TRADISI YANG MENAMBAHI FIRMAN (YOHANES 2:5-6)

Pdt. Budi Asali, M.Div.

5) Tanggapan Maria (ay 5).

Yohanes 2:5: “Tetapi ibu Yesus berkata kepada pelayan-pelayan: ‘Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!’”.
TRADISI YANG MENAMBAHI FIRMAN (YOHANES 2:5-6)
KJV: “Whatsoever” [= Apapun].

RSV/NIV/NASB: “whatever” [= apapun].

Pulpit Commentary: “‘Whatsoever he saith unto you do it.’ Though in some sense slighted or reproved, she exhibits the most entire confidence in her Son and Lord. She encourages the servants to do whatever he might command.” [= ‘Apapun yang Ia katakan kepadamu lakukan itu’. Sekalipun dalam arti tertentu diabaikan atau ditegur / dimarahi, ia menunjukkan keyakinan yang paling lengkap / penuh kepada Anak dan Tuhannya. Ia mendorong pelayan-pelayan untuk melakukan apapun yang Ia perintahkan.].

John G. Mitchell: “Mary did not argue. She merely said to the servants, ‘Whatever he says, you do.’ Isn’t that good advice? And may I suggest that full obedience brings joy, satisfaction, and transformation. Too many Christians are only partial in their obedience. They will do certain things, but not others. But Christ asks for complete obedience. Now remember, He is God. Because He has absolute authority, He demands absolute obedience. ‘Whatever He says, you do it.’” [= Maria tidak membantah / mendebat. Ia hanya berkata kepada pelayan-pelayan, ‘Apapun yang Ia katakan, lakukanlah itu’. Bukankah itu nasehat yang baik? Dan bolehkah saya mengusulkan bahwa ketaatan sepenuhnya membawa sukacita, kepuasan dan perubahan. Terlalu banyak orang-orang Kristen yang hanya taat sebagian. Mereka mau melakukan hal-hal tertentu, tetapi tidak hal-hal yang lain. Tetapi Kristus meminta ketaatan yang lengkap. Sekarang ingatlah, Ia adalah Allah. Karena Ia mempunyai otoritas mutlak, Ia menuntut ketaatan mutlak. ‘Apapun yang Ia katakan, lakukanlah itu’.].

Lenski: “Mary speaks not to Jesus but to the διάκονοι. This means that she is wholly satisfied with her Son’s reply, which also is evidenced by what she tells ‘the servants.’ These evidently had not heard her conversation with Jesus. The term διάκονοι is significant. They are not δοῦλοι, ‘slaves’ or ‘servants’ in the lowest sense of our English word, who just obey orders and no more. These are voluntary assistants, come in to help in a friendly way with the work at the wedding feast.” [= Maria tidak berbicara kepada Yesus tetapi kepada DIAKONOI {= pelayan-pelayan}. Ini berarti bahwa ia sepenuhnya puas dengan jawaban Anaknya, yang juga dibuktikan dengan apa yang ia perintahkan kepada ‘pelayan-pelayan’. Orang-orang ini jelas tidak mendengar pembicaraan Maria dengan Yesus. Istilah DIAKONOI adalah sesuatu yang penting. Mereka bukanlah DOULOI, ‘hamba-hamba / budak-budak’ atau ‘servants’ / ‘pelayan-pelayan’ dalam arti yang paling rendah dari kata bahasa Inggris kita, yang hanya mentaati perintah dan tidak lebih dari itu. Orang-orang ini adalah pembantu-pembantu sukarela, datang untuk membantu dengan suatu cara yang ramah / bersahabat dengan pekerjaan pada pesta pernikahan.].

Kalau Yesus yang memerintah mereka, Ia tidak punya hak. Tetapi Maria kelihatannya punya hubungan keluarga dengan orang yang menikah, dan memang punya hak.

William Hendriksen: “‘his mother said to the waiters’ (servants, in the sense of assistants at the wedding), ‘Whatever he tells you, do.’ That she regarded it necessary to speak to the servants should not cause surprise. She was aware of two things: a. that otherwise it might seem rather strange that waiters should receive orders from a guest; and b. that what Jesus would order these attendants to do would, perhaps, even seem foolish, so that they might not have been willing to do it.” [= ‘ibuNya berkata kepada pelayan-pelayan’ (pelayan-pelayan, dalam arti dari pembantu-pembantu pada pernikahan), ‘Apapun yang Ia katakan, lakukanlah’. Bahwa ia menganggap perlu untuk berbicara kepada pelayan-pelayan tidak perlu menyebabkan kejutan. Ia sadar tentang dua hal: a. bahwa kalau tidak akan kelihatan agak aneh bahwa pelayan-pelayan harus menerima perintah-perintah dari seorang tamu; dan b. bahwa apa yang Yesus akan perintahkan untuk dilakukan pembantu-pembantu ini, bahkan terlihat bodoh, sehingga mereka bisa tidak mau untuk melakukannya.].

Lenski: “If only more of us would obey Mary’s word, ‘Whatever he tells you, do!’” [= Seandainya saja lebih banyak dari kita yang mentaati kata-kata Maria, ‘Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!’].

