AMSAL 4:1-13: DIDIKAN ORANG TUA

Matthew Henry (1662 – 1714)

BAHASAN : AMSAL 4:1-13: DIDIKAN ORANG TUA

Di sini kita mendapati:

[I]. Ajakan yang dilayangkan Salomo kepada anak-anaknya untuk datang dan menerima didikan darinya (Amsal 4:1-2): Dengarkanlah, hai anak-anak, didikan seorang ayah. Artinya:
AMSAL 4:1-13: DIDIKAN ORANG TUA
1. “Biarlah anak-anakku sendiri terlebih dahulu menerima dan mengindahkan semua didikan yang aku paparkan untuk mendidik orang lain juga.” Perhatikanlah, para pejabat dan pelayan yang dipercaya untuk mengarahkan kumpulan masyarakat yang lebih luas, haruslah mendidik keluarga mereka sendiri dengan lebih hati-hati, sebab tugas mereka terhadap kepentingan umum sama sekali tidak berarti bahwa mereka boleh melalaikan kepentingan keluarga sendiri.

Pekerjaan yang baik itu harus dimulai di rumah sendiri, tetapi tidak boleh berakhir sampai di sana saja, sebab bagaimana mungkin seseorang bisa menjalankan kewajibannya untuk mengurus jemaat Allah, jika anak-anaknya saja tidak menyegani dan menghormatinya karena dia sendiri tidak mau berupaya mendidik mereka dengan benar? (1Timotius 3:4-5).

Anak-anak dari orang-orang yang terkemuka dalam hikmat dan kepentingan umum haruslah meningkatkan pengetahuan dan sopan santun, sebanding dengan keuntungan yang mereka miliki oleh karena mempunyai orang tua terpandang seperti itu. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa Rehabeam, anak Salomo, sama sekali bukanlah orang yang terbijak atau terbaik.

Hal ini digambarkan untuk menyelamatkan kehormatan dan penghiburan bagi para orangtua yang anak-anaknya tidaklah sebaik didikan yang mereka miliki. Jadi, kita memiliki alasan untuk berpikir bahwa ribuan orang lain menjadi lebih baik oleh karena amsal-amsal Salomo, dibandingkan dengan anaknya sendiri. Jadi tampaknya amsal-amsal itu terutama ditujukan bagi mereka.

2. Biarlah semua kaum muda, dalam masa kecil dan masa remaja mereka, mau bersusah payah mendapatkan pengetahuan dan karunia, sebab masa-masa itu adalah masa yang tepat untuk belajar, supaya akal budi mereka dibentuk dan dididik. Dia tidak berkata, anak-anakku, tetapi hai, anak-anak. Kita hanya mendapati satu saja anak kandung Salomo, tetapi (tidakkah Anda pikir demikian?), dia sudi menjadikan diri sendiri sebagai seorang guru dan mengajari anak-anak orang lain! Sebab, di usia muda seperti itulah terletak harapan keberhasilan. Batang pohon juga mudah dibengkokkan ketika masih muda dan lemah.

3. Biarlah semua orang yang mau menerima didikan datang dengan sikap seperti anak-anak, sekalipun mereka sudah dewasa. Kesampingkanlah segala prasangka dan biarlah pikiran menjadi seputih kertas. Kiranya mereka menurut, dapat diajari, dan tidak mengandalkan diri sendiri. Kiranya mereka menerima nasihat itu sebagai perkataan dari seorang ayah, yang diucapkan dengan kuasa dan juga kasih sayang. Kita harus menganggapnya berasal dari Allah sebagai Bapa kita di sorga, kepada siapa kita berdoa, dari siapa kita mengharapkan berkat, Bapa dari roh kita, yang harus kita patuhi supaya kita hidup.

