KONSEKUENSI LOGIS ATAS KELALAIAN BANGSA ISRAEL MEMBAYAR PERSEPULUHAN MENURUT HUKUM TAURAT (4)

Pdt. Samuel T. Gunawan, M.Th.

PERSEPULUHAN (PASAL 4) KONSEKUENSI LOGIS ATAS KELALAIAN BANGSA ISRAEL MEMBAYAR PERSEPULUHAN MENURUT HUKUM TAURAT

“Terkutuklah orang yang tidak menepati perkataan hukum Taurat ini dengan perbuatan.Dan seluruh bangsa itu haruslah berkata: Amin!” (Ulangan 27:26; Bandingkan Ulangan 28:15; 29:25).

Kata “hukum Taurat” dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari kata Ibrani “torah”, dan hukum Perjanjian Lama ini meliputi perintah-perintah (miswáh), ketetapan-ketetapan (hōq), dan peraturan-peraturan (mispát). 
KONSEKUENSI LOGIS ATAS KELALAIAN BANGSA ISRAEL MEMBAYAR PERSEPULUHAN MENURUT HUKUM TAURAT (4)
gadget, bisnis, otomotif
Lebih dari 600 hukum terdapat di dalam kitab Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Maksud perundang-undangan Alkitabiah ini adalah untuk menertibkan dan mengatur hidup peradilan Israel di bidang perdata, keagamaan, dan pidana sesuai dengan kekudusan yang diperlukan untuk memelihara hubungan kovenan dengan Yahweh. Dalam tradisi Yahudi, hukum atau petunjuk yang ada dalam Pentateukh (lima kitab Musa) berjumlah 613 yang dibagi menjadi 365 berupa perintah negatif dan 248 berupa perintah positif.

HUKUM TAURAT BERSIFAT BERSYARAT DAN MENGIKAT SERTA MEWAJIBKAN

Bagian terbesar dari perundang-undangan Perjanjian Lama terdapat dalam Keluaran 20 sampai dengan Ulangan 33, dan seluruhnya berasal dari persetujuan kovenan atau upacara-upacara pembaharuan di gunung Sinai dan gunung Nebo. 

Menurut Andrew E. Hill dan John H. Walton, “Hukum Perjanjian Lama adalah hukum kovenan; hukum itu berdasarkan perjanjian yang mengikat dan mewajibkan dua pihak yang berbeda”. Eugene H. Merrill mengatakan “hukum kovenan yang diberikan Tuhan kepada bangsa Israel (Bandingkan Keluaran 19:4-6) dan diterima oleh bangsa Israel (Keluaran 19:8) adalah bersyarat”. Herbert Wolf mengatakan, “hal tersebut jelas tidak diragukan mengingat bentuk hukum itu sendiri merupakan suatu perjanjian (kovenan)”. 

Selanjutnya Herbert Wolf menambahkan, “satu-satunya cara Israel dapat gagal ialah apabila mereka melanggar syarat-syarat perjanjian yang diikat Allah dengan mereka di gunung Sinai”. Karena “pada umumnya, hukum Perjanjian Lama terdiri atas ketentuan-ketentuan kovenan yang menyatakan dan bersifat menentukan bagi kehidupan umat Ibrani (yang bersifat amat harfiah dalam Ulangan 30:15-18)”. Jadi, “Tuhan telah mengambil prakarsa dan Israel menerima tanggung jawab untuk ikut serta dan taat”.

Jelaslah bahwa sifat perjanjian hukum Taurat tersebut bersyarat. Artinya perjanjian tersebut menuntut syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang Israel. Menurut Harun Hadiwijono ada 3 (tiga) hal yang termasuk dalam syarat perjanjian tersebut, yaitu: 

(1) Adanya unsur Kitab Perjanjian (Keluaran 24:7), yang berisi segala firman Tuhan serta peraturan-peraturan Tuhan yang harus dipenuhi oleh umat Israel. 

(2) Perjanjian Sinai ini didasarkan atas persetujuan bersama, sekalipun inisiatif atau prakarsanya datang dari Tuhan sendiri (Kejadian 20:1). Apakah perjanjian ini mempunyai kekuatan atau tidak seolah-olah bergantung dari umat Israel, yaitu Israel menaati atau tidak segala peraturannya (Keluaran 23:22-25). 

(3) Di dalam perjanjian ini sering disebutkan adanya kemungkinan, bahwa Israel akan memutuskan perjanjian, umpamanya dalam Imamat 26:15 dan Ulangan 31:20. Jikalau Israel memutuskan perjanjian, Tuhan juga akan berbuat demikian (Imamat 26:44), sekalipun firman ini hanya berwujud ancaman (Bandingkan Imamat 26:25; Ulangan 29:21).

