MENEKAN SIFAT-SIFAT BOBROK (YAKOBUS 1:19-27)

Matthew Henry

Dalam bagian pasal 1 ini kita dituntut :

I. Untuk menahan bekerjanya amarah. 

Kita harus mempelajari hal ini dalam penderitaan. Dan kita akan belajar jika kita sungguh-sungguh dilahirkan kembali oleh firman kebenaran. Sebab memang demikianlah hubungannya – roh yang mudah marah cepat terpancing melakukan hal-hal jahat karena penderitaan, dan berbagai kesalahan serta pemikiran yang buruk akan merajai dengan bekerjanya sifat-sifat kita sendiri yang keji dan hina. 
MENEKAN SIFAT-SIFAT BOBROK (YAKOBUS 1:19-27)
Tetapi anugerah Allah yang memperbaharui dan firman Injil mengajar kita untuk menaklukkan semuanya ini: Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah (Yakobus 1:19). Perkataan ini bisa merujuk:

1. Pada firman kebenaran yang dibicarakan dalam ayat sebelumnya (Yakobus 1: 18). 

Jadi kita dapat mencermati, bahwa sudah menjadi kewajiban kita untuk mendengarkan firman Allah, dan mengerahkan pikiran untuk memahaminya, daripada berbicara menuruti khayalan kita sendiri atau pendapat-pendapat orang lain, lalu menjadi panas dan marah karenanya. Janganlah kesalahan-kesalahan seperti pemikiran bahwa Allahlah yang menyebabkan dosa, engkau sebutkan dengan tergesa-gesa, apalagi dengan marah (begitu pula dengan kesalahan-kesalahan lain). Tetapi bersiaplah untuk mendengar dan mempertimbangkan apa yang diajarkan firman Allah dalam semua hal itu.

2. Perkataan ini dapat diterapkan pada penderitaan dan cobaan yang dibicarakan pada awal pasal ini. 

Maka kita dapat mencermati, bahwa sudah menjadi kewajiban kita untuk mendengarkan bagaimana Allah menjelaskan pemeliharaan-pemeliharaan-Nya, dan apa yang Ia maksudkan dengannya, daripada berkata seperti Daud dengan tergesa-gesa, aku binasa. Atau seperti yang dikatakan Yunus dalam amarahnya, pantas saja aku marah. Daripada mencela Allah dalam cobaan-cobaan kita, marilah kita membuka telinga dan hati untuk mendengarkan apa yang ingin Ia katakan kepada kita.

3. Perkataan ini dapat dipandang merujuk pada perselisihan dan perbedaan yang terjadi di antara orang-orang Kristen sendiri, di masa-masa pencobaan pada waktu itu. 

Dengan demikian, bagian pasal ini dapat dipandang tidak mempunyai hubungan apa pun dengan apa yang dikatakan sebelumnya. Di sini kita dapat mencermati bahwa, setiap kali muncul perbedaan di antara orang-orang Kristen, tiap-tiap pihak harus bersedia mendengarkan pihak lain. Sering kali orang memegang pendapat mereka sendiri dengan kaku karena mereka tidak mau mendengar apa yang dikatakan orang lain untuk melawan mereka. Sementara kita harus cepat untuk mendengar alasan dan kebenaran dari semua sisi, dan lambat untuk mengatakan apa saja yang dapat menghalang-halanginya. 

Dan, apabila memang kita harus berbicara, janganlah ada amarah dalam kata-kata kita, sebab jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman. Karena surat ini dimaksudkan untuk memperbaiki berbagai macam kekacauan yang terjadi di antara orang-orang Kristen, maka perkataan ini, cepat untuk mendengar, lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah, dapat ditafsirkan dengan sangat baik menurut penjelasan yang terakhir ini. Dan lebih jauh lagi kita dapat mencermati dari perkataan itu bahwa, jika orang mengekang lidah, mereka juga harus menahan amarah. Ketika Musa pahit hati, ia teledor dengan kata-katanya. Jika kita lambat untuk berkata-kata, kita juga harus lambat untuk marah.

