PERSPEKTIF TEOLOGIS AJARAN TENTANG PERSEPULUHAN DALAM KEKRISTENAN

Samuel T. Gunawan, SE., M.Th.
PERSPEKTIF TEOLOGIS AJARAN TENTANG PERSEPULUHAN DALAM KEKRISTENAN . “(Ibrani 7:1) Sebab Melkisedek adalah raja Salem dan imam Allah Yang Mahatinggi;ia pergi menyongsong Abraham ketika Abraham kembali dari mengalahkan raja-raja, dan memberkati dia. (7:2) Kepadanya pun Abraham memberikan sepersepuluh dari semuanya. Menurut arti namanya Melkisedek adalah pertama-tama raja kebenaran, dan juga raja Salem, yaitu raja damai sejahtera. (7:3) Ia tidak berbapa, tidak beribu, tidak bersilsilah, harinya tidak berawal dan hidupnya tidak berkesudahan, dan karena ia dijadikan sama dengan Anak Allah, ia tetap menjadi imam sampai selama-lamanya. (7:4) Camkanlah betapa besarnya orang itu, yang kepadanya Abraham, bapa leluhur kita, memberikan sepersepuluh dari segala rampasan yang paling baik.” (Ibrani 7:1-4)
PERSPEKTIF TEOLOGIS  AJARAN TENTANG PERSEPULUHAN  DALAM KEKRISTENAN
gadget, bisnis, otomotif
PEMBAHASAN SESI 1:PERSPEKTIF TEOLOGIS AJARAN TENTANG PERSEPULUHAN DALAM KEKRISTENAN 

Praanggapan : Pendekatan saya terhadap isu teologis tentang persepuluhan sebagai berikut : 

(1) Bahwa pemberian persepuluhan merupakan pengakuan tentang kedaulatan Allah terhadap segala yang kita miliki, baik spiritual maupun jasmaniah, dan lagi sebagai rasa syukur kita atas anugerah keselamatan yang telah kita terima dalam Kristus. Allah adalah Pencipta dan Penguasa, serta Ia juga adalah pemilik segalanya. Alkitab menyatakan “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya” (Mazmur 24:1 bandingkan Mazmur 50:10, 12). Ia adalah pemilik dan pemberi segala hal kepada manusia, dan manusia adalah pengelola atas apa yang dipercayakan oleh Tuhan (Kejadian 1:28; 2:5 ). 

Dari semua harta dan keuangan yang Tuhan percayakan itu, Ia ingin kita mempersembahkan 10 % sebagai pemberian minimum dari hati yang sukarela untuk pekerjaan Allah. 

(2) Bahwa prinsip-prinsip Kristen dalam memberikan persepuluhan bukan berdasarkan hukum Taurat, tetapi berdasarkan keimanan Kristus menurut peraturan Melkisedek. Interpretasi ini berdasarkan pendekatan hermeneutik pertama kalinya kata tersebut ditemukan dan diterapkan, yaitu ketika Abraham pertama kali memberikan persepuluhannya kepada Melkisedek dalam Kejadian 14:17-24. 

Menurut Alkitab, Abraham bukan hanya leluhur Israel tetapi juga bapak semua orang percaya (Roma 4). Sedangkan Melkisedek adalah Imam Allah yang Maha tinggi, tipologi dari Kristus. Kristus adalah Imam Besar menurut keimanan Melkisedek (Ibrani 7:17). Imamat Melkisedek merupakan suatu imamat yang kekal, karena yang menjadi imamnya tidak pernah mati. 

Penulis Kitab Ibrani menyatakan bahwa Yesus hidup selama-lamanya sebagai Imam Besar menurut peraturan (ordo) Melkisedek (Ibrani 7:24-25). Dan sebagai Imam Besar Ia berhak menerima persepuluhan dari umat-Nya. Sebagaimana Abraham memberikan persepuluhan dari semua yang terbaik kepada Melkisedek dengan iman, sukarela dan tanpa paksaan, demikian juga orang percaya memberikan persepuluhan mereka kepada Kristus, selaku kepala dari tubuh-Nya, dalam rangka mendukung pelaksanaan misi dan pekerjaan-Nya.

PENDAHULUAN:PERSPEKTIF TEOLOGIS AJARAN TENTANG PERSEPULUHAN DALAM KEKRISTENAN 

Apakah persepuluhan itu? Kevin J. Conner menjelaskan demikian, “Kata ‘persepuluhan’ semata-mata berarti ‘sepuluh’... Seratus persen menjadi milik Tuhan. Dia memberi kita 9/10 untuk dipakai, tetapi yang pertama dari sepuluh Dia nyatakan sebagai milikNya”.[1] Kata “persepuluhan” dalam bahasa Inggrisnya “tithe”, berasal dari kata Yunani “dekatos” yang berarti “sepersepuluh”, dari kata dasar “deka” yang berarti “sepuluh”. Sedangkan kata Ibrani “ma’aser” berarti “persepuluhan”, berasal dari kata dasar “’asar” yang juga berarti “sepuluh”. 

Di dalam Kekristenan istilah persepuluhan mengacu pada pemberian 1/10 atau 10% dari penghasilan atau pendapatan yang dipersembahkan kepada Allah bagi pekerjaan-Nya. Tentu saja semua orang Kristen sepakat bahwa persepuluhan itu Alkitabiah karena memang dibicarakan dalam Alkitab. Ayat-ayat Perjanjian Lama berikut ini jelas membicarakan tentang pemberian persepuluhan (Kejadian 14:17-20; 28:20-22; Imamat 27:30-33; Bilangan 18:20-32; Ulangan 12:5-19; 14:22-29; 26:12-13; 1 Samuel 8:14-17; Amos 4:2-6; 2 Tawarikh 31:1-13; Nehemia 10:35-38; 12:44; 13:4-5, 10-12; Maleakhi 3:7-12). Namun, walaupun persepuluhan itu Alkitabiah, tidak semua orang Kristen setuju bahwa persepuluhan itu wajib untuk dilaksanakan dalam gereja saat ini.

Titik awal penting dalam membicarakan isu teologis tentang persepuluhan adalah keyakinan, seperti yang dinyatakan Alkitab, bahwa Allah adalah Pencipta dan Penguasa, serta Ia juga adalah pemilik segalanya. Alkitab menyatakan “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya” (Mazmur 24:1 bandingkan Mazmur 50:10, 12). 

Ia adalah pemilik dan pemberi segala hal kepada manusia, dan manusia adalah pengelola atas apa yang dipercayakan oleh Tuhan (Kejadian 1:28; 2:5 ). Karena itu semua orang percaya diingatkan bahwa mereka bertanggung jawab kepada Tuhan atas segala sesuatu yang telah dipercayakan kepadanya (Lukas 16:1-13). 

Sebenarnya seluruh hidup orang percaya adalah milik Tuhan (Roma 12:1; 1 Korintus 6:19-20; Galatia 2:20). Dengan demikian, secara de jure seluruh harta dan uang orang percaya itu juga adalah milik Tuhan, namun secara de facto harta dan uang itu adalah milik orang percaya yang Tuhan percayakan kepada anak-anak-Nya untuk dikelola. 

Dari semua harta dan keuangan yang Tuhan percayakan itu, Ia ingin kita mempersembahkan 10 % sebagai pemberian minimum dari hati yang sukarela untuk pekerjaan Allah. Jadi, pemberian persepuluhan sebenarnya merupakan pengakuan tentang kedaulatan Allah terhadap segala yang kita miliki, baik spiritual maupun jasmaniah, dan lagi sebagai rasa syukur kita atas anugerah keselamatan yang telah kita terima dalam Kristus.

Walau persepuluhan bukan merupakan isu doktrinal yang menyangkut keselamatan, tetapi pokok ini merupakan pokok pastoral yang penting sekaligus rumit yang dapat menimbulkan perselisihan, karena persepuluhan menyangkut sumber pendapatan suatu organisasi gereja dan juga bersinggungan langsung dengan keuangan anggota jemaat yang bersifat privasi. Namun kesulitan utama menentukan apakah persepuluhan itu merupkan persembahan yang masih berlanjut dan wajib bagi Kekristenan saat ini ataukah tidak, timbul karena Perjanjian Baru tidak membicarakan pokok ini secara eksplisit dan sejelas yang diharapkan. 

Perjanjian Baru hanya menyinggung perihal persepuluhan di empat bagian dalam Lukas 11:42, 18:9-14, Matius 23:23, dan Ibrani 7. Karena itulah maka berbagai pendekatan telah dilakukan untuk menjelaskan pokok persoalan ini yang justru menimbulkan perbedaan penafsiran. Dan sampai saat ini, persepuluhan masih menjadi salah satu isu teologis yang hangat didiskusikan di kalangan Kristen.

PENDEKATAN HERMENEUTIK

Chrales C. Ryrie mengatakan, “Setiap penafsir Alkitab mempunyai sistem hermeneutik baik sadar maupun tidak. Ketika seseorang melakukan eksegesis ia menyatakan hermeneutikanya, meskipun mungkin kebanyakan penafsir tidak selamanya mensistematikkan hermeneutikannya”.[2] 

Arturo G. Azurdia III, mengatakan, “Semua doktrin dan teologi beserta penerapannya haruslah merupakan hasil pemahaman literal, gramatikal, historikal, kontekstual dan redemtif dari teks Kitab Suci. Setiap khotbah (pengajaran) yang terpisah dari komitmen a priori ini tidak memenuhi standar”.[3] 

Karena itu, dalam menjelaskan pokok persoalan mengenai persepuluhan ini, selain mempertimbangkan prinsip-prinsip umum hermeneutika seperti literal, gramatikal, historikal, dan kontekstual, maka saya juga melakukan pendekatan dengan menerapkan empat prinsip hemeneutika lainnnya yaitu : (1) Prinsip Kristosentris; (2) Prinsip prioritas Perjanjian Baru atas Perjanjian Lama; (3) Prinsip pewahyuan Allah yang bersifat progresif; dan (4) Prinsip penyebutan pertama.

1. Prinsip Kristosentris. 

Prinsip ini pada dasarnya menafsikan Alkitab dalam kaitannya dengan pusatnya, yaitu Kristus. Dasar untuk prinsip ini adalah fakta bahwa Kristus merupakan pribadi sentral dari Alkitab. Pribadi dan karyaNya merupakan tema dari pernyataan tertulis Allah. Pada roda pernyataan ilahi, Kristus adalah porosnya, dan semua kebenaran adalah bagaikan jari-jari (ruji) yang terkait padaNya yang adalah Sang Kebenaran. 

Berikut ini beberapa ayat yang menunjukkan sentralitas Kristus dalam Alkitab (Lukas 24:27,44; Yohanes 1:45; 5:39; Kisah Para Rasul 10:43; Ibrani 10:7).[4] Karena itu, setiap ajaran utama dalam Alkitab selalu ditemukan dalam perkataan Tuhan Yesus. Entah itu bersifat eksplit maupun implisit. 

Karena Yesus Kristus sendiri adalah Firman itu, yang berinkarnasi (Yohanes 1:1,14), dan sementara di bumi Ia sendiri memiliki pewahyuan penuh dari Bapa dan Roh. Ia mempunyai kemampuan dan otoritas untuk menambah, menegaskan, menjernihkan, dan mengesahkan kata-kata dalam Perjanjian Lama (Ibrani 1:1-2).[5] Ingatlah, bahwa Injil awalnya diberitakan oleh Tuhan, selanjutnya Injil tersebut diberitakan oleh murid-murid-Nya (Ibrani 2:3-4).

2. Prinsip prioritas Perjanjian Baru atas Perjanjian Lama. 

Telah disebutkan dalam prinsip kristosentris di atas bahwa setiap ajaran utama dalam Alkitab selalu ditemukan dalam perkataan Tuhan Yesus? Ajaran Yesus ini kemudian dikembangkan melalui pewahyuan Roh Kudus dalam tulisan Injil dan surat-surat apostolik Perjanjian Baru. Yesus berjanji bahwa saat Roh Kudus datang, Dia akan memimpin rasul-rasul pertama itu dalam seluruh kebenaran dan mengungkapkan segala sesuatu kepada mereka (Yohanes 14:26 bandingkan 16:13-14). 

Yesus memang telah mengajarkan segala sesuatu kepada murid-murid-Nya, tetapi dalam ukuran tertentu sebelum Roh Kudus datang, mereka tidak mampu memahami perkataan-perkataan Kristus. Pada hari Pentakosta, saat Roh Kudus diberikan, murid-murid mendapatkan pemahaman baru terhadap perkataan Kristus dan Perjanjian Lama, dan mereka mencatatnya dalam apa yang kita kenal dengan Perjanjian Baru.

Karena itu bagi orang percaya, Perjanjian Baru memiliki prioritas atas Perjanjian Lama. Artinya, Perjanjian Lama harus dipahami dalam terang Perjanjian Baru, yang menjelaskan, menegaskan kembali dan mengoreksi Perjanjian Lama. 

Charles C. Ryrie menjelaskan, “Walaupun Kitab Suci diilhami dan bermanfaat, namun Perjanjian Baru memiliki prioritas yang lebih besar sebagai sumber pengajaran. Pernyataan Perjanjian Lama merupakan persiapan dan tidak lengkap, sedangkan pernyataan Perjanjian Baru merupakan klimaks dan dan lengkap”.[6] Dengan demikian harus dimengerti bahwa ajaran Kekristenan yang Alkitabiah tidak didasarkan atas Perjanjian Lama, melainkan berdasarkan Perjanjian Baru yang didasarkan pada ajaran Kristus. 

Roh Kudus yang mencerahkan pengertian para Rasul terhadap ajaran Kristus dan memberikan pewahyuan kepada mereka dalam menuliskan Perjanjian Baru di bawah pengilhaman Roh Kudus, adalah Roh Kudus yang sama yang memberikan kemampuan kepada kita untuk memahami ajaran Kristus, ajaran Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama, yaitu Alkitab. 

