SEPULUH PERINTAH TUHAN (KELUARAN 20:3-17)

Christie Kusnandar.
SEPULUH PERINTAH TUHAN (KELUARAN 20:3-17)
gadget, asuransi, otomotif
Sepuluh Firman Tuhan. 

Pada awalnya pemberian Sepuluh Firman Tuhan kepada Nabi Musa yang dicatatkan dalam Kitab Keluaran 20:3-17 dan dituliskan ulang dalam Ulangan 5:6-18, merupakan suatu ketetapan peraturan dan perjanjian yang harus ditaati dan dilakukan oleh Bangsa Israel (lihat Keluaran 24:1-18)

Dasar dari perjanjian ini bahwa Allah telah melepaskan Bangsa Israel dari perbudakan dan memilih mereka menjadi umat-Nya (Keluaran 19:3-6).Di samping itu perjanjian ini juga merupakan peneguhan janji Tuhan kepada Abraham dan para patriakh (Keluaran 2:24; 3:6) serta dasar penggenapannya (Keluaran 3:20-33) 

Menurut G.E. Wright (1967:68) terdapat beberapa hal yang terkandung dalam perjanjian ini, yaitu:

1. Pemberi perjanjian ini adalah Allah sendiri dengan cara menawarkan berdasarkan anugerah, bukan dengan paksaan.

2. Perjanjian ini merupakan ikatan persekutuan dalam lingkup anugerah dan kasih-Nya antara Allah dengan bangsa pilihan-Nya, yaitu Israel.

3. Perjanjian ini bukanlah ikatan/perjanjian alami karena telah dimulai pada suatu saat tertentu yang didasarkan atas sejarah antara Allah dengan Israel, ketika Allah dengan perbuatan-perbuatan-Nya yang berkuasa melepaskan Israel dari perbudakan di Mesir, sehingga melahirkan suatu sejarah yang sesungguhnya atas Israel.

4. Allah yang kudus berkehendak menyucikan umat pilihan-Nya Israel agar dapat masuk ke dalam lingkungan perjanjian dan persekutuan dengan-Nya, melalui pemberian hukum-Nya (Taurat). Ketika Israel yang berjanji untuk menaati dan melakukan-Nya, maka ia dapat menjadi bangsa yang kudus bagi Allah. 


Dari uraian di atas dapatlah dipahami bahwa isi dari perjanjian tersebut pada awalnya adalah hukum atau Taurat yang ditujukan kepada Bangsa Israel. Atas dasar pemahaman inilah orang-orang menyatakan bahwa Sepuluh Firman Tuhan merupakan Sepuluh Taurat (hukum) Tuhan. Chamblin Knox (1996:280) mengemukakan Taurat adalah aturan hidup yang diberikan Allah kepada umat-Nya, cara yang harus dilakukan umat-Nya dalam menjalani hidup, perintah-perintah yang harus dipatuhi umat-Nya.

Adapun tujuan dari pemberian Sepuluh Firman Tuhan ini ditinjau dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah:

1. Sebagai ukuran standar moral (kebenaran) untuk Bangsa Israel, yang pada waktu itu akan memasuki Tanah Kanaan dengan penduduk aslinya yang memuja allah lain.

2. Sebagai perjanjian antara Allah dengan Bangsa Israel dan menjadikan Israel sebagai umat-Nya.

3. Sebagai standar pengendali kejahatan dalam kehidupan manusia yang semakin merajalela setelah jatuh ke dalam dosa (Boice, 1986:22).

