DEFINISI DOSA DAN ISTILAH DOSA DALAM ALKITAB

A. Definisi Dosa.

Istilah ”dosa” dipergunakan dalam beragam istilah dalam Alkitab, baik itu di dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Pemahaman akan setiap istilah tersebut akan sangat menolong dalam memahami hakikat dari dosa itu sendiri. Definisi sederhana dari dosa di Alkitab adalah ”meleset dari sasaran”. Sasaran itu merupakan tanda atau ”norma” dari Hukum Allah. Hukum Allah menyatakan kebenaran-Nya dan merupakan standar tertinggi bagi perilaku manusia.
DEFINISI DOSA DAN ISTILAH DOSA DALAM ALKITAB
Dosa didefinisikan sebagai ”pelanggaran terhadap hukum Allah yang diberikan kepada makhluk yang berakal budi”. (Kej. 3, Hosea 6:7; Yesaya 24:5 dengan hati dan perbuatan (Kejadian 20:3, 17; Kejadian 6:5). Definisi ini memiliki tiga dimensi yang penting.

Pertama, dosa merupakan ketidakmauan untuk menaati, yaitu ketidaktaatan terhadap hukum Allah. Dosa ini adalah dosa tidak melakukan yang diperintahkan Allah.

Kedua, dosa didefinisikan sebagai pelanggaran terhadap hukum Allah. Pelanggaran terhadap hukum berarti melanggar batas yang telah ditentukan.

Ketiga, dosa merupakan tindakan yang dilakukan oleh makhluk yang berakal budi. Sebagai makhluk yang diciptakan menurut gambar Allah, manusia merupakan pribadi yang memiliki kebebasan moral, memiliki akal budi dan kehendak, maka manusia mampu untuk bertindak secara moral. Pada waktu manusia melakukan sesuatu yang ia tahu adalah salah, maka ia memilih untuk tidak menaati hukum Allah dan berdosa.

Pemahaman akan setiap istilah tersebut akan sangat menolong dalam memahami hakikat dari dosa itu sendiri, bahwa “dosa” bukan sekedar suatu istilah dalam doktrin melainkan sikap dan tindakan terhadap Allah, Sang Pencipta yang menjadi Bapa untuk semua manusia.

B. Istilah-Istilah Dosa Dalam Alkitab

Mengenal arti dan makna dosa sebagaimana yang dimaksudkan Alkitab, menolong untuk melangkah hati-hati di dalam kehidupan ini. Alkitab menggunakan beberapa istilah untuk dosa. Hal ini tidak mengherankan karena tema utama Alkitab adalah ”pemberontakan manusia terhadap Allah dan respon Allah yang penuh anugerah”.

Berikut adalah istilah atau kata-kata asli dalam Alkitab (Perjanjian Lama: Ibrani; Perjanjian Baru: Yunani) yang diterjemahkan dalam Alkitab bahasa Indonesia sebagai ”dosa”.

I. Perjanjian Lama


Dalam Perjanjian Lama cukup banyak istilah-istilah yang dipergunakan sehubungan dosa dalam kehidupan manusia yaitu khet, pesya, syagag, asyam, awon/avon, hatta/khattat

1. Khet

Merupakan istilah yang seasal dengan khattat. Istilah ini diantaranya terdapat dalam kitab Mazmur 51:11 yang berbunyi, “Sembunyikanlah wajah-Mu terhadap dosa (khet) ku, hapuskanlah segala kesalahanku”.

2. Pesya

Kata ini mempunyai arti tindakan ”memberontak”, ”melawan”, ”menentang”. Dapat disimpulkan hal ini menyangkut tentang pemberontakan atau pelanggaran terhadap kehendak dan perintah Allah. Istilah ini diantaranya dapat ditemui di dalam kitab Kejadian 31:36; Amsal 28:13; Hosea 8:1. Dalam Kejadian 31:36 tertulis, ”Lalu hati Yakub panas dan ia bertengkar dengan Laban. Ia berkata kepada Laban: ’Apakah kesalahanku (pesya) apakah dosaku, maka engkau memburu aku sehebat itu?”