Para teolog menyebutnya dengan istilah “iluminasi” Roh Kudus.[7] Petrus mengatakan “Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah” (1 Petrus 1:20-21 ).

3. Prinsip pewahyuan Allah yang bersifat progresif. 

Untuk bisa menafsirkan secara wajar tetapi konsisten, harus mengakui bahwa pewahyuan Alkitab diberikan secara progresif. Artinya bahwa dalam proses pewahyuan pesan-Nya kepada manusia, Allah bisa menambah atau bahkan mengubah dalam suatu waktu apa yang Dia telah berikan sebelumnya. Sangat jelas Perjanjian Baru menambah banyak yang belum dinyatakan dalam Perjanjian Lama. 

Apa yang Allah nyatakan sebagai kewajiban suatu saat bisa dibatalkan kemudian. Contoh : Seperti larangan makan daging babi, pernah mengikat umat Allah, kini dibatalkan (1 Timotius 4:3). Kegagalan untuk mengenal sifat progresif ini, dalam pewahyuan, akan membangkitkan kontradiksi yang tidak bisa diselesaikan antara bagian-bagian Alkitab kalau diartikan secara harfiah dan wajar. 

Perhatikan contoh-contoh berikut dari Alkitab yang akan berkontradiksi jika diartikan secara sederhana atau harfiah kecuali jika kita mengenal adanya perubahan karena adanya kemajuan (progres) dalam pewahyuan : Matius 10:5-7 dan 28:18-20; Lukas 9:3 dan 22:36; Kejadian 17:10 dan Galatia 5:2; Keluaran 20:8 dan Kisah Para Rasul 20:7. Perhatikan juga perubahan penting dinyatakan dalam Yohanes 1:17; 2 Korintus 3:7-11. Mereka yang tidak secara konsisten memakai prinsip pewahyuan yang progresif ini dalam penafsiran terpaksa kembali pada penafsiran secara alegoris, mistis atau kadang-kadang mengabaikan saja bukti yang ada.[8]

4. Prinsip penyebutan pertama. 

Prinsip ini bermanfaat dalam menafsirkan suatu pokok persoalan dengan cara memperhatikan kali pertama pokok persoalan itu muncul di dalam Alkitab. Kevin J. Conner dan Ken Malmin mengatakan, “Pada umumnya, kali pertama sesuatu hal disebutkan di dalam Alkitab, hal itu mengandung suatu arti yang akan tetap sama di seluruh Alkitab”.[9] Penyebutan pertama merupakan kunci yang membuka pintu menuju kebenaran sepenuhnya, pedoman untuk menemukan kebenaran dalam pengungkapannya yang setahap demi setahap. 

Dan yang terpenting, “Prinsip penyebutan pertama bisa digunakan dalam kaitan dengan semua pokok, tetapi batas-batasnya harus selalu dijaga agar nyata kelihatan”.[10] Langkah pertama dalam menggunakan prinsip penyebutan pertama adalah dengan secara tepat menemukan tempat pertama kalinya suatu pokok persoalan disebutkan di dalam Alkitab. Selanjutnya perlu menyelidiki apakah penyebutan pertama pokok persoalan tersebut sudah diperagakan sebelum ia disebutkan. Sedangkan Penyebutan berikutnya dari suatu pokok tidak pernah boleh digunakan untuk menentang atau melanggar apa yang ada dalam penyebutan pertama.

TIGA PANDANGAN UTAMA TENTANG PERSEPULUHAN

Saat ini berbagai denominasi gereja telah terbagi menjadi tiga perspektif teologis utama mengenai perlakuan persepuluhan dalam gereja dan masing-masing perspektif memberikan argumentasi berdasarkan ayat-ayat Alkitab. 

Ketiga perspektif itu adalah : (1) Perspektif teologis persepuluhan sudah tidak berlaku karena itu tidak wajib dan tidak mengikat gereja untuk melaksanakannya; (2) Perspektif teologis persepuluhan masih berlaku karena itu wajib untuk dilaksanakan oleh gereja; (3) Perspektif teologis persepuluhan masih berlaku sebagai standar pemberian minimum dari pemberian sukarela.

1. Perspektif teologis persepuluhan sudah tidak berlaku karena itu tidak wajib dan tidak mengikat gereja untuk melaksanakannya. 

Herlianto mempresentasikan perspektif ini demikian, “Ritus kurban & persembahan telah dihapuskan oleh Yesus yang menjadi pengantara Perjanjian Baru, namun kurban dan persembahan itu kini berubah menjadi kurban dan persembahan yang bersifat batin dalam bentuk keadilan, kesetiaan dan belas kasihan. Kita tidak lagi bermegah akan hal-hal yang bersifat lahiriah (1 Korintus 5:11-21), persembahan perjanjian baru bukan lagi persembahan secara Taurat dan kewajiban persepuluhan, tetapi buah-buah kasih yang keluar dari hati yang telah menerima kasih karunia Allah (Matius 13:23;Efesus.2:8-10). 

Persembahan umat Kristen bukan lagi dalam bentuk persepuluhan tetapi merupakan buah-buah kasih yang keluar dari hati yang dibenarkan Allah. Mereka yang telah beriman dan bertobat akan hidup dalam mengasihi sesamanya dengan harta mereka (Kisah Para Rasul 2:44-45;4:34-35;Matius 35:31-46;Lukas 18:22) dan menyisihkan dengan teratur persembahan sesuai dengan yang diperoleh (1 Korintus 16:1-2;Galatia 6:6)”.[11] Pandangan ini meyakini bahwa persepuluhan termasuk dalam ceremonial law (hukum seremonial) karena itu tidak berlaku lagi bagi orang Kristen.

Representasi lainnya dari perspektif ini adalah sebagai berikut, “Apakah saat ini kita masih mau memberlakukan aturan-aturan ini: persembahan sepersepuluh, seperenam, korban sembelihan, korban bakaran, tidak boleh bekerja pada hari Sabat, sunat, makanan halal atau haram, beristri lebih dari satu? Tentu tidak! Perintah itu ditujukan untuk umat Tuhan yang masih di bawah kuasa hukum Taurat ... Saat ini kita sudah berada di bawah kuasa hukum Kristus. 

Hukum dan aturan di Perjanjian Lama sudah digenapi oleh Yesus Kristus, sehingga siapa yang percaya kepada Yesus Kristus tidak lagi berada di bawah hukum Taurat. Perhatikan Roma 7:4 “Sebab itu, saudara-saudaraku, kamu juga telah mati bagi hukum Taurat oleh tubuh Kristus, supaya kamu menjadi milik orang lain, yaitu milik Dia, yang telah dibangkitkan dari antara orang mati, agar kita berbuah bagi Allah”.[12]

2. Perspektif teologis persepuluhan masih berlaku karena itu wajib untuk dilaksanakan oleh gereja. 

Representasi dari perspektif ini adalah pandangan Budi Asali, dimana ia menjelaskan bahwa persepuluhan termasuk dalam moral law (hukum moral) karena itu terus berlanjut dan wajib dilaksanakan. Budi Asali mengatakan demikian, “Sekarang tentang persembahan persepuluhan, itu harus dilakukan untuk bisa berjalannya pelayanan dalam Kemah Suci / Bait Allah. Ini bukan tidak ada logikanya, bahkan sebaliknya, sangat logis, karena tujuannya mencukupi kebutuhan pelayan-pelayan bait suci! kalau tidak diberikan, maka pelayanan itu menjadi kacau. apakah ini tidak jahat? karena itu ini termasuk hukum moral. 

Dan dalam jaman Perjanjian Baru, persamaannya adalah gereja juga membutuhkan uang untuk bisa berjalan dengan baik. Hal yang lain adalah bahwa ceremonial law selalu merupakan simbol / type. Kalau persembahan persepuluhan dianggap ceremonial law, maka hukum persembahan persepuluhan ini merupakan simbol / type dari apa? Apa dari kedatangan Kristus, ataupun hal-hal yang akan datang yang lain, yang menggenapi persembahan persepuluhan? Tidak ada! Dan karena itu, hukum tentang persembahan persepuluhan bukanlah ceremonial law. Dan kalau bukan ceremonial law, pasti termasuk moral law”. [13] 

Representasi lainnya dari perspektif ini adalah pandangan J. Wesley Brill. Ketika mendefinisikan persepuluhan secara lengkap ia menjelaskan bahwa persepuluhan itu wajib bagi umat Kristen saat ini. J. Wesley Brill mengatakan demikian, “Persepuluhan Tuhan berarti satu persepuluh daripada segala penghasilan, pemberian, pendapatan, dan gaji yang wajib dipersembahkan kepada Allah Bapa kita ‘yang dalam kekayaanNya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati’ (1 Timotius 6:17). 

Dengan kata lain kita wajib memberikan kepada Tuhan satu persepuluh dari seluruh gaji atau pendapatan kita, dari segenap hasil tanah dan kebun, dan dari hasil ternak kita, dan dari segala bunga uang dan keuntungan kita. Itulah yang disebut perpuluhan Tuhan”.[14] 

Sedangkan definisi dari Yakobus H. Wijaya meskipun ringkas mencerminkan keharusan persepuluhan dilaksanakan oleh gereja. Ia mengatakan demikian, “perpuluhan adalah sebuah persembahan/kurban yang diperintahkan oleh Tuhan kepada orang percaya baik di dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru (Maleakhi 3:6-12; Ulangan 26:12’ Nehemia 10:37-38; Matius 23;23;Lukas 11:42)”.[15]

3. Perspektif teologis persepuluhan sebagai standar pemberian minimum dari pemberian sukarela. 

Pandangan ini menyatakan demikian, “Dalam Perjanjian Baru tidak ada perintah atau rekomendasi kepada orang Kristen supaya tunduk kepada sistem persepuluhan sebagai hukum tertulis. Paulus hanya mengajarkan bahwa orang-orang percaya sepatutnya menyisihkan sebagian dari penghasilan mereka untuk mendukung gereja (1 Korintus 16:1-2). 

Perjanjian Baru tidak menentukan persentase penghasilan yang harus disisihkan tapi hanya mengatakan, ‘sesuai dengan apa yang kamu peroleh’ (1 Korintus 16:2). Gereja Kristen sekarang mengambil angka 10% dari Perjanjian Lama dan menerapkannya sebagai “rekomendasi minimum” bagi orang Kristen ketika memberi persembahan”.[16] 

Representasi lainnya dari perspektif ini adalah pandangan David Cloud, dalam artikelnya yang diperluas dan direvisi oleh Steven Liauw. Ia mengatakan demikian, “Persepuluhan, yaitu memberikan minimal 10% dari penghasilan seseorang kepada Allah, adalah suatu cara untuk menghormati Allah dan mendukung pekerjaanNya yang agung di dunia yang memerlukan ini. Allah telah berjanji untuk memberkati persepuluhan, dan banyak sekali orang percaya yang telah menemukan bahwa mereka lebih diberkati ketika hidup dari 90% penghasilan mereka (atau 80% atau lainnya) daripada 100%.[17]

Evaluasi: Beberapa pendeta, ahli teologi dan pengajar Alkitab telah berusaha menjelaskan persepuluhan dengan menggunakan pendekatan yang berhubungan dengan hukum Taurat dan karya Kristus yang telah menggenapi hukum Taurat. 

Para ahli teologi Kristen telah mengklasifikasi hukum Taurat ke dalam tiga bagian yaitu : hukum moral (moral law), hukum seremonial (ceremonial law), dan hukum civil (judicial law). 

(1) Hukum moral yang telah dinyatakan Allah tetap berlaku dan tidak dihapuskan oleh kematian Kristus. Hukum moral ini berkaitan dengan karakteristik Allah sendiri, tidak hanya berlaku bagi bangsa Israel tetapi juga bagi semua manusia. 

(2) Hukum seremonial yang telah dinyatakan Allah tidak berlaku lagi karena telah dihapuskan oleh kematian Kristus. Hukum seremonial ini secara khusus berkaitan dengan tata ibadat Israel dan tidak berlaku bagi bangsa-bangsa lain. 

(3) hukum civil dikaitkan keberadaan Israel sebagai suatu bangsa. Hukum sipil memuat peraturan perundang-undangan yang mengatur kehidupan berbangsa dan bermasyarakat yang disertai dengan ketentuan hukuman bagi pelanggarnya.

Berdasarkan pendekatan tersebut di atas, beberapa orang berpendapat bahwa persepuluhan itu termasuk dalam hukum moral (lihat representasi pendapat Budi Asali diatas). Karena hukum moral tetap berlaku dan tidak dihapuskan maka dengan demikian persepuluhan juga masih berlanjut. Sedangkan yang lainnya berpendapat bahwa persepuluhan itu termasuk dalam hukum seremonial dan dengan demikian persepuluhan itu telah dihapuskan (lihat representasi pendapat Herlianto diatas). Tidaklah mudah menentukan apakah persepuluhan itu termasuk dalam hukum moral atau hukum seremonial. (hal ini akan saya bahas pada sesi 5). 

Menurut saya, menggunakan pendekatan berdasarkan pembagian hukum Taurat sebagaimana yang disebutkan di atas untuk menjelaskan pokok persepuluhan mungkin bermanfaat, tetapi tidak sepenuhnya berhasil menjawab berbagai persoalan yang muncul. Perlu diketahui bahwa pembagian hukum Taurat menjadi tiga bagian seperti di atas, walaupun diterima secara universal dalam teologi Kristen, namun orang-orang Yahudi tidak mengakuinya atau tidak menekankannya. Sebaliknya mereka membagi 613 perintah (mitsvah) dalam hukum Taurat itu menjadi dua belas kelompok perintah, yang kemudian dibagi lagi menjadi dua belas kelompok perintah tambahan yang bersifat positif dan dua belas kelompok perintah tambahan yang bersifat negatif.