II. Diberikan alasan yang sangat baik untuk menahan amarah: 

Sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah (Yakobus 1: 20). Seolah-olah Rasul Yakobus berkata, “Sementara orang sering kali mengaku berapi-api demi Allah dan kemuliaanNya, dalam amarah mereka, hendaklah mereka sadar bahwa Allah tidak membutuhkan amarah siapa pun. Kepentingan-Nya terlayani dengan lebih baik oleh kelemahlembutan daripada oleh amarah dan kegeraman.” Salomo berkata, perkataan orang berhikmat yang didengar dengan tenang, lebih baik dari pada teriakan orang yang berkuasa di antara orang bodoh (Pengkhotbah 9:17). 

Dr. Manton di sini berbicara tentang beberapa anggota sidang jemaat, “Jika kita cepat untuk mendengar sesigap ketika kita hendak berbicara, maka akan ada lebih sedikit kemarahan, dan lebih banyak manfaat dalam pertemuan-pertemuan kita. Saya ingat ketika seorang pengikut Manikhea berdebat dengan Augustinus, dengan suara ribut dan tidak sabar orang itu berteriak-teriak, Dengar aku! dengar aku! Sang bapa gereja menjawab dengan biasa-biasa saja, Nec ego te, nec tu me, sed ambo audiamus apostolum – bukan aku yang harus mendengar engkau, bukan pula engkau yang harus mendengar aku, tetapi marilah kita berdua mendengarkan Rasul Yakobus.”

Hal terburuk yang bisa kita bawa ke dalam perdebatan agama adalah amarah. Amarah, sekalipun memakai alasan bahwa itu demi keadilan dan kebenaran, tidak boleh dipercaya. Amarah merupakan sifat manusia, dan amarah manusia bertentangan dengan kebenaran Allah. Orang yang mengaku-ngaku memajukan kepentingan Allah dengan cara ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengenal Allah ataupun kepentinganNya. Amarah ini harus terutama kita jaga apabila kita sedang mendengarkan firman Allah.

III. Kita dipanggil untuk menekan sifat-sifat lain yang bobrok, selain sifat cepat marah: 

Buanglah segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak itu (Yakobus 1: 21). Kata yang di sini diterjemahkan dengan segala sesuatu yang kotor itu berarti nafsu-nafsu yang paling keji dan cemar. Sementara kata yang diartikan sebagai kejahatan yang begitu banyak itu dapat dipahami sebagai kebencian atau kefasikan rohani lain yang melimpah ruah. 

Dengan ini kita, sebagai orang Kristen, diajar untuk waspada, dan menyingkirkan bukan hanya kecenderungan hati dan sifat yang lebih kotor dan bersifat kedagingan yang membuat orang dikatakan kotor, melainkan juga semua kekacauan dalam hati yang bobrok, yang akan mencondongkannya melawan firman dan jalan-jalan Allah. Amatilah:

1. Dosa adalah sesuatu yang mencemarkan. Dosa disebut sebagai kekotoran itu sendiri.

2. Ada sangat banyak kejahatan dalam diri kita, yang harus kita waspadai. Ada kejahatan yang begitu banyak.

3. Menahan sifat-sifat jahat saja tidak cukup, kita juga harus membuangnya, atau menyingkirkannya dari diri kita. Engkau akan membuangnya seperti kain cemar sambil berkata kepadanya: “Keluar!” (Yesaya 30:22).

4. Hal ini harus kita lakukan bukan hanya untuk dosa-dosa lahiriah, dan kekejian-kekejian yang lebih besar, melainkan juga untuk semua dosa pikiran dan perasaan, dan juga dosa perkataan dan perbuatan. Pasan rhyparian – segala sesuatu yang kotor, segala sesuatu yang bobrok dan berdosa.