Kita harus memandang guru-guru kita sebagai ayah kita sendiri, yang mengasihi kita dan mengusahakan kesejahteraan kita. Oleh karena itu, sekalipun didikan mereka mengandung teguran dan hajaran, demikianlah arti yang terkandung dalam kata aslinya, kita tetap harus menerimanya dengan lapang dada. Nah,

(a). Untuk menganjurkan kita menerima perkataan itu, di sini kita diberi tahu bahwa pengajaran itu bukan saja didikan seorang ayah, melainkan juga merupakan sebuah pengertian, dan karena itulah harus disambut oleh semua makhluk yang berakal budi. Agama memiliki dasar yang teguh dan kita diajar mengenainya dengan alasan yang masuk akal. Agama merupakan sebuah petunjuk (Amsal 4:2), tetapi petunjuk yang didasari ilmu, oleh kaidah-kaidah kebenaran yang tidak terbantahkan, atas dasar ilmu yang baik, yang bukan saja teguh, tetapi juga sangat berharga untuk diterima. Jika kita mengakui ilmu itu, pastilah kita bersedia tunduk kepada hukum.

(b). Untuk mematrikannya di dalam diri kita, kita diarahkan untuk menerima didikan itu sebagai sebuah karunia, untuk mematuhinya dengan segenap ketekunan, untuk memperhatikannya dan mengenalnya, sebab jika tidak begitu, kita tidak akan mampu mengamalkannya. Kita juga diarahkan untuk tidak melalaikannya, tidak mengabaikan ilmu tersebut atau melanggar hukum itu.

[II]. Didikan yang dia berikan kepada mereka.

Perhatikanlah:

[1]. Bagaimana ia memperoleh didikan tersebut. Ia mendapatkannya dari orangtuanya, dan kini mengajarkan anak-anaknya hal yang sama seperti yang telah diajarkan orangtuanya (ayat 3-4). Perhatikanlah:

(a). Orangtuanya mengasihi dia, dan karena itulah mereka mendidik-nya: Aku tinggal di rumah ayahku sebagai anak. Daud mempunyai banyak anak, tetapi Salomolah yang benar-benar menjadi anak laki-laki baginya, sebagaimana Ishak disebut demikian (Kejadian 17:19), dan karena alasan yang sama, yaitu karena kepadanyalah perjanjian (kovenan) berlaku. Ia merupakan anak kesayangan ayahnya, melebihi anak-anaknya yang lain. Allah menunjukkan kebaikan yang istimewa kepada Salomo (Nabi Natan menamakan dia Yedija, sebab Allah mengasihi anak itu, 2 Samuel 12:25), dan karena itulah Daud pun menunjukkan kebaikan istimewa terhadap Salomo, sebab dia adalah seorang yang berkenan di hati Allah.

Para orangtua hanya boleh mengasihi seorang anak lebih dari anak yang lainnya, jika Allah telah jelas-jelas menunjukkan hal yang serupa. Salomo lemah dan merupakan anak tunggal bagi ibunya. Tentu saja harus ada alasan yang jelas dalam menerapkan perlakuan yang berbeda seperti itu oleh kedua orangtua kepada salah seorang anaknya. Lihatlah bagaimana mereka menunjukkan kasih mereka. Mereka mendidiknya secara rohani, membimbingnya supaya rajin belajar dan menerapkan kedisiplinan yang tinggi terhadapnya.

Meskipun dia adalah seorang putra mahkota yang akan mewarisi takhta, mereka tidak membiarkannya hidup seenaknya. Bahkan, mereka terus membimbingnya. Mungkin juga Daud lebih keras mendidik Salomo karena dia telah melihat dampak buruk akibat terlalu memanjakan Adonia, yang sama sekali tidak pernah dia tegur dalam hal apa pun (1Raja-raja 1:6), seperti juga terhadap Absalom.

(b). Apa yang telah diajarkan orang tuanya, diajarkannya pula kepada orang lain. Perhatikanlah:

1). Saat Salomo telah dewasa, dia bukan saja mengingat, tetapi juga gemar mengulangi didikan baik yang diajarkan orang tuanya saat ia masih kecil. Dia tidak melupakan didikan itu, sebab didikan itu sudah demikian tertanam dalam dirinya. Dia tidak malu oleh karena didikan itu, justru sangat menghargainya. Saat ia sudah dewasa, dia juga tidak lantas menganggapnya sebagai hal yang kekanak-kanakan dan remeh yang harus ia kesampingkan ketika ia menjadi raja, seolah hal itu dapat mempermalukannya. Dia juga tidak mengulang-ulanginya sebagaimana yang biasa dilakukan anak-anak liar yang mengolok-olok didikan dan menertawakannya bersama-sama dengan kawan-kawan mereka. Dia tidak berlaku seperti anak-anak itu yang merasa bangga karena telah melepaskan diri dari segala didikan dan kekangan.