Catatan: Dalam hal persepuluhan ini, saya sendiri lebih cenderung menerima pandangan yang ketiga, namun dengan pendekatan hermeneutik, yang akan saya jelaskan lebih lanjut dalam artikel ini. Saya menyakini bahwa prinsip-prinsip Kristen dalam memberikan persepuluhan tidak dapat ditarik dari hukum Taurat, tetapi berdasarkan hukum Kristus.

(7:1) Sebab Melkisedek adalah raja Salem dan imam Allah Yang Mahatinggi;

ia pergi menyongsong Abraham ketika Abraham kembali dari mengalahkan raja-raja, dan memberkati dia. (7:2) Kepadanya pun Abraham memberikan sepersepuluh dari semuanya. Menurut arti namanya Melkisedek adalah pertama-tama raja kebenaran, dan juga raja Salem, yaitu raja damai sejahtera. (7:3) Ia tidak berbapa, tidak beribu, tidak bersilsilah, harinya tidak berawal dan hidupnya tidak berkesudahan, dan karena ia dijadikan sama dengan Anak Allah, ia tetap menjadi imam sampai selama-lamanya. (7:4) Camkanlah betapa besarnya orang itu, yang kepadanya Abraham, bapa leluhur kita, memberikan sepersepuluh dari segala rampasan yang paling baik.” (Ibrani 7:1-4)

PEMBAHASAN SESI 2 :PERSPEKTIF TEOLOGIS AJARAN TENTANG PERSEPULUHAN DALAM KEKRISTENAN 

PRAKTEK PEMBERIAN PERSEPULUHAN SEBELUM HUKUM TAURAT

Praktek pemberian persepuluhan tidak berasal dari hukum Taurat, namun dikemudian hari bagi bangsa Israel praktek ini secara khusus diatur dalam hukum Taurat. Beberapa komentar berikut ini menyatakan bahwa praktek pemberian persepuluhan telah ada jauh sebelum hukum Taurat. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini menjelaskan demikian, “Kebiasaan memberi persepuluhan tidak dimulai oleh Taurat Musa (Kejadian 14:17-20), dan tidak khas kebiasaan Israel. Persepuluhan dilakukan juga oleh bangsa-bangsa kuno lainnya”.[1]

 J. Wesley Brill mengatakan demikian, “Pemberian persepuluhan kepada Allah sudah dilakukan orang-orang sejak purbakala, baik oleh orang-orang Ibrani maupun bangsa-bangsa lain. Sebelum Musa memberikan Taurat kepada bani Israel, sudah menjadi kebiasaan bagi mereka untuk memberi persepuluhan kepada Tuhan. Rupanya hal itu telah ditanamkan di dalam hati nurani manusia sejak purbakala”.[2] 

Steven Teo menjelaskan demikian, “Memberikan persepuluhan adalah kaum Yahudi meskipun hal itu tidak hanya dilakukan oleh kaum Israel. Dalam buku Beyond Tithing, Stuart Murray menuliskan bahwa ‘suatu bentuk persepuluhan dilakukan di seluruh Timur Tengah dan dibanyak budaya masa silam’.” [3]

Menurut catatan Alkitab di kitab Kejadian, walau bukan merupakan pemberian persepuluhan, namun praktek memberikan persembahan kepada Tuhan telah ada jauh sebelum Abraham. Alkitab mencatat bahwa Anak Adam yang bernama Habel “...mempersembahkan korban persembahan dari anak sulung kambing dombanya, yakni lemak-lemaknya; maka TUHAN mengindahkan Habel dan korban persembahannya itu” (Kejadian 4:4). Nuh, keturunan kesepuluh dari Adam, yang lahir kira-kira 1.056 tahun setelah Adam,[4] dikatakan “... mendirikan mezbah bagi TUHAN; dari segala binatang yang tidak haram dan dari segala burung yang tidak haram diambilnyalah beberapa ekor, lalu ia mempersembahkan korban bakaran di atas mezbah itu” (Kejadian 8:20). 

Tetapi, praktek pemberian persepuluhan untuk pertama kalinya, menurut catatan kitab Kejadian yang dinyatakan dengan jelas, dilakukan oleh Abraham dalam Kejadian 14:17-24. Abraham keturunan kedua puluh dari Adam yang lahir kira-kira 1.948 tahun setelah Adam,[5] dikatakan memberikan persepuluhan dari semuanya kepada Melkisedek, raja Salem dan seorang imam Allah Yang Mahatinggi (Kejadian 14:18-20).

1. Abraham Memberikan Persepuluhan. 

Dalam kejadian 14 dikisahkan tentang kemenangan Abraham atas raja-raja kafir, dan kisah tentang Abraham yang bertemu dengan Melkisedek. Melkisedek adalah raja Salem dan seorang imam Allah yang Mahatinggi. Ketika bertemu dengan Abraham, Melkisedek langsung “memberkati Abram, katanya: ‘Diberkatilah kiranya Abram oleh Allah Yang Mahatinggi, Pencipta langit dan bumi, dan terpujilah Allah Yang Mahatinggi, yang telah menyerahkan musuhmu ke tanganmu." (Kejadian 14:19-20a). Setelah diberkati oleh Melkisedek maka dikatakan, “Lalu Abram memberikan kepadanya sepersepuluh dari semuanya” (Kejadian 14:20b).

Penulis kitab Ibrani menarasikan kembali kisah Abraham dan Melkisedek tersebut demikian, “Sebab Melkisedek adalah raja Salem dan imam Allah Yang Mahatinggi; ia pergi menyongsong Abraham ketika Abraham kembali dari mengalahkan raja-raja, dan memberkati dia. Kepadanya pun Abraham memberikan sepersepuluh dari semuanya. 

Menurut arti namanya Melkisedek adalah pertama-tama raja kebenaran, dan juga raja Salem, yaitu raja damai sejahtera. Ia tidak berbapa, tidak beribu, tidak bersilsilah, harinya tidak berawal dan hidupnya tidak berkesudahan, dan karena ia dijadikan sama dengan Anak Allah, ia tetap menjadi imam sampai selama-lamanya. Camkanlah betapa besarnya orang itu, yang kepadanya Abraham, bapa leluhur kita, memberikan sepersepuluh dari segala rampasan yang paling baik” (Ibrani 7:1-4). Abraham, bapak bangsa Israel itu, yang melaluinya banyak bangsa diberkati, memberikan persembahan persepuluhannya kepada Melkisedek.

Tindakan Abraham memberikan persepuluhan ini mengekspresikan pengakuan dan iman Abraham tentang kedaulatan Allah terhadap segala yang dimilikinya. Pengakuan akan kedaulatan Tuhan ini juga nampak dari tanggapan Abraham yang menolak menerima harta kekayaan dari raja Sodom. 

Ketika Raja Sodom berkata kepada Abraham, "Berikanlah kepadaku orang-orang itu, dan ambillah untukmu harta benda itu”. (Kejadian 14:22). Maka dengan tegas Abraham menjawab, “Aku bersumpah demi TUHAN, Allah Yang Mahatinggi, Pencipta langit dan bumi: Aku tidak akan mengambil apa-apa dari kepunyaanmu itu, sepotong benang atau tali kasut pun tidak, supaya engkau jangan dapat berkata: Aku telah membuat Abram menjadi kaya” (Kejadian 14:22-23). Abraham berpegang teguh pada janji Allah kepadanya, sewaktu ia diperintahkan untuk meninggalkan Haran (Kejadian 12:1-5). 

Abraham percaya, bahwa Allahlah telah memberikan kemenangan kepada Abraham. Allah sebagai sumber berkat dan perlindungannya, juga adalah Allah yang disembah dan dilayani oleh Melkisedek raja Salem itu. Karena itulah sebagai rasa syukurnya atas kemenangan tersebut, Abraham memberikan persembahan persepuluhan kepada Melkisedek dengan sukacita tanpa paksaan. 

2. Yakub Memberikan Persepuluhan. 

Abraham hidup bersama dengan Ishak selama 75 tahun dan dengan Yakub cucunya, sekitar 15 tahun. Dikisahkan, bahwa Abraham berumur 75 tahun ketika ia berangkat dari Haran dan masuk ke Kanaan. Dia hidup 100 tahun lagi dan memperoleh Ishak, anaknya, dan Yakub, cucunya, kemudian ia mati pada usia 175 tahun. 

Ibrani 11:9 mengatakan, “Karena iman ia diam di tanah yang dijanjikan itu seolah-olah di suatu tanah asing dan di situ ia tinggal di kemah dengan Ishak dan Yakub, yang turut menjadi ahli waris janji yang satu itu”. Apakah hal utama yang Abraham lakukan ketika tinggal di kemah? Pekerjaan utamanya adalah mewariskan iman kepada keturunan-keturunannya. 

Menurut Kejadian 18:18-19, hal ini merupakan tujuan pemanggilan Abraham dan dia sepenuhnya menaati panggilanNya. Hasilnya, Ishak, anak laki-laki Abraham, menjadi buah iman. Buah iman ini terbukti dalam ketaatan Ishak (Kejadian 22:9), ketika Allah memerintahkan Abraham untuk mempersembahkannya, satu-satunya anak perjanjian yang dilahirkan bagi Abraham pada usia 100 tahun, sebagai korban bakaran (Kejadian 22:1-2).

Selama sekitar 15 tahun hidup bersama Yakub, Abraham juga mewariskan imannya kepada Yakub. Kemungkinan Abraham mendidik Yakub, cucunya, tentang panggilan Allah di Ur Kasdim, persinggahannya yang berlarut-larut di Haran, keberangkatannya dari Haran menuju Kanaan, semua pekerjaan Allah yang menakjubkan yang terjadi selama 100 tahun setelah ia meninggalkan Haran pada usia 75 tahun, dan fakta mengenai janji.

Pada suatu waktu, Yakub cucu Abraham ini, mengungsi ke negeri orang karena ia telah menipu Ishak, ayahnya, dan Esau, saudaranya. Ia meninggalkan tempat asalnya dan pergi ke daerah Mesopatamia. Ketika berangkat ia hanya membawa tongkat yang ada ditangannya. Suatu saat dalam perjalanannya, Allah menyatakan diri kepadanya melalui mimpi dan berkata, "Akulah TUHAN, Allah Abraham, nenekmu, dan Allah Ishak; tanah tempat engkau berbaring ini akan Kuberikan kepadamu dan kepada keturunanmu. Keturunanmu akan menjadi seperti debu tanah banyaknya, dan engkau akan mengembang ke sebelah timur, barat, utara dan selatan, dan olehmu serta keturunanmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat. Sesungguhnya Aku menyertai engkau dan Aku akan melindungi engkau, ke mana pun engkau pergi, dan Aku akan membawa engkau kembali ke negeri ini, sebab Aku tidak akan meninggalkan engkau, melainkan tetap melakukan apa yang Kujanjikan kepadamu" (Kejadian 28:13-15).

Sebagai tanggapan atas pernyataan Allah itu Yakub kemudian bernazar, katanya "Jika Allah akan menyertai dan akan melindungi aku di jalan yang kutempuh ini, memberikan kepadaku roti untuk dimakan dan pakaian untuk dipakai, sehingga aku selamat kembali ke rumah ayahku, maka TUHAN akan menjadi Allahku. Dan batu yang kudirikan sebagai tugu ini akan menjadi rumah Allah. Dari segala sesuatu yang Engkau berikan kepadaku akan selalu kupersembahkan sepersepuluh kepadaMu" (Kejadian 28:20-22). 

Mengenai ayat ini J. Wesley Brill mengatakan, “Ketika Yakub di Bethel ia berjanji akan memberikan persepuluhan kepada Allah. Kalau kisah ini diteliti, maka nampaknya hal memberi persepuluhan itu adalah sebagai pengakuan kesalahannya karena ia belum memberikan persepuluhan, dan sejak itu ia melakukannya (Kejadian 28:20-22)”.[6] 

Namun menurut saya yang utama disini adalah bahwa Yakub memperbaharui pengakuan dan komitmennya kepada Tuhan yang disembah oleh Abraham, kakeknya itu. Tuhan menghargai yang diucapkan Yakub, dan Tuhan memelihara kehidupan Yakub. 

Komitmen Yakub untuk mempersembahkan sepersepuluh dari segala sesuatu yang diberikan Tuhan kepadanya, dikemudian hari diterapkan kepada bangsa Israel sebagai suatu kewajiban. Yakub yang artinya “penipu” pada suatu ketika setelah bergumul di Pniel ganti namanya menjadi Israel yang pertama-tama berarti “bergumul dengan Allah dan menang” (Kejadian 32:28), kemudian artinya menjadi berati “putra mahkota” (Kejadian 35:10-12). Dikemudian hari, suku-suku di Israel disebut berdasarkan nama dari anak-anak Yakub. Dan hingga hari saat ini keturunan Yakub ini sebut bangsa Israel.

REGULASI PERSEPULUHAN DALAM HUKUM TAURAT BAGI BANGSA ISRAEL

Mengenai pemberian persepuluhan, ternyata praktek ini telah ada jauh sebelum hukum Taurat ada (bandingkan Kejadian 14:17-20; 28:20-22). Ini berarti praktek pemberian persepuluhan tidak berasal dari hukum Taurat. Tetapi dikemudian hari praktek pemberian persepuluhan ini secara signifikan diatur dalam hukum Taurat bagi bangsa Israel. Karena itulah kita menemukan bahwa regulasi mengenai persepuluhan yang terlengkap ada pada bangsa Israel sebagaimana dinyatakan di dalam hukum Taurat. Berikut ini bagian-bagian Alkitab yang mengatur persepuluhan bagi bangsa Israel: Imamat 27:30-33; Bilangan 18:20-32; Ulangan 12:5-19; 14:22-29; 26:12-13; 1 Samuel 8:14-17; Amos 4:2-6; 2 Tawarikh 31:1-13; Nehemia 10:35-38; 12:44; 13:4-5, 10-12; Maleakhi 3:7-12).

