HANYA ADA SATU JALAN MASUK SURGA

Pdt.Samuel T. Gunawan, M.Th.
HANYA ADA SATU JALAN MASUK SURGA
(Sebuah tanggapan atas renungan Devosional Henny Kristianus yang berjudul “3 Jalan Masuk Surga")

Pengkhotbah motivator Henny Kristianus menyebutkan dalam salah satu videonya bahwa ada 3 (tiga) jalan untuk masuk surga, yaitu: (1) Mempercayai Yesus Kristus sebagai Mesias atau Juruselamat (Yohanes 14:6); (2) Melakukan kehendak Bapa atau melakukan firman Tuhan (Matius 7:21; Matius 19:17); (3) Hidup mengsihi sesama (Matius 25:34-40).

Saya melihat ketulusan dari seorang Kristen yang mengasihi Kristus dalam diri Henny Kristianus. Dan hampir semua khotbah sangat baik dalam memberikan dorongan, semangat dan motivasi bagi banyak orang. (Jujur saja termasuk istri saya sering dikuatkan ketika mendengar renungan-renungan dari Henny Kristianus ini). Karena itu dalam kasih Kristus saya memberikan koreksi atas pernyataan Henny Kristianus bahwa bagi orang Kristen ada 3 jalan masuk surga dan memintanya agar menarik dan mengklarifikasi pernyataannya dalam renungan devosional tersebut. Saya berharap kiranya Henny Kristianus terus menjadi berkat bagi banyak orang.

Dari perspektif doktrinal ada distorsi dalam pandangan soteriologis Henny Kristianus ini karena mengabaikan kecukupan karya Kristus bagi keselamatan orang percaya. Dari perspektif totalitas ajaran Alkitab, jalan keselamatan hanya satu, dan point pertama yang disebutkan oleh Henny Kristianus itu sudah benar, tetapi point 2 dan 3 bukanlah jalan masuk surga. Point 2 dan 3 ini apabila dipaksakan sebagai jalan keselamatan maka ini adalah bentuk dari legalisme, moralisme dan atau performanisme yang menekankan bahwa kewajiban-kewajiban yang meyelamatkan terlepas dari deklarasi Injil.

Keselamatan, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, sebelum dan sesudah karya pendamaian Kristus dalam kematianNya di kayu salib, selalu tetaplah sama, yaitu karena kasih karunia yang diterima melalui iman.

Dasar keselamatan dalam setiap zaman adalah kematian Kristus (dalam Perjanjian Lama, kematian hewan korban merupakan perlambang dari kematian Kristus); Persyaratan bagi penerimaan keselamatan dalam setiap zaman adalah iman (Efesus 2:8); Objek iman dalam setiap zaman adalah Tuhan (Ibrani 11:6), namun cara Allah menyingkapkan keselamatan itu berbeda-beda, khususnya dalam Perjanjian Lama (yang lebih berhubungan dengan Taurat dan hukum Musa) dan Perjanjian Baru (yang lebih berhubungan dengan berita Injil).

Dengan demikian, apabila orang-orang Perjanjian Lama tidak masuk surga pastilah karena menolak menanggapi Allah dengan iman melalui pernyataan-pernyataan (wahyu) Allah yang berlaku pada masa itu. Dan kita teringat bahwa dalam Perjanjian Lama, Allah telah mewahyukan dirinya melalui berbagai cara seperti melalui alam semesta, hati nurani, para nabi, dan hukum Taurat (Bandingkan Ibrani 1:1-3; Roma 1:18-32). Bagaimana dengan orang-orang yang hidup pada masa Perjanjian Baru, yaitu setelah kematian dan kebangkitan Kristus? Apabila mereka tidak masuk surga, itu karena mereka menolak percaya kepada Kristus, atau mereka menolak menanggapi dengan iman kasih karunia dan penyediaan keselamatan itu.