Alkitab memakai istilah ketiga dalam bahasa Ibrani, yaitu kata Ibrani פשע - Pesya', pê'-syïn-'ayin, berasal dari kata kerja פשע - Pasya', ”memberontak”, ”melanggar” atau semacam pelanggaran. Jadi, dosa dalam pengertian פשע - Pesya' adalah dosa yang berhubungan dengan pemberontakan, perlawanan, penentangan terhadap yang berotoritas, baik terhadap manusia maupun terhadap Allah.

Pelanggaran berarti ada suatu batas yang sudah ditetapkan, tetapi manusia melewatinya atau sudah ada suatu standard namun bukan saja tidak bisa mencapai tetapi juga manusia mau melawan atau melanggar. Maka pengertian ini bersangkut paut dengan suatu pengetahuan yang jelas, ditambah dengan kemauan yang tidak mau taat. Saya tahu apa itu baik, tapi saya sengaja melawan. Saya tahu batas sudah di situ, tetapi saya sengaja mau melewatinya. Tahu batas dan tahu tidak baik, tapi sengaja melewati, itulah yang disebut ”pesya

Jadi di sini Alkitab melihat dosa dalam ketiga aspek yang besar. Pertama, tidak mencapai atau menyeleweng dari standard yang ditetapkan Allah. Kedua, merupakan suatu hal yang salah atau sesuatu yang tidak seharusnya dikerjakan, tapi justru kerjakan. Hal yang kemudian disadari sebagai satu kesalahan, sesuatu yang benar telah dilakukan. Ketiga, adalah suatu pelanggaran yang sengaja dari seseorang

3. Syagag

Kata ini berarti dosa yang ”tidak disengaja”, karena tidak hati-hati, karena tidak sadar dan tanpa diketahui. Contoh penggunaannya adalah dalam Imamat 4:2, 13. Contoh penggunaan: ”Katakanlah kepada orang Israel: Apabila seseorang tidak dengan sengaja berbuat dosa (syagag) dalam sesuatu hal yang dilarang TUHAN dan ia memang melakukan salah satu dari padanya (Imamat 4:2).

4. Asyam

Kata ini artinya adalah melanggar, berbuat khilaf atau kesalahan (Imamat 6:2, 5, 6; 7:1-7). Contoh penggunaan: ”Apabila seseorang berbuat dosa (asyam) dan berubah setia terhadap TUHAN, dan memungkiri terhadap sesamanya barang yang dipercayakan kepadanya, atau barang yang diserahkan kepadanya atau barang yang dirampasnya, atau apabila ia telah melakukan pemerasan atas sesamanya”, (Imamat 6:2)

5. Awon/Avon

Kata benda (nomina) Ibrani ’Âvon, -âlef – vâv – nun, diterjemahkan oleh LAI dengan ”hukuman”, ”kedurjanaan”, ”kesalahan”, ”dosa”. Kata ini berasal dari kata kerja ’Âvah, yang artinya adalah ”membengkokkan” yang lurus, ”memutarbalikkan”, ”mengubah bentuk”. 

Kata Âvon/Awon senantiasa dihubungkan dengan perbuatan jahat (sesat, menyeleweng, murtad, dst) yang dilakukan semasa hidup di dunia. Contoh penggunaan: ”Tetapi keturunan yang keempat akan kembali ke sini, sebab sebelum itu kedurjanaan (awon) orang Amori itu belum genap” (Kejadian 15:16). Sebagai kesimpulan, setidaknya ada enam kata dalam Alkitab bahasa Ibrani Perjanjian Lama yang diterjemahkan sebagai “dosa” dalam Alkitab bahasa Indonesia, atau ”sin” dalam Alkitab yang berbahasa Inggris.

Istilah di dalam bahasa Ibrani yang dipakai untuk dosa adalah ”avon”. Kata Ibrani עון – ’Âvon, 'ayin-vâv-nûn sõfït, berasal dari kata kerja עוה – ’Âvah, ’ayin-vâvhê’, ”melakukan kesalahan”, ”bersalah”, secara konseptual bermakna ”membengkokkan yang lurus”. Kata ini lebih banyak diterjemahkan ”kesalahan terhadap manusia ketimbang ”dosa” terhadap Allah.

