PERSEPULUHAN: PENGERTIAN, PENDEKATAN HERMENEUTIK, DAN PERSPEKTIF (1)

Pdt. Samuel T. Gunawan, M.Th.

PERSEPULUHAN (PASAL 1) PENGERTIAN, PENDEKATAN HERMENEUTIK, DAN BERBAGAI PERSPEKTIF TENTANG PERSEPULUHAN

“Sebab Melkisedek adalah raja Salem dan imam Allah Yang Mahatinggi; ia pergi menyongsong Abraham ketika Abraham kembali dari mengalahkan raja-raja, dan memberkati dia. Kepadanya pun Abraham memberikan sepersepuluh dari semuanya. Menurut arti namanya Melkisedek adalah pertama-tama raja kebenaran, dan juga raja Salem, yaitu raja damai sejahtera. Ia tidak berbapa, tidak beribu, tidak bersilsilah, harinya tidak berawal dan hidupnya tidak berkesudahan, dan karena ia dijadikan sama dengan Anak Allah, ia tetap menjadi imam sampai selama-lamanya. Camkanlah betapa besarnya orang itu, yang kepadanya Abraham, bapa leluhur kita, memberikan sepersepuluh dari segala rampasan yang paling baik.” (Ibrani 7:1-4)
PERSEPULUHAN: PENGERTIAN, PENDEKATAN HERMENEUTIK, DAN PERSPEKTIF (1)
gadget, bisnis, otomotif
Apakah persepuluhan itu? Kevin J. Conner menjelaskan demikian, “Kata ‘persepuluhan’ semata-mata berarti ‘sepuluh’... Seratus persen menjadi milik Tuhan. Dia memberi kita 9/10 untuk dipakai, tetapi yang pertama dari sepuluh Dia nyatakan sebagai milikNya”. Kata “persepuluhan” dalam bahasa Inggrisnya “tithe”, berasal dari kata Yunani “dekatos” yang berarti “sepersepuluh”, dari kata dasar “deka” yang berarti “sepuluh”. Sedangkan kata Ibrani “ma’aser” berarti “persepuluhan”, berasal dari kata dasar “’asar” yang juga berarti “sepuluh”. 

Di dalam Kekristenan istilah persepuluhan mengacu pada pemberian 1/10 atau 10% dari penghasilan atau pendapatan yang dipersembahkan kepada Allah bagi pekerjaanNya. Tentu saja semua orang Kristen sepakat bahwa persepuluhan itu Alkitabiah karena memang dibicarakan dalam Alkitab. Ayat-ayat Perjanjian Lama berikut ini jelas membicarakan tentang pemberian persepuluhan (Kejadian 14:17-20; 28:20-22; Imamat 27:30-33; Bilangan 18:20-32; Ulangan 12:5-19; 14:22-29; 26:12-13; 1 Samuel 8:14-17; Amos 4:2-6; 2 Tawarikh 31:1-13; Nehemia 10:35-38; 12:44; 13:4-5, 10-12; Maleakhi 3:7-12). Namun, walaupun persepuluhan itu Alkitabiah, tidak semua orang Kristen setuju bahwa persepuluhan itu wajib untuk dilaksanakan dalam gereja saat ini.

TITIK AWAL MEMULAI DENGAN BENAR

Titik awal penting dalam membicarakan isu teologis tentang persepuluhan adalah keyakinan, seperti yang dinyatakan Alkitab, bahwa Allah adalah Pencipta dan Penguasa, serta Ia juga adalah pemilik segalanya. Alkitab menyatakan bahwa Allah adalah Pencipta, Penguasa, dan Pemilik segalanya. Alkitab menyatakan “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya” (Mazmur 24:1 bandingkan Mazmur 50:10, 12; Wahyu 4:11). 

Ia adalah Pemilik dan Pemberi segala hal kepada manusia, dan manusia adalah pengelola atas apa yang dipercayakan oleh Tuhan (Kejadian 1:28; 2:5 ). Karena itu, semua orang percaya diingatkan bahwa mereka bertanggung jawab kepada Tuhan atas segala sesuatu yang telah dipercayakan kepadanya (Lukas 16:1-13). Sebenarnya seluruh hidup orang percaya adalah milik Tuhan (Roma 12:1; 1 Korintus 6:19-20; Galatia 2:20).