5. Perhatikanlah, dari bagian-bagian sebelumnya dalam pasal ini, menyingkirkan segala sesuatu yang kotor merupakan apa yang dituntut dalam masa pencobaan dan penderitaan, dan hal yang penting untuk menghindari kesalahan, serta untuk menerima dan memanfaatkan firman kebenaran dengan benar.

KEWAJIBAN PENDENGAR

Di sini kita diajar secara penuh, walaupun singkat, tentang mendengarkan firman Allah.

1. Kita diminta untuk mempersiapkan diri dalam mendengarkan firman Allah (Yakobus 1:21), untuk menjauhkan diri dari segala sifat dan perasaan bobrok, segala kecenderungan dan keinginan merusak, dan untuk menyingkirkan dosa-dosa yang membuat kita tidak bisa menilai dengan benar dan membutakan pikiran. Segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak itu, yang dijelaskan sebelumnya, harus terutama ditundukkan dan dibuang, oleh siapa saja yang mendengarkan sabda Injil.

2. Kita diarahkan bagaimana mendengarkan firman Allah: Terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu.

(1) Ketika mendengarkan firman Allah, kita harus menerimanya, menyetujui kebenaran-kebenarannya, dan mengikuti hukum-hukumnya. Kita harus menerimanya seperti batang menerima cangkokan, sehingga buah yang dihasilkan bukan mengikuti sifat batang yang asam, tetapi mengikuti sabda Injil yang tertanam dalam jiwa kita.

(2) Oleh sebab itu, kita harus menyerahkan diri kepada firman Allah, dengan tunduk sepenuhnya, rendah hati, dan taat: inilah yang dimaksudkan dengan menerimanya dengan lemah lembut. Kita harus bersedia mendengar kesalahan-kesalahan kita, dan menerimanya bukan hanya dengan sabar, melainkan juga dengan penuh syukur, sambil menginginkan untuk diarahkan dan dibentuk oleh ajaran dan sabda Injil.

(3) Setiap kali kita mendengar, kita harus menjadikan keselamatan jiwa kita sebagai tujuan. Adalah maksud firman Allah untuk memberi kita hikmat dan menuntun kita kepada keselamatan. Barang siapa memiliki maksud-maksud yang lebih hina atau rendah dari pada itu ketika mendengarkan firman Allah, maka ia menghina Injil dan mengecewakan jiwanya sendiri. Kita harus mendatangi firman Allah (baik untuk membaca maupun mendengarkannya) seperti orang yang mengetahui bahwa firman Allah itu adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya (Roma 1:16).

3. Kita diajarkan tentang apa yang harus dilakukan setelah mendengar (Yunus 1:22): Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri. Perhatikanlah di sini:

(1) Kita mendengar supaya melakukan. Sering mendengarkan firman Allah atau mendengarkan dengan penuh perhatian tidak akan bermanfaat bagi kita jika tidak disertai dengan melakukannya. Sekalipun kita mendengar khotbah setiap hari dalam seminggu, dan malaikat dari surga adalah pengkhotbahnya, namun jika kita berhenti hanya pada mendengar, itu tidak akan pernah membawa kita ke surga. 

Oleh sebab itu, Rasul Yakobus sangat menegaskan hal ini (dan, tanpa diragukan lagi, adalah hal yang penting tanpa bisa ditawar-tawar lagi) bahwa kita harus melakukan apa yang kita dengar. “Harus ada pengamalan di dalam batin dengan merenung, dan pengamalan dalam bentuk perbuatan yang bisa dilihat bila kita memang sungguh-sungguh mau taat kepada firman” (Baxter). 

