Biografi Jodocus van Lodenstein
Secara ringkas Jodocus van Lodenstein Lahir 6 Februari 1620 di Delft South Holland dan Meninggal 6 Agustus 1677 di Utrecht . Keluarganya sendiri adalah keluarga yang sangat terpandang. Tetapi, dari kecil, ia dididik secara ketat dalam teologi dan kehidupannya sebagai seorang Kristen oleh kedua orang tuanya. Sejak kecil pun ia diajarkan untuk hidup mengejar kekudusan. Di masa muda, ia mendapat pengaruh dari khotbah seorang Puritan Inggris, Thomas Hooker.
Van Lodenstein hidup sejaman dengan gerakan Puritan Inggris di abad 17 dan 18. Dengan pengaruh ini juga, ia sangat menekanakan kehidupan pietis dan penekanan pada kesucian hidup. Namun, di masa ia hidup, arus pemikiran dari Rene Descartes pun popular. Jika di zaman sebelumnya, seseorang hidup dengan sangat bergantung dengan pandangannya terhadap Tuhan, maka para Cartesianism (pengikut pemikiran Descartes) memandang hidup yang individual dan mandiri, terbebas dari pemikiran ikatan akan adanya Tuhan.
Bersamaan dengan hal di atas, Belanda sendiri mengalami “Golden Age Era”. Kemakmuran dari ekonomi yang dirasakan orang-orang Belanda, membuat masyarakat yang cukup mayoritas dari kalangan Kristen ini berubah menjadi materialism.
Pada usianya yang ke-16, ia masuk ke dalam perguruan tinggi, Utrecht Academy. Di sana, ia bertemu dengan Voetius, seseorang yang akan menjadi teman baiknya dan meneguhkan pandangan pietisnya. Mereka sepakat bahwa gerakan Reformasi yang sudah berlangsung sampai saat ini, tidak mencapai puncaknya. Seharusnya pengertian doktrinal yang benar, membawa setiap orang untuk hidup kudus pula di hadapan Tuhan.
Lulus dari Utrecht Academy, ia melanjutkan belajar di bawah Johannes Cocceius, seorang Jerman pietis, selama 2 tahun. Semenjak dari pendidikan hingga masa ini, ia semakin yakin dengan panggilannya sebagai seorang pelayan Tuhan. Sehingga akhirnya ia melayani Tuhan secara penuh waktu dan ditempatkan di gereja pertama, daerah Zoetermeer (1644-1650).
Van Lodenstein adalah seorang yang berpegang teguh pada teologi Reformed, namun juga memiliki penekanan pada Piestic dan Mistik. Di dalam pemikirannya, ia menekankan bahwa: “jika kita hidup diciptakan oleh Allah, jika keselamatan kita diberikan oleh Allah dan topangan hidup kita diberikan oleh Allah, maka hidup kita ini adalah sepenuhnya milik Allah. Baik tubuh dan jiwa kita. Tidak ada satupun yang lagi dapat kita berikan untuk kita sendiri.”
Sebagai orang Kristen yang sungguh, seharusnya merenungkan kesatuan di dalam Kristus dan memiliki relasi dengan intim denganNya. Maka, mengapa kesucian hidup, perenungan yang mendalam akan firman Tuhan dan penyangkalan diri adalah hal yang selalu ditekankan oleh van Londenstein.
Baginya, menjadi milik Allah sepenuhnya adalah ketika kita menyangkal diri sepenuhnya dan menundukkan diri di bawah keinginan Allah. Hati yang mati dan kering, seringkali disebabkan karena pengertian (knowledge) yang sering dianggap sama dengan spiritualitas pribadi kita. Padahal, hal ini tentu berbeda. Meskipun tentu ada kaitannya.
Kehidupan yang suci, bukan sekedar perenungan antara relasi kita dengan Tuhan saja. Van Londenstein pun menyebutkan bahwa itu harus tampak keluar dari hidup kita sehingga menjadi dampak bagi orang sekitar kita. Maka, pada masa pelayanannya dari kota yang pertama, kedua (Sluis, 1650-1653) dan ketiga (Utrecht, 1653-1677), ia selalu berkhotbah, mengajarkan teologi Reformed, melakukan pembesukan kepada anggota-anggota gereja, menolong orang-orang miskin dan kesulitan lainnya.
Dari pribadi Jodocus Van Londenstein menyentil pikiran dan hati kita sekali lagi atas kalimat Paulus di Galatia 2:20 “namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” Sungguh kah kita dapat menyangkal penuh diri kita untuk menjadi sepenuhnya milik Allah? Menjadi milik Allah, rela sepenuhnya menyangkal diri dan tunduk di bawah keinginan Allah. Kalimat yang tentu sering kali kita dengar, tetapi apakah kita sanggup menghidupinya dan menyatakan keluar?