J. C. Ryle: “Dyke observes, "The direction which Mary gives to the servants belongs to us all. We must perform simple obedience to Christ in all things; His sayings must be our doings. No reasoning of the matter must there be, no inquiry, as into men’s commandments and speeches; but this must suffice, ‘Christ hath said it.’ This is the blind obedience which Jesuits yield to their superiors, but it is the obedience that belongs to Christ. Many will do something that Christ says, but not whatsoever He says."” [= Dyke berkata, "Perintah yang Maria berikan kepada pelayan-pelayan cocok bagi kita semua. Kita harus melakukan ketaatan yang tulus kepada Kristus dalam segala sesuatu; kata-kataNya harus menjadi tindakan-tindakan kita. Tak ada argumentasi tentang hal itu boleh ada di sana, tak ada pertanyaan, seperti pada perintah-perintah dan ucapan-ucapan manusia; tetapi ini harus cukup, ‘Kristus telah mengatakannya’. Ini adalah ketaatan yang buta yang orang-orang Jesuit (suatu kelompok dalam gereja Katolik) berikan kepada atasan-atasan mereka, tetapi itu adalah ketaatan yang merupakan milik Kristus. Banyak orang mau melakukan sesuatu yang Kristus katakan, tetapi bukan apapun yang Ia katakan".] - ‘Expository Thoughts on the Gospels: John vol I’ (Libronix).

Calvin: “We are taught generally by these words, that if we desire any thing from Christ, we will not obtain our wishes, unless we depend on him alone, look to him, and, in short, ‘do whatever he commands.’ On the other hand, he does not send us to his mother, but rather invites us to himself.” [= Kita diajar secara umum oleh kata-kata ini, bahwa jika kita menginginkan apapun dari Kristus, kita tidak akan mendapatkan keinginan kita, kecuali kita bergantung / bersandar kepada Dia saja, memandang kepadaNya, dan singkatnya, ‘melakukan apapun yang Ia perintahkan’. Di sisi lain, Ia tidak mengutus / mengirim kita kepada ibuNya, tetapi sebaliknya mengundang kita kepada diriNya sendiri.].

Mungkin lebih tepat bahwa Maria mengirim orang kepada Kristus, dan bukan sebaliknya.

Matthew Henry: “Sense of our Lord’s frowns and rebukes. Afflictions are continued, deliverances delayed, and God seems angry at our prayers. This was the case of the mother of our Lord here, and yet she encourages herself with hope that he will at length give in an answer of peace, to teach us to wrestle with God by faith and fervency in prayer, even when he seems in his providence to walk contrary to us.” [= Mengerti / sadar akan ketidak-senangan dan teguran Tuhan kita. Penderitaan-penderitaan berlanjut, pembebasan-pembebasan ditunda, dan Allah kelihatannya marah pada doa-doa kita. Ini adalah kasus dari ibu Tuhan kita di sini, tetapi ia menguatkan dirinya sendiri dengan pengharapan bahwa akhirnya Ia akan memberikan jawaban damai, untuk mengajar kita untuk bergumul dengan Allah dengan iman dan semangat / kesungguhan dalam doa, bahkan pada waktu dalam Providensia-Nya Ia kelihatannya berjalan bertentangan dengan kita.].

Bdk. Roma 4:18-19 - “(18) Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya, bahwa ia akan menjadi bapa banyak bangsa, menurut yang telah difirmankan: ‘Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu.’ (19) Imannya tidak menjadi lemah, walaupun ia mengetahui, bahwa tubuhnya sudah sangat lemah, karena usianya telah kira-kira seratus tahun, dan bahwa rahim Sara telah tertutup.”.`

III) Mujizat air menjadi anggur.

Yohanes 2: 6-8: “(6) Di situ ada enam tempayan yang disediakan untuk pembasuhan menurut adat orang Yahudi, masing-masing isinya dua tiga buyung. (7) Yesus berkata kepada pelayan-pelayan itu: ‘Isilah tempayan-tempayan itu penuh dengan air.’ Dan mereka pun mengisinya sampai penuh. (8) Lalu kata Yesus kepada mereka: ‘Sekarang cedoklah dan bawalah kepada pemimpin pesta.’ Lalu mereka pun membawanya.”.

1) Tradisi Yahudi tentang pembasuhan (ay 6a).

Yohanes 2: 6: “Di situ ada enam tempayan yang disediakan untuk pembasuhan menurut adat orang Yahudi, masing-masing isinya dua tiga buyung.”.

William Hendriksen: “Somewhere in the vicinity of the room where the feast was held six stone water-jars were standing. These were considerably larger than the one used by the Samaritan woman (4:28). The purpose of these larger jars is explained in Mark 7:3, ‘For the Pharisees and all the Jews do not eat unless they wash their hands, observing the tradition of the elders.’” [= Di dekat ruangan dimana pesta diadakan ada enam tempayan. Mereka sangat lebih besar dari pada tempayan yang digunakan oleh perempuan Samaria (4:28). Tujuan dari tempayan-tempayan yang lebih besar ini dijelaskan dalam Markus 7:3, ‘Sebab orang-orang Farisi seperti orang-orang Yahudi lainnya tidak makan kecuali mereka mencuci tangan mereka, menaati tradisi dari tua-tua mereka’.].

Yohanes 4:28 - “Maka perempuan itu meninggalkan tempayannya di situ lalu pergi ke kota dan berkata kepada orang-orang yang di situ:”.