Karena Allah menciptakan semuanya, sehingga semuanya itu adalah milikNya, maka segala sesuatu yang kita sebut sebagai milik kita sebenarnya bukanlah milik kita. 

Tony Evans mengatakan, “Karena Allah memiliki segala sesuatu, maka segala sesuatu yang kita katakan sebagai milik kita hanya merupakan milik kita secara relatif, semua itu bukan milik kita secara mutlak”. Dengan demikian, secara de jure seluruh harta dan uang orang percaya itu juga adalah milik Tuhan, namun secara de facto harta dan uang itu adalah milik orang percaya yang Tuhan percayakan kepada anak-anakNya untuk dikelola. 

Dari semua harta dan keuangan yang Tuhan percayakan itu, Ia ingin kita mempersembahkan 10 % kepadaNya sebagai pemberian minimum yang dipakai bagi pelayanan pekerjaanNya. Pemberian tersebut merupakan ekspresi dari iman dan pengakuan akan kedaulatan Allah sebagai pemilik segalaNya. Dengan memberikan sepersepuluh dari penghasilan dan kekayaan yang kita terima, kita sedang mengakui bahwa Tuhanlah pemilik sebenarnya dari segala yang kita punya itu.

Walau persepuluhan bukan merupakan isu doktrinal yang menyangkut keselamatan, tetapi pokok ini merupakan pokok pastoral yang penting sekaligus rumit yang dapat menimbulkan perselisihan, karena persepuluhan menyangkut sumber pendapatan suatu organisasi gereja dan juga bersinggungan langsung dengan keuangan anggota jemaat yang bersifat privasi. 

Namun kesulitan utama menentukan apakah persepuluhan itu merupakan persembahan yang masih berlanjut dan wajib bagi Kekristenan saat ini ataukah tidak, timbul karena Perjanjian Baru tidak membicarakan pokok ini secara eksplisit dan sejelas yang diharapkan. Perjanjian Baru hanya menyinggung perihal persepuluhan secara langsung di empat bagian dalam Lukas 11:42, 18:9-14, Matius 23:23, dan Ibrani 7. 

Karena itulah maka berbagai pendekatan telah dilakukan untuk menjelaskan pokok persoalan ini yang justru menimbulkan perbedaan penafsiran. Dan sampai saat ini, persepuluhan masih menjadi salah satu isu teologis yang hangat didiskusikan di kalangan Kristen.

TIGA PANDANGAN UTAMA TENTANG PERSEPULUHAN

Saat ini berbagai denominasi gereja telah terbagi menjadi tiga perspektif (pandangan) teologis utama mengenai persepuluhan dalam gereja dan masing-masing perspektif memberikan argumentasi berdasarkan ayat-ayat Alkitab. Ketiga perspektif itu adalah: (1) Perspektif teologis persepuluhan sudah tidak berlaku karena itu tidak wajib dan tidak mengikat gereja untuk melaksanakannya; (2) Perspektif teologis persepuluhan masih berlaku karena itu wajib untuk dilaksanakan oleh gereja; (3) Perspektif teologis persepuluhan masih berlaku sebagai standar pemberian minimum dari pemberian sukarela.

1. Perspektif teologis persepuluhan sudah tidak berlaku karena itu tidak wajib dan tidak mengikat gereja untuk melaksanakannya.

Herlianto mempresentasikan perspektif ini demikian, “Ritus kurban dan persembahan telah dihapuskan oleh Yesus yang menjadi pengantara Perjanjian Baru, namun kurban dan persembahan itu kini berubah menjadi kurban dan persembahan yang bersifat batin dalam bentuk keadilan, kesetiaan dan belas kasihan. Kita tidak lagi bermegah akan hal-hal yang bersifat lahiriah (1 Korintus 5:11-21), persembahan perjanjian baru bukan lagi persembahan secara Taurat dan kewajiban persepuluhan, tetapi buah-buah kasih yang keluar dari hati yang telah menerima kasih karunia Allah (Matius 13:23;Efesus.2:8-10). 

Persembahan umat Kristen bukan lagi dalam bentuk persepuluhan tetapi merupakan buah-buah kasih yang keluar dari hati yang dibenarkan Allah. Mereka yang telah beriman dan bertobat akan hidup dalam mengasihi sesamanya dengan harta mereka (Kisah Para Rasul 2:44-45;4:34-35;Matius 35:31-46;Lukas 18:22) dan menyisihkan dengan teratur persembahan sesuai dengan yang diperoleh (1 Korintus 16:1-2;Galatia 6:6)”. 