1. Persepuluhan orang Israel yang diberikan kepada orang Lewi (Imamat 27:30-33; Bilangan 18:20-24; Nehemia 10:37; Ulangan 14:22). Persepuluhan ini adalah milik Tuhan dan disebut sebagai persembahan kudus bagi Tuhan. Orang Israel diperintahkan untuk mempersembahkan kepada Tuhan persepuluhan dari hasil tanah dan ternak mereka sebagai persembahan khusus dan memberikannya kepada orang-orang Lewi. Hal ini bertujuan mengajarkan orang Israel agar mereka selalu takut akan Tuhan (Ulangan 14:23). 

Kevin J. Conner menjelaskan demikian, “Kedua belas suku memberi persepuluhan kepada Tuhan dan persepuluhan ini dari penghasilan orang-orang yang diberikan kepada keimaman suku Lewi. Bilangan 18:24-32 perlu dipelajari secara teliti. Suku Lewi tidak memiliki warisan di tanah itu tetapi dihidupi oleh persepuluhan dari orang-orang. Dua belas suku memberi persepuluhan kepada satu suku”.[7] Persepuluhan ini diberikan orang Israel setiap tahun (Ulangan 14:22). Persepuluhan dari hasil tanah dapat diberikan dalam bentuk uang dengan menambah 1/5 atau 20 % (dengan demikian jumlahnya menjadi 12%), sedangkan persepuluhan dari hasil ternak tidak boleh diganti dalam bentuk uang.

Suku Lewi adalah suku yang dikhususkan oleh Tuhan membantu pekerjaan pelayanan di tabernakel, dan suku Lewi tidak memiliki warisan di tanah Perjanjian sehingga mereka tidak memiliki penghasilan layaknya suku-suku lainnya. Namun sebagai kompensasi dari pekerjaan mereka di tabernakel, suku Lewi mendapatkan persepuluhan dari orang Israel sebagai hak milik mereka (Bilangan 18:21,31). Dan hal tersebut merupakan “ketetapan yang berlaku untuk selama-lamanya” bagi orang Lewi turun-temurun (Bilangan 18:23). 

 Dengan demikian, kehidupan orang Lewi sepenuhnya ditopang melalui pemberian persepuluhan dari orang Israel. Kekhususan suku Lewi ini didasarkan atas kehendak dan pemilihan Allah yang berdaulat, dan disertai dengan alasan yang logis. Herbert Wolf menjelaskan alasannya demikian, “Pada waktu anak sulung Israel selamat selama tulah kesepuluh yang merupakan klimaks di Mesir, Allah menyatakan bahwa semua anak sulung Israel adalah milikNya. Tetapi daripada memisah anak-anak sulung dari keluarga mereka, Allah memilih seluruh suku Lewi untuk menjadi hamba-hamba Khusus bagiNya sebagai ganti semua orang sulung Israel (Bilangan 3:11-13)”.[8] 

Kita juga teringat, bahwa setelah orang Israel mengatakan kepada Tuhan “Segala yang difirmankan TUHAN akan kami lakukan”. Lalu Musa pun menyampaikan jawab bangsa itu kepada TUHAN” (Keluaran 19:8), segera setelah itu mereka melanggar perintah pertama dan kedua dari Sepuluh Perintah (Keluaran 20:1-18). Mereka membuat patung anak lembu emas di kaki gunung sinai untuk disembah (Keluaran 32). Pada waktu itulah suku Lewi berkumpul dipihak Musa selama krisis lembu emas tersebut. Allah mengkhususkan mereka menjadi pelayanNya yang khusus (Bandingkan Keluaran 32:26-28).

Sebagai tambahan, menurut Herbert Wolf bahwa “pemberian persepuluhan yang tidak teratur dari suku-suku yang lain seringkali menyebabkan orang Lewi hidup dalam kekurangan”.[9] Itu sebabnya, dan mungkin sebagai bentuk antisipasi, maka orang Israel diharus memberikan persepuluhan pada tahun ketiga, selain persepuluhan tahunan mereka (Ulangan 14:22). 

Persepuluhan tersebut tidak hanya dimaksudkan diberikan pada orang Lewi tetapi juga kepada orang asing, anak yatim, dan janda (Ulangan 14:27-29; 26:12-14). Nampaknya, pada masa pembuangan Israel dibawah penawanan Babel kemungkinan besar persepuluhan untuk orang Lewi ini tidak dijalankan, tetapi kemudian, “setelah penawanan Babel, persepuluhan diberikan lagi kepada suku Lewi (Nehemia 10:37)”.[10] Dan nampaknya ada orang-orang Lewi yang didampingi seorang imam ditugaskan untuk memungut persembahan persepuluhan ini dari kota-kota di Israel (Bandingkan Nehemia 10:37-39).

2. Persepuluhan orang Lewi yang diberikan kepada Imam-imam dan diserahkan melalui Imam Besar (Bilangan 18:25-32). Regulasi tentang persepuluhan dalam hukum Taurat juga memuat kewajiban suku Lewi untuk memberikan persepuluhan dari seluruh hasil persepuluhan yang mereka terima. 

Persepuluhah suku Lewi ini disebut sebagai persembahan khusus kepada Tuhan yang diberikan kepada imam-imam yang diserahkan kepada imam Harun. Tuhan telah menetapkan bahwa Harun dan keturunannya sebagai imam-imam yang melayani di tabernakel, dan mereka dibantu oleh suku Lewi (Bilangan 18:20; Bandingkan Imamat 8,9). 

Herbert Wolf menjelaskan demikian, “Dalam peranan ini, orang Lewi merupakan ‘pemberian’ kepada Harun dan anak-anaknya ‘untuk melakukan pekerjaan pada Kemah Pertemuan (bilangan 18:6)”.[11] Selanjutnya Herbert Wolf menjelaskan, Karena orang Lewi tidak diberi tanah warisan di Tanah Perjanjian, orang Israel diperintahkan untuk memberikan persepuluhan mereka kepada orang Lewi. Sebaliknya, orang Lewi memberi sepersepuluh bagian dari persepuluhan kepada para imam sebagai suatu persembahan kepada Tuhan (Bilangan 18:21-28)”.[12]

Selain menerima persepuluhan dari orang-orang Lewi, para imam juga menerima ersembahan dari hasil pertama atau buah sulung (Bilangan 18:8-19; Bandingkan Amsal 3:9). Sebagai tambahan, nampaknya pada masa pembuangan Israel dibawah penawanan Babel kemungkinan besar persepuluhan orang Lewi untuk para imam ini juga tidak dijalankan, namun “pada masa pemulihan Israel dari pembuangan di Babel, persembahan persepuluhan dari persembahan persepuluhan itu dilaksanakan kembali, dan diberikan juga kepada dua anak laki-laki Harun (Nehemia 10:38-39)”. [13] Persepuluhan ini diletakkan dalam bilik-bilik perbendaharaan rumah Allah (Nehemia 12:44; 13:4-5, 10-12).

3. Persepuluhan di akhir tahun ketiga (Ulangan 14:28-29; 26:12-14). Selain memberikan persepuluhan penghasilan mereka setiap tahunnya (Ulangan 14:22), orang Israel juga diperintahkan memberikan persepuluhan pada tahun ketiga (Ulangan 14:28). Persepuluhan tersebut tidak hanya dimaksudkan diberikan pada orang Lewi tetapi juga kepada orang asing, anak yatim, dan janda (Ulangan 14:29;26:12-14). 

Pemberian persepuluhan ketiga ini penting dengan maksud agar orang Israel tidak melupakan setiap orang yang membutuhkan, yaitu orang Lewi, orang asing, anak yatim, dan para janda. Pemberian persepuluhan tahunan yang tidak teratur dari suku-suku Israel yang lainnya akan mengakibatkan orang Lewi hidup dalam kekurangan, karena itu sebagai bentuk antisipasi, maka orang Israel diharus memberikan persepuluhan pada tahun ketiga kepada orang Lewi, selain persepuluhan tahunan mereka (Ulangan 14:22).

Pemberian persepuluhan di akhir tahun ketiga ini juga diberikan kepada orang asing. Hal ini penting mengingat secara historis orang Israel juga pernah menjadi orang asing di Mesir selama sekitar 400 tahun (Keluaran 22:21; 23:9;Ulangan 10:18-19). 

Selain orang Lewi dan orang asing, persepuluhan ini juga diberikan kepada anak yatim dan para janda. Anak yatim adalah anak yang ditinggal mati oleh ayahnya. Sedangkan yang dimaksud dengan para janda adalah mereka yang sudah ditinggal mati oleh suaminya dan mereka yang sudah lanjut usianya (sekitar 55 tahun ke atas) dalam keadan miskin dan kekurangan. 

Pemberian persepuluhan bagi anak yatim dan para janda ini penting dilakukan karena mengekspresikan perhatian dan kepedulian Tuhan pada mereka. Di kemudian hari Pemazmur mengingatkan bahwa “Bapa bagi anak yatim dan Pelindung bagi para janda, itulah Allah di kediaman-Nya yang kudus” (Mazmur 68:6). Perintah Tuhan kepada Israel agar patuh melakukan persepuluhan ketiga ini disertai janji, “... supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau di dalam segala usaha yang dikerjakan tanganmu” (Ulangan 14:29b).

4. Persepuluhan yang menjadi hak raja yang diberikan bagi pegawai dan pemerintahannya (1 Samuel 8:14-17). Ketika orang Israel menolak pemerintahan teokrasi Allah dengan meminta seorang raja yang memerintah atas mereka, maka Tuhan melalui Nabi Samuel menunjukkan hak seorang raja yang akan memerintah atas Israel (1 Samuel 8:1-212). 

Regulasi mengenai persepuluhan ini tidak termasuk dalam hukum Taurat Musa, tetapi merupakan regulasi yang ditambahkan kemudian dalam hukum sipil kerajaan Israel, yaitu ketika bangsa Israel memiliki seorang raja yang memerintah atasnya. Persepuluhan ini ditarik dari penghasilan tanah dan hasil ternak bangsa Israel. Namun, persepuluhan sebagai hak raja ini berbeda dari persepuluhan yang diberikan kepada orang Lewi dan persepuluhan diakhir tahun ketiga.

Pemberian persepuluhan ini wajib dilaksanakan oleh orang Israel, karena persepuluhan ini merupakan upeti atau pajak penghasilan yang dipungut oleh raja dari rakyatnya, yang berhubungan hak dan otoritas raja dalam menjalankan pemerintahnya. 

Kevin J. Conner menjelaskan demikian, “Ketika Israel memilih untuk memiliki seorang raja yang memimpin, mereka menentukan sendiri persepuluhan lainnya. Ini merupakan pajak persepuluhan yang ditentukan sendiri demi kelangsungan hidup kerajaan, dan membantu pendapatan raja (Bandingkan 2 Raja-raja 23:35). Perpajakan dibutuhkan oleh raja. Ini merupakan persepuluhan yang diberikan sendiri di atas persepuluhan lainnya, sesuai dengan keinginan mereka sendiri untuk memiliki seorang raja seperti bangsa-bangsa lainnya”.[14]

Dengan demikian pada saat itu orang Israel diwajibkan untuk memberikan persepuluhan dari penghasilan mereka kepada orang Lewi dan imam. Pemberian persepuluhan ini diwajibkan karena berhubungan dengan hak suku Lewi, sistem keimanan, peribadatan dan persembahan di Israel. Dengan kata lain pemberian persepuluhan ini berhubungan dengan hukum seremonial orang Israel. Sementara itu, dipihak lainnya, kepada orang Israel dipungut sepersepuluh dari penghasilan mereka yang diberikan kepada raja sebagai sebagai pajak untuk pemerintahannya. Pemberian persepuluhan ini berhubungan dengan hukum sipil di kerajaan Israel.

5. Pemberian berupa persembahan-persembahan lainnya. Bangsa Israel tidak hanya diwajibkan memberikan persepuluhan, tetapi juga untuk memberikan kepada Tuhan persembahan-persembahan lainnya (Ulangan 12:6). 

Pemberian-pemberian yang diperintahkan kepada Israel selain persepuluhan antara lain : 

(1) Korban bakaran adalah korban yang paling umum dari semua korban lainnya yang dipersembahkan untuk pendamaian (Imamat 1), korban sajian untuk menyenangkan hati Tuhan (imamat 2:1-16; 6:14-23), korban keselamatan (Imamat 3) yang terdiri dari : korban syukur sebagai tanggapan atas atas suatu berkat khusus (Imamat 7:12-15), Korban nazar yang di persembahkan sebagai rasa syukur karena telah melewati suatu masa kesukaran (Ulangan 12:6; Bandingkan Yunus 2:9), dan korban sukarela sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada Allah (Imamat 7:16-18); 

(2) Persembahan dari hasil pertama atau buah sulung yang diberikan kepada imam (Bilangan 18:8-19; Bandingkan Amsal 3:9); (3) Persembahan sukarela untuk membangun tempat-tempat suci atau tempat ibadah (Keluaran 36:1-7; Ulangan 16:10; 1 Tawarikh 29:9-19).

Perlu diketahui bahwa persembahan persepuluhan tidak digunakan untuk membangun tempat-tempat suci, persembahan persepuluhan secara khusus digunakan untuk menopang kehidupan suku Lewi, imam-imam, orang asing, orang miskin dan para janda Pembangunan tempat-tempat suci seperti Kemah Musa (Keluaran 25:1-40; 36:1-6), Bait Suci Salomo (1 Tawarikh 29:1-9), dan Bait Suci yang diperbaiki (Ezra 1:6; 2:68; 7:15), pendanaannya tidak bersumber dari persepuluhan melainkan dari persembahan sukarela orang Israel. 