2). Meski Salomo adalah seorang yang bijak dan diilhami secara ilahi, akan tetapi, ketika ia harus mengajarkan hikmat, dia tidak merasa risih untuk mengutip dan memakai kata-kata ayahnya. Orang-orang yang hendak belajar dan mengajar dengan baik dalam bidang agama, tidak boleh mengarang keyakinan baru dan merumuskan perkataan baru sedemikian rupa untuk merendahkan pengetahuan dan bahasa para pendahulu mereka. Jika kita harus terus menempuh jalan-jalan dahulu kala yang baik itu, mengapakah kita menghina perkataan dahulu kala yang baik? (Yeremia 6:16).

3). Karena telah dididik dengan baik oleh orangtuanya, Salomo menganggap dirinya wajib mendidik anak-anaknya pula. Inilah salah satu cara yang bisa kita tempuh untuk membalas budi orangtua kita yang telah bersusah payah mendidik kita. Bahkan lebih dari itu, kita harus menunjukkan bakti kita kepada kaum keluarga (1 Timotius 5:4). 

Mereka mengajari kita bukan hanya supaya kita belajar, tetapi juga supaya kita mengajarkan pengenalan akan Allah kepada anak cucu kita (Mazmur 78:6). Jika kita tidak melakukannya, berarti kita gagal menunaikan apa yang dipercayakan kepada kita, sebab benih suci didikan dan hukum agamawi ditaruh di tangan kita dengan suatu perintah untuk meneruskan seluruhnya dan secara murni kepada orang-orang yang akan datang setelah kita (2 Timotius 2:2).

4).Salomo memperkuat himbauan-himbauannya itu dengan kewenangan ayahnya Daud, seorang yang kenamaan di angkatannya dalam segala hal. Biarlah hal ini dicamkan bagi kehormatan agama, yaitu bahwa orang-orang yang terbaik dan terbijak di segala zaman adalah orang-orang yang paling giat, bukan saja dalam menerapkan agama itu bagi diri mereka sendiri, tetapi juga dalam meneruskannya kepada orang lain. Oleh karena itulah kita hendaknya tetap berpegang pada kebenaran yang telah kita terima, dengan selalu mengingat orang yang telah mengajarkannya kepada kita (2Timotius 3:14).

[2]. Apa didikan-didikan tersebut (Amsal 4: 4-13).

(A). Melalui titah dan dorongan. Daud, saat mengajar anaknya, sekalipun anak itu memiliki kemampuan yang besar dan cepat mengerti, tetap mengungkapkan ajarannya dengan semangat dan ketekunan, mengulangi hal yang sama, lagi dan lagi, untuk menunjukkan bahwa dia bersungguh-sungguh dengan semua itu, dan juga untuk menggugah anaknya lebih dalam lagi dengan semua yang ia katakan. Anak-anak memang harus diajar dengan cara demikian Ulangan 6:7), haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu. Meski Daud memiliki banyak sekali urusan dan mempunyai banyak pengajar untuk anaknya, dia tetap mengajari sendiri anaknya itu.

[a]. Dia mengajar anaknya dengan Kitab Suci dan didikannya sebagai sarana, perkataan ayahnya (Amsal 4: 4), perkataan mulutnya (Amsal 4:5), perkataannya (Amsal 4:10), seluruh pelajaran baik yang telah diajarkannya. Mungkin dia terutama memaksudkan Kitab Mazmur yang kebanyakan berisi Maschil – mazmur pengajaran, dan dua di antaranya jelas-jelas disebutkan sebagai mazmur untuk Salomo. Salomo harus memper-hatikan kedua mazmur itu dan juga seluruh perkataan lain yang diutarakan ayahnya.

Pertama, dia harus mendengar dan menerima perkataan itu (Amsal 4:10), tekun memperhatikan dan menyerapnya, sebagaimana tanah yang menghisap air hujan yang sering turun ke atasnya (Ibrani 6:7). Begitulah Allah menarik perhatian kita pada firman-Nya: Hai anakku, dengarkanlah dan terimalah perkataanku.