4. Sebagai cermin untuk mengungkapkan dosa yang telah dilakukan manusia kepada Allah.

PEMBAHASAN

Sepuluh Firman Tuhan yang akan ditinjau dalam Etika Kristen akan dibagi dalam dua pokok pembahasan yaitu Kasih Kepada Allah (Firman 1-4) dan Kasih Kepada Sesama Manusia (Firman 5-10), seperti yang disampaikan Tuhan Yesus dalam Matius 22:37- 38. Pada pembahasan ini akan ditinjau pada, yaitu:

I. Kasih Kepada Allah.

1. Firman Pertama: Jangan ada padamu allah lain dihadapan-Ku (Keluaran 20:3)

Dalam Bahasa Ibrani menggunakan kata lo( לא ( untuk menerjemahkan kata jangan atau tidak. Kata lo( לא ( memberikan penekanan larangan yang berarti Allah dengan mutlak tidak mengizinkan Israel melakukan penyembahan kepada allah lain dan dengan sepenuh hati-Nya

Ia berharap agar umat-Nya tidak melakukannya (Gispen, 1982:189). Kata dihadapan-Ku secara harafiah dapat diterjemahkan terhadap wajahKu. Dunnam (1987:252) mengatakan bahwa ungkapan ini mengekspresikan keteguhan Allah bahwa Dia adalah Allah Israel yang Esa, yang berarti hanya Dialah satu-satunya Allah yang ada di dalam dunia. Selain itu firman yang pertama juga berarti jangan mengadakan perjanjian dengan allah orang kafir (bnd. Ulangan 19:29- 31).

Firman yang pertama ini memberikan kita dua pilihan yang harus dipilih di antara Allah dengan allah lain (berhala) yang bukan pencipta, seperti yang dikemukakan J. Verkuyl (1966:58- 59) bahwa Allah tidak mau membagi hak-Nya atas kasih dan hormat kita kepada allah lain. Kita tidak boleh mempertuhankan Allah bersama-sama dengan mammon, 

Baal, Astarte dan berbagai bentuk berhala lama (misal: penyembahan langit, matahari, bulan dan bumi; penyembahan diri sendiri; pemujaan tempat-tempat keramat dan lain-lain) ataupun modern (misal: Sekularisme dan Nihilisme; mamon; pendewaan ilmu pengetahuan dan seks). Allah tidak mengizinkan kita mendua hati (bnd. Yakobus 1:8). Apabila kita terikat kepada Allah, maka akan terbebas dari belenggu dosa, kedagingan dan keduniawian; tetapi kalau kita terlepas dari iman kepada Allah, maka akan terbelenggu dengan hal-hal tersebut

Penyembahan terhadap berhala dapat kita hindari apabila kita sungguh-sungguh menaati kebenaran Firman Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.John R.W. Stott (1991:61) mengemukakan cara untuk menaati Firman Tuhan dengan mengasihi Allah segenap hati, jiwa dan akal budi (bnd. Matius 22:37), kemudian kita harus memandang segala sesuatu dari sudut pandang Allah dan melakukannya melalui pertimbangan yang sesuai dengan kehendak Allah.

2. Firman Kedua: Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, Tuhan, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku, tetapi Aku menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi Aku dan berpegang pada perintah-perintah-Ku (Keluaran 20:4-6).

Pada Firman yang kedua mengajarkan tentang cara seseorang berbakti kepada Allah, yaitu semata-mata harus menuruti kehendak Allah sendiri, bukan dengan cara yang salah seperti membuat dan menyembah patung atau gambar Allah yang Esa (Dunnam, 1987:254).

Dalam bagian firman ini terdapat tiga hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu:

a. Manusia dilarang mematungkan Tuhan dalam bentuk apapun, baik yang ada di langit; di bumi dan juga di dalam air. C. F. Keil dan F. Delitzsch (1981:115) menambahkan, Dengan demikian manusia diminta untuk memberikan penyembahan yang murni hanya kepada Allah, bukan kepada segala jenis mahluk dan benda yang diciptakan. Karena Allah adalah Roh, maka penyembahan kepada-Nya harus di dalam roh dan kebenaran (bnd. Yohanes 4:24) yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.

b. Manusia dilarang sujud menyembah, berdoa, memohon serta memberikan korban kepada patung yang diciptakannya sendiri. Dalam Mazmur 97:7 menyatakan bahwa Allah akan mempermalukan orang yang beribadah kepada patung.

c. Manusia yang beribadah kepada patung akan membawa dampak yang negative kepada anggota keluarganya. Cairns (1986:112) mengemukakan bahwa dosa kepala rumah tangga dapat mempengaruhi dan meracuni hidup setiap anggota keluarga yang tinggal bersamanya. 