Jadi kata ini dipakai untuk menunjukkan suatu kesalahan ”guilty” atau suatu hal yang mengakibatkan seseorang merasa patut dihukum. Istilah ini sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Suatu perasaan di dalam diri seseorang yang menganggap diri cacat atau perasaan di dalam jiwa yang merasa diri kurang benar, sehingga selalu merasa mau menegur dirinya. Hal ini bersangkutpaut dengan fungsi hati nurani yang diberikan hanya kepada manusia saja.

Tidak ada binatang yang mempunyai ’guilty feeling’, tidak ada binatang yang bisa menegur diri karena merasakan sesuatu hal yang tidak benar yang sudah diperbuatnya. Tetapi manusia tidak demikian, mempunyai perasaan berhutang atau perasaan bahwa ia patut dihukum. Perasaan sedemikian berdasarkan suatu pikiran dari apa yang sudah dikerjakan, yang kemudian sadar akan statusnya dalam keadaan patut dihukum.

6. Hatta/Khattat

Dosa dalam PL diterjemahkan dari istilah yang dipakai dalam bahasa Ibrani Kata benda (nomina) Ibrani חטאה – Khata’ah, khêt - têt - 'âlef - hê, atau Khatat, khêt - têt -'âlef - tâv, yang diterjemahkan ”dosa”, berasal dari kata kerja (verba) חטא - Khata', melakukan dosa, tidak mengenai, luput, gagal; ibarat seseorang memanah tetapi anak panahnya tidak kena pada sasaran. Secara konseptual bermakna ”meleset dari sasaran atau jalan yang benar”. Secara lebih tajam, istilah ini diartikan Stephen Tong, sebagai jatuh dan mengurangi standard dari Tuhan yang suci (falling short of the standard of God). Jadi sebenarnya Allah telah menetapkan suatu standard. 

Pada waktu manusia lepas, ia turun dari standard yang ditetapkan oleh Allah, itu disebut ”hatta" (dosa), sehingga dalam hal ini istilah dosa harus dimengerti bukan dengan cara dunia dalam pengertian hukum. Waktu berbicara tentang hukum berarti secara tidak sadar mereka sudah menyetujui bahwa fakta dosa sudah ada di dalam dunia. Berdasarkan pengertian akan fakta dosa secara serius, maka agama mempunyai tempat dan akar yang cukup kuat dan tidak mungkin dapat dicabut oleh kebudayaan manapun.

Dalam pengertian hukum dunia, dosa yang merupakan suatu fakta adalah pelanggaran terhadap sesuatu yang sudah secara perjanjian bersama (konsensus) ditetapkan oleh ahli-ahli hukum agar menjadi patokan untuk mengatur hidup sosial dan etika dalam masyarakat. Jikalau ahli-ahli hukum sudah menyetujui secara konsensus lalu mencantumkan di dalam hukum suatu negara, maka apa yang dicantumkan itu menjadi standard negara itu. Barangsiapa berbuat sesuatu yang melanggar konsensus yang dicatat dalam hukum itu, disebut dosa. Di sinilah kelemahan dari semua hukum dari dunia ini yaitu mereka hanya sanggup melihat akibat dosa dan itu pun adalah aspek yang paling rendah yaitu kelakuan yang salah.

Sekali lagi, meskipun dalam hukum ditentukan perbedaan hukuman atas kesalahan berencana atau yang tidak berencana, tetapi tidak ada suatu hukum yang bisa langsung menghukum orang yang mempunyai niat atau rencana di dalam hati namun belum melakukan sesuatu di luar. Maksudnya, jikalau seseorang mempunyai hati yang ingin mencuri, tidak ada hukum di dunia yang boleh langsung memenjarakan dia, kecuali dia sudah melaksanakannya. Dengan demikian di seluruh dunia, pengertian hukum dan keadilan hanyalah dapat mengerti dosa di dalam hal yang superficial (yang tampak di permukaan). Dunia hanya mengerti dan menetapkan dosa berdasarkan sesuatu perbuatan yang dianggap melanggar suatu konsensus tentang hukum.