Namun, yang seringkali diabaikan oleh banyak orang Kristen tentang hukum Taurat ialah, fakta bahwa hukum Taurat itu diberikan kepada bangsa Israel setelah Allah terlebih dahulu membangun perjanjian dengan mereka berdasarkan kasih karuniaNya. Jadi, “kita harus ingat bahwa hukum-hukum itu berkaitan dengan perjanjian yang berdasarkan kasih karunia... Hanya sesudah hubungan perjanjian dibangun, berdasarkan kasih karunia Allah, persyaratan hukum itu diberikan. 

Kita tidak pernah boleh melupakan bagaimana perjanjian dan hukum itu berkaitan. Sesudah Allah membangun perjanjian berdasarkan kasih karunia dengan umatNya, Dia memberikan persyaratan hukum itu. Tuhan Allah Israel yang menetapkan perjanjian-perjanjian ini dan menentukan syarat-syaratnya. Perjanjian yang ditetapkanNya dengan bangsa Israel itu murah hati. Bukan berdasarkan perbuatan atau kelayakan, melainkan sepenuhnya karena belas kasihan dan anugerah Allah. Bahkan berkat tidak diperoleh berdasarkan usaha atau kelayakan, karena berkat-berkat itu diberikan sebagai upah ketaatan, bukan sebagai upah perbuatan. 

Craig L. Blomberg mengatakan, “Pada waktu yang bersamaan, ketaatan terhadap hukum Taurat dapat menjamin bagi bangsa Israel bahwa mereka secara kolektif akan memperoleh kekayaan material (Lihat misalnya: Imamat 26:3-5, 9-10; Ulangan 11:26-32; 28:1-14; 30:11-20; Yosua 8:30-35). Kekayaan bisa menjadi suatu tanda dari berkat Allah meskipun hal itu tidak selalu terkait dengan ketaatan umat Israel sebagai pribadi ataupun suatu bangsa”.

KLASIFIKASI HUKUM TAURAT

S. Wismoady Wahono, seorang guru besar Perjanjian Lama di STT Jakarta, menjelaskan klasifikasi hukum Taurat berdasarkan bentuknya, yaitu: 

(1) Bentuk kasuistik, di mana bentuk ini terdapat dalam hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang mengenai kasus-kasus peristiwa. Disitu peristiwa-peristiwa ditangani secara satu-satu kasus. Kasus peristiwa yang satu tidak sama dengan kasus peristiwa yang lain; 

(2) Bentuk apodiktik, di mana bentuk ini biasanya terdapat dalam hukum atau peraturan yang melarang, menyuruh atau mengharuskan orang Israel untuk berbuat sesuatu. Larangan, suruhan, atau pengharusan itu biasanya disertai alasan. 

Serupa itu Robert H. Stein menjelaskan demikian, “Hukum Taurat dalam Alkitab dapat digolongkan menurut bentuknya menjadi dua macam: hukum kasuistik dan hukum apodiktik. Hukum yang pertama adalah hukum kasus demi kasus, yang biasanya seperti ini: Bila A terjadi, maka akibatnya adalah B. Hukum kasuistik biasanya melibatkan materi sekuler atau sipil. Namun, hukum apodiktik bersifat deklaratif dan kategoris. Hukum ini cenderung berisi larangan, perintah, dan petunjuk. Kedua hukum ini sering bersifat mendalam dan dimengerti sebagai perintah Allah yang lengkap, dan cenderung lebih bersifat religius”.

Sementara itu, Andrew E. Hill dan John H. Walton lebih spesifik lagi membagi hukum Taurat ke dalam beberapa sub kategori yang penting dalam hukum kovenan tersebut seperti berikut ini: 

(1) Hukum kasuis atau hukum kasus, biasanya dikemukakan dalam rumusan yang bersyarat “jika/apabila... maka”, membuat rujukan pada rujukan tertentu yang bersifat hipotesis. Misalnya sebagai contoh dalam Ulangan 22:22. 

(2) Hukum apodiktis atau perintah-perintah langsung yang bersifat afirmatif dan negatif yang menetapkan batas-batas perilaku yang pantas dalam masyarakat Ibrani. Misalnya sebagai contoh dalam Keluaran 20;3 dan Keluaran 20:12. 