Satu ciri penting dari semua surat rasul Paulus adalah ia selalu memulai dengan ajaran yang bersifat doktrinal kemudian beralih ke dalam penerapan praktis dari doktrin tersebut. Dengan menggunakan istilah gramatikal, Paulus selalu memulai dari indikatif vertikal (apa yang telah dilakukan Allah dalam Kristus bagi kita), kemudian segera diikuti dengan imperatif horisontal (bagaimana cara kita harus hidup dalam apa yang telah Allah lakukan bagi kita di dalam Kristus).

Di dalam Perjanjian Baru, khusus dalam tulisan-tulisan Rasul Paulus kita melihat fenomena relasi indikatif dan imperatif ini. Dimana manifestasi moral (ketaatan) dari hidup baru sebagai buah karya penebusan Allah di dalam Kristus melalui Roh Kudus (indikatif) merupakan suatu tuntutan atau keharusan (imperatif) bagi setiap orang Kristen. Artinya, indikatif (hidup baru) mendahului imperatif (ketaatan).

Dengan kata lain, fakta mengenai kematian dan kebangkitan Kristus yang menyelamatkan orang percaya dan dan fakta bahwa kita sudah dibenarkan, dikuduskan dan disempurnakan berdasarkan persembahan tubuh dan darah Kristus itulah yang disebut sebagai indikatif, sedangkan etika, moral dan cara hidup kekristenan yang baik itulah yang disebut sebagai bentuk imperatif.

Urutan (indikatif vertikal - imperatif horisontal) dalam pengajaran rasul Paulus ini sangat penting! Rasul Paulus benar-benar mengetahui bahwa cara yang benar untuk kita berpikir tentang kehidupan Kristen kita adalah selalu dimulai dengan vertikal, kemudian bergerak ke yang horisontal. Kita harus selalu bergantung terlebih dahulu pada apa yang Allah telah lakukan sebelum kita melakukan sesuatu bagi Dia. Urutan ini sangat penting karena inilah yang membedakan Injil dari legalisme, moralisme dan performanisme dalam pikiran kita dan membantu kita memelihara Injil dari legalisme, moralisme dan performanisme dalam tindakan-tindakan kita.

Kita tidak boleh membalik urutan indikatif-imperatif (vertikal-horisontal) ini menjadi imperatif-indikatif (horisontal-vertikal)! karena di dalam Alkitab selalu indikatif mendahului imperatif. Disinilah keunikan dan perbedaan agama Kristen dari agama-agama lainya. Berbeda dari agama-agama lain mengajarkan keselamatan sebagai usaha manusia, maka Kekristenan mengajarkan bahwa keselamatan adalah karunia Allah tanpa syarat. Kita tidak diperintahkan untuk menyucikan diri kita supaya selamat dan diterima oleh Allah, melainkan sebaliknya, Allahlah yang telah menerima dan menyucikan kita. Karena Ia telah menerima dan menyucikan kita (indikatif), maka kita dipanggil supaya hidup dalam kesucian sebagai anak-anak Allah yang dikasihiNya (imperatif). 


Inilah yang rasul Paulus maksudkan ketika ia berkata kepada semua orang percaya di Korintus bahwa “mereka yang dikuduskan dalam Kristus Yesus dan yang dipanggil menjadi orang-orang kudus”. Kegagalan memahami relasi indikatif-imperatif inilah yang telah menyebabkan banyak orang Kristen jatuh ke dalam legalisme, moralisme dan performanisme yang ditegur dengan keras oleh rasul Paulus ketika ia berkata “kamu memulai dengan Roh tetapi mengakhirinyan di dalam daging” (Galatia 3:3). 

Hal ini terjadi ketika kecukupan Injil bagi keselamatan kita diganti dengan jasa, usaha dan perbuatan kita. Ketiganya, (legalisme, moralisme dan performanisme) walau berbeda dalam istilah tetapi merujuk pada hal yang satu, akan muncul ketika kewajiban-kewajiban perilaku terpisah dari deklarasi Injil (kasih karunia), ketika keharusan (imperatif) terputus dari indikasi Injil (indikatif), ketika apa yang perlu kita lakukan (imperatif) menjadi tujuan akhir, bukan apa yang Yesus telah lakukan (indikatif) bagi kita.