Tetapi Alkitab tidak demikian. Alkitab berkata dengan jelas, ”yang membenci seseorang, sudah membunuh” (Matius 5:21-22). Di sini etika Kristen adalah etika yang melampaui perbuatan yang nyata di dunia. Etika Kristen merupakan etika yang langsung ditujukan kepada motivasi seseorang secara terbuka di hadapan Tuhan. Allah sedemikian marah seperti api yang menyala-nyala. Allah yang menembus hati sanubari manusia dan tidak melihat perbuatan di luar, tetapi Dia melihat motivasi manusia di dalam hatinya.

Kebenaran Allah menuntut kepada keseluruhan hidup manusia, mulai dari motivasi di dalam, segala rencana di dalam, pikiran di dalam, mentalitas di dalam, sikap yang setengah di dalam setengah di luar, sampai perbuatan yang seluruhnya di luar. Semua ini dituntut oleh Tuhan. Menjadi seorang manusia berarti menjadi orang yang dicipta menurut peta dan teladan Allah dan dicipta supaya dia berdiri dan bertanggung jawab secara pribadi kepada Tuhan Allah. Tidak ada yang lain yang bisa menghalangi.

Di hadapan Allah setiap orang harus mempertanggungjawabkan segala motivasi, pikiran, semua sikap mentalitas, semua sikap dan sifat pribadi, semua perkataan. Hal ini menjadikan kekristenan seperti apa yang dikatakan Kierkegaard bahwa menjadi orang Kristen terlalu sulit, karena Allah bukan menuntut hal-hal yang tampak di luar.

Hukum-hukum di dunia hanya bisa menunjukkan seseorang berdosa setelah menemukan dan membuktikan bahwa mereka sudah berbuat, mengaku, atau sudah mengekspresikan apa yang diinginkan di dalam perbuatan yang merugikan orang lain. Tetapi tidak demikian dengan kekristenan dan iman Kristen. Allah menuntut secara keseluruhan yaitu sampai ke dalam hati sanubari yang terdalam, sampai ke dalam motivasi sesorang di hadapan Tuhan dimana orang lain tidak melihat. Sesungguhnya menjadi orang Kristen memang tidak mudah, tapi bukan tidak mungkin

Alkitab memakai istilah ini 580 kali di dalam Perjajian Lama. Istilah ”hatta” merupakan suatu istilah yang begitu menyedihkan bagi Tuhan. Kekristenan menunjukkan suatu hal yang tidak ada pada agama lain, yaitu Allah telah menetapkan suatu standard bagi manusia, sehingga ia tidak bisa hidup secara sembarangan. Di dalam agama-agama yang lain, mereka mempunyai standard mereka sendiri. Mereka mempunyai tujuan mereka sendiri dan tujuan yang didasarkan pada diri mereka yang sudah jatuh ke dalam dosa, yang tidak mereka sadari. Mereka ingin mencapai suatu hidup yang tinggi yang suci. 

Namun bagaimanapun tingginya tujuan itu hanyalah merupakan hasil dari otak yang sudah jatuh di dalam dosa. Sedangkan waktu Allah mengatakan ”hatta”, berarti manusia sudah hidup lebih rendah daripada standard yang sudah ditetapkan oleh Allah sendiri. Dosa tidak boleh hanya dimengerti sebagai mencuri, berzinah, berjudi, main pelacur, atau mabuk-mabuk, itu memang tidak salah. Itu adalah akibat dari dosa, merupakan hal yang superfisial, sesuatu yang hanya ditunjukan di luar. Tuntutan Alkitab jauh lebih dalam dan lebih lengkap, secara totalitas daripada itu. Suatu standard telah ditetapkan Allah bagi manusia sebagai syarat atau kriteria tingkah laku dan moralitas manusia.

Jadi disini Alkitab melihat dosa dalam ketiga aspek yang besar. Pertama, tidak mencapai atau menyeleweng dari standard yang ditetapkan Allah. Kedua, merupakan suatu hal yang salah atau sesuatu yang tidak seharusnya dikerjakan, tapi justru dikerjakan. Hal yang kemudian disadari sebagai satu kesalahan, sesuatu yang benar telah dilakukan. Ketiga, adalah suatu pelanggaran yang sengaja dari seseorang

II. Perjanjian Baru

Dalam Alkitab Perjanjian Baru juga ada banyak istilah yang dipakai untuk menunjukan dosa, berikut ini akan dibahas beberapa yang dianggap penting.