Tidak cukup hanya mengingat apa yang kita dengar dan bisa mengulanginya, memberikan kesaksian untuknya, memujinya, menuliskannya, dan memelihara apa yang kita tulis. Yang membuat semuanya ini lengkap, dan yang akan memahkotainya, adalah bahwa kita juga harus menjadi pelaku firman. Amatilah,

(2) Orang yang hanya mendengar berarti menipu diri sendiri. Dalam bahasa aslinya, paralogizomenoi, yang berarti orang yang mencari-cari alasan bagi dirinya sendiri. Jalan pikiran mereka jelas-jelas menipu dan keliru, apabila mereka menyangka bahwa satu bagian dari pekerjaan mereka membuat mereka terlepas dari kewajiban yang harus mereka lakukan untuk bagian yang lain. Atau apabila mereka meyakinkan diri sendiri bahwa mengisi kepala dengan gagasan-gagasan itu sudah cukup, meskipun hati mereka kosong dari perasaan-perasaan dan tekad yang baik, dan hidup mereka tidak membuahkan perbuatan-perbuatan baik. Menipu diri pada akhirnya akan didapati sebagai tipuan terburuk.

4. Rasul Yakobus menunjukkan bagaimana semestinya memanfaatkan firman Allah, seperti apa itu orang yang tidak memanfaatkannya seperti seharusnya, dan seperti apa itu orang yang memang memanfaatkannya dengan benar (Yakobus 1: 23-25). Mari kita lihat masing-masing secara bergantian.

(1) Bagaimana semestinya memanfaatkan firman Allah dapat dipelajari dengan membandingkannya dengan cermin, di mana orang bisa mengamati-amati mukanya yang sebenarnya. Seperti cermin menunjukkan kepada kita noda-noda dan kotoran yang melekat pada wajah kita, supaya bisa diobati dan dibersihkan, demikian pula firman Allah menunjukkan kepada kita dosa-dosa kita, supaya kita bertobat darinya dan mendapat pengampunan.

Firman Allah menunjukkan kepada kita apa yang salah, supaya bisa diperbaiki. Ada cermin yang hanya akan menyanjung orang. Tetapi apa yang betul-betul merupakan firman Allah bukanlah cermin yang menyanjung. Jika engkau menyanjung diri, itu salahmu sendiri. Kebenaran, yang nyata dalam Yesus, tidak menyanjung siapa-siapa. Hendaklah firman kebenaran diperhatikan betul-betul, maka firman itu akan menunjukkan kepadamu kebobrokan sifatmu, kekacauan hati dan hidupmu. 

Firman itu akan memberi tahu engkau dengan jelas siapa engkau. Rasul Paulus menggambarkan dirinya tidak peka terhadap kebobrokan sifatnya sampai ia melihat dirinya dalam cermin hukum Taurat (Roma 7:9): “Dahulu aku hidup tanpa hukum Taurat. Yaitu, aku menganggap diriku benar, dan memandang diriku bukan hanya bersih, melainkan juga indah, dibandingkan dengan dunia pada umumnya. 

Akan tetapi sesudah datang perintah itu, ketika cermin hukum dihadapkan padaku, dosa mulai hidup, sebaliknya aku mati. Maka aku melihat noda dan cela, dan menemukan apa yang salah dalam diriku yang tidak aku sadari sebelumnya. Demikianlah kuasa hukum, dan dosa, sehingga aku melihat diriku dalam keadaan mati dan terkutuk.”

Dengan demikian, apabila kita memperhatikan firman Allah, sehingga dapat melihat diri kita sendiri, keadaan dan kondisi kita yang sebenarnya, dapat memperbaiki apa yang salah, dan memperbaharui diri kita melalui cermin firman Allah, inilah yang dimaksud dengan memanfaatkan firman Allah dengan benar.

(2) Di sini kita mendapati uraian tentang orang-orang yang tidak memanfaatkan cermin firman ini sebagaimana mestinya: Baru saja ia memandang dirinya, ia sudah pergi atau ia segera lupa bagaimana rupanya (Yakobus 1: 24). Ini adalah gambaran sebenarnya tentang orang yang mendengar firman Allah tetapi tidak melaksanakannya. Betapa ada banyak orang yang, ketika duduk mendengarkan firman, terjamah dan menyadari keberdosaan mereka, kesengsaraan mereka, dan bahaya yang mengintai diri mereka, mengakui jahatnya dosa, dan kebutuhan mereka akan Kristus. 