Van Lodenstein hidup sejaman dengan gerakan Puritan Inggris di abad 17 dan 18. Dengan pengaruh ini juga, ia sangat menekanakan kehidupan pietis dan penekanan pada kesucian hidup. Namun, di masa ia hidup, arus pemikiran dari Rene Descartes pun popular. Jika di zaman sebelumnya, seseorang hidup dengan sangat bergantung dengan pandangannya terhadap Tuhan, maka para Cartesianism (pengikut pemikiran Descartes) memandang hidup yang individual dan mandiri, terbebas dari pemikiran ikatan akan adanya Tuhan.
Bersamaan dengan hal di atas, Belanda sendiri mengalami “Golden Age Era”. Kemakmuran dari ekonomi yang dirasakan orang-orang Belanda, membuat masyarakat yang cukup mayoritas dari kalangan Kristen ini berubah menjadi materialism.
Pada usianya yang ke-16, ia masuk ke dalam perguruan tinggi, Utrecht Academy. Di sana, ia bertemu dengan Voetius, seseorang yang akan menjadi teman baiknya dan meneguhkan pandangan pietisnya. Mereka sepakat bahwa gerakan Reformasi yang sudah berlangsung sampai saat ini, tidak mencapai puncaknya. Seharusnya pengertian doktrinal yang benar, membawa setiap orang untuk hidup kudus pula di hadapan Tuhan.
Lulus dari Utrecht Academy, ia melanjutkan belajar di bawah Johannes Cocceius, seorang Jerman pietis, selama 2 tahun. Semenjak dari pendidikan hingga masa ini, ia semakin yakin dengan panggilannya sebagai seorang pelayan Tuhan. Sehingga akhirnya ia melayani Tuhan secara penuh waktu dan ditempatkan di gereja pertama, daerah Zoetermeer (1644-1650).
Van Lodenstein adalah seorang yang berpegang teguh pada teologi Reformed, namun juga memiliki penekanan pada Piestic dan Mistik. Di dalam pemikirannya, ia menekankan bahwa: “jika kita hidup diciptakan oleh Allah, jika keselamatan kita diberikan oleh Allah dan topangan hidup kita diberikan oleh Allah, maka hidup kita ini adalah sepenuhnya milik Allah. Baik tubuh dan jiwa kita. Tidak ada satupun yang lagi dapat kita berikan untuk kita sendiri.”
Sebagai orang Kristen yang sungguh, seharusnya merenungkan kesatuan di dalam Kristus dan memiliki relasi dengan intim denganNya. Maka, mengapa kesucian hidup, perenungan yang mendalam akan firman Tuhan dan penyangkalan diri adalah hal yang selalu ditekankan oleh van Londenstein.
Baginya, menjadi milik Allah sepenuhnya adalah ketika kita menyangkal diri sepenuhnya dan menundukkan diri di bawah keinginan Allah. Hati yang mati dan kering, seringkali disebabkan karena pengertian (knowledge) yang sering dianggap sama dengan spiritualitas pribadi kita. Padahal, hal ini tentu berbeda. Meskipun tentu ada kaitannya.
Kehidupan yang suci, bukan sekedar perenungan antara relasi kita dengan Tuhan saja. Van Londenstein pun menyebutkan bahwa itu harus tampak keluar dari hidup kita sehingga menjadi dampak bagi orang sekitar kita. Maka, pada masa pelayanannya dari kota yang pertama, kedua (Sluis, 1650-1653) dan ketiga (Utrecht, 1653-1677), ia selalu berkhotbah, mengajarkan teologi Reformed, melakukan pembesukan kepada anggota-anggota gereja, menolong orang-orang miskin dan kesulitan lainnya.
Dari pribadi Jodocus Van Londenstein menyentil pikiran dan hati kita sekali lagi atas kalimat Paulus di Galatia 2:20 “namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” Sungguh kah kita dapat menyangkal penuh diri kita untuk menjadi sepenuhnya milik Allah? Menjadi milik Allah, rela sepenuhnya menyangkal diri dan tunduk di bawah keinginan Allah. Kalimat yang tentu sering kali kita dengar, tetapi apakah kita sanggup menghidupinya dan menyatakan keluar?
Kiranya pembelajaran dari salah satu tokoh Reformed Spirituality ini sekali lagi membuat kita merenungkan lebih dalam dan lebih jauh akan kehidupan kita yang dipersembahkan sebagai persembahan yang hidup. Dan membawa kita ke dalam pertobatan yang terus semakin bertumbuh dan berbuah di dalam Kristus dan GerejaNya.