(3) Larangan atau perintah negatif yang menujuk ada pelanggaran hipotesis dan tidak menetapkan hukuman yang pasti. Misalnya sebagai contoh dalam Imamat 19:14. 

(4) Hukuman mati, paduan dari larangan yang membuat suatu pernyataan hukum yang jelas tentang berbagai kejahatan khusus yan patut dijatuhi hukuman mati. Misalnya sebagai contoh dalam Keluaran 21:15. 

(5) Kutukan, pengembangan dari hukum kematian ditujukan untuk kejahatan-kejahatan yang dilakukan secara tersembunyi. Kutukan dimaksudkan untuk melindungi masyarakat kovenan dari kenajisan sebagai akibat dari pelanggaran terhadap ketetapan perjanjian dan mendatangkan hukuman ilahi atas pelaku kejahatan tersebut. Misalnya sebagai contoh dalam Ulangan 27:17; dan Ulangan 27:24).

Andrew E. Hill dan John H. Walton juga menambahkan dalam penjelasannnya bahwa, “Isi dari hukum Timur Kuno dapat diringkas di bawah tiga pokok: hukum perdata, hukum seremonial dan hukum penyembahan. Subbagian hukum perdata meliputi perkawinan dan keluarga, warisan, harta milik, budak, utang, pungutan pajak, dan upah. 

Pokok-pokok tambahan yang umum di bawah hukum seremonial adalah pembunuhan, perzinahan dan pemerkosaan, pencurian, penyimpangan seksual, kesaksian palsu, penyerangan, dan utang-piutang. Hukum penyembahan mengatur atau mengorgnisasikan undang-undang di bawah empat bagian utama, meliputi korban-korban, persembahan, pengudusan, cara atau sasaran penyembahan, dan pelaksanaan hari raya”.

Namun, menurut Charles C. Ryrie, “secara umum hukum Taurat dibagi menjadi tiga bagian: moral, seremonial, dan yudisial. Sepuluh perintah Allah merupakan bagian dari moral (Keluaran 34:28). Peraturan-peraturan dimulai pada Keluaran 21:2 dan memuat suatu daftar peraturan mengenai hak-hak di antara orang laki-laki dengan peraturan-peraturan yang menyertai tentang ketentuan-ketentuan bagi para pelanggarnya. Bagian seremonial mulai dari Keluaran 25:1 dan mengatur kehidupan ibadah umat Israel”. 

Masih menurut Charles C. Ryrie, dalam teologi Kristen pembagian hukum Taurat menjadi tiga (moral, seremonial, dan yudisial) tersebut hampir secara universal di terima. Nampaknya, Kevin J. Conner dan Ken Malmin, juga mengakui pembagian hukum Taurat ke dalam tiga bagian tersebut (moral, seremonial, dan yudisial). Perhatikan pernyataan berikut, “Di gunung Sinai Allah membawa bangsa itu ke dalam aturan Musa. Pengaturan tersebut meliputi hukum moral, hukum sipil, dan hukum seremonial. Hukum seremonial mencakup Kemah Suci, keimaman, persembahan kurban, perayaan, dan hari Sabat”.

PERSEPULUHAN DAN KUTUK HUKUM TAURAT

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat di ketahui bahwa pemberian persepuluhan merupakan suatu hal yang diwajibkan bagi orang Israel yang diatur dengan jelas di dalam hukum Taurat. Namun, walau pemberian persepuluhan itu diwajibkan, pada kenyataannya tidak ada hukuman yang sifatnya langsung diberikan kepada orang Israel karena tidak memberikan persepuluhan. 

Jika kita meneliti hukum-hukum lainnya yang diberikan Allah kepada umat Israel maka kita akan menemukan adanya hukuman yang diberikan kepada orang Israel yang gagal mematuhi hukum-hukum tersebut. Misalnya, pelaku homoseksual adalah kekejian bagi Tuhan. Hal tersebut bukan hanya pelanggaran moral atau etika, tetapi merupakan kriminalitas (kejahatan) dihadapan Tuhan yang patut dihukum mati (Imamat 18:22; 20:13). 

Contoh lainnya adalah tentang minyak urapan dalam Keluaran 30:22-31. Di situ dijelaskan bahwa minyak urapan itu khusus dan kudus, maka tidak boleh digunakan secara sembarangan dan tidak digunakan untuk benda-benda atau orang-orang biasa. Penggunaan minyak urapan untuk orang biasa merupakan pelanggaran langsung terhadap perintah Tuhan dan berakibat hukuman mati (Keluaran 30:32-33). Dari kedua contoh tersebut kita melihat bahwa adanya hukuman merupakan konsekuensi logis dari pelanggaran terhadap hukum.