Derek Prince menjelaskan, “Di bawah peraturan hukum Taurat persepuluhan hanya dipakai untuk membiayai keperluan hidup para imam bukan untuk pembangunan atau penyediaan peralatan tempat ibadah. Untuk keperluan yang demikian, dananya diambil dari persembahan khusus, misalnya untuk tabernakel (keluaran 35:4-29; 36:5-7), untuk Bait Salomo (1 Tawarikh 29:1-9)”.[15]

Ringkasnnya:

1. Praktek persepuluhan bukan berasal dari hukum Taurat. Praktek pemberian persepuluhan telah dilakukan oleh Abraham dan Yakub jauh sebelum hukum Taurat ada.

2. Pemberian persepuluhan ini kemudian diwajibkan bagi Israel diatur pelaksanaannya dalam regulasi hukum Taurat. Isi regulasi mengenai persepuluhan itu mewajibkan : 

(1) Orang-orang Israel mempersembahkan persembahan persepuluhan (10%) dari pengasilan mereka kepada Tuhan setiap tahunnya dan persepuluhan itu diberikan kepada suku Lewi; 

(2) Suku Lewi kemudian memberikan persepuluhan (10%) mereka dari persepuluhan orang Israel tersebut kepada imam Harun dan anak-anaknya; 

(3) Pada akhir tahun ketiga, selain mempersembahkan persepuluhan tahunannya, maka orang Israel harus mempersembahkan persembahan persepuluhan (10%) yang diberikan pada orang Lewi, orang asing, anak yatim dan para janda. Dengan demikian di tahun ketiga jumlah persepuluhan yang harus diberikan orang Israel adalah 20%.

3. Setelah Israel menganut sistem kerajaan maka raja memiliki hak untuk memungut persepuluh (10%) dari orang Israel setiap tahunnya sebagai pajak (upeti) yang dipakai raja untuk menggaji para pegawainya. Dengan adanya pengaturan persepuluhan dalam hukum sipil ini maka setiap tahunnya bangsa Israel harus mempersembahkan 20 % penghasilannya dengan pembagian 10% untuk orang Lewi dan 10% untuk raja. Pada tahun ketiga jumlah persepuluhan mereka menjadi 30% karena selain memberikan persepuluhan untuk orang Lewi (10%)dan raja (10%), maka di akhir tahun ketiga orang Israel juga memberikan persepuluhan (10%) bagi orang Lewi, orang asing, anak yatim dan para janda.

4. Persentase pemberian persepuluhan di atas belum termasuk persembahan kurban dlam sistem keimaman, persembahan hasil pertama (sulung) kepada imam, persembahan sukarela untuk pembangunan tempat ibadah dan perlengkapannya, serta persembahan-persembahan lainnya.

“(7:1) Sebab Melkisedek adalah raja Salem dan imam Allah Yang Maha tinggi;

ia pergi menyongsong Abraham ketika Abraham kembali dari mengalahkan raja-raja, dan memberkati dia. (7:2) Kepadanya pun Abraham memberikan sepersepuluh dari semuanya. Menurut arti namanya Melkisedek adalah pertama-tama raja kebenaran, dan juga raja Salem, yaitu raja damai sejahtera. (7:3) Ia tidak berbapa, tidak beribu, tidak bersilsilah, harinya tidak berawal dan hidupnya tidak berkesudahan, dan karena ia dijadikan sama dengan Anak Allah, ia tetap menjadi imam sampai selama-lamanya. (7:4) Camkanlah betapa besarnya orang itu, yang kepadanya Abraham, bapa leluhur kita, memberikan sepersepuluh dari segala rampasan yang paling baik.” (Ibrani 7:1-4)

PEMBAHASAN SESI 3 :PERSPEKTIF TEOLOGIS AJARAN TENTANG PERSEPULUHAN DALAM KEKRISTENAN 

KONSEKUENSI LOGIS ATAS KELALAIAN ORANG ISRAEL MEMBERIKAN PERSEPULUHAN MENURUT HUKUM TAURAT

Kata “hukum Taurat” dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari kata Ibrani “torah”, dan hukum Perjanjian Lama ini meliputi perintah-perintah (miswáh), ketetapan-ketetapan (hōq), dan peraturan-peraturan (mispát).[1] Lebih dari 600 hukum terdapat di dalam kitab Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Maksud perundang-undangan Alkitabiah ini adalah untuk menertibkan dan mengatur hidup peradilan Israel di bidang perdata, keagamaan, dan pidana sesuai dengan kekudusan yang diperlukan untuk memelihara hubungan kovenan dengan Yahweh.[2] Dalam tradisi Yahudi, hukum atau petunjuk yang ada dalam Pentateukh (lima kitab Musa) berjumlah 613 yang dibagi menjadi 365 berupa perintah negatif dan 248 berupa perintah positif.[3]

1. Hukum Taurat bersifat bersyarat, mengikat dan mewajibkan. Bagian terbesar dari perundang-undangan Perjanjian Lama terdapat dalam Keluaran 20 sampai dengan Ulangan 33, dan seluruhnya berasal dari persetujuan kovenan atau upacara-upacara pembaharuan di gunung Sinai dan gunung Nebo. Menurut Andrew E Hill dan John H. Walton, “Hukum Perjanjian Lama adalah hukum kovenan; hukum itu berdasarkan perjanjian yang mengikat dan mewajibkan dua pihak yang berbeda”.[4] 

Eugene H. Merrill mengatakan “hukum kovenan yang diberikan Tuhan kepada Bangsa Israel (Bandingkan Keluaran 19:4-6) dan diterima oleh bangsa Israel (Keluaran 19:8) adalah bersyarat”. Herbert Wolf mengatakan, “hal tersebut jelas tidak diragukan mengingat bentuk hukum itu sendiri merupakan suatu perjanjian (kovenan)”.[5] 

Selanjutnya Herbert Wolf menambahkan, “satu-satunya cara Israel dapat gagal ialah apabila mereka melanggar syarat-syarat perjanjian yang diikat Allah dengan mereka di gunung Sinai”.[6] Karena “pada umumnya, hukum Perjanjian Lama terdiri atas ketentuan-ketentuan kovenan yang menyatakan dan bersifat menentukan bagi kehidupan umat Ibrani (yang bersifat amat harfiah dalam Ulangan 30:15-18)”. [7] Jadi, “Tuhan telah mengambil prakarsa dan Israel menerima tanggung jawab untuk ikut serta dan taat”.[8]

Jelaslah bahwa sifat perjanjian hukum Tauat tersebut bersyarat. Artinya perjanjian tersebut menuntut syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang Israel.[9] Yang termadiwijono ada 3 (tiga), yaitu : (1) Adanya unsur Kitab Perjanjian (keluaran 24:7), yang berisi segala firman Tuhan serta peraturan-peraturan Tuhan yang harus dipenuhi oleh umat Israel. (2) Perjanjian Sinai ini didasarkan atas persetujuan bersama, sekalipun inisiatif atau prakarsanya datang dari Tuhan sendiri (Kejadian 20:1). Apakah perjanjian ini mempunyai kekuatan atau tidak seolah-olah bergantung dari umat Israel, yaitu Israel menaati atau tidak segala peraturannya (keluaran 23:22-25). (3) Didlam perjanjian ini sering disebutkan adanya kemungkinan, bahwa Israel akan memutuskan perjanjian, umpamanya dalam Imamat 26:15 dan Ulangan 31:20.Jikalau Israel memutuskan perjanjian, Tuhan juga akan berbuat demikian (Imamat 26:44), sekalipun firman ini hanya berwujud ancaman (Bandingkan Imamat 26:25; Ulangan 29:21).[10]

2. Klasifikasi hukum Taurat. S. Wismoady Wahono, seorang guru besar Perjanjian Lama di STT Jakarta, menjelaskan klasifikasi hukum taurat berdasarkan bentuknya, yaitu : (1) Bentuk kasuistik, dimana bentuk ini terdapat dalam hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang mengenai kasus-kasus peristiwa. Disitu peristiwa-peristiwa ditangani secara satu-satu kasus. Kasus peristiwa yang satu tidak sama dengan kasus peristiwa yang lain; (2) Bentuk apodikstis, dimana bentuk ini biasanya terdapat dalam hukum atau peraturan yang melarang, menyuruh atau mengharuskan orang Israel untuk berbuat sesuatu. Larangan, suruhan, atau pengharusan itu biasanya disertai alasan.[11]

Sementara itu, Andrew E. Hill dan John H. Walton lebih spesifik membagi hukum Taurat ke dalam beberapa sub kategori yang penting dalam hukum kovenan tersebut seperti berikut ini : 

(1) Hukum kasuis atau hukum kasus, biasanya dikemukakan dalam rumusan yang bersyarat “jika/apabila... maka”, membuat rujukan pada rujukan tertentu yang bersifat hipotesis. Misalnya dalam Ulangan 22:22. 

(2) Hukum apodiktis atau perintah-perintah langsung yang bersifat afirmatif dan negatif yang menetapkan batas-batas perilaku yang pantas dalam masyarakt Ibrani. Misalnya dalam Keluaran 20;3 dan Keluaran 20:12. 

(3) Larangan atau perintah negatif yang menujuk ada pelanggaran hipotesis dan tidak menetapkan hukuman yang pasti. Misalnya dalam Imamat 19:14. 

(4) Hukuman mati, paduan dari larangan yang membuat suatu pernyataan hukum yang jelas tentang berbagai kejahatan khusus yan patut dijatuhi hukuman mati. Misalnya dalam Keluaran 21:15). 

(5) kutukan, pengembangan dari dan hukum kematian ditujukan untuk kejahatan-kejahatan yang dilakukan secara tersembunyi. Kutukan dimaksudkan untuk melindungi masyarakat kovenan dari kenajisan sebagai akibat dari pelanggaran terhadap ketetapan perjanjian dan mendatangkan hukuman ilahi atas pelaku kejahatan tersebut. Misalnya dalam Ulangan 27:17; dan Ulangan 27:24).[12]

Andrew E. Hill dan John H. Walton juga menambahkan dalam penjelasannnya demikian, “Isi dari hukum Timur kuno dapat diringkas di bawah tiga pokok : hukum perdata, hukum seremonial dan hukum penyembahan. Subbagian hukum perdata meliputi perkawinan dan keluarga, warisan, harta milik, budak, utang, pungutan pajak, dan upah. Pokok-pokok tambahan yang umum dibawah hukum seremonial adalah pembunuhan, perzinahan dan pemerkosaan, pencurian, penyimpangan seksual, kesaksian palsu, penyerangan, dan utang-piutang. Hukum penyembahan mengatur atau mengorgnisasikan undang-undang di bawah empat bagian utama, meliputi korban-korban, persembahan, pengudusan, cara tau sasaran penyembahan, dan pelaksanaan hari raya”.[13]

Namun, menurut Charles C. Ryrie, “secara umum hukum Taurat dibagi menjadi tiga bagian: moral, seremonial, dan yudisial. Sepuluh perintah Allah merupakan bagian dari moral (keluaran 34:28). Peraturan-peraturan dimulai pada Keluaran 21:2 dan memuat suatu daftar peraturan mengenai hak-hak diantara orang laki-laki dengan peraturan-peraturan yang menyertai tentang ketentuan-ketentuan bai para pelanggarnya. Bagian seremonial mulai dari Keluaan 25:1 dan mengatur kehidupan ibadah umat Israel”.[14] 

Menurut Charles C. Ryrie, dalam teologi Kristen, pembagian hukum Taurat menjadi tiga (moral, seremonial, dan yudisial) tersebut hampir secara universal di terima.[15] Nampaknya, Kevin J. Conner dan Ken Malmin, juga mengakui pembagian hukum Taurat menjadi: moral, seremonial, dan yudisial. Perhatikan pernyataan berikut, “Di gunung Sinai Allah membawa bangsa itu ke dalam aturan Musa. Pengaturan tersebut meliputi hukum moral, hukum sipil, dan hukum seremonial. Hukum seremonial mencakup Kemah Suci, Keimaman, persembahan kurban, perayaan, dan hari Sabat”.[16]

3. Persepuluhan dan kutuk hukum Taurat. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat diketahui bahwa pemberian persepuluhan merupakan hal diwajibkan bagi orang Israel yang diatur dengan jelas di dalam hukum Taurat. Namun, walaupun pemberian persepuluhan itu diwajibkan, tetapi pada kenyataannya tidak ada hukuman yang sifatnya langsung diberikan kepada orang Israel karena tidak memberikan persepuluhan. Jika kita meneliti hukum-hukum lainnya yang diberikan Allah kepada umat Israel maka kita akan menemukan adanya hukuman yang diberikan kepada orang Israel yang gagal mematuhi hukum-hukum tersebut. Misalnya, pelaku homoseksual adalah kekejian bagi Tuhan. 

Hal tersebut bukan hanya pelanggaran moral atau etik, tetapi merupakan kriminalitas (kejahatan) dihadapan Tuhan yang patut dihukum mati (Imamat 18:22; 20:13). Contoh lainnya adalah tentang minyak urapan dalam Keluaran 30:22-31. Disitu dijelaskan bahwa minyak urapan itu khusus dan kudus, maka tidak boleh digunakan secara sembarangan dan tidak digunakan untuk benda-benda atau orang-orang biasa. Penggunaan minyak urapan untuk orang biasa merupakan pelanggaran langsung terhadap perintah Tuhan dan berakibat hukuman mati (Keluaran 30:32-33). Dari kedua contoh tersebut kita melihat bahwa hukuman merupakan konsekuanesi logis dari pelanggaran terhadap hukum.

Tetapi dalam hal persepuluhan, kita tidak menemukan adanya hukuman yang langsung diberikan kepada orang Israel karena tidak memberikan persepuluhan. Bahkan tidak ada perintah kepada orang Yahudi untuk menghukuman orang lain karena tidak membayar persepuluhan. Tidak adanya hukuman langsung yang diberikan kepada orang Israel karena tidak memberikan persepuluhan tersebut bukan berarti tidak ada konsekuensi dari kesengajaan melalaikan kewajiban ini. 