Catatan: baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Yunaninya (HUDRIA) kata yang digunakan dalam Yoh 4:28 sama dengan yang digunakan dalam Yohanes 2:6. Ini memang bukan satuan volume, tetapi hanya merupakan tempat air, sehingga bisa besar ataupun kecil.

Lenski: “‘In accord with the purification of the Jews’ is added by John for the sake of his Greek readers. The old regulations for purification were greatly extended in unauthorized ways during the post-Babylonian period, so that also cups, pots, brazen vessels were washed (‘baptized’) as a matter of ritual observance, Mark 7:4, and some texts add ‘couches,’ those on which a person reclined when dining. The washing of hands, especially before eating, Mark 7:3, was done only in a formal way, merely by dipping the finger into water.” [= ‘Sesuai dengan penyucian orang-orang Yahudi’ ditambahkan oleh Yohanes demi pembaca-pembaca Yunani. Peraturan-peraturan kuno untuk penyucian sangat diperluas dengan cara yang tidak sah selama masa setelah Babilonia, sehingga juga cawan-cawan, belanga-belanga, bejana-bejana tembaga dicuci (‘dibaptis’) sebagai suatu persoalan ketaatan ritual / yang bersifat upacara, Mark 7:4, dan beberapa text (manuscript-manuscript) menambahkan ‘sofa-sofa’ / ‘ranjang-ranjang’, yaitu pada mana seseorang bersandar pada waktu makan. Pencucian tangan, khususnya sebelum makan, Markus 7:3, dilakukan hanya dengan cara formal, semata-mata dengan mencelupkan jari ke dalam air.].

J. C. Ryle: “St. John mentions these details in describing the miracle, with a special reference to Gentile readers. He meant them to understand that there was nothing remarkable in the circumstance that there were six large water-pots of stone in the place where the feast was held. The peculiar customs of the Jews about ceremonial washings and purifyings, made it necessary to have a large supply of water at hand. The words of St. Mark throw light on the verse before us: - ‘The Pharisees, and all the Jews, except they wash their hands oft, eat not, holding the tradition of the elders,’ &c. (Mark 7:3, &c.) The presence of the six water-pots, therefore, could not arise from collusion or pre-arrangement. It was a natural consequence of Jewish habits in our Lord’s times.” [= Santo Yohanes menyebutkan detail-detail ini dalam menggambarkan mujizat itu, dengan suatu referensi khusus kepada pembaca-pembaca non Yahudi. Ia memaksudkan mereka untuk mengerti bahwa di sana tidak ada sesuatu yang aneh / luar biasa dalam peristiwa itu bahwa di sana ada enam tempayan-tempayan yang besar di tempat dimana pesta itu diadakan. Tradisi yang khas dari orang-orang Yahudi tentang pembasuhan dan pencucian, membuat perlu untuk mempunyai suatu suplai air yang banyak di dekat tempat itu. Kata-kata dari Santo Markus memberi terang pada ayat di depan kita: - ‘Orang-orang Farisi, dan semua orang-orang Yahudi, kecuali mereka sering mencuci tangan mereka, tidak makan, memegang tradisi dari tua-tua’, dst. (Mark 7:3, dst.) Karena itu, adanya enam tempayan-tempayan, tidak bisa muncul dari konspirasi atau pengaturan sebelumnya. Itu adalah suatu konsekwensi alamiah dari kebiasaan-kebiasaan Yahudi pada zaman Tuhan kita.] - ‘Expository Thoughts on the Gospels: John vol I’ (Libronix).

William Barclay: “John was writing his gospel for Greeks, and so he explains that these jars were there to provide water for the purifying ceremonies of the Jews. Water was required for two purposes. First, it was required for cleansing the feet on entry to the house. The roads were not surfaced. Sandals were merely a sole attached to the foot by straps. On a dry day the feet were covered by dust and on a wet day they were soiled with mud; and the water was used for cleansing them. Second, it was required for the handwashing. Strict Jews washed their hands before a meal and between each course. First the hand was held upright and the water was poured over it in such a way that it ran right to the wrist; then the hand was held pointing down and the water was poured in such a way that it ran from the wrist to the fingertips. This was done with each hand in turn; and then each palm was cleansed by rubbing it with the fist of the other hand. The Jewish ceremonial law insisted that this should be done not only at the beginning of a meal but also between courses. If it was not done, the hands were technically unclean. It was for this footwashing and handwashing that these great stone jars of water stood there.” [= Yohanes sedang menuliskan Injilnya untuk orang-orang Yunani, dan karena itu ia menjelaskan bahwa tempayan-tempayan ini ada di sana untuk menyediakan air untuk upacara-upacara penyucian dari orang-orang Yahudi. Air dibutuhkan untuk dua tujuan. Pertama, itu dibutuhkan untuk membersihkan kaki pada waktu memasuki rumah. Jalanan tidak dilapisi. Sandal-sandal hanyalah suatu sol yang dilekatkan pada kaki dengan tali-tali. Pada hari yang kering kaki dilapisi dengan debu dan pada hari basah mereka dikotori dengan lumpur; dan air digunakan untuk membersihkan mereka. Kedua, itu dibutuhkan untuk pencucian tangan. Orang-orang Yahudi yang ketat mencuci tangan mereka sebelum suatu makanan dan di antara setiap durasi. Pertama-tama tangan ditahan dalam posisi vertikal dan air dicurahkan atasnya sedemikian rupa sehingga air itu mengalir ke pergelangan; lalu tangan ditahan mengarah ke bawah dan air dicurahkan sedemikian rupa sehingga air itu mengalir dari pergelangan ke ujung-ujung jari. Ini dilakukan dengan setiap tangan secara bergantian; dan lalu setiap telapak juga dibersihkan dengan menggosokkannya dengan kepalan dari tangan yang lain. Hukum upacara Yahudi berkeras bahwa ini harus dilakukan bukan hanya pada permulaan dari suatu makanan tetapi juga di antara durasi. Jika itu tidak dilakukan, tangan secara prinsip / teoretis adalah najis. Adalah untuk pencucian kaki dan pencucian tangan ini maka tempayan-tempayan yang besar itu ada di sana.].