1. Adikia

Istilah αδικια (adikia) digunakan untuk menunjukkan adanya ’kelakuan yang berlawanan dengan hukum yang berlaku’, ’kejahatan’ atau perbuatan yang tidak benar. Itu berarti berhubungan dengan perbuatan lahiriah atau dari luar, yang dinilai merupakan sesuatu perbuatan yang tidak benar sama seperti yang dikatakan oleh hukum-hukum dunia tentang orang bersalah. Di pengadilan ketika semua pemeriksaan sudah selesai, maka hakim akan memvonis, bahwa seseorang itu bersalah.

Itulah ”adikia”, berarti seseorang sudah berbuat salah. Kata ini juga dipakai di 1 Yohanes 1:9; 1 Yohanes 5:17. Contoh penggunaan: ”Semua kejahatan (adikia) adalah dosa, tetapi ada dosa yang tidak mendatangkan maut”. (1 Yohanes 5:17).

Kejahatan adalah segala sesuatu yang bersifat merusak, menghambat, dan menghancurkan tujuan dan makna mula-mula Allah dalam mencipta semesta ini. N. T. Wright memberikan definisi tentang kejahatan demikian: ”Evil is the force of anticreation, anti-life, the force which opposes and seeks to deface and destroy God’s good world of space, time and matter, and above all God’s image-bearing human creatures”. Sesuatu yang anti-Allah! Kejahatan adalah segala sesuatu yang berupaya menjauhkan manusia dari rencana Allah yang menghidupkan.

Paling tidak ada empat pemikiran mendasar mengenai kejahatan.

Pertama, kejahatan dapat didefinisikan sebagai absennya atau ketiadaan dari sesuatu yang baik. Kejahatan merupakan kerusakan atau devisiasi (penyimpangan) dari apa yang sebenarnya. Kejahatan ada sebagai kerusakan dari sesuatu yang baik.

Kedua, kejahatan tidak memiliki esensi dari dirinya sendiri. Kejahatan tidak eksis secara sendirinya, ia ada di dalam sesuatu dan bukan di dalam dirinya sendiri. Misalnya, lubang itu riil, tapi hanya ada dalam sesuatu yang lain. Kita bisa katakan tidak adanya tanah sebagai sebuah lubang, tapi lubang tidak bisa dipisahkan dari tanah. Misalnya, kelapukan pada pohon terjadi karena adanya pohon. Tidak ada kelapukan jika tidak ada pohon. Kebusukan pada gigi hanya dapat terjadi selama gigi itu ada.

Ketiga, kejahatan itu adalah sesuatu yang aktual, bukan ilusi. Walaupun kejahatan itu tidak eksis dari dirinya sendiri, tidak berarti bahwa kejahatan itu adalah sesuatu yang abstrak atau hanya khayalan belaka. Kejahatan itu nyata, dapat dilihat, dan dialami.

Keempat, kejahatan dapat dikategorikan dalam dua bentuk, yaitu kejahatan moral dan kejahatan natural. Kejahatan moral adalah kejahatan yang dilakukan oleh agen atau pelakupelaku moral yang bebas. 

Contoh dari kejahatan moral ini adalah perang, kriminalitas, diskriminasi, perbudakan, pembantaian, dan lain-lain. Kejahatan natural adalah kejahatan yang tidak melibatkan kehendak dan tindakan manusia tetapi merupakan aspek alam yang bekerja melawan manusia. 

Contoh dari kejahatan natural ini adalah badai, tsunami, gempa bumi, banjir, gunung meletus, dan lain-lain. Kejahatan dalam bentuk moral maupun kejahatan dalam bentuk natural adalah kerusakan sesuatu yang baik dan memberi dampak yang negatif.