Pandangan ini meyakini bahwa persepuluhan termasuk dalam hukum seremonial (peraturan yang menyangkut tata peribadatan) bangsa Israel, karena itu tidak berlaku lagi bagi orang Kristen. Erastus Sabdono, dalam 3 seri khotbahnya tentang persepuluhan kelihatannya juga menganut pandangan ini, ketika ia menyatakan bahwa persepuluhan adalah liturgi (tata ibadah) hukum Taurat yang telah digenapi oleh Kristus, jadi tidak berlaku lagi bagi orang percaya Perjanjian Baru.

Representasi lainnya dari perspektif ini adalah sebagai berikut, “Apakah saat ini kita masih mau memberlakukan aturan-aturan ini: persembahan sepersepuluh, seperenam, korban sembelihan, korban bakaran, tidak boleh bekerja pada hari Sabat, sunat, makanan halal atau haram, beristri lebih dari satu? Tentu tidak! Perintah itu ditujukan untuk umat Tuhan yang masih dibawah kuasa hukum Taurat ... Saat ini kita sudah berada di bawah kuasa hukum Kristus. 

Hukum dan aturan di Perjanjian Lama sudah digenapi oleh Yesus Kristus, sehingga siapa yang percaya kepada Yesus Kristus tidak lagi berada di bawah hukum Taurat. Perhatikan Roma 7:4 “Sebab itu, saudara-saudaraku, kamu juga telah mati bagi hukum Taurat oleh tubuh Kristus, supaya kamu menjadi milik orang lain, yaitu milik Dia, yang telah dibangkitkan dari antara orang mati, agar kita berbuah bagi Allah”.

2. Perspektif teologis persepuluhan masih berlaku karena itu wajib untuk dilaksanakan oleh gereja.

Representasi dari perspektif ini adalah pandangan Budi Asali, di mana ia menjelaskan bahwa persepuluhan termasuk dalam hukum moral karena itu terus berlanjut dan wajib dilaksanakan. Budi Asali mengatakan demikian, “Sekarang tentang persembahan persepuluhan, itu harus dilakukan untuk bisa berjalannya pelayanan dalam Kemah Suci / Bait Allah. Ini bukan tidak ada logikanya, bahkan sebaliknya, sangat logis, karena tujuannya mencukupi kebutuhan pelayan-pelayan bait suci! kalau tidak diberikan, maka pelayanan itu menjadi kacau. apakah ini tidak jahat? karena itu ini termasuk hukum moral. 

Dan dalam jaman Perjanjian Baru, persamaannya adalah gereja juga membutuhkan uang untuk bisa berjalan dengan baik. Hal yang lain adalah bahwa ceremonial law selalu merupakan simbol / type. Kalau persembahan persepuluhan dianggap ceremonial law, maka hukum persembahan persepuluhan ini merupakan simbol / type dari apa? Apa dari kedatangan Kristus, ataupun hal-hal yang akan datang yang lain, yang menggenapi persembahan persepuluhan? Tidak ada! Dan karena itu, hukum tentang persembahan persepuluhan bukanlah ceremonial law. Dan kalau bukan ceremonial law, pasti termasuk moral law”.

Representasi lainnya dari perspektif ini adalah pandangan J. Wesley Brill dan Yakobus H. Wijaya. Ketika mendefinisikan persepuluhan secara lengkap J. Wesley Brill menjelaskan bahwa persepuluhan itu wajib bagi umat Kristen saat ini. Ia menuliskan demikian, “Persepuluhan Tuhan berarti satu persepuluh daripada segala penghasilan, pemberian, pendapatan, dan gaji yang wajib dipersembahkan kepada Allah Bapa kita ‘yang dalam kekayaanNya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati’ (1 Timotius 6:17). 

