AMSAL 3:7-12 : PERSEMBAHAN KEPADA ALLAH
Matthew Henry (1662 – 1714)
BAHASAN : AMSAL 3:7-12 : PERSEMBAHAN KEPADA ALLAH.
Di sini kita mendapati tiga imbauan yang masing-masing disertai dengan alasan yang kuat:
[I]. Kita harus menjalani hidup ini dengan kerendahan hati dan tunduk dengan patuh kepada Allah dan pemerintahan-Nya (Amsal 3:7): “Takutlah akan TUHAN, sebagai Tuhan dan Tuanmu yang berdaulat penuh atas engkau. Dalam segala hal, taatilah agamamu dan tunduklah kepada kehendak ilahi.” Hal ini haruslah merupakan,
1. Tunduk dengan segala kerendahan hati: Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak. Perhatikanlah, tidak ada musuh yang lebih kuat terhadap kuasa agama dan rasa takut akan Allah di dalam hati daripada kecongkakan mengenai hikmat kita sendiri. Orang-orang yang mengandalkan kemampuan diri mereka sendiri menganggap bahwa memperhatikan dan mempertimbangkan aturan-aturan keagamaan itu terlalu remeh dan hina untuk mereka lakukan, apalagi untuk merintangi diri mereka sendiri dengan aturan-aturan tersebut.
2. Tunduk dengan kepatuhan: takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan. Berjaga-jagalah supaya tidak melakukan hal-hal yang menyakiti hati-Nya atau membuatmu kehilangan pemeliharaan-Nya. Takut akan TUHAN yang membuat seseorang menjauhi kejahatan, merupakan hikmat dan akal budi yang sejati (Ayub 28:28). Orang-orang yang memilikinya benar-benar bijaksana, yang menyangkal diri dan tidak menganggap diri mereka sendiri bijak. Untuk meneguhkan kita dalam menjalani kehidupan dengan rasa takut akan Allah, di sini dijanjikan bahwa hal itu sama bermanfaatnya dengan makanan bagi tubuh jasmani kita.
Hikmat itu menyehatkan tubuh: itulah yang akan menyembuhkan tubuhmu. Hikmat juga menguatkan tubuh: itulah yang menyegarkan tulang-tulangmu. Kehati-hatian, kesabaran, penguasaan diri dan pengendalian pikiran, penguasaan nafsu dan gairah dengan baik, yang diajarkan oleh agama, tidak hanya cenderung memelihara kesehatan jiwa, tetapi juga membentuk kebiasaan yang baik bagi tubuh, yang patut diingini. Tanpa semua itu segala kenikmatan di dunia ini akan terasa hambar. Iri hati membusukkan tulang. Duka lara dunia ini mengeringkannya. Akan tetapi, pengharapan dan sukacita di dalam Allah bagaikan sumsum yang menyegarkan tulang-tulang.
[II]. Kita harus memanfaatkan harta benda kita dengan baik, dan itulah jalan untuk menjadikannya bertambah-tambah (Amsal 3:9-10). Di sini terdapat :
1. Ketetapan yang mengharuskan kita untuk melayani Allah dengan harta benda kita: Muliakanlah TUHAN dengan hartamu. Tujuan penciptaan dan penebusan kita adalah untuk menghormati Allah, untuk menjadi kenamaan dan pujian bagi-Nya. Tidak ada cara lain bagi kita untuk dapat melayani-Nya, selain dengan menjadi kehormatan bagi-Nya.
Kita harus menjunjung tinggi kehormatan-Nya, dan juga penghormatan yang kita miliki bagi-Nya. Kita harus menghormati Dia, bukan saja dengan tubuh dan jiwa kita yang adalah kepunyaan-Nya, tetapi juga dengan harta benda kita, sebab semua itu adalah milik-Nya juga: kita dan segenap milik kita harus diabdikan bagi kemuliaan-Nya. Kekayaan hanyalah sesuatu yang fana. Akan tetapi, biarpun begitu, kita tetap harus menghormati Allah dengan harta kita itu, sehingga kekayaan kita menjadi lebih berarti karenanya. Kita harus menghormati Allah,
(a). Dengan penghasilan kita. Ketika harta kita makin bertambah, kita cenderung tergoda untuk memuliakan diri kita sendiri (Ulangan 8:17) dan melekatkan hati kita pada dunia ini (Mazmur 62:11). Akan tetapi, semakin banyak Allah memberi, semakin giat pula seharusnya kita berusaha untuk menghormati-Nya. Pertambahan hasil bumi ini dimaksudkan untuk membuat kita terus bergantung kepada Allah, sebab kita hidup dengan mengandalkan hasil tuaian setiap tahunnya.