2. Hamartia

Istilah kedua dalam Perjanjian Baru adalah αμαρτια - hamartia, artinya meleset dari sasaran yang dituju, kehilangan, meleset dari target atau sasaran yang ditetapkan merupakan istilah umum bagi "dosa" baik tindakan maupun hasil; Kata αμαρτια - hamartia ini adalah istilah umum bagi kata "dosa" yang digunakan paling banyak dalam Perjanjian Baru Yunani, yaitu 174 kali. 71 kali diantaranya terdapat di dalam surat-surat Rasul Paulus.

Kata ini bukan hanya menunjuk pada perbuatan dosa, tetapi juga keadaan hati dan pikiran yang jahat. Contoh penggunaan: ”Karena semua orang telah berbuat dosa (hamartia) dan telah kehilangan kemuliaan Allah”, (Roma 3:23). Contoh lainnya: ”Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa (hamartia) mereka” (Matius 1:21).

Searah dengan itu, Stephen Tong mengatakan: Jika saya melepaskan satu anak panah menuju pada satu sasaran yang sudah jelas, yaitu lingkaran tertentu yang harus dicapai, tetapi anak panah itu jatuh satu meter sebelum sasaran itu, maka itu disebut ”hamartia”. Sekali lagi saya berusaha untuk melepaskan panah, tetapi kini bukan tidak sampai, tapi terus lewat jauh dari target yang ditetapkan, itupun disebut ”hamartia”. Atau ketiga kalinya saya melepaskan panah, panah itu terbang menuju sasaran, namun menancap 2 cm dari sasaran, berhenti di pinggir target itu, itu tetap artinya ”hamartia”.

Jadi di sini tidak peduli kurang berapa meter atau lebih berapa centimeter atau meleset hanya beberapa milimeter, itu semua dianggap sama. Hanya mereka yang betul-betul sesuai dengan sasaran asli, itu yang dianggap benar. Yang lain semua dianggap "hamartia

3. Parabasis

Kata ini berasal dari kata kerja “Parabaino” yang maknanya adalah “melanggar“. Secara konseptual berarti berjalan melewati garis, seperti para murid Yesus dituduh “melanggar” adat istiadat nenek moyang mereka, dan ungkapan “melangkah keluar”dari ajaran Yesus dalam 2 Yohanes 1: 9.

Jadi, “parabasis” berarti “pelanggaran” atau “menyimpang dari yang seharusnya”. Dalam Perjanjian Baru, kata ini selalu dipakai dalam hal pelanggaran hukum yang pasti (Roma 4:15; 2 Petrus 2:16). Hukum-hukum Allah menuntut ketaatan manusia, dan jika manusia tidak mentaatinya berarti ia adalah “pelanggar hukum” dan berdosa sehingga murka Allah akan menimpanya (Roma 4:15). Contoh penggunaan: “Lagipula bukan Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa (parabasis)” (1 Timotius 2:14).

4. Anomia

Kata ini berasal dari kata sifat “anomos” yaitu partikel negatif A dan kata benda “nomos” (hukum). Jadi, anomia adalah “suatu kondisi tanpa hukum karena mengabaikannya/tidak memperdulikan hukum/tidak mentaati hukum”. Contoh penggunaan: “Setiap orang yang berbuat dosa, melanggar juga hukum Allah (anomia), sebab dosa ialah ‘pelanggaran hukum Allah’ (anomia)” (1 Yohanes 3:4).

5. Asebeia

Kata ini memiliki makna atau berbicara tentang kefasikan dan tidak mengenal Allah (Titus 2:12).

6. Paraptoma

Kata ini memiliki makna kesalahan, tidak berdiri teguh pada saat harus teguh, tidak sampai kepada yang seharusnya, pelanggaran secara sengaja (Matius 6: 14-15, Roma 4: 24; Galatia 6:1; Yakobus 5:16).

7. Agnoema

Artinya tidak berpengetahuan, tidak berpengertian. Contoh penggunaan: “tetapi ke dalam kemah yang kedua hanya Imam Besar saja yang masuk sekali setahun, dan harus dengan darah yang ia persembahkan karena dirinya sendiri dan karena ‘pelanggaran-pelanggaran’, yang dibuat oleh umatnya ‘dengan tidak sadar’ (agnoema)” (Ibrani 9:7).