Sebagian orang Kristen yang belum memahami ajaran relasi indikatif-imperatif ini mengira bahwa mereka berharga dihadapan Allah dan masuk surga karena apa yang mereka telah capai dan hasilkan melalui perbuatan. Mereka mengira bahwa kasih Allah akan semakin dicurahkan kepada mereka tergantung kepada berapa banyak pencapaian yang telah mereka dapat. Pandangan ini membawa pada legalisme, moralisme dan performanisme. Pandangan ini salah karena berbeda dari pandangan Perjanjian Baru yang mengajarkan bahwa kita berharga karena apa yang telah Allah karuniakan bagi kita, yaitu status baru sebagai anak-anakNya karena Yesus telah mati bagi kita. 

Kasih Allah tidak tergantung pada perbuatan kita, karena Allah telah memberikan Yesus yang telah mati di kayu salib bagi kita ketika kita masih berdosa dan memusuhi Allah. Jadi perbuatan kita tidak menambah atau mengurangi kasih Allah pada kita. Injil adalah kabar baikkarena hubungan kita dengan Allah tidak tergantung pada semangat, upaya, dan kebaikan kita, tetapi tergantung pada semangat, upaya, dan kebaikan Kristus. Itulah yang membuat Injil menjadi kabar baik. 

Dan injil bukan hanya kabar baik tentang bagaimana kita bisa diselamat pada awalnya; Injil adalah kabar baik yang kita kembali kepadanya setiap hari. Injil menjaga kita untuk terus mengarahkan mata kita kepada Yesus, pemulai dan penyempurna iman kita (Ibrani 12:2). Jadi Injil tidak hanya membenarkan kita di awal keselamatan kita, tetapi kebenaran Injil itu juga menguduskan, membangun, dan mendewasakan, dan menyempurnakan kita karena Kristus sendirilah pusat dari Injil itu.


Namun berdasarkan apa yang telah dijelaskan di atas, bahwa imperatif (ketaatan baru) didasarkan pada indikatif (hidup baru) yang diterima oleh iman, sekali untuk selamanya dan terus menerus diperbaharui. Karena orang percaya sadar bahwa mereka telah mati bagi dosa dan hidup bagi Allah, maka mereka harus menyerahkan tubuh dan anggotanya untuk melayani kebenaran. Imperatif mengajarkan perlawanan terhadap musuh (dosa), yang melalui iman kita tahu dan harus terus mengetahui bahwa musuh kita telah dikalahkan. Jadi relasi aspek aktual dan kontinual dari hidup baru menjadi jelas. 

Hidup baru adalah hidup dan bukan tanda-tanda kehidupan yang silih berganti. Namun, hidup ini tidak pasif tetapi militan, hidup oleh iman. Imperatif (ketaatan baru) hanya dapat terlaksana ketika iman berjaga-jaga, sadar dan siap sedia (1 Korintus 16:13; 1 Tesalonika 5:5,8; Efesus 6:11). 

Sampai pada tingkat ini, setiap imperatif (ketaatan, termasuk didalamnya perbuatan baik) merupakan pengaktualisasian dari indikatif (hidup baru), tetapi imperatif tidak terhilang di dalam indikatif, ia mencari buah iman dan buah Roh Kudus melalui pengudusan dan ketaatan (Roma 6:21-22; Galatia 5:22). Ia mengarah menuju pertumbuhan, kemajuan dan kelimpahan dari hidup baru (Roma 5:3; 2 Korintus 8:7; 9:8; 1 Timotius 4:15). 

HANYA ADA SATU JALAN MASUK SURGA. https://teologiareformed.blogspot.com/
Next Post Previous Post