Karena pada dasarnya, sebagaimana telah dijelaskan disebelumnya, bahwa hukum Perjanjian Lama adalah hukum kovenan dan hukum perjanjian itu bersifat bersyarat, mengikat dan mewajibkan untuk dilaksanakan. Jika hukum Taurat itu tidak dilaksanakan dengan patuh atau dilanggar, maka akan mendatangkan kutukan. Dikatakan demikian, “Terkutuklah orang yang tidak menepati perkataan hukum Taurat ini dengan perbuatan. Dan seluruh bangsa itu haruslah berkata: Amin!” (Ulangan 27:26; Bandingkan dengan Ulangan 28:15; 29:25). 

Mengenai berbagai kutuk dalam hukum Taurat itu Herbert Wolf menjelaskan, “Ulangan Pasal 28 seperti Imamat 26, juga mulai dengan sekitar dua belas ayat berisi berkat, tetapi kutuk-kutuk yang disebutkan sesudahnya bahkan jauh lebih banyak dibanding dengan yang ada dalam Imamat. Bersama dengan peringatan-peringatan tambahan dalam pasal 29 dan 30, kutuk-kutuk ini merupakan semacam klimaks untuk seluruh Pentateukh (kitab Taurat), serta mendesak orang Israel untuk menanggapi Allah dengan ketaatan dan dengan demikian mereka dapat terlepas dari hukuman yang keras yang telah tersedia jika mereka tidak taat”.[17] 

Kukuk-kutuk dalam Ulangan 28 dan 29 itu dapat dikategorikan menjadi : (1) kutuk kemarau dan panen yang gagal; (2) kutuk penyakit dan kebutaan; (3) Kutuk penyerbuan dan penawanan; (4) kutuk kehinaan dan nama buruk.[18]

Lebih lanjut Herbert Wolf juga mengatakan, “Petujuk yang kuat mengenai pentingnya pasal-pasal ini adalah penekanannya dalam kitab-kitab nubuat. Dalam nabi-nabi besar dan nabi-nabi kecil, berulang-ulang terdapat alusi kepada berbagai kata dan konsep tertentu dalam Ulangan pasal 28-29. Hukuman yang diumumkan oleh para nabi dihubungkan secara langsung dengan kutuk-kutuk yang diuraikan oleh Musa, sehingga tidak diragukan lagi bahwa kesukaran yang dialami Israel telah disebabkan oleh ketidaktaatan mereka. Bangsa itu melanggar syarat-syarat Perjanjian Musa dan dengan demikian mendatangkan murka Allah dan pemenuhan nubuat kutuk-kutuk itu”.[19]

Eugene H. Merrill juga menjelaskan mengenai kutuk hukum Taurat yang dihubungkan dengan pelanggaran perjanjian sebagai berikut, “Prinsip yang dikemukakan bahwa berkat dan kutuk (Ulangan 11:26-32) akan mengikuti sesuai dengan bagaimana sikap Israel terhadap 

(1) pemeliharaan Tuhan pada masa lalu (ayat 1-7), 

(2) JanjiNya untuk memberikan negeri yang baik (ayat 8-17), 

(3) ketaatannya kepada perintah pada syarat-syarat perjanjian (ayat 18-25)”.[20] Lebih lanjut dijelaskannya, “Bagian berisi kutuk dalam Imamat 26:14-39 mengaitkan kutuk dengan pelanggaran perjanjian (ayat 15), suatu pembangkangan yang akan membalikkan janji-janji kesuburan, kemakmuran, dan keamanan negeri itu. Kedurhakaan yang berkelanjutan akhirnya akan membuat bangsa itu dibuang dan negerinya akan menjadi tandus, suatu kebalikan dari peristiwa Keluaran itu sendiri dengan bangsa yang sekaligus hamba TUHAN itu menjadi budak dari tuhan yang lain”.[21]

Dengan demikian, konsekuensi dari kelalaian menjalankan kewajiban persepuluhan itu melekat pada kewajiban untuk menaati seluruh perintah dalam hukum Taurat. Sebab jika tidak melaksanakan dengan patuh maka sebagai akibat dari pelanggaran terhadap ketetapan perjanjian itu akan mendatangkan hukuman ilahi berupa kutukan. 

Berdasarkan pemahaman inilah kita dapat mengerti mengapa Tuhan, melalui nabi Maleakhi mengatakan bahwa bangsa Israel telah kena kutuk karena tidak taat menjalankan hukum Taurat, termasuk ketidakpatuhan dalam memberikan persembahan persepuluhan. 

Tuhan berfirman melalui Maleakhi demikian, “Sejak zaman nenek moyangmu kamu telah menyimpang dari ketetapan-Ku dan tidak memeliharanya. Kembalilah kepada-Ku, maka Aku akan kembali kepadamu, firman TUHAN semesta alam. Tetapi kamu berkata: "Dengan cara bagaimanakah kami harus kembali?" Bolehkah manusia menipu Allah? Namun kamu menipu Aku. Tetapi kamu berkata: ‘Dengan cara bagaimanakah kami menipu Engkau?’ Mengenai persembahan persepuluhan dan persembahan khusus! Kamu telah kena kutuk, tetapi kamu masih menipu Aku, ya kamu seluruh bangsa!” (Maleakhi 3:8-9).[22] 

Catatan pinggir The Learning Bible Contemporary English Version menjelaskan Maleakhi 3:8 demikian, “Umat Israel diharapkan memberikan kepada TUHAN sepersepuluh dari semua hasil panen dan ternak mereka (Imamat 27:30-33; Bilangan 18:20-32; Ulangan 12:5-19; 14:22-29; Nehemia 13:12). Sepuluh persen itu kepunyaan Allah Bagian itu akan digunakan sebagai kurban dalam bait Allah dan untuk menopang hidup imam-imam dalam bait Allah serta kelaurag mereka. Tidak memberikan persembahan yang diwajibkan berarti menipu Allah dan lalai mendukung pelayan-pelayan Allah, yaitu para imam”.[23]

Mengomentari Maleakhi 3:7-9 tersebut, Burton L. Goddard, seorang profesor bidang eksegese dan Bahasa-bahasa Alkitab, Gordon Divinity School menjelaskan : 

(1) frase “menyimpang dari ketetapanKu” dalam ayat 7 adalah bahwa ketetapan-ketetapan yang dimaksud disini adalah berbagai persyaratan yang menyangkut persembahan persepuluhan dan persembahan khusus. Dan bila bangsa Ini bertobat dan kembali kepada Tuhan, maka mereka akan dipulihkan untuk menerima kembali kemurahan Tuhan; 

(2) Maksud frase “namun kamu menipu Aku” dalam ayat 8 menujuk kepada kesalahan dalam penatalayanan persepuluhan dan persembahan khusus. Kesalahan dalam penatalayanan tersebut sama saja dengan menipu atau mencuri. Persepuluhan mengacu pada Imamat 27:30-33; Bilangan 18:20-32; Ulangan 14:22-29. Sedangkan persembahan khusus adalah kata Ibrani “terûmâ” mengacu pada pemberian sukarela yaitu pemberian hasil pertama, pemberian pajak setengah syikal untuk tempat kudus, dan persembahan-persembahan korban untuk para imam (Keluaran 3o:13; Imamat 7:14; Bilangan 15:19-21; Imamat 18:26-29); 

(3) Sedang kutuk (kherem) yang dimaksud dalam ayat 9 adalah hukuman yang dihubungkan dengan Maleakhi 2:2 yang akan menimpa bangsa yang bersalah itu secara menyeluruh. Nampaknya bangsa Israel telah berpura-pura dalam memenuhi hukum Taurat, dengan memberikan sebagian persepuluhan di hadapan Allah tetapi bukan semua yang diharuskan oleh hukum Taurat. Karena itu kutuk ditimpakan kepada keseluruhan bangsa Israel.[24]

Perlu diketahui, bahwa tema yang menonjol dalam nubuat Maleakhi adalah hubungan Perjanjian Israel dengan Yahweh (TUHAN) dan berbagai akibatnya. Secara khusus nabi itu mengutip perjanjian Lewi (Maleakhi2:9), Perjanjian bapa leluhur dan perjanjian pernikahan (Maleakhi 2:10-16), dan utusan perjanjian itu (Maleakhi 3:1).[25] Maleakhi mengingatkan umat Israel akan kedudukan Tuhan yang berdaulat sebagai Bapa dan Penguasa dan sebagai pembuat perjanjian (bandingkan Ulangan 32:6-12). 

Sebagai Bapa dan Penguasa, Dia layak diperlakukan dengan penuh hormat sesuai dengan hubungan ikatan perjanjian (keluaran 20:12; Ulangan 31:1-10). Sebagai pembuat perjanjian, Tuhan juga menjadi pemelihara perjanjian (Keluaran 34:6-7; Mazmur 111:9), yang tidak berubah dan setia pada firmanNya (Maleakhi 3:6; Ulangan 7:6-11).

Namun perlu ditegaskan, bahwa kelalaian dalam membawa persembahan persepuluhan dan persembahan khusus bukanlah satu-satunya kesalahan yang ditegur keras oleh Maleakhi sehingga menyebabkan Israel kena kutuk. 

Melalui nubuatannya, Maleakhi membandingkan ketidaksetiaan Israel dengan kesetiaan Tuhan, sambil mengutip pelanggaran-pelanggaran khusus tehadap ketetapan-ketetapan perjanjian, yaitu : (1) keimaman yang korup dan puas dengan dirinya; (2) ibadah yang membosankan dan tidak sungguh-sungguh menjadi korban pujian yang penuh sukacita; (3) penyalahgunaan yang menyangkut persepuluhan dan korban-korban di bait suci; (4) perceraian dan putusnya hubungan keluarga.

4. Janji berkat sebagai balikan kutuk Taurat. Setelah menegur kesalahan Israel, Tuhan melalui nabi Maleakhi kemudian mengajak Israel untuk “Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumah-Ku dan ujilah Aku, firman TUHAN semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan. Aku akan menghardik bagimu belalang pelahap, supaya jangan dihabisinya hasil tanahmu dan supaya jangan pohon anggur di padang tidak berbuah bagimu, firman TUHAN semesta alam. Maka segala bangsa akan menyebut kamu berbahagia, sebab kamu ini akan menjadi negeri kesukaan, firman TUHAN semesta alam” (Maleakhi 3:10-12). 

Herbert Wolf mengatakan, “Baik di Imamat pasal 26 maupun Ulangan 28, kutuk-kutuk karena ketidaktaatan diuraikan, dan kedua pasal ini menjadi suatu nubuat yang tragis tentang malapetaka yang akan menimpa bangsa itu. Tetapi sekalipun kutuk itu mulai terasa dan Israel menderita bencana demi bencana, Allah masih berjanji bahwa dengan rahmani Ia akan memulihkan umatNya. Bila umat ini mengakui dosa-dosa mereka lalu berbalik kepada Tuhan dengan segenap hatinya, maka Ia akan menyelamatkan mereka dari negeri-negeri asing dan membawa mereka kembali ke kanaan (Imamat 26:40-45; Ulangan 30:1-10)”.[26]

“Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat. Ia diutus untuk menebus mereka, yang takluk kepada hukum Taurat, supaya kita diterima menjadi anak” (Galatia 4:4-5).

PEMBAHASAN SESI 4 :PERSPEKTIF TEOLOGIS AJARAN TENTANG PERSEPULUHAN DALAM KEKRISTENAN 

YESUS DAN PERSEPULUHAN (SUATU PEMBUKTIAN TEOLOGIS BAHWA BAHWA YESUS MEMBERIKAN, MENGAJAR DAN MELEGITIMASI PERSEPULUHAN)

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa praktek persepuluhan telah ada sebelum hukum Taurat ada, dan bahwa praktek pemberian persepuluhan tersebut bagi bangsa Israel di kemudian hari diatur dalam dihukum Taurat sebagai sesuatu yang diwajibkan untuk dilaksanakan. Selanjutnya, pada bagian ini kita akan mempelajari tentang Yesus dan persepuluhan, dengan mencari jawaban atas dua pertanyaan penting yang muncul secara konstan, yaitu: (1) Apakah Yesus membayar persepuluhan? (2) Apakah Yesus mengajar dan melegitimasikan persepuluhan? 

KETAATAN YESUS YANG SEMPURNA TERHADAP HUKUM TAURAT 

Meskipun tidak ada ayat spesifik yang menyebutkan bahwa Yesus memberi persepuluhan, tetapi bukan berarti Yesus tidak memberi persepuluhan. Namun justru dapat dipastikan bahwa tidak ada ayat di dalam yang menunjukkan ataupun mengindikasikan Yesus tidak membayar persepuluhan. 

Para penulis Perjanjian Baru, khususnya para penulis kitab Injil memang tidak bermaksud menyajikan secara detail setiap tahap dari rentetan peristiwa dalam kehidupan Yesus, namun apa yang ditulis merupakan hal-hal yang dianggap penting yang berhubungan dengan penyelamatan. Tetapi perlu diketahui bahwa Yesus hidup dan melayani pada masa Perjanjian Lama dimana persepuluhan sebagai kewajiban yang mengikat dalam hukum Taurat masih berlaku. Secara teologis masa Perjanjian Baru dimulai setelah peristiwa kematian Yesus di kayu salib. 

Donald C. Stamps menjelaskan, “Yesuslah yang mengadakan perjanjian yang baru (diatheke)... Kedudukan Yesus Kristus selaku pengantara perjanjian yang baru (Ibrani 8:6; 9:15; 12:24) berlandaskan kematianNya sebagai korban (Matius 26:28; Markus 14:24; Ibrani 9:14-15; 10:29; 12:24).”[1] 

The Learning Bible Contemporary English Version ketika menjelaskan Matius 26-26-28 mengatakan demikian, “Yesus memakai roti dan anggur untuk menunjukkan bahwa hidup-Nya akan dikorbankan demi pengampunan dosa. Pengorbanan ini menjadi dasar Perjanjian Baru antara Allah dan umat-Nya yang baru.”[2] 

Jadi jelaslah bahwa Yesus hidup dan melayani pada masa Perjanjian Lama. Dan selama hidupNya itu Ia taat pada hukum Taurat. Galatia 4:4-5 merupakan salah satu ayat Alkitab yang dapat menjadi petunjuk dalam menjelaskan ketaatan Yesus yang sempurna terhadap hukum Taurat. 