Tetapi dalam hal persepuluhan, kita tidak menemukan adanya hukuman yang langsung diberikan kepada orang Israel karena tidak memberikan persepuluhan. Bahkan tidak ada perintah kepada orang Yahudi untuk menghukuman orang lain karena tidak membayar persepuluhan. Tidak adanya hukuman langsung yang diberikan kepada orang Israel karena tidak memberikan persepuluhan tersebut bukan berarti tidak ada konsekuensi dari kesengajaan melalaikan kewajiban ini. 

Karena pada dasarnya, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa hukum Perjanjian Lama adalah hukum kovenan dan hukum perjanjian itu bersifat bersyarat, mengikat dan mewajibkan untuk dilaksanakan. Jika hukum Taurat itu tidak dilaksanakan dengan patuh atau dilanggar, maka akan mendatangkan kutukan. Dikatakan demikian, “Terkutuklah orang yang tidak menepati perkataan hukum Taurat ini dengan perbuatan. Dan seluruh bangsa itu haruslah berkata: Amin!” (Ulangan 27:26; Bandingkan dengan Ulangan 28:15; 29:25). 

Mengenai berbagai kutuk dalam hukum Taurat itu Herbert Wolf menjelaskan, “Ulangan Pasal 28 seperti Imamat 26, juga mulai dengan sekitar dua belas ayat berisi berkat, tetapi kutuk-kutuk yang disebutkan sesudahnya bahkan jauh lebih banyak dibanding dengan yang ada dalam Imamat. Bersama dengan peringatan-peringatan tambahan dalam pasal 29 dan 30, kutuk-kutuk ini merupakan semacam klimaks untuk seluruh Pentateukh (kitab Taurat), serta mendesak orang Israel untuk menanggapi Allah dengan ketaatan dan dengan demikian mereka dapat terlepas dari hukuman yang keras yang telah tersedia jika mereka tidak taat”. 

Kutuk-kutuk dalam Ulangan 28 dan 29 itu dapat dikategorikan menjadi: (1) kutuk kemarau dan panen yang gagal; (2) kutuk penyakit dan kebutaan; (3) kutuk penyerbuan dan penawanan; (4) kutuk kehinaan dan nama buruk.

Lebih lanjut Herbert Wolf juga mengatakan, “Petunjuk yang kuat mengenai pentingnya pasal-pasal ini adalah penekanannya dalam kitab-kitab nubuat. Dalam nabi-nabi besar dan nabi-nabi kecil, berulang-ulang terdapat alusi kepada berbagai kata dan konsep tertentu dalam Ulangan pasal 28-29. Hukuman yang diumumkan oleh para nabi dihubungkan secara langsung dengan kutuk-kutuk yang diuraikan oleh Musa, sehingga tidak diragukan lagi bahwa kesukaran yang dialami Israel telah disebabkan oleh ketidaktaatan mereka. Bangsa itu melanggar syarat-syarat Perjanjian Musa dan dengan demikian mendatangkan murka Allah dan pemenuhan nubuat kutuk-kutuk itu”.

Eugene H. Merrill juga menjelaskan mengenai kutuk hukum Taurat yang dihubungkan dengan pelanggaran perjanjian sebagai berikut, “Prinsip yang dikemukakan bahwa berkat dan kutuk (Ulangan 11:26-32) akan mengikuti sesuai dengan bagaimana sikap Israel terhadap: 

(1) pemeliharaan Tuhan pada masa lalu (ayat 1-7), 

(2) JanjiNya untuk memberikan negeri yang baik (ayat 8-17), 

(3) ketaatannya kepada perintah pada syarat-syarat perjanjian (ayat 18-25)”. 

Lebih lanjut dijelaskannya, “Bagian berisi kutuk dalam Imamat 26:14-39 mengaitkan kutuk dengan pelanggaran perjanjian (ayat 15), suatu pembangkangan yang akan membalikkan janji-janji kesuburan, kemakmuran, dan keamanan negeri itu. Kedurhakaan yang berkelanjutan akhirnya akan membuat bangsa itu dibuang dan negerinya akan menjadi tandus, suatu kebalikan dari peristiwa keluaran itu sendiri dengan bangsa yang sekaligus hamba TUHAN itu menjadi budak dari tuhan yang lain”.

