3 ASPEK KETETAPAN ALLAH

3 ASPEK KETETAPAN ALLAH
gadget, bisnis, otomotif
ALLAH MENETAPKAN SEGALA SESUATU.

Kalimat “Allah menetapkan segala sesuatu” kadang menimbulkan pro dan kontra. Tidak mudah seseorang meyakini bahwa Allah menetapkan segala sesuatu, karena Alkitab pun sama sekali secara literal tidak ada tertulis kalimat “Allah menetapkan segala sesuatu” tersebut. Sama halnya dengan frasa “Allah Tritunggal”, Alkitab pun juga tidak pernah secara literal tertulis kata tersebut, tetapi Konsep ketritunggalan Allah selalu muncul di dalam Alkitab. 

Alkitab tidak secara literal menuliskan “Allah menetapkan segala sesuatu”, tetapi Konsep tentang Allah yang menetapkan segala sesuatu sering kali muncul dalam setiap peristiwa yang tercatat di dalam Alkitab, sehingga memunculkan pemahaman bahwa Allah memang menetapkan segala sesuatu.

Untuk bisa mengerti dan memahami frasa “Allah menetapkan segala sesuatu” haruslah ia mempercayai sepenuhnya bahwa Allah Sang Pencipta memiliki Otoritas dan Kedaulatan yang mutlak (absolut) terhadap segala ciptaan-Nya. Seseorang yang meragukan atau bahkan menolak untuk meyakini Kedaulatan Allah yang mutlak (absolut) pasti akan sulit atau bahkan tidak akan mau menerima kenyataan bahwa Allah memang menetapkan segala sesuatu. 

Padahal Ketetapan Allah atas segala sesuatu tidak mungkin terlepas dari Sifat dan Hakekat, serta Kehendak-Nya yang penuh Kasih, yang Maha-tahu, yang Suci dan yang Adil. Allah jelas tidak mungkin menetapkan sesuatu dengan sembarangan atau asal-asalan, karena jika itu dilakukan, maka akan menimbulkan kesan bahwa Allah adalah Allah yang arogan dan tiran, padahal sebenarnya bukan demikian.

Untuk memahami frasa “Allah menetapkan segala sesuatu” harus mengerti terlebih dahulu bahwa ada tiga aspek Ketetapan Allah, yakni:

(1) Ketetapan Allah yang bersifat absolut (mutlak).
(2) Ketetapan Allah yang bersifat permissive.
(3) Ketetapan Allah yang bersifat rahasia.

(1). KETETAPAN ALLAH YANG BERSIFAT ABSOLUT (MUTLAK).

Dalam Kedaulatan-Nya yang mutlak (absolut) Allah memiliki otoritas penuh sebagai Allah Sang Pencipta, dan itu tidak bisa diganggu gugat oleh siapa pun juga, termasuk manusia ciptaan-Nya. Allah memelihara dan mengatur seluruh alam semesta ini. Allah menetapkan umur manusia yang hidup di dunia ini. Allah menetapkan nasib manusia ciptaan-Nya. Semuanya itu tidak dapat dipungkiri dan memang merupakan ketetapan Allah yang tidak bisa dielakkan dan ditentang.

“Akulah TUHAN dan tidak ada yang lain, yang menjadikan terang dan menciptakan gelap, yang menjadikan nasib mujur dan menciptakan nasib malang; Akulah TUHAN yang membuat semuanya ini.” (Yesaya 45:6-7)

(2) KETETAPAN ALLAH YANG BERSIFAT PERMISSIVE.

Pengertian Allah “menetapkan segala sesuatu” bisa berarti Allah “menetapkan sesuatu pasti terjadi”, juga sebaliknya bisa berarti Allah “menetapkan sesuatu tidak terjadi”, dan itu semua tentu sesuai dengan Kehendak-Nya. Namun kadang Allah juga “menetapkan untuk membiarkan sesuatu terjadi”, sekali pun hal itu di luar kehendak-Nya. 

Allah bisa menetapkan seseorang menjadi seorang yang baik, sesuai dengan kehendak-Nya; tetapi sebaliknya Allah juga bisa menetapkan untuk membiarkan seseorang menjadi orang jahat, sekalipun hal itu di luar kehendak-Nya. Namun yang perlu diingat adalah bahwa Allah sama sekali tidak pernah “mengizinkan” sesuatu yang buruk atau yang jahat terjadi, karena itu bertentangan dengan Kehendak dan Hakekat-Nya yang Suci.

Frasa “Allah menetapkan dosa” memang sering disalah mengerti oleh banyak orang. Padahal sebenarnya itu berarti bahwa Allah ”menetapkan adanya dosa”, sehingga hal itu menunjukkan bahwa Allah bukanlah pencipta dosa. Demikian juga Allah tidak menciptakan manusia berdosa, melainkan Allah “menetapkan untuk membiarkan manusia jatuh ke dalam dosa”. Allah sama sekali tidak pernah “mengizinkan” manusia melakukan sesuatu yang sangat dibenci-Nya.