Dengan kata lain kita wajib memberikan kepada Tuhan satu persepuluh dari seluruh gaji atau pendapatan kita, dari segenap hasil tanah dan kebun, dan dari hasil ternak kita, dan dari segala bunga uang dan keuntungan kita. Itulah yang disebut perpuluhan Tuhan”. Sedangkan definisi Yakobus H. Wijaya meskipun ringkas mencerminkan keharusan persepuluhan dilaksanakan oleh gereja. Ia mengatakan demikian, “perpuluhan adalah sebuah persembahan (kurban) yang diperintahkan oleh Tuhan kepada orang percaya baik di dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru (Maleakhi 3:6-12; Ulangan 26:12; Nehemia 10:37-38; Matius 23;23;Lukas 11:42)”.

3. Perspektif teologis persepuluhan masih berlaku sebagai standar pemberian minimum dari pemberian sukarela.

Representasi dari perspektif ini adalah pandangan Frank Damazio. Ia menuliskan, “Alkitab mengajarkan bahwa persepuluhan merupakan pemberian minimum seseorang, bukan maksimum. Hanya karena seseorang memberi sepersepuluh tidak berarti bahwa ia sudah memenuhi tanggung jawab penatalayanannya kepada Allah. Kita harus menempatkan Allah di posisi pertama dan menunjukkan bahwa Dia paling penting bagi kita dengan mempersembahkan sepersepuluh dari buah sulung penghasilan kita”.

Representasi lainnya dari perspektif ini adalah pandangan David Cloud, dalam artikelnya yang diperluas dan direvisi oleh Steven Liauw. Ia mengatakan demikian, “Persepuluhan, yaitu memberikan minimal 10% dari penghasilan seseorang kepada Allah, adalah suatu cara untuk menghormati Allah dan mendukung pekerjaanNya yang agung di dunia yang memerlukan ini. Allah telah berjanji untuk memberkati persepuluhan, dan banyak sekali orang percaya yang telah menemukan bahwa mereka lebih diberkati ketika hidup dari 90% penghasilan mereka (atau 80% atau lainnya) daripada 100%. 

Sementara pandangan lainnya dari perspektif ini mengatakan, “Dalam Perjanjian Baru tidak ada perintah atau rekomendasi kepada orang Kristen supaya tunduk kepada sistem persepuluhan sebagai hukum tertulis. Paulus hanya mengajarkan bahwa orang-orang percaya sepatutnya menyisihkan sebagian dari penghasilan mereka untuk mendukung gereja (1 Korintus 16:1-2). Perjanjian Baru tidak menentukan persentase penghasilan yang harus disisihkan tapi hanya mengatakan, ‘sesuai dengan apa yang kamu peroleh’ (1 Korintus 16:2). Gereja Kristen sekarang mengambil angka 10% dari Perjanjian Lama dan menerapkannya sebagai ‘rekomendasi minimum’ bagi orang Kristen ketika memberi persembahan”.

Evaluasi: Beberapa pendeta, ahli teologi dan pengajar Alkitab telah berusaha menjelaskan persepuluhan dengan menggunakan pendekatan yang berhubungan dengan hukum Taurat dan karya Kristus yang telah menggenapi hukum Taurat. Para ahli teologi Kristen telah mengklasifikasi hukum Taurat ke dalam tiga bagian yaitu: hukum moral (moral law), hukum seremonial (ceremonial law), dan hukum sipil (judicial law). 

Berdasarkan pendekatan tersebut, beberapa orang berpendapat bahwa persepuluhan itu termasuk dalam hukum moral (lihat representasi pendapat Budi Asali di atas). Karena hukum moral tetap berlaku dan tidak dihapuskan maka dengan demikian persepuluhan juga masih berlanjut. 

Sedangkan yang lainnya berpendapat bahwa persepuluhan itu termasuk dalam hukum seremonial dan dengan demikian persepuluhan itu telah dihapuskan (lihat representasi pendapat Herlianto di atas).
Tidaklah mudah menentukan apakah persepuluhan itu termasuk dalam hukum moral atau hukum seremonial. (catatan: hal ini akan saya bahas pada bagian 6). 

Saya berpendapat bahwa menggunakan pendekatan berdasarkan pembagian hukum Taurat sebagaimana yang disebutkan di atas untuk menjelaskan pokok persepuluhan memang bermanfaat, tetapi tidak sepenuhnya berhasil menjawab berbagai persoalan yang muncul. 