Barnes’ Notes: “‘Of the purifying.’ Of the ‘washings’ or ablutions of the Jews. They were for the purpose of washing the hands before and after eating (Matt 15:2), and for the formal washing of vessels, and even articles of furniture, Luke 11:39; Markus 7:3-4.” [= ‘Tentang pemurnian / penyucian’. Tentang ‘pencucian’ atau pembasuhan dari orang-orang Yahudi. Mereka ada untuk tujuan pencucian tangan sebelum dan sesudah makan (Mat 15:2), dan untuk pencucian formil dari bejana-bejana, dan bahkan perabot-perabot, Lukas 11:39; Markus 7:3-4.].

Matius 15:2 - “‘Mengapa murid-muridMu melanggar adat istiadat nenek moyang kita? Mereka tidak membasuh tangan sebelum makan.’”.

KJV/RSV/NIV/NASB: “the tradition” [= tradisi].

Luk 11:39 - “Tetapi Tuhan berkata kepadanya: ‘Kamu orang-orang Farisi, kamu membersihkan bagian luar dari cawan dan pinggan, tetapi bagian dalammu penuh rampasan dan kejahatan.”.

Markus 7:3-4 - “(3) Sebab orang-orang Farisi seperti orang-orang Yahudi lainnya tidak makan kalau tidak melakukan pembasuhan tangan lebih dulu, karena mereka berpegang pada adat istiadat nenek moyang mereka; (4) dan kalau pulang dari pasar mereka juga tidak makan kalau tidak lebih dahulu membersihkan dirinya. Banyak warisan lain lagi yang mereka pegang, umpamanya hal mencuci cawan, kendi dan perkakas-perkakas tembaga.”.

KJV/RSV/NIV/NASB: “the tradition” [= tradisi].

Dalam KJV ada tambahan pada bagian akhir dari Markus 7:4 kata-kata ‘and of tables’ [= dan (dari) meja-meja].

KJV: “And when they come from the market, except they wash, they eat not. And many other things there be, which they have received to hold, as the washing of cups, and pots, brasen vessels, and of tables.” [= Dan pada waktu mereka datang dari pasar, kecuali mereka mencuci, mereka tidak makan. Dan banyak hal-hal / benda-benda lain yang ada di sana, yang mereka telah terima untuk dipegang, seperti pencucian dari cawan-cawan, dan kendi-kendi, bejana-bejana tembaga, dan dari meja-meja.].

NKJV/YLT: ‘and couches’ [= dan sofa-sofa].

Catatan: Kata ‘couches’ diterjemahkan dari kata Yunani KLINE yang menurut Bible Works 8 artinya bisa ‘bed’ [= ranjang], ‘a small bed’ [= suatu ranjang kecil], ‘a couch to recline on at meals’ [= sebuah sofa untuk bersandar pada saat makan], ‘a couch on which a sick man is carried’ [= sebuah sofa pada mana seorang yang sakit dibawa / digotong].

William Barclay (tentang Markus 7:1-4): “Originally, for a Jew, the law meant two things: it meant, first and foremost, the Ten Commandments, and, second, the first five books of the Old Testament, or, as they are called, the Pentateuch. Now it is true that the Pentateuch contains a certain number of detailed regulations and instructions; but, in the matter of moral questions, what is laid down is a series of great moral principles which individuals must interpret and apply for themselves. For a long time, the Jews were content with that. But in the fourth and fifth centuries before Christ, there came into being a class of legal experts whom we know as the ‘scribes.’ They were not content with great moral principles; they had what can only be called a passion for definition. They wanted these great principles amplified, expanded and broken down until they issued in thousands and thousands of little rules and regulations governing every possible action and every possible situation in life. These rules and regulations were not written down until long after the time of Jesus. They are what is called the ‘oral law;’ these rules make up ‘the tradition of the elders.’” [= Mula-mula, bagi seorang Yahudi, hukum Taurat berarti dua hal: itu berarti, pertama-tama dan terutama, 10 hukum Tuhan, dan kedua, lima kitab pertama dari Perjanjian Lama, atau, seperti mereka menyebutnya Pentateuch. Adalah benar bahwa Pentateuch mengandung sejumlah peraturan-peraturan dan instruksi-instruksi mendetail tertentu, tetapi dalam persoalan pokok-pokok moral, apa yang dinyatakan secara explicit adalah suatu seri tentang prinsip-prinsip moral yang besar yang orang-orang harus tafsirkan dan terapkan untuk diri mereka sendiri. Untuk waktu yang lama orang-orang Yahudi puas dengan hal itu. Tetapi pada abad keempat dan kelima sebelum Kristus, di sana muncul suatu golongan dari ahli-ahli hukum yang kita kenal sebagai ‘ahli-ahli Taurat’. Mereka tidak puas dengan prinsip-prinsip moral yang besar; mereka mempunyai apa yang hanya bisa disebut suatu semangat untuk definisi. Mereka ingin prinsip-prinsip yang besar ini dikuatkan, diperluas dan dibagi-bagi / dianalisa sampai mereka menghasilkan beribu-ribu peraturan-peraturan kecil yang mengontrol setiap tindakan yang memungkinkan dan setiap sikon yang memungkinkan dalam kehidupan. Peraturan-peraturan ini tidak dituliskan sampai lama setelah zaman Yesus. Mereka adalah apa yang disebut ‘hukum lisan (tak tertulis)’; peraturan-peraturan ini membentuk ‘tradisi dari tua-tua’.].