Dalam hal ini J. Verkuyl (1966:61) menambahkan, ”Kebaktian yang salah adalah dosa kolektifyang akibatnya akan diderita secara turun temurun… jika seorang membuat kultus kebaktian tertentu maka perbuatan itu merupakan suatu soal kolektif dan janganlah orang itu lupa bahwa dosa itu dapat diperbuat terus sampai turun temurunm bahkan kadang-kadang berabadabad lamanya. Hal ini terbukti dalam sejarah penyembahan patungdalam berbagai agama di dunia. Orang tua dan anak-anak, turun temurun sujud menyembah di dalam kuil dan di depan patung yang sama sampai berabadabad lamanya”

Berdasarkan ketiga uraian tersebut kita dapat memahami alasan Allah melarang manusia menyembah kepada patung, karena patung merupakan benda mati ciptaan manusia yang menggambarkan pemahaman mereka tentang Allah. Selain itu pada umumnya pemujaan dan penyembahan di zaman purba dengan menggunakan patung bertujuan hanya untuk memuaskan keinginan dan hawa nafsu manusia, seperti pemujaan kepada dewa kesuburan tanah yang pada akhirnya berkonotasi pada pelanggaran seks. Oleh karena itu kita sebaiknya tidak berkompromi dengan segala bentuk apapun yang berkonotasi beribadah kepada patung.

3. Firman Ketiga: Jangan menyebut nama Tuhan, Allahnu, dengan sembarangan, sebab Tuhan akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan (Keluaran 20:7)

Menyebut nama Allah dengan sembarangan berarti mempergunakan nama tersebut dengan maksud yang hampa, sembrono, menghina atau tidak tulus (Jones, 1995:170). Karena nama mewakili keberadaan dari pribadi yang memilikinya, maka siapapun akan merasa direndahkan dan dihina apabila namanya dipergunakan dengan tidak hormat. 

Apalagi nama Allah yang menggambarkan sifat dan kepribadian-Nya, ketika kita menggunakannya dengan tidak hormat dan sembarangan, menunjukkan sikap hati kita dihadapan-Nya; bukan sekedar sesuatu yang keluar dari mulut kita. Dengan kata lain ketika kita melakukan perbuatan tersebut berarti kita sudah menurunkan sifat dan kepribadian Allah yang sepatutnya dihormati (Gispen, 1982:189)

Dalam kehidupan sehari-hari hal-hal yang harus dihindari dalam penyalahgunaan nama Tuhan agar tidak terperangkap dalam kebiasaan mendatangkan dosa, seperti mengucapkan janji dan sumpah palsu dalam nama Tuhan, menghujat nama Allah, menyalahgunakan nama Tuhan dalam ilmu tenung atau sihir, menyalahgunakan nama Tuhan dalam nubuat palsu, menyangkal nama Tuhan dan lain-lain.

4. Firman Keempat: Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat: enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaamu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu. Sebab enam hari lamanya Tuhan menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya Tuhan memberkati hari Sabat dan menguduskannya (Keluaran 20:8- 11)

Kata pertama yang digunakan dalam firman ini adalah ingatlah (Ibrani: zakor, ), menunjukkan bahwa ini bukanlah perintah yang baru melainkan sudah diberikan dari sejak lampau pada masa bapa leluhur (lih. Kejadian 2:1-3), namun mungkin telah dilupakanmereka ketika di Mesir (Jones, 1982:170).Allah memberikan kesempatan kepada manusia untuk bekerja selama enam hari, tetapi pada hari ketujuh merupakan hari istirahat/perhentian (Sabat). Menurut Dunnam (1987:260) Hari Sabat adalah peringatan kepada karya Allah dalam penciptaan dan sebagai hari ibadah kepada Dia yang telah menjadikan langit dan bumi ini, serta sebagai hari istirahat bagi manusia dan segala mahluk.