(b). Dengan segenap penghasilan kita. Allah telah membuat kita makmur dalam segala hal, jadi kita pun harus menghormati-Nya. Hukum kita menerapkan modus decimandi – cara untuk mempersembahkan perpuluhan, tetapi tidak ‘de non decimando’ – pengecualian dalam membayar persepuluhan.
(c). Dengan hasil pertama dari segala penghasilan kita, seperti Habel (Kejadian 4:4). Itulah isi seluruh hukum Taurat (Keluaran 23:19), dan kitab para nabi (Maleakhi 3:10).
Allah, yang merupakan yang pertama dan yang terbaik, harus juga mendapatkan yang pertama dan yang terbaik dari segala sesuatu. Hak-Nya harus didahulukan daripada yang lain, dan oleh karena itulah Dia harus dilayani terlebih dahulu.
Perhatikanlah, sudah merupakan kewajiban kita untuk menjadikan kekayaan duniawi kita alat bagi pelayanan agama kita, untuk memakainya dan memakai kepentingan kita di dalamnya demi memajukan agama. Kita juga wajib berbuat kebajikan bagi orang-orang miskin dengan apa yang kita punya, serta untuk selalu rajin melakukan pekerjaan yang saleh dan berderma, merancang hal-hal yang luhur
2. Sebuah janji, yang mendatangkan minat bagi kita untuk melayani Allah dengan harta kita. Itulah cara untuk membuat yang kecil menjadi banyak dan banyak lagi. Cara ini merupakan cara yang paling aman dan meyakinkan untuk mencapai kemakmuran: maka lumbung-lumbungmu akan diisi penuh sampai melimpah-limpah.
Dia tidak berkata kantung-kantungmu, melainkan lumbung-lumbungmu, bukan sekadar cawan yang dipenuhkan, melainkan bejana pemerahan: “Allah akan memberkati engkau dengan kekayaan supaya engkau menggunakannya, bukan untuk memamerkan dan menjadi perhiasan, melainkan supaya dipakai dan ditebarkan, bukan disimpan dan ditumpuk.” Orang-orang yang berbuat baik dengan harta milik mereka akan mendapatkan lebih banyak lagi sehingga mereka bisa melakukan lebih banyak kebaikan.
Perhatikanlah, jika kita memakai harta benda kita di dunia ini untuk memajukan agama, maka kita akan mendapati bahwa agama kita sangat bermanfaat bagi kemakmuran kita di dunia ini. Kesalehan menjanjikan hidup masa kini dengan banyak kenyamanan di dalamnya. Kita keliru jika menyangka bahwa memberi merupakan tindakan yang akan menjadikan kita miskin. Tidak, justru memberi bagi kehormatan Allah akan menjadikan kita kaya (Hagai 2:20). Apa yang kita berikan akan kita dapatkan lagi.
[III]. Kita harus berlaku benar di bawah segala kesukaran kita (Amsal 3:11-12). Inilah yang dikutip sang rasul (Ibrani 12:5), dan disebutnya sebagai nasihat yang berbicara kepada kita seperti kepada anak-anak, dengan wewenang dan kasih seorang ayah. Kita berada di dunia yang penuh dengan kesukaran.
[III]. Kita harus berlaku benar di bawah segala kesukaran kita (Amsal 3:11-12). Inilah yang dikutip sang rasul (Ibrani 12:5), dan disebutnya sebagai nasihat yang berbicara kepada kita seperti kepada anak-anak, dengan wewenang dan kasih seorang ayah. Kita berada di dunia yang penuh dengan kesukaran.