William Barclay (tentang Mark 7:1-4): “The word ‘elders’ does not mean, in this phrase, the officials of the synagogue; rather it means the ancients, the great legal experts of the old days, like Hillel and Shammai. Much later, in the third century after Christ, a summary of all these rules and regulations was made and written down, and that summary is known as the Mishnah.” [= Kata ‘tua-tua’ tidak berarti, dalam ungkapan ini, pejabat-pejabat dari sinagog; tetapi itu berarti ahli-ahli hukum yang besar dari zaman kuno, seperti Hillel dan Shammai. Jauh lebih belakangan lagi, pada abad ketiga setelah Kristus, suatu ringkasan dari semua peraturan-peraturan itu dibuat dan dituliskan, dan ringkasan itu dikenal sebagai Mishnah.].

Catatan: kata-kata ‘adat istiadat nenek moyang mereka’ (Mark 7:3) dalam terjemahan LAI, oleh semua Alkitab bahasa Inggris diterjemahkan ‘the tradition of the elders’ [= tradisi dari tua-tua].

William Barclay (tentang Mark 7:1-4): “There are two aspects of these scribal rules and regulations which emerge in the argument in this passage. One is about ‘the washing of hands.’ The scribes and Pharisees accused the disciples of Jesus of eating with unclean hands. The Greek word is KOINOS. Ordinarily, KOINOS means common; then it comes to describe something which is ordinary in the sense that it is not sacred, something that is ‘profane’ as opposed to sacred things; and finally it describes something, as it does here, which is ceremonially unclean and unfit for the service and worship of God.” [= Di sana ada dua aspek dari peraturan-peraturan ahli-ahli Taurat ini yang muncul dalam argumentasi / debat dalam text ini. Yang satu adalah tentang ‘pencucian tangan’. Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi menuduh murid-murid Yesus makan dengan tangan yang najis. Kata Yunaninya adalah KOINOS. Biasanya KOINOS berarti ‘umum’; lalu itu jadi menggambarkan sesuatu yang biasa dalam arti bahwa itu bukanlah sesuatu yang keramat / kudus, sesuatu yang ‘biasa / duniawi / cemar’ dipertentangkan dengan hal-hal yang keramat / kudus; dan akhirnya itu menggambarkan sesuatu, seperti itu menggambarkan di tempat ini, yang secara upacara adalah najis dan tidak cocok untuk pelayanan dan penyembahan Allah.].

William Barclay (tentang Mark 7:1-4): “There were definite and rigid rules for the washing of hands. Note that this handwashing was not in the interests of hygienic purity; it was ‘ceremonial cleanness’ which was at stake. Before every meal, and between each of the courses, the hands had to be washed, and they had to be washed in a certain way. The hands, to begin with, had to be free of any coating of sand or mortar or gravel or any such substance. The water for washing had to be kept in special large stone jars, so that it itself was clean in the ceremonial sense and so that it might be certain that it had been used for no other purpose, and that nothing had fallen into it or had been mixed with it. First, the hands were held with fingertips pointing upwards; water was poured over them and had to run at least down to the wrist; the minimum amount of water was one quarter of a log, which is equal to one and a half eggshells full of water. While the hands were still wet, each hand had to be cleansed with the fist of the other. That is what the phrase about using the fist means; the fist of one hand was rubbed into the palm and against the surface of the other. This meant that at this stage the hands were wet with water; but that water was now unclean because it had touched unclean hands. So, next, the hands had to be held with fingertips pointing downwards and water had to be poured over them in such a way that it began at the wrists and ran off at the fingertips. After all that had been done, the hands were clean.” [= Di sana ada peraturan-peraturan yang pasti dan kaku untuk pencucian tangan. Perhatikan bahwa pencucian tangan ini bukanlah demi kepentingan kebersihan yang berhubungan dengan kesehatan; itu adalah ‘kenajisan yang bersifat upacara’ yang dipersoalkan. Sebelum setiap makanan, dan di antara setiap durasi, tangan harus dicuci, dan mereka harus dicuci dengan suatu cara tertentu. Pertama-tama tangan harus bebas dari lapisan tanah atau semen atau kerikil atau bahan apapun yang seperti itu. Air untuk pencucian harus ditaruh dalam tempayan-tempayan batu besar yang khusus, sehingga tempayan itu sendiri bersih dalam arti upacara dan sehingga itu bisa dipastikan bahwa itu tidak digunakan untuk tujuan yang lain, dan bahwa tak ada apapun yang telah jatuh ke dalamnya atau telah tercampur dengannya. Pertama-tama, tangan diarahkan dengan ujung-ujung jari menunjuk ke atas; air dicurahkan atas mereka dan harus mengalir ke bawah sedikitnya sampai pergelangan; jumlah minimum dari air itu adalah seperempat log, yang sama dengan satu setengah kulit telur penuh dengan air. Sementara tangan masih basah, setiap tangan harus dibersihkan dengan kepalan dari tangan yang lain. Itu adalah apa yang dimaksudkan oleh ungkapan tentang menggunakan kepalan; kepalan dari tangan yang satu digosokkan ke dalam telapak dan terhadap permukaan dari tangan yang lain. Ini berarti bahwa pada tahap ini tangan basah dengan air; tetapi air itu sekarang jadi najis karena itu telah menyentuh tangan yang najis. Maka selanjutnya, tangan-tangan itu harus diarahkan dengan ujung-ujung jari menghadap ke bawah dan air harus dicurahkan atas mereka dengan cara sedemikian rupa sehingga itu mulai pada pergelangan dan mengalir sampai ujung-ujung jari. Setelah semua yang telah dilakukan, tangan-tangan itu bersih / tahir.].