Namun demikian, setelah mereka mendengar, semuanya terlupakan, semua rasa insaf menghilang, perasaan-perasaan yang baik lenyap, dan berlalu seperti air banjir: ia segera lupa. “Firman Allah (seperti yang dikatakan Dr. Manton) menyingkapkan bagaimana kita dapat menyingkirkan dosa-dosa kita, dan menghiasi serta memakaikan kebenaran Yesus Kristus pada jiwa kita. Maculæ sunt peccata, quæ ostendit lex; aqua est sanguis Christi, quem ostendit evangelium – Dosa-dosa kita adalah noda-noda yang disingkapkan oleh hukum Taurat. 

Darah Kristus adalah bejana pembasuh yang ditunjukkan Injil.” Tetapi sia-sialah kita mendengarkan firman Allah, dan melihat di depan cermin Injil, jika kita segera pergi, lalu melupakan noda-noda kita, dan bukannya membasuhnya. Sia-sialah juga jika kita melupakan obat penawar kita, dan bukannya malah menggunakannya. Inilah contoh orang yang tidak mendengarkan firman sebagaimana mestinya.

(3) Digambarkan juga, dan dinyatakan sebagai berbahagia, orang yang mendengar dengan benar, dan yang memanfaatkan cermin firman Allah seperti seharusnya (ayat 25): Barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, dst. Amatilah di sini:

[1] Injil adalah hukum yang memerdekakan, atau seperti Tuan Baxter mengungkapkannya, hukum yang membebaskan, yang memerdekakan kita dari hukum Yahudi, dan dari dosa dan kebersalahan, dari murka dan maut. Hukum keupacaraan adalah kuk perbudakan, sedangkan Injil Kristus adalah hukum yang memerdekakan.

[2] Injil adalah hukum yang sempurna. Tidak bisa ditambah-tambahi lagi dengan apa pun.

[3] Dalam mendengarkan firman, kita meneliti hukum yang sempurna ini. Kita mencari nasihat dan bimbingan darinya. Kita meneliti, supaya dari situ kita dapat menilai diri sendiri.

[4] Kita baru dikatakan meneliti hukum yang memerdekakan seperti seharusnya apabila kita bertekun di dalamnya, yaitu “apabila kita tinggal terus mempelajarinya, sampai hukum itu mewujud dalam kehidupan rohani, tertanam dan tercerna dalam diri kita” (Baxter). Ini artinya apabila kita tidak melupakannya, tetapi melaksanakannya sebagai pekerjaan dan urusan kita, selalu menempatkannya di hadapan kita, dan menjadikannya pedoman bagi perilaku kita senantiasa, dan membiarkannya membentuk sikap pikiran kita.

[5] Orang yang berbuat demikian, dan bertekun di dalam hukum dan firman Allah, sudah dan akan berbahagia oleh perbuatannya. Diberkati dalam segala jalannya, menurut Mazmur pertama, yang menurut sebagian orang dirujuk Rasul Yakobus di sini. Orang yang merenungkan Taurat Allah, dan berjalan menurutinya, kata sang pemazmur, apa saja yang dibuatnya berhasil. Dan orang yang bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukan pekerjaan yang ditetapkan untuknya oleh firman Allah, kata Rasul Yakobus, ia akan berbahagia oleh perbuatannya.

Ada sebagian orang yang berdalih bahwa di sini jelas ada bagian Kitab Suci yang membuktikan bahwa kita diberkati karena perbuatan-perbuatan baik kita. Akan tetapi Dr. Manton, untuk menanggapi dalih tersebut, meminta pembaca untuk memperhatikan ketepatan ungkapan Kitab Suci. Rasul Yakobus tidak berkata, karena perbuatannyalah orang diberkati, melainkan dalam perbuatannya (KJV). Perbuatan baik adalah jalan di mana kita pasti akan menemukan diri dalam keadaan diberkati, tetapi perbuatan itu bukan penyebab keadaan itu. Keterberkatan ini tidak diperoleh dalam mengetahui, melainkan dalam melaksanakan kehendak Allah. Jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya (Yohanes 13:17). Bukan berbicara, melainkan berjalan, itulah yang akan membawa kita ke surga.