Dengan demikian, konsekuensi dari kelalaian menjalankan kewajiban persepuluhan itu melekat pada kewajiban untuk menaati seluruh perintah dalam hukum Taurat. Sebab jika tidak melaksanakan dengan patuh maka sebagai akibat dari pelanggaran terhadap ketetapan perjanjian itu akan mendatangkan hukuman ilahi berupa kutukan. 

Berdasarkan pemahaman inilah kita dapat mengerti mengapa Tuhan, melalui nabi Maleakhi mengatakan bahwa bangsa Israel telah kena kutuk karena tidak taat menjalankan hukum Taurat, termasuk ketidakpatuhan dalam memberikan persembahan persepuluhan. Tuhan berfirman melalui nabi Maleakhi demikian, “Sejak zaman nenek moyangmu kamu telah menyimpang dari ketetapanKu dan tidak memeliharanya. Kembalilah kepadaKu, maka Aku akan kembali kepadamu, firman TUHAN semesta alam. Tetapi kamu berkata: "Dengan cara bagaimanakah kami harus kembali?" Bolehkah manusia menipu Allah? Namun kamu menipu Aku. Tetapi kamu berkata: ‘Dengan cara bagaimanakah kami menipu Engkau?’ Mengenai persembahan persepuluhan dan persembahan khusus! Kamu telah kena kutuk, tetapi kamu masih menipu Aku, ya kamu seluruh bangsa!” (Maleakhi 3:8-9). 

Catatan pinggir The Learning Bible Contemporary English Version menjelaskan Maleakhi 3:8 demikian, “Umat Israel diharapkan memberikan kepada TUHAN sepersepuluh dari semua hasil panen dan ternak mereka (Imamat 27:30-33; Bilangan 18:20-32; Ulangan 12:5-19; 14:22-29; Nehemia 13:12). Sepuluh persen itu kepunyaan Allah. Bagian itu akan digunakan sebagai kurban dalam bait Allah dan untuk menopang hidup imam-imam dalam bait Allah serta keluarga mereka. Tidak memberikan persembahan yang diwajibkan berarti menipu Allah dan lalai mendukung pelayan-pelayan Allah, yaitu para imam”.

Mengomentari Maleakhi 3:7-9 tersebut, Burton L. Goddard, seorang profesor bidang Eksegese dan Bahasa-bahasa Alkitab, Gordon Divinity School menjelaskan: 

(1) frase “menyimpang dari ketetapanKu” dalam ayat 7 adalah bahwa ketetapan-ketetapan yang di maksudkan disini adalah berbagai persyaratan yang menyangkut persembahan persepuluhan dan persembahan khusus. Dan bila bangsa ini bertobat dan kembali kepada Tuhan, maka mereka akan dipulihkan untuk menerima kembali kemurahan Tuhan; 

(2) Maksud frase “namun kamu menipu Aku” dalam ayat 8 menujuk kepada kesalahan dalam penatalayanan persepuluhan dan persembahan khusus. 

Kesalahan dalam penatalayanan tersebut sama saja dengan menipu atau mencuri. Persepuluhan mengacu pada Imamat 27:30-33; Bilangan 18:20-32; Ulangan 14:22-29. Sedangkan persembahan khusus adalah kata Ibrani “terûmâ” mengacu pada pemberian sukarela yaitu pemberian hasil pertama, pemberian pajak setengah syikal untuk tempat kudus, dan persembahan-persembahan korban untuk para imam (Keluaran 30:13; Imamat 7:14; Bilangan 15:19-21; Imamat 18:26-29); (3) Sedang kutuk (kherem) yang dimaksudkan dalam ayat 9 adalah hukuman yang dihubungkan dengan Maleakhi 2:2 yang akan menimpa bangsa yang bersalah itu secara menyeluruh. 

Nampaknya bangsa Israel telah berpura-pura dalam memenuhi hukum Taurat, dengan memberikan sebagian persepuluhan di hadapan Allah tetapi bukan semua yang diharuskan oleh hukum Taurat. Karena itu kutuk ditimpakan kepada keseluruhan bangsa Israel.

Perlu diketahui, bahwa tema yang menonjol dalam nubuat Maleakhi adalah hubungan Perjanjian Israel dengan Yahweh (TUHAN) dan berbagai akibatnya. Secara khusus nabi itu mengutip perjanjian Lewi (Maleakhi2:9), Perjanjian bapa leluhur dan perjanjian pernikahan (Maleakhi 2:10-16), dan utusan perjanjian itu (Maleakhi 3:1). 