Kedua, dia harus memegang contoh ajaran yang sehat yang diberikan ayahnya (ayat 4): Biarlah hatimu memegang perkataanku. Perkataan itu baru bisa dipegang jika perkataan tersebut ditanamkan dalam hati, terpatri dalam tekad dan kasih.

Ketiga, dia harus menguasai dirinya sendiri dengan perkataan tersebut: Berpeganglah pada petunjuk-petunjukku, taatilah, dan itulah cara untuk bertambah di dalam pengetahuan mengenai hal itu (Yohanes 7:17).

Keempat, dia harus setia dan tinggal di dalam perkataan itu: “Jangan menyimpang dari perkataan mulutku (Amsal 4:5), seakan-akan gentar menerima akibatnya yang terlalu besar bagimu, tetapi berpeganglah pada didikan (Amsal 4:13), bertekad untuk tetap teguh dan tidak pernah mengabaikannya.” Orang-orang yang memiliki pendidikan yang baik, sekalipun mereka berusaha mencampakkannya, akan tetap mendapati didikan itu melekat dalam diri mereka selama beberapa saat, dan jika tidak begitu, maka keadaan mereka itu akan menjadi amat memilukan.

[b] Dia memaparkan hikmat dan pengertian di hadapan anaknya sebagai tujuan yang harus dibidik dalam memanfaatkan sarana-sarana tersebut. Raihlah hikmat yang merupakan hikmat yang terutama.

‘Quod caput est sapientia eam acquire sapientiam’ – Pastikan untuk memperhatikan ranting hikmat yang merupakan puncaknya, yaitu takut akan TUHAN (1:7). Junius dan Tremellius: Kaidah agamawi di dalam hati merupakan satu hal yang diperlukan. Karena itu:

Pertama, per olehlah hikmat, perolehlah pengertian (Amsal 4:5). Dan lagi, “Perolehlah hikmat dan dengan segala yang kau peroleh perolehlah pengertian ( Amsal 4:7). Berdoalah untuk hikmat itu, bersusah payahlah untuk meraihnya dengan bertekun memakai semua sarana untuk memperolehnya. Tunggulah pada pintuku (8:34). Berkuasalah atas segala kebejatanmu, yang merupakan kebebalanmu: milikilah kaidah-kaidah bijaksana dan kebiasaan-kebiasaan yang bijak. Raihlah hikmat melalui pengalaman, raihlah di atas segala yang kau per oleh. Bergiatlah lebih lagi dalam berusaha memperolehnya, lebih daripada berusaha memperoleh kekayaan dunia ini. Apa pun boleh engkau abaikan, tetapi yang satu ini, tetaplah berusaha memperolehnya, pandanglah itu sebagai tujuan yang besar, dan kejar-lah dengan sungguh-sungguh.”

Hikmat sejati merupakan karunia dari Allah, tetapi di sini kita tetap diperintahkan untuk mendapatkannya, sebab Allah mengaruniakannya kepada orang-orang yang mau berusaha untuk mendapatkannya. Akan tetapi, setelah mendapatkannya, kita tetap tidak boleh berkata, kekuasaanku dan kekuatan tangankulah yang membuat aku memperoleh kekayaan ini.

Kedua, jangan lupa (Amsal 4:5), janganlah meninggalkan hikmat itu (Amsal 4:6), janganlah melepaskannya (Amsal 4:13), tetapi peliharalah dia. Orang-orang yang telah memperoleh hikmat ini harus berjaga-jaga supaya tidak kehilangan hikmat lagi akibat kembali ke dalam kebodohan mereka: memang benar, hal yang baik tidak akan diambil dari kita. 

Akan tetapi, kita harus berhati-hati supaya kita tidak membuangnya sendiri, seperti yang dilakukan oleh mereka yang pertama-tama melupakannya, lalu menghapuskannya dari benak mereka, mengabaikannya dan menolak jalan-jalannya yang baik. Hal baik yang telah diserahkan kepada kita itu haruslah kita jaga dan tidak boleh kita lalai sampai membuatnya terlepas. Janganlah juga kita membiarkannya direnggut dari kita atau menjauhkan diri kita darinya. Jangan pernah melepaskan permata seperti itu.