Catatan:

a) Kata ‘log’ keluar beberapa kali dalam kitab Imamat, dan kalau dilihat dalam Bible Works 8 maka artinya adalah “a liquid measure equal to about one half litre” [= suatu ukuran cairan yang setara dengan sekitar setengah liter]. Lihat Im 14:10 dalam Bible Works 8.

b) Kata ‘kepalan’ muncul dalam Mark 7:3, tetapi hanya ada dalam bahasa Yunaninya (PUGME), dan tidak ada dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia.

Mark 7:3 - “Sebab orang-orang Farisi seperti orang-orang Yahudi lainnya tidak makan kalau tidak melakukan pembasuhan tangan lebih dulu, karena mereka berpegang pada adat istiadat nenek moyang mereka;”.

KJV: “except they wash their hands oft, eat not,” [= kecuali mereka sering mencuci tangan mereka, tidak makan,].

RSV: “do not eat unless they wash their hands,” [= tidak makan kecuali mereka mencuci tangan mereka,].

NIV: “do not eat unless they give their hands a ceremonial washing,” [= tidak makan kecuali mereka memberikan tangan mereka suatu pencucian yang bersifat upacara,].

NASB: “do not eat unless they carefully wash their hands,” [= tidak makan kecuali mereka dengan teliti mencuci tangan mereka,].

ASV: “except they wash their hands diligently, eat not,” [= kecuali mereka mencuci tangan mereka dengan tekun / rajin, tidak makan,].

NKJV: “do not eat unless they wash their hands in a special way,” [= tidak makan kecuali mereka mencuci tangan mereka dengan suatu cara yang khusus,].

YLT: “if they do not wash the hands to the wrist, do not eat,” [= jika mereka tidak mencuci tangan sampai pergelangan, tidak makan,].

Mengapa Alkitab-Alkitab bahasa Inggris menterjemahkan secara begitu bervariasi? Perhatikan kata-kata Adam Clarke di bawah ini.

Adam Clarke (tentang Mark 7:3): “‘Except they wash their hands’. ‎PUGMEE‎, ‘the hand to the wrists’ - Unless they wash the hand up to the wrist, eat not. ... ‎But instead of ‎PUGMEE‎, ‘the fist or hand’, the Codex Bezae has PUKNEE, ‘frequently:’” [= ‘Kecuali mereka mencuci tangan mereka’. PUGME, ‘tangan sampai pergelangan’ - Kecuali mereka mencuci tangan sampai pada pergelangan, tidak makan. ... Tetapi alih-alih dari PUGME, ‘kepalan atau tangan’, Codex Bezae mempunyai PUKNE, ‘sering’:].

Jadi dalam Markus 7:3 ini ada problem text / perbedaan manuscript.

William Barclay (tentang Markus 7:1-4): “To fail to do this was in Jewish eyes not to be guilty of bad manners, not to be dirty in the health sense, but to be unclean in the sight of God. Anyone who ate with unclean hands was subject to the attacks of a demon called Shibta. To omit so to wash the hands was to become liable to poverty and destruction. Bread eaten with unclean hands was not better than excrement. A Rabbi who once omitted the ceremony was buried in excommunication. Another Rabbi, imprisoned by the Romans, used the water given to him for handwashing rather than for drinking and in the end nearly perished of thirst, because he was determined to observe the rules of cleanliness rather than satisfy his thirst.” [= Gagal untuk melakukan ini di mata orang Yahudi bukanlah sebagai bersalah tentang kesopanan yang buruk, bukan sebagai kotor dalam arti kesehatan, tetapi sebagai najis dalam pandangan Allah. Siapapun yang makan dengan tangan yang najis menjadi sasaran dari serangan-serangan dari seorang setan / roh jahat yang disebut Shibta. Menghapuskan pencucian tangan seperti itu akan menjadikan orang itu mengalami kemiskinan dan kehancuran / kebinasaan. Roti yang dimakan dengan tangan yang najis tidak lebih baik dari tahi. Seorang Rabi yang sekali menghapuskan upacara itu dikubur / dibuang secara upacara dalam pengucilan. Seorang Rabi yang lain, yang dipenjara oleh orang-orang Romawi, menggunakan air yang diberikan kepadanya untuk mencuci tangan dari pada untuk minum, dan pada akhirnya hampir mati kehausan, karena ia berketetapan untuk mentaati peraturan-peraturan ketahiran dari pada memuaskan kehausannya.].