Hari Sabat dalam tinjauan Perjanjian Lama selain merupakan hari perhentian Allah setelah penciptaan alam semesta, juga sebagai tanda ikatan perjanjian antara Allah dengan Israel dalam suatu persekutuan yang Allah sediakan pada hari tersebut. Selain itu Allah juga memahami kebutuhan biologis manusia setelah mereka bekerja harus disertai dengan istirahat.Dengan demikian baik secara teologis (Keluaran 20:8-11, persekutuan dengan Allah) maupun antropologis (Ulangan 5:14-15, kebutuhan manusia untuk beristirahat) Hari Sabat merupakan sarana positif dan baik yang disediakan Allah bagi manusia

Sedangkan dalam tinjauan Perjanjian Baru pemahaman Hari Sabat menjadi sesuatu hal yang sulit dan rumit, ketika orang-orang Farisi memberikan pemahaman dan penekanan yang berlebihan.Padahal sesungguhnya Hari Sabat diadakan untuk kebaikan manusia dan bukannya manusia diadakan untuk Hari Sabat (lih. Markus 2:27-28)

Setelah kedatangan Tuhan Yesus makna Hari Sabat diperbaharui sesuai dengan maksud dan tujuannya semula.Hari Sabat dipahami sebagai hari istirahat yang pada umumnya dilaksanakan pada hari Minggu untuk mengenang peristiwa kebangkitan Tuhan Yesus dan juga merupakan hari persekutuan dengan Tuhan.Dalam hal ini John Stott (1991:62) menegaskan bahwa Hari Sabat merupakan hari istirahat dan hari beribadah

Selain memiliki makna keagaamaan Hari Sabat juga memiliki makna social yang tidak boleh kita abaikan seperti yang dinyatakan oleh Barth (1993:261), “Enam hukum di antara kesepuluh hukum ini bersifat hukum sosial dan hukum Sabat, dengan penekanan yang begitu kuat pada sosial.Sehingga tidak ada salahnya jika kita menggolongkannya juga sebagai hukum perlindungan hak-hak manusia. Betapa eratnya hubungan antara “hak-hak Allah” dan “hak-hak manusia”, hal ini tidak dapat diperlihatkan lebih jelas lagi selain daripada hukum Sabat yang dwisifat tersebut”. Jadi Hari Sabat memiliki makna bahwa Tuhan melindungi kemanusiaan kita agar tidak menjadi budak dari pekerjaan, namun tetap memelihara keseimbangan di antara keduanya.

Walaupun Hari Sabat memiliki makna seperti yang dimaksud di atas, namun kita tidak boleh mengabaikan hal-hal khusus yang berkaitan dengan masalah kemanusiaan seperti misalnya pada bidang rohani, kesehatandan layanan umum.Pada umumnya orang-orang yang bekerja atau melayani pada bidang tersebut diminta untuk tetap melakukan tugasnya berdasarkan kemanusiaan dan juga kepentingan umum. Lalu kepada mereka diberikan hari lain sebagai pengganti hari istirahatnya. Dengan demikian mereka masih memiliki Hari Sabat (istirahat), walaupun dilaksanakan bukan pada hari yang umum (hari minggu) atau biasanya orang-orang lakukan.

II. Kasih Kepada Manusia

5. Perintah Kelima: Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu. (Keluaran 20:12)

Relasi manusia pertama kali dimulai dari sebuah keluarga yang secara umum terdiri dari ayah, ibu dan anak. Keluarga merupakan tempat kebersamaan dalam komunitas yang kecil sebagai persiapan menuju kebersamaan dalam komunitas yang lebih besar, masyarakat. 