Ketiga, kasihilah dia (Amsal 4:6) dan peluklah dia (ayat sebagaimana orang-orang duniawi memuja harta dan melekatkan hati mereka pada harta itu. Agama haruslah menjadi sesuatu yang amat berharga bagi kita, lebih dari segala sesuatu di dunia ini. Jika kita tidak mampu menjadi ulung dalam hikmat, biarlah kita sungguh-sungguh mengasihi hikmat itu. Marilah kita memeluk anugerah yang kita miliki dengan kasih yang tulus, sebagai orang-orang yang mengagumi keelokannya.

Keempat, “Junjunglah dia (Amsal 4:8) . Miliki selalu pemikiran yang luhur terhadap agama, dan lakukan semampumu untuk menjaga nama baiknya dan memelihara kehormatannya di antara manusia. Bersatulah dengan Allah dalam tujuan-Nya, yaitu untuk mengagungkan petunjuk-Nya dan menjaganya supaya dihargai, dan berbuat semampumu untuk meraih tujuan itu.”

Biarlah anak-anak hikmat tidak hanya membenarkan hikmat itu, tetapi juga mengagungkannya, lebih memilihnya daripada apa pun yang berharga bagi mereka di dunia ini. Saat kita menghormati orang-orang yang takut akan Tuhan, meskipun mereka miskin di dunia ini, dan menghormati seorang miskin yang berhikmat, kita menjunjung hikmat.

(B). Melalui alasan dan dorongan untuk bertekun mencari hikmat dan berserah di dalam bimbingannya, pertimbangkanlah,

[1] Hikmat merupakan perkara yang utama, yang harus menjadi kepedulian utama dan terus-menerus dari setiap manusia di dalam kehidupan ini ( Amsal 4:7): Adapun hikmat itu terutamalah adanya. Hal-hal lainnya yang begitu ingin kita dapatkan dan pertahankan sama sekali tidaklah sebanding dengan hikmat. Ini adalah kewajiban setiap orang (Pengkhotbah 12:13). Itulah yang mendekatkan kita dengan Allah, yang memperindah jiwa, memampukan kita menggapai tujuan penciptaan, untuk menjalani hidup yang memiliki makna di dunia ini, dan untuk mencapai sorga pada akhirnya. Karena itulah, hikmat merupakan hal yang terutama.

[2] Hikmat memiliki dasar dan keadilan di dalamnya (Amsal 4:11): “Aku mengajarkan jalan hikmat kepadamu, dan pada akhirnya jalan itu memang akan didapati demikian. Aku memimpin engkau, bukan di jalan serong kedagingan, yang melakukan kejahatan di bawah kedok hikmat, tetapi di jalan yang lurus, sesuai dengan aturan-aturan dan alasan-alasan kekal mengenai apa yang baik dan yang jahat.”

Kebenaran natur (kodrat) ilahi tampak dalam kebenaran seluruh petunjuk ilahi. Perhatikanlah, Daud tidak hanya mengajari anaknya melalui petunjuk-petunjuk yang baik, tetapi juga memimpinnya melalui teladan yang benar dan dengan mengamalkan didikan umum pada perkara-perkara khusus. Dengan demikian, dia tidak kekurangan apa pun untuk menjadi bijaksana.

[3] Hikmat itu akan mendatangkan keuntungan baginya: “Jika engkau baik dan bijak, engkau akan menjadi seperti itu demi keuntungan dirimu sendiri.”

PERTAMA, “Hikmat itu akan menjadi kehidupanmu, penghiburanmu, dan kebahagiaanmu. Engkau tidak akan dapat hidup tanpanya.” Berpegang-lah pada petunjuk-petunjukku, maka engkau akan hidup (Amsal 4: 4).