IBADAH DALAM PERBUATAN NYATA

Selanjutnya Rasul Yakobus memberi tahu kita bagaimana kita dapat membedakan antara ibadah yang sia-sia dan apa yang murni dan berkenan kepada Allah. Sungguh besar dan panas perdebatan-perdebatan yang ada di dunia mengenai masalah ini: ibadah apa yang palsu dan sia-sia, dan apa yang benar dan murni. Saya berharap orang mau membiarkan Kitab Suci dalam hal ini menentukan masalahnya. Dan di sini dengan jelas dan tegas dinyatakan:

1. Apa itu ibadah yang sia-sia: Jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya. Di sini ada tiga hal yang perlu diperhatikan:

(1) Dalam ibadah yang sia-sia ada banyak hal yang dipamerkan, dan orang bertingkah sedemikian rupa supaya tampak saleh di mata orang lain. Hal ini, menurut saya, disebutkan sedemikian rupa supaya kita memusatkan perhatian pada kata tampak. Apabila orang lebih peduli untuk tampak saleh daripada yang sebenarnya, itu pertanda bahwa ibadah mereka hanyalah sia-sia. Bukan berarti bahwa ibadah dengan sendirinya merupakan hal yang sia-sia (orang berbuat sangat tidak adil terhadap ibadah jika mereka berkata, adalah sia-sia beribadah kepada Allah). Tetapi bisa saja orang menjadikan ibadah itu sebagai hal yang sia-sia, jika mereka hanya tampak saleh dari luar, tetapi tidak memiliki kuasanya.

(2) Dalam ibadah yang sia-sia ada banyak celaan, cercaan, dan perbuatan mengecilkan orang lain. Yang terutama dimaksud dengan tidak mengekang lidah di sini adalah tidak menahan diri dari kejahatan-kejahatan lidah ini. Apabila kita mendengar orang mudah membicarakan kesalahan-kesalahan orang lain, atau mengecam mereka sebagai terlibat dalam aib-aib tertentu, atau merendahkan hikmat dan kesalehan orang-orang di sekitar mereka, supaya mereka sendiri bisa tampak lebih bijak dan lebih baik, ini pertanda bahwa ibadah mereka hanyalah sia-sia. 

Orang yang lidahnya suka merendahkan pasti tidak memiliki kerendahan dan kemurahan hati. Orang yang senang menyakiti sesamanya sia-sia saja mengaku mengasihi Allah. Oleh sebab itu, lidah yang suka mencerca akan membuktikan bahwa ia orang munafik. Mencela adalah dosa yang menyenangkan, suatu penyakit yang sangat alami, dan karena itu menunjukkan orang dalam keadaannya yang alami.

Dosa-dosa lidah ini adalah dosa besar di zaman ketika Rasul Yakobus menulis suratnya ini (seperti yang ditunjukkan dalam bagian-bagian lain dari surat ini), dan merupakan pertanda kuat dari ibadah yang sia-sia, jika ibadah itu bisa terbawa-bawa oleh kejahatan zaman. Ini sudah menjadi dosa terkemuka dari orang-orang munafik, bahwa semakin kuat keinginan mereka untuk menampakkan diri sebagai orang baik, semakin leluasa mereka mencela dan mempergunjingkan orang lain. 

Ada hubungan yang begitu cepat antara lidah dan hati sehingga hati bisa diketahui dari lidah, dan begitu pula sebaliknya. Atas dasar inilah Rasul Yakobus menjadikan perbuatan tidak mengekang lidah sebagai bukti yang pasti dan tidak diragukan lagi dari ibadah yang sia-sia. Tidak ada kekuatan atau kuasa di dalam ibadah yang tidak mampu membuat orang mengekang lidahnya.