Dunnam (1987: 261) menegaskan bahwa keluarga adalah pusat relasi yang didalamnya manusia belajar untuk mulai hidup bersama. Kerangka hidup bersama dimulai dengan memposisikan masing-masing anggota keluarga sesuai dengan fungsi dan tanggungjawabnya. Berdasarkan acuan tersebut manusia meletakkan dasar untuk menghormati orang tua dan orang yang usianya lebih tua

Pemahaman menghormati orang tua sejalan dengan pokok pengajaran dalam Alkitab yang berkaitan dengan perintah kelima. Arti dari perintah ini menurut Keil dan Delitzsch (1981:122) adalah suatu perintah yang mengajak anak-anak untuk menghormati dan menyegani orang tua melalui pikiran, perasaan dan perbuatan. 

Dengan menaati perintah ini maka berkat Tuhan akan menaungi mereka yang melakukannya. Tuhan menjanjikan akan memberikan umur panjang kepada mereka yang menghormati orang tuanya. Janji berkat ini juga ditujukan kepada Bangsa Israel dalam rangka kelangsungan hidup mereka di negeri perjanjian, Palestina (Kanaan), apabila mereka menaati perintah ini (Cox, 1969:246).

Pemahaman lanjut perintah ini memiliki dua makna yang berhubungan erat antara satu dengan yang lain, yaitu kewajiban anak terhadap orang tua dan kewajiban orang tua terhadap anak kewajiban anak terhadap orang tua meliputi pemeliharaan pada masa tua, menaati, menghargai, tidak menyakiti hati dan memaafkan keterbatasan mereka. 

Seperti yang dituliskan John Stott, terlampau mudah seorang anak tidak tahu berterima kasih kepada orang tuanya, menyianyiakan kewajibannya serta tidak menunjukkan penghargaan dan kasih yang seharusnya terhadap mereka. 

Berapa kalikah kita pergi berkunjung atau mengirim surat kepada mereka? Mungkin mereka membutuhkan bantuan berupa uang dan kita dapat memenuhinya, namun kita mengabaikannya. Bahkan ketika Tuhan Yesus mengajarkan perintah yang kelima ini dalam Kitab Matius 15:4-6, menyatakan bahwa seorang anak harus memiliki sikap yang dewasa terhadap bapa-ibunya yang telah lanjut usia (Kiswara, 1992:57)

Sedangkan kewajiban orang tua terhadap anak meliputi kewajiban orang tua untuk mengembangkan harga diri anak, mengajarkan berperilaku yang benar, memberikan teladan hidup dan mengajarkan cara memperoleh keselamatan hidup yang abadi kepada anak-anaknya. 

Stephen Tong (1991:5) menuliskan bahwa jika kita salah mendidik anak dan lalai membawa mereka kepada Yesus Kristus, maka sebagai orang tua, kita akan diadili, dan anak kita yang tidak memiliki Kristus dalam hatinya sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi mereka, akan mendapatkan hukuman selama-lamanya

6. Perintah Keenam: Jangan membunuh (Keluaran 20:13).

Pembunuhan pertama kali di muka bumi terjadi ketika munculnya iri hati dan kebencian dalam diri kakak, Kain terhadap adiknya, Habel; yang keduanya merupakan anak dari Adam dan Hawa (Kejadian 4:1-16). Sejak itulah pembunuhan semakin meluas di dalam dunia, bahkan pada jaman sekarang orang bukan saja sekedar menghilangkan nyawa namun juga tega melakukan mutilasi terhadap orang yang sudah dibunuhnya. Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak lagi memiliki hati yang takut kepada Tuhan.

Kata membunuh dalam Bahasa Ibrani rasah (rasah) memiliki arti pembunuhan yang telah direncanakan terlebih dahulu (Kaiser, 1990:424). Apabila kata ini dibandingkan dengan membunuh tidak sengaja atau membunuh dalam peperangan karena membela dan melindungi diri, maka dalam pemahaman Bangsa Israel seperti yang terdapat dalam Kitab Keluaran 21:12, 22:2 dan Bilangan 35:25 ini bukanlah pembunuhan berencana. 