Maleakhi mengingatkan umat Israel akan kedudukan Tuhan yang berdaulat sebagai Bapa dan Penguasa dan sebagai pembuat perjanjian (bandingkan Ulangan 32:6-12). Sebagai Bapa dan Penguasa, Dia layak diperlakukan dengan penuh hormat sesuai dengan hubungan ikatan perjanjian (keluaran 20:12; Ulangan 31:1-10). Sebagai pembuat perjanjian, Tuhan juga menjadi pemelihara perjanjian (Keluaran 34:6-7; Mazmur 111:9), yang tidak berubah dan setia pada firmanNya (Maleakhi 3:6; Ulangan 7:6-11).

Namun perlu ditegaskan, bahwa kelalaian bangsa Israel dalam mengembalikan persembahan persepuluhan dan persembahan khusus bukanlah satu-satunya kesalahan yang ditegur keras oleh Maleakhi sehingga menyebabkan mereka terkena kutuk. 

Melalui nubuatannya, Maleakhi membandingkan ketidaksetiaan Israel dengan kesetiaan Tuhan, sambil mengutip pelanggaran-pelanggaran khusus terhadap ketetapan-ketetapan perjanjian, yaitu: (1) keimaman yang korup dan puas dengan dirinya; (2) ibadah yang membosankan dan tidak sungguh-sungguh menjadi korban pujian yang penuh sukacita; (3) penyalahgunaan yang menyangkut persepuluhan dan korban-korban di bait suci; (4) perceraian dan putusnya hubungan keluarga. 

J. Wesley Adam mengatakan demikian, “kemunduran yang kemudian terjadi di kalangan imam dan umat itu (kira-kira 433 SM). Tambahan pula, suasana dan pengabaian rohani yang disebut Maleakhi sangat mirip dengan situasi yang dijumpai Nehemia ketika kembali setelah tinggal beberapa waktu di Persia (433-425 SM) untuk melayani sebagai gubernur kali kedua di Yerusalem (bandingkan Nehemia 13:4-30). 

Ketika itu, (a) para imam telah menjadi korup (Maleakhi 1:6-2:9; Nehemia 13:1-9), (b) persepuluhan dan persembahan diabaikan (Maleakhi 3:7-12; Nehemia 13:10-13), dan (c) perjanjian pernikahan dilanggar ketika para suami menceraikan istri Ibrani mereka untuk menikahi wanita kafir (mungkin lebih muda dan cantik) (Maleakhi 2:10-16; Nehemia 13:23-28)”.

JANJI BERKAT SEBAGAI BALIKAN KUTUK TAURAT

Herbert Wolf mengatakan, “Baik di Imamat pasal 26 maupun Ulangan 28, kutuk-kutuk karena ketidaktaatan diuraikan, dan kedua pasal ini menjadi suatu nubuat yang tragis tentang malapetaka yang akan menimpa bangsa itu. Tetapi sekalipun kutuk itu mulai terasa dan Israel menderita bencana demi bencana, Allah masih berjanji bahwa dengan rahmani Ia akan memulihkan umatNya. Bila umat ini mengakui dosa-dosa mereka lalu berbalik kepada Tuhan dengan segenap hatinya, maka Ia akan menyelamatkan mereka dari negeri-negeri asing dan membawa mereka kembali ke Kanaan (Imamat 26:40-45; Ulangan 30:1-10)”. 

Mengometari kitab Maleakhi J. Wesley Adam mengatakan, “Maleakhi memperhadapkan para imam dan umat itu dengan panggilan kenabian : (1) agar bertobat dari dosa-dosa dan kemunafikan agama mereka sebelum Allah datang tiba-tiba dengan hukumannya; (2) agar menyingkirkan semua rintangan ketidaktaatan yang menghalangi arus kemurahan dan berkat Allah; dan (3) agar kembali kepada Tuhan dan perjanjianNya dengan hati yang tulus dan taat.”

Mengenai persepuluhan, setelah menegur kesalahan Israel, Tuhan melalui nabi Maleakhi kemudian mengajak Israel untuk “Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumahKu dan ujilah Aku, firman TUHAN semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan. Aku akan menghardik bagimu belalang pelahap, supaya jangan dihabisinya hasil tanahmu dan supaya jangan pohon anggur di padang tidak berbuah bagimu, firman TUHAN semesta alam. Maka segala bangsa akan menyebut kamu berbahagia, sebab kamu ini akan menjadi negeri kesukaan, firman TUHAN semesta alam” (Maleakhi 3:10-12). 

Burton L. Goddard, mengatakan, “Dan bila bangsa ini bertobat dan kembali kepada Tuhan, maka mereka akan dipulihkan untuk menerima kembali kemurahan Tuhan”.