Perlu diketahui bahwa pembagian hukum Taurat menjadi tiga bagian seperti di atas, walaupun diterima secara universal dalam teologi Kristen, namun orang-orang Yahudi tidak mengakuinya atau tidak menekankannya. Sebaliknya mereka membagi 613 perintah (mitsvah) dalam hukum Taurat itu menjadi dua belas kelompok perintah, yang kemudian dibagi lagi menjadi dua belas kelompok perintah tambahan yang bersifat positif dan dua belas kelompok perintah tambahan yang bersifat negatif.

Mengenai persepuluhan ini saya sendiri menerima pandangan yang ketiga, yaitu perspektif teologis persepuluhan masih berlaku sebagai standar pemberian minimum dari pemberian sukarela, namun dengan penjelasan-penjelasan berdasarkan pendekatan-pendekatan hermeneutika yang akan saya jelaskan berikut ini. Saya yakin bahwa prinsip-prinsip Kristen dalam memberikan persepuluhan tidak berdasarkan hukum Taurat. Namun, hukum Taurat telah sangat membantu untuk menjelaskan secara tegas kepemilikan Allah terhadap persembahan sulung dan persepuluhan tersebut. 

Saya berpendapat bahwa prinsip-prinsip Kristen yang sehat dan alkitabiah dalam memberikan persepuluhan adalah berdasarkan: 

(1) pengakuan terhadap kedaulatan dan kepemilikan Allah; 

(2) pengakuan akan keimamatan Kristus menurut peraturan Melkisedek; dan 

(3) ketaatan pada perintah Kristus melalui rasul Paulus.

PERLUNYA PENDEKATAN HERMENEUTIKA

Saya berpegang pada kayakinan Protestan konservatif bahwa Alkitab adalah otoritas penentu kebenaran. Charles C. Ryrie menjelaskan keyakinan tersebut demikian, “Kitab Suci berisi pernyataan (wahyu) Allah yang objektif dan karena itu menjadi dasar otoritas bagi kaum Protestan konservatif”. Otoritas adalah wewenang, hak atau kuasa untuk mewajibkan kepatuhan. Dari segi iman Kristen, Allah mempunyai hak dan kuasa tertinggi untuk menuntut kepatuhan, karena Dialah Sang Pencipta dan Tuhan segala bangsa. 

Otoritas itu penting sebab otoritas akan mengendalikan hidup seseorang. Otoritas akan mempengaruhi perilaku, keputusan-keputusan dan pilihan-pilihan seseorang. Sumber otoritas utama dan tertinggi bagi orang Kristen adalah Tuhan sendiri sebagaimana Ia menyatakannya melalui Alkitab. Pengetahuan kita tentang Allah pertama dan terutama datang melalui Kitab Suci. Alkitab harus diterima sebagai firman Tuhan kepada kita, harus dihormati dan ditaati. Pada waktu kita tunduk kepada otoritas Alkitab, kita menempatkan diri di bawah otoritas Allah yang hidup, yang diperkenalkan kepada kita di dalam diri Yesus Kristus.

Hasil pengamatan saya menunjukkan bahwa orang tersesat karena memulai dari titik awal yang salah. Karena itu, saat membahas tentang doktrin apapun, kita perlu memiliki titik awal yang tepat. Dan titik awal yang tepat ini adalah Alkitab. Tetapi tidak semua orang Kristen sepakat mengenai tafsiran terhadap ayat-ayat atau bagian-bagian tertentu dalam Alkitab. Disinilah letak permasalahannya: perbedaan dalam tafsiran! Perbedaan ini sangat dipengaruhi sistem hermeneutika dan metode eksegesis yang digunakan saat menafsir bagian-bagian atau ayat-ayat tertentu dalam Alkitab. 

Sekedar mengingatkan, bahwa setiap teolog dan penafsir Alkitab perlu berhati-hati agar tidak melakukan kesalahan dengan cara menafsirkan bagian-bagian tertentu dari Alkitab dengan metode hermeneutik yang tidak dapat dipertanggungjawabkan  kebenarannya. Juga tidaklah bijaksana memasukan atau memaksakan pendapat dari luar Alkitab dengan bukti Alkitabiah yang tidak dapat dijamin kebenarannya. Kadang-kadang hal ini didorong oleh keinginan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dijawab oleh Alkitab.