Pada waktu itu perintah ini diberikan sebagai perlindungan terhadap upaya perusakan kehidupan manusia dalam masyarakat Israel (Buttrick, 1980:986). Makna lebih mendalam dari perintah ini adalah prinsip bahwa manusia memilki pribadi yang harus dihormati karena ia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Keil dan Delizsch, 1981:123).

Menurut pemahaman di atas dapat dimengerti alasan dari pemberian perintah ini yaitu:

a. Merusak gambar dan rupa Allah. Walaupun manusia telah jatuh dalam dosa, namun gambar dan rupa Allah tetap ada dalam dirinya, seperti yang diutarakan Bakker (cet. 6:28) bahwa setelah manusia

jatuh ke dalam dosa, maka gambar dan rupa Allah itu masih meninggalkan bekas-bekasnya.

b. Merusak atau membinasakan anugerah Allah. Packer (1993:44) mengatakan bahwa kehidupan manusia adalah suci, karena hidup adalah anugerah. Dengan demikian setiap manusia yang hidup dalam dunia ini merupakan anugerah dari Tuhan.

c. Setiap nyawa milik Tuhan. Setiap nyawa merupakan milik Tuhan, berarti manusia harus memiliki rasa segan atas nyawa sesamanya (Barth, 1993:326). Oleh karena itu dalam mengakhiri atau menentukan akhir hidup seseorang merupakan hak prerogatif Allah (Stott, 1991:403)

Selain membunuh dalam tindakan, dalam Kitab 1 Yohanes 3:15, Rasul Yohanes menjelaskan bahwa setiap orang yang membenci saudaranya adalah seorang pembunuh manusia. Tuhan Yesus dalam Kitab Matius 5:21-22 menyatakan bahwa akar dari marah dan membunuh adalah kebencian. Dengan kata lain kebenaran Firman Tuhan ini menunjukkan pada kita bahwa membunuh tidak hanya terjadi dalam tindakan, tetapi dapat juga dalam pikiran ketika benih-benih kebencian dimunculkan dalam hidup.

7. Perintah Ketujuh: Jangan berzinah (Keluaran 20:14).

Perintah jangan berzinah menunjukkan kemutlakan yang harus ditaati, karena menurut Manley dan Harrison (1995:316) perintah ini meneguhkan peraturan mengenai suatu hidup suci dalam perkawinan, dan menerangkan peraturan-peraturan terperinci tentang kemurnian kesusilaan dalam perkawinann (lih. Ulangan 21:10-17, 22:1-23, 23:18, 24:1-5, 25:11-12)

Dalam bahasa aslinya, Ibrani kata berzinah yang digunakan dalam Kitab Imamat 20:10 memiliki arti tentang pelanggaran dari pihak laki-laki dalam perzinahan dengan isteri orang lain (Keil dan Delitzsch, 1981: 124). Sedangkan untuk pelanggaran dari pihak perempuan digunakan kata zana (zana), contohnya seperti perbuatan Thamar terhadap bapa mertuanya, Simeon dalam Kitab Kejadian 38:24 (Barth, 1993: 327)

Alasan Allah melarang manusia melakukan perzinahan yaitu melihat tujuan penciptaan seks merupakan kebaikan untuk manusia dalam hal menghasilkan keturunan dan juga persekutuan bersama yang indah antara suami istri. Selain itu tubuh kita adalah bait Roh Kudus (1 Korintus 6:19), maka perzinahan akan mencemarkan bait Roh Kudus

Selain perzinahan, ada beberapa perbuatan seksual yang berkaitan dengan pencemaran bait Roh Kudus seperti masturbasi, prostitusi, homoseksualitas atau biseksualitas (LGBT) dan perzinahan dalam hati ketika menginginkan secara birahi terhadap lawan jenis yang bukan miliknya ataupun sejenis. Hal ini ditegaskan oleh Barclay (1991:248). 