Douglas Stuart, profesor Perjanjian Lama di Gordon Conwell Theological Seminary dan Gordon D. Fee, profesor Perjanjian Baru di Regent College, Vancouver, British Columbia, di mana kedua pakar teologi ini ketika mengulas tentang persepuluhan dalam Ulangan 14:28-29 menuliskan demikian, “Sudah tentu, semua hukum Israel dimaksudkan untuk menjadi sarana berkat bagi umat Allah (Imamat 26:3-13). 

Akan tetapi, beberapa hukum secara khusus menyebutkan bahwa hal mematuhi hukum-hukum itu akan menjadi berkat. Hukum persepuluhan pada tahun ketiga dalam Ulangan 14:28-29 menyatakan berkat terhadap ketaatan. Jikalau orang-orang tidak mempedulikan kebutuhan orang-orang di antara mereka, yaitu orang Lewi, yatim piatu dan janda-janda, maka Allah tidak dapat memberikan kemakmuran. Persepuluhan itu adalah milikNya, dan Ia telah menetapkan bagaimana menggunakannya. 

Jikalau perintah ini dilanggar, maka hal itu merupakan pencurian uang Allah. Hukum ini memberikan keuntungan bagi yang membutuhkan pertolongan (sistem kesejahteraan Perjanjian Lama ditetapkan dengan baik), dan menguntungkan bagi mereka yang membantu orang-orang yang kekurangan. Hukum seperti itu tidak membatasi ataupun menghukum. Sebaliknya, hukum itu menjadi suatu wahana bagi perbuatan yang baik, dan hukum sedemikian mengandung pelajaran untuk kita maupun untuk orang Israel pada zaman dahulu”.

KASIH KARUNIA DAN HUKUM TAURAT

Marcion yang hidup pada abad kedua mengajarkan bahwa Allah dalam Perjanjian Lama adalah Allah yang menciptakan dan yang sangat tegas dalam menjalankan keadilan, sedangkan Allah Perjanjian Baru adalah Allah yang penuh kasih. 

Marcion juga berpandangan bahwa keselamatan hanya diberikan kepada orang yang menyangkal Perjanjian Lama dan menyerahkan diri kepada Allah yang mengutus Yesus Kristus. Dualisme Marcion tentang Allah tersebut jelas bertentangan dengan ajaran Alkitab karena Allah Perjanjian Lama yang memberikan Taurat dan Allah dalam Perjanjian Baru yang menyatakan diri dalam Kristus adalah Allah yang sama. 

Henry C. Thessen menyatakan, “Taurat dan kasih karunia ternyata saling melengkapi bila sifat dan maksudnya dipahami dengan benar”. Dengan menggambarkan bahwa Allah Perjanjian Lama dan Allah Perjanjian itu berbeda membawa Marcion pada penolakannya terhadap kesatuan Alkitab. Dampak dari ajaran Marconisme ini masih terasa hingga hari ini, yaitu adanya orang-orang yang mengontraskan Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru.

Kevin J. Conner menjelaskan keselarasan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sebagai berikut, “Alkitab berisi dua bagian utama, Perjanjian Lama dan Baru, yang keduanya memiliki penekanannya yang unik. Namun, masing-masing tidak lengkap tanpa yang lain dan masing-masing saling melengkapi secara sempurna. 

Ada sekitar 6.600 referensi silang di antara keduanya yang mendukung keterkaitan mereka. Telah dikatakan bahwa: Perjanjian Baru dimasukkan dalam Perjanjian Lama, Perjanjian Lama dijelaskan dalam Perjanjian Baru; Perjanjian Baru dibungkus dalam Perjanjian Lama, Perjanjian Lama disingkapkan dalam Perjanjian Baru; Perjanjian Baru disembunyikan dalam Perjanjian Lama, Perjanjian Lama diungkapkan dalam Perjanjian Baru”. 

Henry C. Thiessen menyatakan, “Sekalipun Alkitab ditulis oleh sekitar empat puluh penulis berbeda selama rentang waktu sekitar 1.600 tahun, amanatnya satu. Alkitab mempunyai satu sistem doktrinal, satu tolok ukur moral, satu rencana keselamatan, satu program untuk segala zaman”. Selanjutnya Thiessen menjelaskan alasan kesatuan tema Alkitab tersebut demikian, “Hanya Allah, yaitu Dia yang mengilhami seluruh Alkitab, dapat memberikan kesatuan pandangan yang dimiliki oleh Alkitab”.