(3) Dalam ibadah yang sia-sia orang menipu hatinya sendiri. Ia terus saja mengecilkan orang lain, dan menjadikan dirinya tampak seperti orang hebat, sehingga pada akhirnya kesia-siaan ibadahnya mencapai puncak dengan tertipunya jiwanya sendiri. Apabila ibadah sudah menjadi hal yang sia-sia, betapa besarnya kesia-siaan itu!

2. Di sini dengan jelas dan tegas dinyatakan agama itu menyangkut hal-hal apa saja: Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah (Yakobus 1:27). Cermatilah:

(1) Merupakan kemuliaan dari ibadah bahwa ia murni dan tidak bercacat, tidak bercampur baur dengan temuan-temuan manusia atau kebobrokan dunia. Ibadah-ibadah palsu dapat diketahui dari ketidakmurniannya dan perbuatannya yang tanpa kasih. Menurut pengertian Rasul Yohanes, setiap orang yang tidak berbuat kebenaran, tidak berasal dari Allah, demikian juga barang siapa yang tidak mengasihi saudaranya (1 Yohanes 3:10). Sebaliknya, hidup yang kudus dan hati yang penuh kasih menunjukkan ibadah yang benar. Ibadah kita tidak dihiasi dengan upacara-upacara, melainkan kemurnian dan kasih. Dan beliau memberikan pengamatan yang baik bahwa ibadah yang murni harus tetap dijaga supaya tidak tercemar.

(2) Ibadah itu murni dan tidak bercacat apabila memang demikian di hadapan Allah Bapa. Apa yang benar adalah yang benar di mata Allah, dan yang terutama mencari perkenanan-Nya. Agama yang benar mengajar kita untuk melakukan segala sesuatu seperti kita melakukannya di hadapan Allah, dan untuk mencari perkenanan-Nya, serta berusaha menyenangkan-Nya dalam segala tindakan kita.

(3) Belas kasihan dan amal kepada orang miskin dan orang susah membentuk satu bagian yang amat besar dan penting dari ibadah yang benar: Mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka. Mengunjungi di sini berarti segala macam bantuan yang dapat kita berikan kepada orang lain. Yatim piatu dan janda-janda disebutkan secara khusus di sini, karena pada umumnya mereka sangat mudah diabaikan atau ditindas. 

Tetapi yang harus kita pahami dengan mereka ini adalah semua orang yang pantas diberi amal, semua orang yang sedang kesusahan. Sungguh menakjubkan bahwa jika ibadah secara keseluruhan bisa dirangkum dalam dua butir, maka inilah jadinya: mengasihi dan melegakan orang yang menderita. Perhatikanlah,

(4) Hidup yang tidak tercemar pasti mendampingi kasih dan amal yang tulus: Menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia. Dunia mudah mencemarkan dan menodai jiwa, dan sulit untuk hidup di dalamnya, berurusan dengannya, dan tetap tidak bercela. Namun ini harus senantiasa kita usahakan. Dalam hal inilah terdapat ibadah yang murni dan tak bercacat. 


Perkara-perkara duniawi yang terlalu berlebihan akan menodai roh kita, jika kita banyak terlibat dengannya. Tetapi terlebih lagi dosa-dosa dan nafsu dunia akan mengotori dan menajiskan roh kita dengan sangat terkutuk. Rasul Yohanes merangkum semua yang ada di dalam dunia, yang tidak boleh kita cintai, dalam tiga hal berikut ini: keinginan daging, keinginan mata, dan keangkuhan hidup. Menjaga supaya tidak tercemar oleh kesemuanya ini berarti menjaga diri untuk tidak tercemar oleh dunia.

Semoga Allah dengan anugerah-Nya menjaga baik hati maupun hidup kita supaya tetap bersih dari cinta terhadap dunia, dan dari godaan-godaan manusia duniawi dan fasik.