Orang terkutuk adalah orang yang dengan sengaja mempergunakan matanya untuk membangkitkan nafsu birahinya, yang memandang sedemikian rupa sehingga gairahnya bangkit dan dengan sengaja menumbuhkan hawa nafsunya. Disamping itu Bruce manmbahkan bahwa jikalau seseorang memperlakukan wanita manapun sebagai objek seks dan bukan sebagai pribadi menurut haknya maka ia berdosa, apalagi kalau wanita tersebut adalah isterinya sendiri.

8. Perintah Kedelapan: Jangan mencuri (Keluaran 20:15). 

Secara umum dalam kehidupan manusia pelarangan mencuri merupakan suatu standar yang sudah diakui. Demikian pula dalam pemahaman Agama Kristen mencuri merupakan hal yang salah dan pencurian dalam bentuk apapun tidak dibenarkan dalam Alkitab (Boice, 1986:241). Dalam naskah Ibrani kata mencuri memiliki arti yang lebih luas yaitu mencuri manusia (menculik), merampas dan mencuri harta benda yang menekankan makna sosial dari kepemilikan (Kiswara, 1992:80).

Dalam tulisannya Paker menambahkan bahwa dibalik perintah kedelapan ini terdapat pandangan Alkitab tentang konsep milik, yaitu segala yang dimiliki manusia merupakan kepercayaan dari Tuhan. Oleh karena itu tidak ada seorangpun manusia yang memiliki sesuatu secara mutlak, karena sang pemilik adalah Tuhan, manusia sebagai pengelola harus bertanggungjawab terhadap setiap harta benda yang dipercayakan kepadanya. 

Jadi setiap manusia harus bersyukur atas kepercayaan tersebut, dengan tidak bersungut-sungut apabila menerima sedikit atau menjadi angkuh apabila menerima banyak. Contoh pencurian lain yang marak pada saat ini seperti pencurian manusia (jual beli atau penukaran manusia sebagai sandera), perampokan, bajak laut, dosa kikir, menyontek, bermalas-malasan, pencuri waktu, menyogok, berjudi, pemalsuan pajak, bergosip, mencuri pelanggan menggunakan jimat, dan lain-lain (Marx, 1983:33-34)

9. Perintah Kesembilan: Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu (Keluaran 20:16)

Gispen (1982:198) menjelaskan bahwa perintah yang kesembilan ini mengandung makna pemberian perlindungan atas nama seseorang. Pemahaman ini didukung oleh Verkuyl (1966L 271) yang menyatakan Dalam perintah ketiga Allah menuntut supaya kita menghormati nama-Nya, kini dalam perintah kesembilan membela manusia. 

Tuhan yang tidak membebaskan hukuman kepada mereka yang menyebut nama-Nya dengan sia-sia, maka Diapun tidak akan membebaskan dari hukuman kepada mereka yang merusak nama baik sesamanya manusia tanpa alasan atau dengan alasan palsu. Jadi bukan hanya nyawa seseorang, kekayaan dan hidup perkawinan yang perlu dilindungi, namun nama baik seseorangpun perlu dilindungi.

Pemahaman awal dalam perintah ini berkaitan dengan nilai hukum, seperti yang tertulis dalam penulisan aslinya yaitu Janganlah naik saksi menjadi saksi dusta terhadap sesamu manusi. Hal ini berkaitan dengan situasi yang terjadi pada waktu itu di tengah-tengah Bangsa Israel, menurut hukum Taurat kesaksian yang diberikan oleh dua orang dalam suatu pengadilan dapat menentukan seseorang bersalah atau tidak (Keluaran 23:1, Bilangan 35:30, Ulangan 17:6; 19:15; 22:14). 

Dengan kata lain hidup, nama baik dan milik seseorang dapat ditentukan oleh kesaksian dua orang saja. Apabila mereka memberikan saksi dusta akan mendatangkan malapetaka, tetapi saksi yang tidak berdusta akan mendatangkan kebenaran dan kedamaian. Oleh karena itu hal yang berkaitan dengan bersaksi dusta seperti bergosip, berbohong demi keuntungan sendiri, berbohong demi kebaikan, menambahkan informasi terhadap suatu peristiwa dan tidak berani menyampaikan kebenaran; tidak boleh dilakukan (Marx. 1983:35).