William Barclay (tentang Mark 7:1-4): “That, to the Pharisaic and scribal Jew, was religion. It was ritual, ceremonial, and regulations like that which they considered to be the essence of the service of God. Ethical religion was buried under a mass of tabus and rules.” [= Itu, bagi orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat Yahudi, adalah agama. Itu adalah ritual, bersifat upacara, dan peraturan-peraturan seperti itulah yang mereka anggap sebagai hakekat dari pelayanan / penyembahan Allah. Agama yang sesuai dengan prinsip-prinsip tentang tingkah laku yang benar dikubur di bawah sejumlah besar larangan-larangan dan peraturan-peraturan.].

William Barclay (tentang Mark 7:1-4): “The last verses of the passage deal further with this conception of uncleanness. A thing might in the ordinary sense be completely clean and yet in the legal sense be unclean. There is something about this conception of uncleanness in Leviticus 11–15 and in Numbers 19. Nowadays we would talk rather of things being ‘tabu’ than of being ‘unclean.’ Certain animals were unclean (Leviticus 11). A woman after childbirth was unclean; a leper was unclean; anyone who touched a dead body was unclean. And those who had become unclean in this way made unclean anything they in turn touched. A Gentile was unclean; food touched by a Gentile was unclean; any vessel touched by a Gentile was unclean. So, then, when a strict Jew returned from the market place he immersed his whole body in clean water to take away the taint he might have acquired.” [= Ayat-ayat terakhir dari text itu menangani lebih jauh dengan konsep tentang kenajisan ini. Suatu benda / hal bisa dalam arti yang biasa sepenuhnya bersih / tahir tetapi dalam arti hukum adalah najis. Di sana ada sesuatu tentang konsep kenajisan ini dalam Imamat 11-15 dan dalam Bilangan 19. Sekarang kita lebih berbicara tentang hal-hal sebagai ‘tabu / terlarang’ dari pada sebagai ‘najis’. Binatang-binatang tertentu adalah najis (Imamat 11). Seorang perempuan setelah melahirkan anak adalah najis; seorang kusta adalah najis; siapapun yang menyentuh mayat adalah najis. Dan mereka yang menjadi najis dengan cara ini membuat najis apapun yang lalu mereka sentuh. Seorang non Yahudi adalah najis; makanan yang disentuh oleh seorang non Yahudi adalah najis; bejana apapun yang disentuh oleh seorang non Yahudi adalah najis. Maka, karena itu, pada waktu seorang Yahudi yang ketat kembali dari pasar ia merendam seluruh tubuhnya dalam air yang bersih untuk membuang pengaruh yang merusak / menajiskan yang mungkin telah ia dapatkan.].

William Barclay (tentang Matius 15:1-9): “It was clearly impossible to avoid all kinds of ceremonial uncleanness. People might personally avoid unclean things, but how could they possibly know when on the street they had touched someone who was unclean? This was further complicated by the fact that there were Gentiles in Palestine, and the very dust touched by a Gentile foot became unclean.” [= Jelas bahwa adalah mustahil untuk menghindari semua jenis kenajisan yang bersifat upacara. Orang-orang bisa secara pribadi menghindari hal-hal yang najis, tetapi bagaimana mereka bisa tahu pada waktu di jalan mereka telah menyentuh seseorang yang najis? Ini diperumit lebih jauh oleh fakta bahwa di sana ada orang-orang non Yahudi di Palestina, dan debu yang disentuh oleh kaki seorang non Yahudi menjadi najis.].