Kejatuhan Adam dan Hawa ke dalam dosa, hal itu memang sudah menjadi Ketetapan Allah sejak dalam kekekalan. Allah menetapkan dan mengetahui Adam dan Hawa jatuh dalam dosa. Dan Allah “menetapkan untuk membiarkan Adam dan Hawa itu jatuh ke dalam dosa”. Allah mengetahui Adam dan Hawa jatuh dalam dosa, karena mereka memang sudah ditetapkan oleh Allah.

Apabila Allah sudah mengetahui bahwa Adam dan Hawa pasti jatuh dalam dosa, mengapa Allah tetap menciptakan mereka? Jawabnya adalah : karena Allah adalah Kasih. Allah yang adalah Kasih dalam rencana-Nya yang kekal, menghendaki untuk menciptakan manusia sebagai obyek Kasih-Nya itu. 

Dan Allah tetap menciptakan Adam dan Hawa sekalipun Dia tahu bahwa mereka akan jatuh dalam dosa, karena Allah juga sudah menyediakan jalan keselamatan dan pengampunan dosa bagi manusia. Jadi di dalam rencana-Nya sejak kekekalan, Allah memang menetapkan untuk membiarkan Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, dan di dalam Rencana-Nya yang kekal itu pula, Allah telah menyediakan jalan keselamatan dan pengampunan dosa bagi manusia.

Dengan demikian, Penciptaan manusia, Kejatuhan manusia ke dalam dosa, dan Keselamatan di dalam Kristus, semua hal itu merupakan rencana Allah yang agung sejak dalam kekekalan, dan itu merupakan manifestasi Kasih Allah terhadap manusia ciptaan-Nya.

Dalam ketetapan-Nya yang bersifat permissive, kadang Allah “menetapkan untuk membiarkan” seseorang bertindak di luar kehendak-Nya. Oleh sebab itu pula, Alah memberikan kesempatan kepada manusia untuk memilih. Dan Allah membiarkan manusia dengan kebebasan untuk memilih, karena manusia memang tidak diciptakan sebagai robot, melainkan sebagai ciptaan “hampir seperti Allah” (Mazmur 8:5), tetapi bukan sebagai Allah. Manusia diciptakan memiliki “citra Allah”, karena manusia memang diciptakan menurut “rupa dan gambar Allah” sendiri. Dan dalam kebebasan itu, Allah bisa menuntut pertanggungjawaban atas segala apa yang dilakukan oleh manusia.

Kebebasan yang diberikan oleh Allah kepada manusia untuk memilih, ternyata membuahkan kejatuhan manusia ke dalam dosa. Manusia lebih suka menentang Kehendak Allah dan lebih menuruti kehendaknya sendiri. Menginginkan dirinya bisa menyamai dan setara dengan Allah. Menginginkan dirinya bisa menjadi seperti Allah (Kej.3:6). 

Maka Allah memang “menetapkan untuk membiarkan manusia jatuh dalam dosa”. Dengan membiarkan manusia jatuh dalam dosa, maka pada saat-Nya Allah bisa menuntut pertanggung jawaban manusia atas dosa yang diperbuatnya. Allah sama sekali tidak pernah “mengizinkan manusia jatuh dalam dosa”, karena jika Allah “mengizinkan” (bukan “membiarkan”), maka kejatuhan manusia dalam dosa itu bukan menjadi tanggung jawab manusia saja, tetapi juga menjadi tanggung jawab Allah yang memberikan izin itu.

“Sebab itu Aku membiarkan dia dalam kedegilan hatinya; biarlah mereka berjalan mengikuti rencananya sendiri!” (Mazmur 81:12)

(3) KETETAPAN ALLAH YANG BERSIFAT RAHASIA.

Allah Sang Pencipta tentu mempunyai suatu kehendak di mana tidak ada seorang manusia pun yang bisa mengerti dan memahaminya. Ada hal-hal yang tersembunyi yang tidak bisa terjangkau oleh pemikiran manusia yang terbatas, dan hal itu menjadi kehendak rahasia Allah sendiri.

Baca Juga: Doktrin Allah

“Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi TUHAN, Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita sampai selama-lamanya.” (Ulangan 29:29)

Demikianlah, jika kita benar-benar meyakini bahwa Allah Sang Pecipta memiliki Otoritas dan Kedaulatan yang mutlak (absolut) terhadap seluruh ciptaan-Nya termasuk manusia, tentunya tidak akan sulit untuk memahami bahwa Allah menetapkan segala sesuatu. Dan Ketetapan Allah tetap tidak terlepas dari Sifat dan Hahekat Allah yang adalah Kasih, yang Suci dan yang Adil.

“Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Roma 11:36)
Next Post Previous Post