Dari ke 13 istilah, enam dalam bahasa Ibrani, di Perjanjian Lama dan tujuh dalam bahasa Yunani di Perjanjian Baru, terlihat suatu gambaran yang jelas bahwa manusia dicipta bukan untuk kebebasan yang tanpa arah, tetapi manusia diciptakan dengan standard yang sudah ditetapkan.

Selain itu, dosa dapat juga didefinisikan sebagai pemberontakan secara aktif terhadap Allah Pencipta yang menyebabkan manusia tidak taat, melanggar hukum Allah, dan menyimpang dari tujuan Allah yang menciptakannya. Dosa selalu berkontradiksi dengan kekudusan Allah sehingga tidak dapat dipandang sepele, sebaliknya harus dipandang serius.

Dengan demikian, dosa bukanlah sesuatu yang timbul dari sifat kebinatangan manusia karena manusia diciptakan berbeda secara esensial dengan binatang. Dosa juga bukan nafsu fisikal manusia semata-mata. Dosa adalah pemberontakan terhadap Allah dan setelah kejatuhan Adam dalam dosa, dosa melekat pada setiap manusia keturunannya seperti yang diungkapkan oleh Daud, "Sesungguhnya, ... dalam dosa aku dikandung ibuku” (Mazmur 51:7).

Baca Juga: 3 Aspek Dosa (Status, Habitus Dan Actus)

Jadi penelaahan terhadap penggunaan kata-kata itu dan bagaimana cara Alkitab memakainya untuk menunjukkan bahwa dosa, sehingga tidaklah diragukan lagi akan karakter etis dosa tersebut. Sesungguhnya dosa itu bukanlah seperti bencana yang melanda manusia tanpa peringatan, meracuni hidup manusia dan bahkan menghancurkan kebahagiaannya, tetapi merupakan suatu tindakan kejahatan yang dengan sengaja telah dipilih oleh manusia dan yang akibatnya membawa kesusahan dan malapetaka bagi manusia itu sendiri.

Jadi, dosa adalah akibat dari suatu pilihan bebas tapi jahat dari manusia, dan bukanlah sesuatu yang pasif seperti kelemahan, suatu kesalahan atau suatu ketidaksempurnaan yang akhirnya tidak dapat dituntut pertanggungjawaban, tetapi pada dasarnya adalah merupakan suatu permusuhan dengan Allah dan hukum-Nya.

Kesimpulan

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dosa berarti tidak sampai kepada sasaran, kebobrokan, pendurhakaan, penyelewengan, kesesatan, kejahatan, penyimpangan, keadaan yang tidak beriman, pengingkaran hukum, kecurangan, kebodohan dan niat meninggalkan jalan yang benar. Atau dapat didefenisikan sebagai berlawanan dengan atau menentang karakter Allah, (Roma 3:23).

Secara mendasar dosa diasumsikan pada arah yang bertentangan dengan Allah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Henry bahwa dosa adalah pengingkaran terhadap Hukum Allah, (Roma 7:7-13; Galatia 3:10,12), yang berhubungan secara langsung dengan karakter atau sifat Allah sendiri. Hal ini sependapat dengan apa yang terdapat dalam Eniklopedia Alkitab masa kini yang menegaskan bahwa dosa merupakan penyimpangan dari makna yang alkitab gambarkan bukan merupakan pertentangan yang secara langsung ditujukan kepada Allah.

Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Ichwei dalam bukunya yang mendefenisikan bahwa dosa merupakan suatu keadaan yang bertentangan dengan norma-norma moral hukum Allah yang mendatangkan murka Allah baik itu hukum yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan kata lain seperti yang Donald Guthrie tegaskan manusia gagal memenuhi apa yang diwajibkan oleh Allah. 

Jadi berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa manusia mengalami murka Allah yang diakibatkan oleh jalan yang manusia ambil di luar ketetapan hukum Allah. Sementara Millard memberikan dua defenisi mengenai dosa, yang pertama adalah ketidakselarasan apakah itu secara aktif maupun pasif dengan hukum moral Allah, yang kedua adalah kegagalan untuk dapat hidup sesuai dengan harapan Allah baik dalam pikiran, tindakan dan keberadaan
Next Post Previous Post