Tanya-Jawab

1. Apa yang dimaksud dengan menekan sifat-sifat bobrok dalam Yakobus 1:19-27?

Menekan sifat-sifat bobrok dalam Yakobus 1:19-27 berarti menahan diri dari amarah, mendengarkan dengan seksama, dan melakukan firman Tuhan dengan tindakan.

2. Apa saja sifat-sifat bobrok yang harus ditahan?

Dalam Yakobus 1:19-27, terdapat beberapa sifat-sifat bobrok yang harus ditahan oleh umat Kristiani. Beberapa di antaranya adalah: Kemuraman hati (ayat 19)
Kemarahan (ayat 19)
Kebodohan (ayat 20)
Kebencian (ayat 20)
Kehidupan yang tidak bermanfaat (ayat 26)

Sebaliknya, Yakobus juga menekankan bahwa umat Kristiani harus memelihara sifat-sifat yang baik seperti mendengarkan dengan sabar, bertindak dengan keadilan, dan menjauhi kejahatan. Dalam hal ini, Yakobus mengajarkan agar iman yang benar harus tercermin dalam perbuatan yang baik.

3. Mengapa kita harus menahan sifat-sifat bobrok?

Dalam Yakobus 1:19-27, kita diperingatkan untuk menjadi pendengar yang baik, cepat untuk mendengar, lambat untuk berbicara, dan lambat untuk marah. Selain itu, kita juga diingatkan untuk melakukan firman Tuhan dan bukan hanya mendengarkan saja.

Mengapa kita harus menahan sifat-sifat bobrok? Karena sifat-sifat tersebut dapat menghambat pertumbuhan rohani kita dan mempengaruhi hubungan kita dengan Tuhan dan sesama. Sifat-sifat seperti kemarahan, iri hati, kesombongan, dan kejahatan lainnya dapat membawa kita pada jalan yang salah dan membuat kita menjauh dari kehendak Tuhan.

Sebagai umat Kristiani, kita dipanggil untuk hidup sesuai dengan kehendak Tuhan dan mencontoh Kristus dalam segala hal. Oleh karena itu, kita harus menahan sifat-sifat bobrok dan memperbaiki diri kita agar lebih dekat dengan Tuhan dan dapat menjadi berkat bagi orang lain.

4. Bagaimana cara menghindari amarah dan kesalahan?

Dalam Yakobus 1:19-27, disebutkan bahwa kita harus cepat untuk mendengar, lambat untuk berbicara, dan lambat untuk marah. Selain itu, kita harus mengamati firman Tuhan dan melakukannya. Jangan hanya mendengar firman, tetapi juga melakukannya. Jangan hanya menunjukkan keagamaan, tetapi juga menjaga hati dari dunia yang bobrok.

Beberapa cara untuk menghindari amarah dan kesalahan adalah dengan berlatih sabar, memahami perspektif orang lain, dan mengelola emosi dengan baik. Selain itu, penting untuk berkomunikasi dengan jelas dan efektif, serta memperhatikan kata-kata yang digunakan dalam percakapan. Terakhir, kita harus selalu mengandalkan Tuhan dan memohon bimbingan-Nya dalam setiap langkah hidup kita.

5. Apa yang terjadi jika kita tidak menekan sifat-sifat bobrok?

Dalam Yakobus 1:19-27, terdapat perintah untuk menekan sifat-sifat bobrok seperti kemarahan, kejahatan, dan kedegilan hati. Jika kita tidak menekan sifat-sifat tersebut, maka kita akan cenderung melakukan dosa dan tidak hidup sesuai dengan kehendak Tuhan.

Dalam ayat 22-25, Yakobus juga mengingatkan bahwa hanya mendengarkan Firman Tuhan tidak cukup, tetapi harus diikuti dengan tindakan yang sesuai. Jika tidak, kita hanya menipu diri sendiri dan tidak mengalami pertumbuhan rohani yang seharusnya.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menekan sifat-sifat bobrok dan hidup sesuai dengan Firman Tuhan agar dapat menghindari dosa dan tumbuh dalam iman.
Next Post Previous Post