru, nyaris seakan-akan tidak ada kepedulian atau empati sama sekali terhadap keluarga yang ditinggalkan. Dengan demikian kisah yang dipaparkan oleh Camus adalah suasana kehidupan manusia yang tidak berdaya, tidak berpengharapan, dan sedang menuju pada sebuah realita: kematian.
Bukankah dengan berjangkitnya virus corona, mula-mula di Wuhan, China, dan sekarang ke seluruh dunia (termasuk Indonesia), suasana kehidupan manusia mirip sekali dengan deskripsi Camus tentang kota Oran dengan tema utamanya: ancaman penderitaan dan kematian? Begitu fanakah kehidupan manusia modern sekarang ini? Tidak adakah yang namanya pengharapan di tengah kerawanan dan kerapuhan hidup manusia masa kini?
Pada saat kebanyakan orang sedang mengalami kebingungan, kepanikan, dan ketakutan, marilah kita melihat kepada firman Tuhan, firman yang hidup dan firman yang kekal. Renungkan baik-baik yang dikatakan oleh rasul Paulus dalam Filipi 1:21 di mana ia menulis: “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.
” Perhatikan: Kata kunci yang dipergunakannya adalah “Kristus,” dan Yohanes Calvin (1509-1564) pernah menginterpretasikan ayat ini secara unik dan tepat sekali. Menurutnya, “Kristus” harus menjadi subjek dan predikatnya adalah “keuntungan” (jadi predikatnya tidak boleh “hidup [bersama Kristus]” dan “mati [memperoleh keuntungan]”). Jadi yang tampak menonjol pada ayat ini adalah frasa: “Kristus [adalah] keuntungan.”
Bagi Calvin, cara melihat seperti itu lebih sesuai dengan pengajaran di ayat sebelumnya: “Sebab yang sangat kurindukan dan kuharapkan ialah bahwa aku dalam segala hal tidak akan beroleh malu, melainkan seperti sediakala, demikianpun sekarang, Kristus dengan nyata dimuliakan di dalam tubuhku, baik oleh hidupku, maupun oleh matiku” (Filipi 1:20). Kesimpulan yang dibuat oleh Calvin adalah begini: “And certainly it is Christ alone who in death as in life blesses us. Otherwise, if death is miserable, life is in no way happier, so that it is difficult to decide whether outside Christ dying is more advantageous than living. Again, when Christ is present with us, he will bless our life equally as he does our death.”
Menurut Calvin, Paulus sendiri tidak terlalu mempermasalahkan antara hidup atau mati, karena (baik hidup atau mati) Kristus adalah keuntungan. Inilah kestabilan iman seorang yang mengikut dan melayani Kristus, yaitu ia tidak terbuai oleh kehidupan sekarang dan sekaligus tidak dihantui oleh “momok” kematian yang ada di depannya, “Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan.
Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan” (Roma 14:8). Dengan demikian, sekalipun kematian tetap merupakan sebuah ancaman, mendatangkan ketakutan, dan setara dengan malapetaka yang mengerikan, kestabilan iman orang percaya yang memiliki dan dimiliki oleh Kristus yang mengendalikan kehidupannya sekarang ini.
BACA JUGA: TETAP BERIMAN DIMASA COVID 19 YANG SULIT
Reformator besar, Martin Luther (1483-1546), pernah sukses mengadakan reformasi gereja di abad 16, dan ia tidak gentar ketika berhadapan dengan penguasa yang akan membunuhnya pada waktu itu, tetapi ketika putri kesayangannya terbaring sakit dan menjelang ajal, Luther harus mengaku hatinya bimbang, marah, dan tidak bisa merelakan kepergiannya: “I love her very much; if my flesh is so strong, what can my spirit do? God has given no bishop so great a gift in a thousand years as he has given me in her. I am angry with myself that I cannot rejoice in heart and be thankful as I ought.” Namun, kestabilan iman Luther yang mampu melihat Christ alone yang menuntun kehidupannya di tengah kedukaan dan kebimbangan itu.
Dengan mewabahnya virus corona sekarang ini, orang Kristen dan semua penduduk dunia berhadapan dengan sebuah suasana yang belum pernah terpikirkan sebelumnya: ternyata penderitaan dan kematian itu begitu dekat dan sekaligus begitu menakutkan. Tetapi berita Injil yang terbesar bagi manusia adalah ini: Yesus Kristus sudah mengalahkan dosa dan kematian, dan bagi mereka yang percaya “. . . meskipun dahulu mati oleh pelanggaran [kita] . . . telah dihidupkan Allah bersama-sama dengan [Kristus], sesudah Ia mengampuni segala pelanggaran kita” (Kolose 2:13).
Mengenai kematian jasmani yang masih akan kita hadapi di dalam kehidupan di bumi ini, Tuhan Yesus memberikan jaminan yang sangat pasti dan yang tidak dapat dibeli dengan harta benda apa pun juga: “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?” (Yohanes 11:25-26).HANYA KRISTUS DI TENGAH ANCAMAN KEMATIAN AKIBAT WABAH (FILIPI 1:21).