Merril C. Tenney mengatakan, “Umat Kristen mula-mula dikenal dengan ‘sekte orang Nasrani’ (kisah Para Rasul 24:5,14), yang dianggap sebagai suatu cabang dari kepercayaan induk Yudaisme. Yesus sendiri adalah orang Yahudi yang lahir dalam sebuah keluarga Yahudi (Matius 1:16), dan disunat sama seperti bocah-bocah Yahudi lainnya (Lukas 2:21). Sebagai seorang anak, Ia dibawa ke Yerusalem untuk mengikuti upacara perayaan Paskah (Lukas 2:41), dan sepanjang hidup-Nya Ia menjalankan adat kebiasaan bangsa Yahudi serta hidup ditengah-tengah masyarakatnya”.[3] Hal ini sesuai dengan penegasan Alkitab tentang Yesus yang menyatakan demikian, “Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat. Ia diutus untuk menebus mereka, yang takluk kepada hukum Taurat, supaya kita diterima menjadi anak” (Galatia 4:4-5). 

The Learning Bible Contemporary English Version menjelaskan ayat ini demikian, “Yesus adalah putra seorang perempuan Yahudi yang bernama Maria (Matius 1:18-25; Lukas 1:25-56; 2:1:20), dan sebagai seorang Yahudi Ia menaati hukum Taurat”. [4] Ketaatan Yesus pada hukum Taurat ini tentunya termasuk dalam pemberian persepuluhan.

Sebagai tambahan, menurut hukum Yahudi usia seorang anak di golongkan dalam 8 fase, yaitu : Yaled (usia bayi), Yonek (usia menyusu), Olel (lebih tua dari usia menyusu), Gemul (usia disapih), Taph (usia mulai berjalan), Ulem (usia anak-anak), Na’ar (usia menjelang remaja), dan Bahar (usia remaja). Dari catatan tentang kehidupan Yesus dalam Injil, kita hanya membaca 3 fase usia saja yang ditulis, yaitu bayi (yeled), usia menyusu (Yonek), yaitu ketika Ia diserahkan di Bait Allah di hadapan Simeon dan Hanna, dan remaja (bahar) saat berusia 12 tahun ketika diajak Yusuf dan Maria ke Yerusalem. Mengapa demikian? Penjelasan yang paling memuaskan karena 3 fase (yaled, Yonek, dan Bahar) itu memang dianggap oleh Para penulis Injil sebagai hal yang paling penting sehubungan dengan ketaatan pada hukum Taurat dan kebudayaan Yahudi saat itu. 

Dalam pemahaman saya, 

(1) Fase Yaled (kelahiran) penting dicatat oleh penulis Injil karena hal ini berhubungan dengan eksistensi Kristus sebagai manusia yang lahir dari perawan dengan cara yang unik. 

(2) Fase Yonek (sunat dan penyerahan) penting dicatat penulis Injil karena fase ini berhubungan dengan covenan (perjanjian) kekal Allah dengan Abraham nenek moyang Israel (Kejadian 17:10-14). 

(3) Fase Bahar (usia 12 tahun) [5] penting dicatat karena pada usia itu seorang anak laki-laki Yahudi diteguhkan dalam suatu upacara yang disebut “Mitzvah”.[6] Upacara ini secara literal menunjukkan bahwa seorang anak remaja mulai bertanggung jawab secara penuh atas segala perbuatannya di hadapan Tuhan. 

Dalam rangkaian ritual Yahudi itu, Yesus harus melakukan “aliyah (naik)” dan “Bemah (menghadap mimbar untuk menerima kuk hukum Taurat)”. Upacara ini dilakukan pada hari Sabat, karena itu disebut juga “thepilin Shabat”.[7] Pada usia 12 tahun ini adalah masa persiapan Yesus untuk menjadi anggota penuh Asosiasi Sinagoge Yahudi.[8] Anggota penuh Asosiasi Sinagoge Yahudi harus berusia 13 tahun.[9] 

Catatan pinggir The Learning Bible Contemporary English Version menjelaskan Lukas 2:42 tersebut demikian, “Pada umur 12 tahun, anak laki-laki Yahudi mulai dipersiapkan untuk berperan penuh dalam jemaat (maksudnya sinagoge) pada umur 13 tahun nanti”.[10] Ada kemungkinan pada usia 13 tahun tersebut termasuk awal dimulainya kewajiban seorang Yahudi memberi persepuluhan, karena pada saat itu ia sudah dianggap mampu untuk bertanggung jawab dan berperan penuh dalam sinagoge.

YESUS SECARA IMPLISIT MENGAJAR PERSEPULUHAN

Setelah menarik kesimpulan bahwa Yesus membayar persepuluhan sebagai bagian dari ketaatanNya pada hukum Taurat, maka berikutnya kita akan menjawab pertanyaan apakah Yesus mengajarkan tentang persepuluhan? Herlianto mengatakan, “Bagaimana pengajaran persepuluhan dalam Perjanjian Baru? Apakah Yesus dan para Rasul mengajarkannya? Kelihatannya tidak, persepuluhan tidak diajarkan oleh Yesus dan para Rasul kecuali disinggung dalam beberapa ayat... Yesus tidak mengajarkan persepuluhan”. [11] Untuk itu kita akan memulai dengan ayat-ayat yang menghubungkan Yesus dengan persepuluhan. Ayat-ayat Perjanjian Baru yang menghubungkan Yesus dengan persepuluhan terdapat dalam Matius 23:23; Lukas 11:42, 18:9-14.

1. Analisis teologis Matius 23:23 (Bandingkan Lukas 11:42) 

Mari kita perhatikan : “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan”. Penjelasan-penjelasan saya mengenai teks ini sebagai berikut :

(1) Konteks keseluruhan dari Matius 23 ini adalah kecaman terhadap orang Farisi [12] dan ahli Taurat [13] yang disampaikan oleh Yesus secara terbuka kepada orang banyak (publik) dan kepada murid-murid-Nya (Matius 23:1), ini terjadi di Bait Allah di Yerusalem (Matius 24:1). Donald C. Stamps menjelaskan, “Kata-kata Yesus dalam pasal 23 ini merupakan kecaman yang paling pedas. PerkataanNya ditujukan kepada para pemimpin agama dan guru palsu yang telah menolak setidak-tidaknya sebagian dari firman Allah dan menggantikannya dengan gagasan dan penafsiran mereka sendiri (Matius 23:28; Bandingkan Matius 15:3-9; Markus 7:6-9).

(2) Dalam ayat-ayat tersebut Yesus tidak melarang para muridNya dan orang banyak untuk menaati hukum Taurat, tetapi Ia justru untuk menaati yang diajarkan oleh ahli-ahli Taurat dan orang Farisi, sejauh ajaran dan tafsiran yang mereka sampaikan sesuai dengan hukum Musa. Karena memang, ahli-ahli Taurat dan orang Farisi menambahkan banyak hal pada hukum Taurat yang digambarkan disini dengan istilah “beban-beban berat” (Matius 23:4) yang ditaruh dipundak orang lain sementara mereka tidak mau menyentuhnya.


Perbuatan ahli-ahli Taurat dan orang Farisi yang menambahkan “beban-beban” yang tidak ada dalam hukum Taurat, inilah yang dilarang oleh Kristus untuk ditiru. Jika kita membandingkan debat Yesus dengan dan orang Farisi dan ahli Taurat dalam Matius 15:1-9, di situ Yesus jelas menyebutkan bahwa apa yang dilakukan orang-orang Farisi dan ahli Taurat itu adalah menuntut orang untuk melaksanakan tradisi (ayat 2,3,9) dan ajaran manusia tetapi mengabaikan (melanggar) perintah Allah. 

 The Learning Bible Contemporary English Version menjelaskan demikian, “Kaum Farisi mengajarkan hukum Taurat dan hukum-hukum lainnya yang tidak terdapat dalam kitab Suci. Tafsiran mereka atas hukum-hukum tersebut dimuat dalam Misnah dan Talmud.”.[14] Jadi, melakukan tradisi dan perintah manusia yang melanggar perintah Allah inilah yang dilarang Yesus untuk ditiru. Jadi di sini Yesus tidak melarang untuk melakukan perintah Allah, yaitu hukum Taurat, melainkan melarang melakukan tradisi dan ajaran manusia yang berlawanan dengan perintah Allah.

(3) Bahwa ketika Yesus mengecam ahli-ahli Taurat dan orang Farisi dalam Matius 23:23, Ia mencela mereka karena mengabaikan hal yang terpenting dalam hukum Taurat, dan bukan karena masalah persepuluhan. Justru disini Yesus menegaskan keharusan persepuluhan ketika Ia mengatakan “yang satu harus dilakukan, tetapi yang lain jangan diabaikan”. 

Frase tersebut dalam bahasa Yunani adalah “εδει ποιησαι κακεινα μη αφιεναι - edei poiêsai kakeina mê aphienai” yang secar harafiah dapat diterjemahkan demikian, “seharusnya yang satu kalian lakukan dan yang lainnya jangan ditinggalkan”. Jadi, jika mengacu pada konteksnya, maka yang harus dilakukan adalah persepuluhan, dan yang jangan diabaikan adalah hal-hal yang terutama dalam hukum Taurat, yaitu keadilan, belas kasihan dan kesetiaan. 

The Wycliffe Bible Commentary menjelaskan demikian, “Keadilan, belas kasihan, dan kesetiaan. Kewajiban-kewajiban dan etika rohani ini (bandingkan Mikha 6:8) merupakan hal yang terpenting dlam hukum Taurat sehingga merupakan hal yang terutama. Sekalipun masalah lainnya (persepuluhan) juga harus dilakukan oleh umat Allah”.[15] Tegasnya, semuanya harus dilakukan. 

 J. Wesley Brill menjelaskan demikian, “Dalam ayat-ayat itu Tuhan tidak menegur orang-orang Farisi dan para Ahli Taurat tentang persepuluhan, sebab mereka memberikan persepuluhan, meskipun dari selasih, adas manis, dan jintan, melainkan Tuhan menegur tentang keadilan, belas kasihan dan kesetiaan yang tidak ada pada mereka. Tuhan Yesus berkata bahwa hal yang penting harus dilakukan. Tetapi perhatikanlah bahwa Tuhan juga berkata ‘dan yang lain jangan diabaikan’. 

Artinya mereka itu wajib melakukan hal yang lebih penting, tetapi janganlah mereka mengabaikan hal memberi persepuluhan, sampai kepada persepuluhan selasih, adas manis, dan jintan (rempah-rempah)”.[16] Jadi disini secara implisit Yesus mengajarkan keharusan membayar persepuluhan tanpa harus mengabaikan keadilan, belas kasihan dan kesetiaan. 

2 Analisis teologis Lukas 18:9-12 

Mari kita perhatikan : “Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini: ‘Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai. Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan penzina dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku”. Penjelasan-penjelasan saya mengenai teks ini sebagai berikut :

(1) Konteks ayat ini adalah perumpamaan Tuhan Yesus yang membandingkan antara orang Farisi dan pemungut cukai yang sama-sama pergi untuk berdoa di Bait Allah. Di dalam doanya, orang Farisi tersebut menganggap dirinya bukan orang jahat, tetapi justru melakukan hal-hal yang baik. Hal tersebut kontras dengan pemungut cukai yang mengakui dirinya sebagai orang berdosa dan membutuhkan belas kasih Tuhan.

(2) Yesus dalam konteks ayat-ayat tersebut tidak memberikan komentar negatif pada perilaku dan tindakan saleh orang Farisi tersebut, tetapi Yesus menyalahkan sikap hatinya yang penuh dengan kesombongan, di mana ia menganggap dirinya benar di hadapan Allah dan menganggap semua orang lain salah (Lukas 18:1). 

Pakar teologi Injili, I. Howard Marshal mengatakan, “Orang Farisi itu adalah orang saleh yang hidup jujur dan tulus. Ia lebih daripada menaati hukum Taurat dengan secara teratur berpuasa pada hari-hari Senin dan Kamis, walaupun hukum Taurat hanya menuntut berpuasa sekali setahun pada hari Pendamaian Besar, dan dengan memberikan sepersepuluh dari segala penghasilannya. Dosanya ialah bahwa ia memuji dirinya sendiri arena kesalehannya, memandang rendah sesamanya manusia dan puas akan dirinya sendiri di depan hadirat Allah”.[17] Jadi, dalam ayat-ayat ini Yesus tidak dalam rangka melarang memberikan persepuluhan, tetapi justru walau bersifat implisit, Yesus menegaskan tentang persepuluhan yang masih berlaku pada masa hidup dan pelayanan-Nya saat itu.

YESUS SECARA IMPLISIT MELEGITIMASI PERSEPULUHAN

Yesus tidak hanya mengajar persepuluhan tetapi secara implisit melegitimasi persepuluhan pada masa hidup-Nya. Mari kita perhatikan, “Maka Ia bertanya kepada mereka: ‘Gambar dan tulisan siapakah ini?’ Jawab mereka: ‘Gambar dan tulisan Kaisar.’ Lalu kata Yesus kepada mereka: ‘Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Matius 22:20-21). Berikut ini analisis teologisnya :

1. Konteks ayat ini adalah jawaban Yesus terhadap pertanyaan orang-orang Farisi yang mengirim murid-murid mereka dan orang-orang Herodian untuk menjebak Yesus dengan pertanyaan tentang pemberian pajak kepada Kaisar. Pertanyaan “apakah diperbolehkan membayar pajak kepada kaisar atau tidak’” adalah pertanyaan jebakan (ayat 15-17). 