William Barclay (tentang Markus 7:1-4): “Obviously vessels could easily become unclean; they might be touched by an unclean person or by unclean food. This is what our passage means by the washings of cups and pitchers and vessels of bronze. In the Mishnah there are no fewer than twelve treatises on this kind of uncleanness. If we take some actual examples, we will see how far this went. A hollow vessel made of pottery could contract uncleanness inside but not outside; that is to say, it did not matter who or what touched it outside, but it did matter what touched it inside. If it became unclean it must be broken; and no unbroken piece must remain which was big enough to hold enough oil to anoint the little toe. A flat plate without a rim could not become unclean at all; but a plate with a rim could. If vessels made with leather, bone or glass were flat they could not contract uncleanness at all; if they were hollow they could become unclean outside and inside. If they were unclean they must be broken; and the break must be a hole at least big enough for a medium-sized pomegranate to pass through. To cure uncleanness, earthen vessels must be broken; other vessels must be immersed, boiled, purged with fire - in the case of metal vessels - and polished. A three-legged table could contract uncleanness; if it lost one or two legs it could not; if it lost three legs it could, for then it could be used as a board, and a board could become unclean. Things made of metal could become unclean, except a door, a bolt, a lock, a hinge, a knocker and a gutter. Wood used in metal utensils could become unclean; but metal used in wood utensils could not. Thus a wooden key with metal teeth could become unclean; but a metal key with wooden teeth could not.” [= Jelas bahwa bejana-bejana bisa dengan mudah menjadi najis; mereka bisa disentuh oleh orang yang najis atau oleh makanan yang najis. Ini adalah apa yang text kita maksudkan dengan pencucian cawan-cawan dan kendi-kendi dan bejana-bejana dari tembaga. Dalam Mishnah di sana ada tidak kurang dari dua belas tulisan exposisi tentang jenis kenajisan ini. Jika kita mengambil beberapa contoh, kita akan melihat betapa jauh hal ini berjalan. Suatu bejana yang cekung yang dibuat dari tanah liat bisa mendapatkan kenajisan di dalam tetapi tidak di luar; artinya, tak jadi masalah siapa atau apa yang menyentuhnya di luar, tetapi jadi masalah apa yang menyentuhnya di dalam. Jika bejana itu menjadi najis, itu harus dihancurkan; dan tak ada pecahan yang boleh tertinggal yang cukup besar untuk menampung minyak untuk mengoles jari kelingking kaki. Sebuah piring ceper / rata tanpa tepi / pinggiran sama sekali tidak bisa menjadi najis; tetapi sebuah piring dengan tepi / pinggiran bisa. Jika bejana-bejana dibuat dengan kulit, tulang atau beling / kaca dan mereka ceper / rata, mereka sama sekali tidak bisa mendapatkan kenajisan; jika mereka cekung mereka bisa menjadi najis di luar dan di dalam. Jika mereka najis mereka harus dihancurkan; dan pecahannya haruslah sebuah lubang yang sedikitnya cukup besar untuk bisa dilewati sebuah buah delima ukuran sedang. Untuk mentahirkan kenajisan bejana-bejana tanah / tanah liat harus dihancurkan; bejana-bejana yang lain harus direndam, direbus, dimurnikan dengan api - dalam kasus dari bejana-bejana dari logam - dan dipoles / digosok. Sebuah meja berkaki tiga bisa mendapatkan kenajisan; jika ia kehilangan satu atau dua kaki ia tidak bisa; jika ia kehilangan tiga kaki ia bisa, karena kalau demikian ia bisa digunakan sebagai sebuah papan, dan sebuah papan bisa menjadi najis. Benda-benda dari logam bisa menjadi najis, kecuali sebuah pintu, sebuah pegangan pengunci pintu, sebuah kunci, sebuah engsel, sebuah pengetuk dan sebuah talang. Kayu yang digunakan dalam perkakas logam bisa menjadi najis; tetapi logam yang digunakan perkakas kayu tidak bisa. Jadi suatu kunci kayu dengan gigi logam bisa menjadi najis; tetapi suatu kunci logam dengan gigi kayu tidak bisa.].

Bdk. Imamat 11:32-35 - “(32) Dan segala sesuatu menjadi najis, kalau seekor yang mati dari binatang-binatang itu jatuh ke atasnya: perkakas kayu apa saja atau pakaian atau kulit atau karung, setiap barang yang dipergunakan untuk sesuatu apapun, haruslah dimasukkan ke dalam air dan menjadi najis sampai matahari terbenam, kemudian menjadi tahir pula. (33) Kalau seekor dari binatang-binatang itu jatuh ke dalam sesuatu belanga tanah, maka segala yang ada di dalamnya menjadi najis dan belanga itu harus kamu pecahkan. (34) Dalam hal itu segala makanan yang boleh dimakan, kalau kena air dari belanga itu, menjadi najis, dan segala minuman yang boleh diminum dalam belanga seperti itu, menjadi najis. (35) Kalau bangkai seekor dari binatang-binatang itu jatuh ke atas sesuatu benda, itu menjadi najis; pembakaran roti dan anglo haruslah diremukkan, karena semuanya itu najis dan haruslah najis juga bagimu;”.

Baca Juga: Yesus Menyebut Maria "Perempuan" (Yohanes 2:3-4)

William Barclay (tentang Mark 7:1-4): “We have taken some time over these scribal laws, this tradition of the elders, because that is what Jesus was up against. To the scribes and Pharisees, these rules and regulations were the essence of religion. To observe them was to please God; to break them was to sin. This was their idea of goodness and of the service of God. In the religious sense, Jesus and these people spoke different languages. It was precisely because he had no use for all these regulations that they considered him a bad man. There is a fundamental split here - that between those who see religion as ritual, ceremonial, rules and regulations, and those who see in religion loving God and loving their fellow men and women.” [= Kita telah menggunakan beberapa waktu tentang hukum-hukum dari ahli-ahli Taurat ini, tradisi dari tua-tua ini, karena itulah yang ditentang oleh Yesus. Bagi ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, peraturan-peraturan ini adalah Hakekat dari agama. Menaati mereka berarti menyenangkan Allah; melanggar mereka berarti berbuat dosa. Ini adalah gagasan mereka tentang kebaikan dan tentang pelayanan / penyembahan Allah. Dalam arti religius, Yesus dan orang-orang ini berbicara dalam bahasa yang berbeda. Adalah persis karena Ia tidak menggunakan semua peraturan-peraturan ini maka mereka menganggap Dia seorang yang jahat. Di sana ada suatu perpecahan dasari di sini - antara mereka yang melihat agama sebagai ritual, upacara, peraturan-peraturan, dan mereka yang melihat dalam agama kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama laki-laki dan perempuan mereka.].

Apa yang bisa kita pelajari dari semua tradisi Yahudi ini? Kita harus hati-hati dalam menafsirkan firman, supaya jangan menambahi dengan hal-hal lain, sehingga menjadi sangat berbeda dengan aslinya!
Next Post Previous Post