Juru selamat kita pun setuju dengan itu, “Tetapi jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah.” (Matius 19:17). Kita diharuskan untuk menjadi saleh, sebab taruhannya adalah kesakitan maut, maut yang kekal, atau kehidupan, hidup yang kekal. “Terimalah perkataan hikmat, supaya tahun hidupmu menjadi banyak (Amsal 4:10), sebanyak yang dianggap baik oleh Hikmat Tak Terbatas, dan di dunia yang lain engkau akan menjalani kehidupan yang tidak dapat terhitung panjangnya. Oleh karena itu, peliharalah dia, berapa pun harganya, karena dialah hidupmu (Amsal 4:13). Semua kepuasanmu akan ditemukan di dalamnya.” Jiwa yang tidak memiliki hikmat dan karunia sejati adalah jiwa yang benar-benar mati.

KEDUA, “Hikmat itu akan menjadi penjaga dan pembimbingmu, pelindung dan pemimpinmu melalui segenap marabahaya dan kesukaran dalam perjalananmu mengarungi belantara. Kasihilah hikmat dan berpeganglah erat-erat kepadanya, maka engkau akan dipelihara dan dijaganya (ay. 6) dari dosa, dari kebejatan kejahatan, dari musuh yang terbusuk. Dia akan menjagamu supaya tidak mencelakai dirimu sendiri, dan tidak ada lagi yang dapat mencelakakanmu.”

Seperti pepatah orang Inggris, “Jagalah tokomu, maka tokomu itu akan menjaga engkau,” begitu pula “Jagalah hikmatmu, maka hikmatmu akan menjagamu.” Hikmat itu akan menjaga kita dari hambatan dan sandungan dalam kehidupan dan urusan kita (Amsal 4: 12).

1. Sehingga langkah kita tidak akan terhambat apabila kita melangkah, sehingga kita tidak mendatangkan hambatan bagi diri kita seperti yang menimpa Daud dulu (2 Samuel 24:14). Orang-orang yang menjadikan firman Allah sebagai pedoman mereka akan berjalan dengan leluasa dan merasa nyaman.

2. Sehingga kaki kita tidak akan tersandung saat kita berlari. Jika orang-orang bijak dan baik tiba-tiba terlibat dalam kesukaran, maka pedoman firman Allah yang teguh mereka jalankan itu akan memelihara mereka sehingga mereka tidak akan tersandung oleh apa pun yang mungkin membahayakan. Kesetiaan dan hati yang lurus akan menjaga kita.

KETIGA, “Hikmat itu akan menjadi kehormatan dan nama baikmu (ayat 8): Junjunglah hikmat (tunjukkanlah maksud baikmu dalam memajukan hikmat itu) dan sekalipun hikmat tidak membutuhkan bantuanmu, dia tetap akan memberimu imbalan yang melimpah. Engkau akan ditinggikannya, engkau akan dijadikan terhormat.”

Pada waktu itu Salomo akan menjadi raja, tetapi hikmat dan kebijakannyalah yang akan menjadi kehormatannya, lebih daripada mahkota atau takhtanya. Itulah yang membuat semua orang di sekelilingnya mengagumi dia. Tidak diragukan lagi, pada masa pemerintahannya dan masa pemerintahan Daud, orang-orang yang benar dan bijak selalu ditinggikan. Bagaimanapun juga, cepat ataupun lambat, agama akan membuat semua orang yang memeluknya dengan sungguh-sungguh menjadi terhormat. Mereka akan diterima oleh Allah, dan disegani oleh semua orang bijak. Mereka akan diakui pada hari yang agung itu, dan akan mewarisi kehormatan yang abadi.

Inilah yang ia tekankan ( Amsal 4:9): “Ia akan mengenakan karangan bunga yang indah di kepalamu, di dunia ini. Dia akan memujimu di hadapan Allah dan manusia, dan di dunia yang lain mahkota yang indah akan dikaruniakannya kepadamu. Mahkota itu tidak akan menjadi rapuh, mahkota kemuliaan yang tidak akan pernah pudar.”

Inilah kehormatan sejati yang mengiringi agama. ‘Nobilitas sola est atique unica virtus’ – kebajikan merupakan satu-satunya hal yang mulia! Demikianlah Daud menekankan hikmat kepada anaknya. Jadi tidaklah mengherankan, saat Allah bertanya apa yang ia inginkan, dia berdoa, berikanlah kepadaku hati yang penuh hikmat dan pengertian. Jadi, kita harus menunjukkan melalui doa-doa kita seberapa baiknya kita telah dididik.
Next Post Previous Post