Apabila di jawab “ya” berarti Yesus mengkhianati bangsaNya dengan menyetujui memberi pajak kepada penjajah. Apabila dijawab “tidak” maka Yesus berarti membangkang dan bersalah kepada kaisar. Yesus mengetahui maksud dari pertanyaan jebakan itu, dan Ia tidak menjawab ya atau tidak (ayat 18), tetapi segera meminta mereka menunjukkan mata uang yang biasanya dipakai untuk membayar pajak tersebut. Dan mereka memberi-Nya satu mata uang dinar. 

Selanjutnya, daripada menjawab pertanyaan tersebut Yesus justru bertanya balik kepada mereka: "Gambar dan tulisan siapakah ini?" Dengan tegas mereka menjawab "Gambar dan tulisan Kaisar” (ayat 20-21a). Kemudian Yesus dengan cara yang mengagumkan memberi jawaban atas pertanyaan mereka demikian: "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah" (ayat 21b). Jawaban tersebut yang akhirnya membuat mereka bungkam dan pergi meninggalkan-Nya.


2. Di dalam ayat ini Yesus memang tidak secara langsung membicarakan tentang persepuluhan, tetapi secara Implisit, jawaban Yesus terhadap utusan orang-orang Farisi terkandung makna bahwa Yesus melegitimasi pemberian persepuluhan. Ketika Yesus mengatakan, "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah". Apa yang Kaisar punya adalah pajak, dan apa yang Allah punya adalah kewajiban persepuluhan. Keduanya, menurut Yesus harus (wajib) diberikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Yesus dalam hal ini secara tidak langsung telah melegitimasi pemberian persepuluhan. 

J. Wesley Brill menjelaskan demikian, “Apa yang wajib diberikan kepada Allah itu? Tentu persepuluhan milik Tuhan. Dalam hal ini Tuhan Yesus telah menyatakan tentang persepuluhan, dan dengan demikian hal memberikan persepuluhan kepada Tuhan disahkan oleh Tuhan Yesus sendiri”.[18] 

Hal yang sama juga ditegaskan oleh Kevin J. Conner demikian, “Kita wajib memberikan kepada kaisar apa yang menjadi miliknya, dan memberi kepada Allah apa yang menjadi milik-Nya. Persepuluhan adalah milik Allah. Pajak adalah milik kaisar (Lukas 20:25”.[19]

RINGKASAN :

Berdasarkan penafsiran data-data Perjanjian Baru yang menghubungkan Yesus dengan persepuluhan sebagaimana disajikan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Yesus hidup dan melayani pada masa Perjanjian Lama, yaitu masa di mana hukum Taurat berlaku sepenuhnya, karena itu dapat dipastikan bahwa Yesus membayar persepuluhan sebagai bagian dari ketaatanNya pada hukum Taurat (bandingkan Galatia 4:4-5).

2. Yesus tidak hanya membayar persepuluhan, tetapi juga secara implisit Ia mengajarkan persepuluhan. Yesus tidak pernah melarang orang-orang pada zamannya untuk menaati hukum Taurat, termasuk membayar persepuluhan (Bandingkan Matius 23:23; Lukas 11:42, 18:9-14).

3. Yesus juga secara implisit melegitimasi (mengesahkan) persepuluhan di zaman-Nya ketika Ia mengatakan, "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah" (Matius 22:21b). Yang Kaisar punya adalah pajak, dan apa yang Allah punya adalah kewajiban persepuluhan. Keduanya, menurut Yesus harus (wajib) diberikan. Dengan demikian Yesus dalam hal ini secara tidak langsung telah melegitimasi pemberian persepuluhan.

REFERENSI: PERSPEKTIF TEOLOGIS AJARAN TENTANG PERSEPULUHAN DALAM KEKRISTENAN 

Archer, Gleason L., 2009. Encyclopedia of Bible Difficulties. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.

Clark, Howard, ed. 2010. The Learning Bible Contemporary English Version. Dicetak dan diterbitkan Lembaga Alkitab Indonesia : Jakarta

Brill, J. Wesley., 1993. Dasar Yang Teguh. Yayasan Kalam Hidup: Bandung.

Conner, Kevin J & Ken Malmin., 2004. Interprenting The Scripture. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.

Conner J. Kevin., 2004. A Practical Guide to Christian Bilief. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.

Conner, Kevin J., 2004. Jemaat Dalam Perjanjian Baru, terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.

Douglas, J.D., ed, 1993. Ensiklopedia Alkitab Masa Kini. Jilid 2. Terjemahkan Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.

Eaton, Michael 2008. Jesus Of The Gospel. Terjemahan, Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta.

Ellis, Paul., 2014. Injil Dalam 20 Pertanyaan. Terjemahan, penerbit Light Publising : Jakarta.

Geisler, Norman L., 2000. Etika Kristen: Pilihan dan Isu, Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Jakarta.

Gunawan, Samuel., 2014. Apologetika Kharismatik: Kharismatik Yang Kukenal dan Kuyakini. Penerbit Bintang Fajar Ministries: Palangka Raya.

Guthrie, Donald, dkk., 1982. Tafsiran Alkitab Masa Kini. Jilid 1,2 & 3. Terjemahan. Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF : Jakarta.

Hill, Andrew E & John H. Walton., 1996. Survey Perjanjian Lama. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.

Huch, Larry., 2009. Berkat-berkat Atas Taurat Tuhan. Terjemahan, Penerbit Light Publising: Jakarta.

Lingenfelter, Sherwood & Marvin K. Mayers., 2008. Menggeluti Misi LintaS Budaya. Terjemahan, Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.

Manohey, Ralph., 2009. Tongkat Gembala. Lembaga Pusat Hidup Baru: Jakarta.

Osbone, Grant R., 2012. Spiral Hermeneutika: Pengantar Komprehensif Bagi Penafsiran Alkitab. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta.

Paago, Sonny., 2010. Hukum Tuhan. Penerbit Straight Path Fellowship Ministry Publising: Jakarta.

Park, Abraham,. 2010. Silsilah di Kitab Kejadian: Dilihat Dari Sudut Pandang Sejarah Penebusan. Terjemahan, Diterbitkan bersama PT. Grasindo & Yayasan Damai Sejahtera Utama : Jakarta.

Pandensolang, Welly., 2009. Kristologi Kristen. Penerbit YAI Press : Jakarta.

Pfeiffer F. Charles & Everett F. Harrison., ed. 1962. The Wycliffe Bible Commentary. Volume 1,2 & 3. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas Malang.

Prince, Derek., 1995. Membangun Jemaat Kristus, terjemahan, Penerbit Immanuel : Jakarta.

Prince, Derek., 2005. Fondations Rightouness Living. Jilid 1. Terjemahan, Penerbit Derek Prince Ministries Indonesia: Jakarta.

Ryrie, Charles C., 1991. Teologi Dasar. Jilid 1 & 2, Terjemahan, Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta.

Sandison, George & Staff., 2013. Bible Answers for 1000 Difficult Questions. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.

Schulzt, Samuel J., 1983. Pengantar Perjanjian Lama : Taurat Dan Sejarah. Terjemahan Penerbit Gandum Mas : Malang.

Stamps, Donald C., ed, 1995. Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.

Stassen, Glen & David Gushee., 2008. Etika Kerajaan: Mengikut Yesus dalam Konteks Masa Kini, Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta.

Susanto, Hasan., 2003. Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid I & II. Penerbit Literatur SAAT : Malang.

Teo, Steven., 2008. Persepuluhan: Kunci Kebebasan Finansial. Terjemahan, Penerbit Andi: Yogyakarta.

Vincent, Alan., Heaven On Earth. Terjemahan, Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta.

Wahono, S. Wismoady., 2011. Disini Kutemukan: Petunjuk Mempelajari dan Mengajarkan Alkitab. Penerbit BPK Gunung Mulia: Jakarta.

Walker, Peter., 2015. Jesus and His World. Terjemahan, Penerbit Kalam Hidup : Bandung.

Wolf, Herbert., 2004. Pengenalan Pentateukh. Terjemahan, penerbit Gandum Mas : Malang.

Zuck, Roy B, editor., 2010. A Biblical of Theology The Old Testament. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.

Zuck, Roy B, editor., 2011. A Biblical of Theology The New Testament. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.

Artikel-artikelnya dapat ditemukan di : (1) Google dengan mengklik nama Samuel T. Gunawan;

(2) Website/ Situs : e-Artikel Kristen Indonesia; (3) Facebook : Samuel T. Gunawan (samuelstg09@yahoo.co.id.).

[1] Stamps, Donald C., ed, 1995. Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, 2060.

[2] Howard, Clark, ed. 2010. The Learning Bible Contemporary English Version. Dicetak dan diterbitkan Lembaga Alkitab Indonesia : Jakarta, hal. 1610.

[3] Tenney, Merril C., Survei Perjanjian Baru, hal. 202.

[4] Howard, Clark, The Learning Bible Contemporary English Version, hal. 1911.

[5] Usia 12 bagi tradisi Yahudi zaman Yesus begitu penting. Menurut legenda Yahudi, pada usia 12 tahun Nabi Musa meninggalkan rumah putri Firaun, Samuel menerima suara yang berisi visi Ilahi, Salomo mulai menerima Hikmat Allah dan Raja Yosia menerima visi reformasi agung di Yerusalem.

[6] Pada usia 12 tahun seorang anak laki-laki Yahudi harus melakukan upacara yang disebut “Bar Mitzvah (anak Hukum Taurat)”. Sementara bagi anak perempuan upacaranya disebut “Bat Mitzvah”.

[7] Situmorang, Jonar, Kristologi: Menggali Fakta-fakta tentang Pribadi dan Karya Kristus, hal. 157-158.

[8] Pada zaman Yesus, sinagoge mempunyai peranan besar dalam pertumbuhan dan kelestarian Yudaisme.Sinagonge berfungsi sebagai balai sosial dimana penduduk Yahudi di kota yang bersangkutan berkumpul setiap minggu. Sinagonge adalah tempat pendidikan untuk mendidik masyarakat dalah hukum agama dan memperkenalkan anak-anak mereka pada kepercayaan nenek moyang. Sinagoge menggantikan kebaktian di Bait Allah yang tidak mungkin dilakukan karena jarak yang jauh atau ketiadaan biaya. Dalam sinagoge penyelidikan hukum menggantikan upacara kurban, rabi menggantikan imam, dan kepercayaan kelompok diterapkan pada kehidupan perorangan. (Tenney, Merril C., Survei Perjanjian Baru, hal. 113-114).

[9] Pandensolang, Welly., 2009. Kristologi Kristen. Penerbit YAI Press : Jakarta, hal 158.

[10] Howard Clark, ed. 2010. The Learning Bible Contemporary English Version. Dicetak dan diterbitkan Lembaga Alkitab Indonesia : Jakarta, hal. 1666.

[11] Sumber : www.yabina.org

[12] Orang-orang Farisi adalah salah satu sekte Yudaisme yang paling berpengaruh dan banyak pengikutnya dalam masa Perjanjian Baru. Kelompok ini berasal dari orang-orang yang meisahkan diri (parash) pada zaman Makabe, dan pada tahun 135 SM telah berdiri dengan kokoh dalam Yudaisme. Teologi mereka didasarkan pada seluruh Perjanjian Lama ( hukum Taurat dan kitab Para Nabi) dan tulisan para imam. Selain itu mereka juga menjunjung tinggi hukum lisan atau adat istiadat nenek moyang yang mereka taati sampai hal-hal yang sekecil-kecilnya. Mereka menjalankan kewajiban doa puasa pada hari Senin dan Kamis, membayar persepuluhan dari harta mereka dengan sangat teliti (Matius 23:23; Lukas 11:42). Mereka memelihara hukum Sabat dengan sangat ketat, hingga menyembuhkan orang sakit atau sekedar memetik bulir gandum sambil berjalan pun tidak mereka perkenankan (Matius 12:1-2). Mereka juga sangat menekankan makanan halal dan haram, bahkan menajiskan orang yang makan tanpa mencuci tangan lebih dahulu (Matius 15:1-9). Paulus, sebelum bertobat dan mengikut Yesus, pada mulanya adalah anggota dari kelompok ini (Filipi 3:5: Galatia 1:14). Kaum Farisi mengajarkan hukum Taurat dan hukum-hukum lainnya yang tidak terdapat dalam kitab Suci. Tafsiran mereka atas hukum-hukum tersebut dimuat dalam Misnah dan Talmud. 

[13] Ahli-ahli Taurat adalah orang-orang Yahudi yang bekerja sebagai pegawai pemerinatah atau sebagai ahli hukum (Lukas 5:17) dengan pengetahuan yang luas mereka pandai menafsirkan hukum Taurat dan memiliki kemampuan berdebat. Karena itu kita menemukan mereka sering berdebat dengan Yesus (Matisu 9:3; 15:1; Markus 2:16; 7:1-2; Lukas 5:30; 6:7). Orang-orang Farisi dan imam-imam mempekerjakan ahli-hali Taurat menjadi semacam penasihat hukum mereka. Orang-orang Farisi bersama dengan ahli-ahli Tauat melihat bahwa Yesus merupakan ancaman bagi tegaknya pelaksanaan hukum Taurat dan hukum-hukum adat istiadat lainnya.

[14] Howard Clark, ed. The Learning Bible Contemporary English Version, hal. 1537.

[15] Pfeiffer F. Charles & Everett F. Harrison., ed. 1962. The Wycliffe Bible Commentary. Volume 3. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas Malang, hal. ...

[16] Brill, J. Wesley., Dasar Yang Teguh. Yayasan Kalam, hal. 269.

[17] Guthrie, Donald, dkk., 1982. Tafsiran Alkitab Masa Kini. Jilid 3. Terjemahan. Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF : Jakarta, hal 237.

[18] Brill, J. Wesley., Dasar Yang Teguh. Yayasan Kalam, hal. 269.

[19] Conner, Kevin J., Jemaat Dalam Perjanjian Baru, hal. 594.

Next Post Previous Post