Berdasarkan hal tersebut di atas, alasan penting perlunya saya menjelaskan pendekatan hermeneutika dalam menafsirkan isu teologis persepuluhan ialah karena tema ini merupakan salah satu isu teologis yang paling banyak diperdebatkan. Baik persepektif (pandangan) teologis yang mengakui maupun perspektif teologis yang menolak persepuluhan berlaku bagi orang percaya Perjanjian Baru, sama-sama menyatakan pandangannya Alkitabiah. 

Namun yang perlu diketahui, bahwa suatu perspektif teologis bukanlah kebenaran mutlak. Misalnya, apa yang benar menurut pandangan teologi tertentu belum tentu benar menurut pandangan teologi lainnya. Karena itu, suatu perspektif teologis bukanlah kebenaran mutlak, tetapi merupakan pendapat, tafsiran dan keyakinan seseorang atau kelompok tertentu terhadap firman Tuhan. Hanya firman Tuhan (Kitab Suci) dalam naskah aslinya (otografi) yang layak disebut sebagai kebenaran mutlak (absolut), yang tidak bisa salah, tidak boleh diubah, tidak boleh ditambah atau dikurangi. Jadi, suatu perspektif teologi itu penting tetapi bukan kebenaran mutlak dan bukan juga penentu kebenaran.

Pertanyaannya ialah: “Mengapa perspektif teologi bisa berbeda satu dengan yang lainnya”? Jawabannya, pastilah karena hal ini sangat berhubungan dengan masalah eksegesis, hermeneutika dan metode-metode teologi. Lalu, “apakah standar untuk menilai bahwa suatu pandangan teologi itu benar atau salah? dan alkitabiah atau tidak alkitabiah?” Tentu saja dengan memperhatikan dan meneliti metode dan prinsip-prinsip yang digunakan dalam menafsirkan dan mengembangkan perspektif teologi itu apakah benar-benar absah dan alkitabiah. 

Karena itu, untuk menilai apakah perspektif teologi itu benar atau tidak, maka ia harus diuji berdasarkan Alkitab. Disinilah diperlukannya prinsip-prinsip, aturan-aturan atau norma-norma yang universal dan diterima sebagai alat penilai yang sah dalam menguji kebenaran. Sebagaimana di dalam logika seseorang dituntut untuk memenuhi aturan dan prinsip yang harus ditaati agar menghasilkan kesimpulan yang absah, demikian juga dalam menafsirkan Alkitab, seseorang dituntut untuk melakukannya dengan berpedoman pada aturan dan norma yang harus ditaati. Aturan-aturan atau norma-norma dalam penafsiran Alkitab tersebut disebut hermeneutika, sedangkan penerapan aturan-aturan itu disebut eksegesis.

Jadi yang perlu diperhatikan pada saat menyimpulkan benar atau salah suatu ajaran adalah dengan meneliti “apakah ia telah menerapkan eksegesis yang sesuai dengan prinsip-prinsip hermeneutika yang sehat dan wajar?” Dengan demikian, untuk menyimpulkan sesuatu itu benar atau salah, bukan hanya melalui suatu kesimpulan logis, penalaran yang sehat dan absah, tetapi terutama penting dan haruslah alkitabiah yaitu berdasarkan pendekatan hermeneutika yang sehat dan wajar .

PENDEKATAN HERMENEUTIK DALAM MENAFSIRKAN ISU TEOLOGIS PERSEPULUHAN DALAM BUKU INI

Chrales C. Ryrie menyatakan bahwa, “Setiap penafsir Alkitab mempunyai sistem hermeneutik baik sadar maupun tidak. Ketika seseorang melakukan eksegesis ia menyatakan hermeneutikanya, meskipun mungkin kebanyakan penafsir tidak selamanya mensistematikkan hermeneutikannya”. Arturo G. Azurdia III, menyatakan, “Semua doktrin dan teologi beserta penerapannya haruslah merupakan hasil pemahaman literal, gramatikal, historikal, kontekstual dan redemtif dari teks Kitab Suci. 

Setiap khotbah (pengajaran) yang terpisah dari komitmen a priori ini tidak memenuhi standar”. Karena itu, di dalam menjelaskan pokok persoalan mengenai persepuluhan ini, selain mempertimbangkan prinsip-prinsip umum hermeneutika seperti literal, gramatikal, historikal, dan kontekstual, maka saya juga melakukan pendekatan dengan menerapkan empat prinsip hemeneutika lainnnya yaitu: 

(1) Prinsip Kristosentris; 

(2) Prinsip prioritas Perjanjian Baru atas Perjanjian Lama; 

(3) Prinsip pewahyuan Allah yang bersifat progresif; dan 

(4) Prinsip penyebutan pertama.