Kini perhatikanlah:
1. Apa yang harus kita jaga ketika kita mengalami kesukaran. Kita tidak boleh meremehkan atau menyerah oleh karenanya. Imbauan sebelumnya ditujukan bagi orang-orang yang kaya dan makmur, sedangkan yang ini untuk orang-orang yang miskin dan sedang mengalami kesukaran.
(a). Kita tidak boleh meremehkan kesukaran, betapa pun singkat dan ringannya kesukaran itu, seolah-olah kesukaran itu tidak berharga untuk dipedulikan atau tidak didatangkan dengan suatu maksud, sehingga tidak perlu ditanggapi. Kita tidak boleh menjadi dingin, tegar tengkuk, dan kebal dalam menjalani kesukaran kita. Jangan sampai kita tidak peka dengan kesukaran itu dan mengeraskan diri kita saat mengalaminya, dan berpikir bahwa kita sanggup melaluinya dengan mudah tanpa Allah.
(b). Kita tidak boleh menyerah oleh karena kesukaran, betapa pun besar dan lamanya. Kita tidak boleh menjadi lemah di bawahnya, demikianlah sang rasul menyebutnya. Kita juga tidak boleh cabar hati, merasa putus asa dalam jiwa kita dan menyerah terhadap keputusasaan itu, atau memakai cara yang menyimpang untuk mendapatkan kelegaan dan mengurangi kesedihan kita. Kita tidak boleh menganggapnya terlalu besar atau terlalu lama untuk dihadapi, dan tidak boleh berpikir bahwa pertolongan tidak akan pernah datang hanya karena pertolongan itu tidak tiba secepat yang kita inginkan.
2. Apa yang akan menjadi penghiburan kita saat kita berada dalam kesukaran.
(a). Kesukaran itu merupakan peringatan ilahi untuk memperbaiki kesalahan, hajaran dari Tuhan, sehingga merupakan alasan mengapa kita harus tunduk kepadanya (sebab bodoh sekali jika kita berani menantang Allah yang memiliki kedaulatan dan kekuasaan yang tidak tertandingi). Hal itu juga merupakan alasan mengapa kita harus berpuas diri di dalamnya, sebab kita yakin bahwa Allah yang begitu suci itu tidak bisa berbuat salah terhadap kita.
Juga, Allah yang memiliki kebaikan tidak terbatas itu juga tidak bermaksud mencelakai kita. Kesukaran itu datang dari Allah, dan karena itulah kita tidak boleh menyepelekannya. Sebab menghina seorang utusan berarti menghina tuan yang telah mengutusnya juga. Kesukaran itu berasal dari Allah, dan oleh karena itulah kita tidak boleh jenuh menghadapinya, sebab Dia sendiri tahu apa kita ini, apa yang kita butuh kan maupun apa yang sanggup kita tanggung.
(b). Kesukaran itu merupakan hajaran seorang ayah. Hajaran yang tidak berasal dari keputusan seorang Hakim yang menuntut keadilan, tetapi dari kasih sayang-Nya yang bijak sebagai seorang Bapa. Seorang ayah memberi hajaran kepada anak yang dikasihinya, sebab dia sayang kepadanya dan menghendakinya supaya menjadi orang yang benar dan berhikmat.
Dia bersuka dalam hal-hal yang baik dan benar dalam diri anak-Nya, dan karena itulah Dia memberinya hajaran untuk mencegah dan memulihkan hal-hal yang mencemarkannya dan menghalangi perkenanan-Nya terhadap dia.
Demikianlah Allah telah berkata, “Barang siapa Kukasihi, ia Kutegur dan Kuhajar” (Wahyu 3:19). Inilah yang menjadi penghiburan besar bagi anak-anak Allah, di tengah kesukaran yang mereka hadapi,
1). Bahwa kesukaran itu bukan saja mengandung kasih-Nya, tetapi bersumber dari kovenan (perjanjian) kasih-Nya.
2). Bahwa kesukaran itu tidak akan mencelakakan mereka sama sekali, malahan akan mendatangkan kebaikan bagi mereka melalui anugerah Allah yang bekerja melalui kesukaran itu, dan menjadi sarana bagi kebahagiaan mereka.