Orang-orang yang mengontraskan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru itu perlu benar-benar mempertimbangan bahwa: (1) Allah Perjanjian Lama dan Allah Perjanjian Baru itu satu dan Allah sama adanya; (2) Pewahyuan Allah tentang diriNya dan rencana keselamatan serta penggenapannya bersifat progresif. Karena tidak memahami kedua hal ini, orang-orang tersebut akhirnya berkesimpulan bahwa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru itu memang berbeda secara tajam dan tidak memiliki kesinambungan. 

Saya meyakini bahwa memang Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam hal tertentu memiliki perbedaan namun merupakan suatu kesatuan yang harmonis jika dilihat dari: 

(1) Kasih karunia Allah yang didemonstrasikan di sepanjang sejarah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. 

(2) Pewahyuan Allah yang bersifat progresif; dan 

(3) Kristus sebagai sentralitas (pusat) berita Alkitab.

Karena point (2) dan point  (3) sudah saya jelas pada bagian satu dalam buku ini, maka saya hanya akan menjelaskan secara ringkas point (1) seperti berikut ini. Kasih karunia Allah jelaslah didemonstrasikan di sepanjang Perjanjian Lama dan Allah Perjanjian Baru. Hubungan keselamatan dengan anugerah dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah sebagai berikut, “Keselamatan, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, sebelum dan sesudah karya pendamaian Kristus dalam kematianNya di kayu salib, selalu tetaplah sama, yaitu karena kasih karunia yang di terima melalui iman. 

Dasar keselamatan dalam setiap zaman adalah kematian Kristus (dalam Perjanjian Lama, kematian hewan korban merupakan perlambang dari kematian Kristus). Persyaratan bagi penerimaan keselamatan dalam setiap zaman adalah iman (Efesus 2:8). Objek iman dalam setiap zaman adalah Tuhan sendiri (Ibrani 11:6), namun cara Allah menyingkapan keselamatan itu berbeda-beda, khususnya dalam Perjanjian Lama (yang lebih berhubungan dengan Taurat atau hukum Musa) dan Perjanjian Baru (yang lebih berhubungan dengan berita Injil).”

Keluaran 33:12-19 merupakan satu bagian dari ayat-ayat di Perjanjian Lama yang membicarakan tentang kasih karunia. Hal ini untuk menunjukkan bahwa kasih karunia Allah itu bukanlah hanya khas Perjanjian Baru tetapi juga telah ada dalam Perjanjian Lama. Bahkan kepada Musa dan Israel yang hidup pada masa regulasi hukum Taurat berlaku, kasih karunia Allah tetap ada, dan akan selalu tetap ada. 


Kevin J. Conner mengatakan, “Bahkan di bawah hukum Musa, atau ketetapan hukum Taurat, kasih karunia Allah diwujudkan dan disimbolkan. Ini khususnya terlihat dalam Tabernakel Musa, perayaan-perayaan Tuhan, dan keimaman Harun, dan kurban-kurban serta persembahan dari hukum upacara. Darah kurban atas tempat pendamaian Tabut Perjanjian, yang menutupi loh-loh batu Hukum Taurat, sebenarnya adalah wahyu kasih karunia dibawah masa Hukum Taurat. Sekalipun pada umumnya bangsa Israel tidak mengenali hal tersebut, ada sejumlah kecil orang yang setia dan sungguh-sungguh memandang kasih karunia Allah dalam sikap ini”.

Pertanyaannya adalah “Mengapa kasih karunia akan selalu tetap ada?” Karena kasih karunia merupakan salah satu atribut moral dari kesempurnaan Allah. Karena itu disepanjang sejarah, di dalam Alkitab kita melihat bahwa kasih karunia Allah senantiasa dinyatakan dengan limpah kepada umat manusia, termasuk dalam Perjanjian Lama. Hanya saja, kasih karunia bekerja dengan cara yang berbeda pada konteks zaman yang berbeda-beda. 

Donald Guthrie mengatakan demikian, “Begitu pun, ini tidak berarti bahwa Taurat dan Janji bertentangan satu sama lain (Galatia 3:21). Paulus melihat di dalam Taurat suatu ungkapan anugerah Allah. Memang Taurat itu sendiri didasarkan pada janji. Jika Taurat dilaksanakan, keselamatan pasti terjamin: Inilah janji Taurat”. KONSEKUENSI LOGIS ATAS KELALAIAN BANGSA ISRAEL MEMBAYAR PERSEPULUHAN MENURUT HUKUM TAURAT
Next Post Previous Post