1. Prinsip Kristosentris

Prinsip ini pada dasarnya menafsikan Alkitab dalam kaitannya dengan pusatnya, yaitu Kristus. Tepat seperti yang dikatakan oleh Michael Eaton, “Kekristenan adalah Kristus”. Dasar untuk prinsip ini adalah fakta bahwa Kristus merupakan pribadi sentral dari Alkitab. Pribadi dan karyaNya merupakan tema dari pernyataan tertulis Allah. 

Pada roda pernyataan ilahi, Kristus adalah porosnya, dan semua kebenaran adalah bagaikan jari-jari (ruji) yang terkait padaNya yang adalah Sang Kebenaran. Berikut ini beberapa ayat yang menujukkan sentralitas Kristus dalam Alkitab (Lukas 24:27,44; Yohanes 1:45; 5:39; Kisah Para Rasul 10:43; Ibrani 10:7). Karena itu, setiap ajaran utama dalam Alkitab selalu ditemukan dalam perkataan Tuhan Yesus. Entah itu bersifat eksplit maupun implisit.

Karena Yesus Kristus sendiri adalah Firman itu, yang berinkarnasi (Yohanes 1:1,14), dan sementara di bumi Ia sendiri memiliki pewahyuan penuh dari Bapa dan Roh. Ia mempunyai kemampuan dan otoritas untuk menambah, menegaskan, menjernihkan, dan mengesahkan kata-kata dalam Perjanjian Lama (Ibrani 1:1-2). 

Ingatlah, bahwa Injil awalnya diberitakan oleh Tuhan, selanjutnya Injil tersebut diberitakan oleh murid-muridNya (Ibrani 2:3-4). Pauline Hoggarth mengatakan, “Kisah-kisah Alkitab memfokuskan tujuan misional Allah di dalam pribadi Yesus. Jadi, selagi kita bersekutu dengan firman Allah, kita mesti menangkap bagaimana tiap-tiap penggalan Alkitab memberi kontribusinya pada kisah rencana-rencana Allah dan memberi petunjuk mengenai sentralitas figur Yesus di dalam rencana-rencana tersebut”.

2. Prinsip prioritas Perjanjian Baru atas Perjanjian Lama

Telah disebutkan dalam prinsip kristosentris di atas bahwa setiap ajaran utama dalam Alkitab selalu ditemukan dalam perkataan Tuhan Yesus? Ajaran Yesus ini kemudian dikembangkan melalui pewahyuan Roh Kudus dalam tulisan Injil dan surat-surat apostolik Perjanjian Baru. Yesus berjanji bahwa saat Roh Kudus datang, Dia akan memimpin rasul-rasul pertama itu dalam seluruh kebenaran dan mengungkapkan segala sesuatu kepada mereka (Yohanes 14:26 bandingkan 16:13-14). 

Yesus memang telah mengajarkan segala sesuatu kepada murid-muridNya, tetapi dalam ukuran tertentu sebelum Roh Kudus datang, mereka tidak mampu memahami perkataan-perkataan Kristus. Pada hari Pentakosta, saat Roh Kudus diberikan, murid-murid mendapatkan pemahaman baru terhadap perkataan Kristus dan Perjanjian Lama, dan mereka mencatatnya dalam apa yang kita kenal dengan Perjanjian Baru.

Karena itu bagi orang percaya, Perjanjian Baru memiliki prioritas atas Perjanjian Lama. Artinya, Perjanjian Lama harus dipahami dalam terang Perjanjian Baru, yang menjelaskan, menegaskan kembali dan mengoreksi Perjanjian Lama. Charles C. Ryrie menjelaskan, “Walaupun Kitab Suci diilhami dan bermanfaat, namun Perjanjian Baru memiliki prioritas yang lebih besar sebagai sumber pengajaran. Pernyataan Perjanjian Lama merupakan persiapan dan tidak lengkap, sedangkan pernyataan Perjanjian Baru merupakan klimaks dan lengkap”. 