10. Perintah Kesepuluh: Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini isterinya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau apapun yang dipunyai sesamamu." (Keluaran 20:17)

Kata mengingini dalam Bahasa Ibrani: hamad, hamad mengandung arti keinginan (Bahasa Inggris: desire), menggambarkan sikap hati seseorang dalam menjalani kehidupannya (Cole; 1973:160). Selain itu kata ini juga mengandung arti mencari keuntungan secara tidak jujur dan tidak terhormat, berkaitan dengan iri hati dalam hal memandang milik orang lain sehingga berkeinginan memilikinya untuk diri sendiri. 

Seperti Raja Ahas dalam Kitab 1 Raja-Raja 21 yang berkeinginan memiliki kebun anggur Nabot, sehingga dengan berbagai cara dilakukannya bahkan sampai menghilangkan nyawa pemiliknya, Nabot (Packer, 1993:62). Jadi keinginan seperti inilah yang dimaksudkan dalam perintah ini, tidak diperkenankan untuk dilakukan

Berdasarkan makna di atas, maka perintah kesepuluh memiliki fungsi untuk mengarahkan keinginan manusia pada hal baik yang memuliakan nama Tuhan, menyatakan kelemahan dan keterbatasan dalam diri manusia dan mengajarkan manusia belajar mencukupkan diri atau merasa puas dengan segala sesuatu yang dimilikinya (Manley dan Harrison, 1995:316)

Packer (1993:63) menegaskan bahwa kepuasan (kecukupan) yang dilukiskan dalam perintah kesepuluh ini merupakan pelindung yang paling baik dalam melawan segala jenis pencobaan yang akan melanggat perintah kelima sampai kesembilan.

Baca Juga: 10 Hukum Taurat: Keluaran 20:3-17

Orang yang tidak puas, keinginan dalam hatinya akan menjadikan ia terikat pada diri sendiri dan melihat orang lain sebagai alat untuk memuaskan nafsu keserakahnnya, tetapi orang yang mencukupkan diri adalah orang yang bebas dengan diri sendiri dan tidak berpusat pada orang lain dalam hal memperalat hak yang mereka miliki.

PENUTUP

Kesimpulan, yaitu:

1. Sepuluh Perintah Tuhan merupakan dasar beretika yang tetap relevan dari waktu ke waktu. Seperti yang dapat dilihat dalam uraian menghormati orang tua, pola yang sama dilakukan dari generasi ke generasi dari sejak jaman dahulu sampai saat ini. Hal ini membuktikan bahwa pola hidup manusia tidak mengalami perubahan. Oleh karena itu manusia memerlukan pedoman yang benar seperti perintah kelima memberikan arahan dalam hal menghormati orang tua.

2. Pemahaman Sepuluh Perintah Tuhan dalam kacamata yang benar harus didasarkan pada tujuan pemberiannya, yaitu sebagai ikatan perjanjian dan persekutuan antara manusia dengan Allah dan sesamanya. Artinya, pada saat manusia melaksanakan perintah Tuhan ini, mereka sedang memelihara ikatan perjanjian dan persekutuan dengan satu-satunya Tuhan yang benar, yaitu Allah Yahweh yang menciptakan alam semesta ini dan juga sedang menjalankan relasi yang seharusnya dengan sesamanya.

3. Sepuluh Perintah Tuhan tetap relevan dari waktu ke waktu membuktikan bahwa ia juga sesuai untuk siapa saja yang memedomaninya sebagai dasar beretika dalam kehidupan sehari-hari. Selain relevan, isi dari Sepuluh Perintah Tuhan ini memuat dasardasar etika dalam hubungan manusia baik dengan Allah, sesama manusia maupun dengan diri sendiri. Dengan kata lain, Sepuluh Perintah Tuhan ini relevan untuk manusia dari berbagai usia, jenjang sosial dan beragam peradaban kebudayaan.
Next Post Previous Post