Dengan demikian harus di mengerti bahwa ajaran Kekristenan yang Alkitabiah tidak didasarkan atas Perjanjian Lama, melainkan berdasarkan Perjanjian Baru yang didasarkan pada ajaran Kristus. Roh Kudus yang mencerahkan pengertian para Rasul terhadap ajaran Kristus dan memberikan pewahyuan kepada mereka dalam menuliskan Perjanjian Baru di bawah pengilhaman Roh Kudus, adalah Roh Kudus yang sama yang memberikan kemampuan kepada kita untuk memahami ajaran Kristus, ajaran Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama, yaitu Alkitab. 

Para teolog menyebutnya dengan istilah “iluminasi” Roh Kudus. Petrus mengatakan “Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah” (1 Petrus 1:20-21).

3. Prinsip pewahyuan Allah yang bersifat progresif

Untuk bisa menafsirkan secara wajar tetapi konsisten, harus mengakui bahwa pewahyuan Alkitab diberikan secara progresif. Artinya bahwa dalam proses pewahyuan pesanNya kepada manusia, Allah bisa menambah atau bahkan mengubah dalam suatu waktu apa yang Dia telah berikan sebelumnya. Sangat jelas Perjanjian Baru menambah banyak yang belum dinyatakan dalam Perjanjian Lama. Apa yang Allah nyatakan sebagai kewajiban suatu saat bisa dibatalkan kemudian. Contoh: Seperti larangan makan daging babi, pernah mengikat umat Allah, kini dibatalkan (1 Timotius 4:3). 

Kegagalan untuk mengenal sifat progresif ini dalam pewahyuan, akan membangkitkan kontradiksi yang tidak bisa diselesaikan antara bagian-bagian Alkitab kalau diartikan secara harafiah dan wajar. Perhatikan contoh-contoh berikut dari Alkitab yang akan berkontradiksi jika diartikan secara sederhana atau harafiah kecuali jika kita mengenal adanya perubahan karena adanya kemajuan (progres) dalam pewahyuan: Matius 10:5-7 dan 28:18-20; Lukas 9:3 dan 22:36; Kejadian 17:10 dan Galatia 5:2; Keluaran 20:8 dan Kisah Para Rasul 20:7. 

Perhatikan juga perubahan penting dinyatakan dalam Yohanes 1:17; 2 Korintus 3:7-11. Mereka yang tidak secara konsisten memakai prinsip pewahyuan yang progresif ini dalam penafsiran terpaksa kembali pada penafsiran secara alegoris, mistis atau kadang-kadang mengabaikan saja bukti yang ada.

4. Prinsip penyebutan pertama

Sebuah prinsip dalam menafsirkan Alkitab dikenal sebagai “prinsip penyebutan pertama”. Prinsip ini bermanfaat dalam menafsirkan suatu pokok persoalan dengan cara memperhatikan pertama kalinya pokok persoalan itu muncul di dalam Alkitab. Setiap kali sebuah kata atau istilah yang disebutkan untuk pertama kalinya dalam Alkitab, biasanya mengandung arti dan makna khusus. 


Kevin J. Conner dan Ken Malmin mengatakan, “Pada umumnya, kali pertama sesuatu hal disebutkan di dalam Alkitab, hal itu mengandung suatu arti yang akan tetap sama diseluruh Alkitab”. Penyebutan pertama merupakan kunci yang membuka pintu menuju kebenaran sepenuhnya, pedoman untuk menemukan kebenaran dalam pengungkapannya yang setahap demi setahap. Dan yang terpenting, “Prinsip penyebutan pertama bisa digunakan dalam kaitan dengan semua pokok, tetapi batas-batasnya harus selalu dijaga agar nyata kelihatan”. 

Langkah pertama dalam menggunakan prinsip penyebutan pertama adalah dengan secara tepat menemukan tempat pertama kalinya suatu pokok persoalan disebutkan di dalam Alkitab. Selanjutnya perlu menyelidiki apakah penyebutan pertama pokok persoalan tersebut sudah diperagakan sebelum ia disebutkan. Sedangkan penyebutan berikutnya dari suatu pokok tidak pernah boleh digunakan untuk menentang atau melanggar apa yang ada dalam penyebutan pertama. PENGERTIAN, PENDEKATAN HERMENEUTIK, DAN BERBAGAI PERSPEKTIF TENTANG PERSEPULUHAN
Next Post Previous Post