AMSAL 5:1-14. DIDIKAN ORANGTUA: PERINGATAN TERHADAP HAWA NAFSU

Matthew Henry (1662 – 1714)

BAHASAN : AMSAL 5:1-14. DIDIKAN ORANGTUA; PERINGATAN TERHADAP HAWA NAFSU.

Di sini terdapat,

[I]. Kata-kata yang penuh kesungguhan hati untuk mengantar peringatan yang hendak diberikan (Amsal 5:1-

2). Di sini, Salomo berbicara kepada putranya, yakni semua orang muda, seperti kepada anak-anak sendiri yang dikasihinya dan yang ada dalam pengaruhnya. Ia meminta perhatian dalam nama Allah, sebab ia menulis di bawah ilham ilahi dan sebagai nabi, meskipun ia tidak mengawali dengan kata-kata, beginilah firman Tuhan. “Perhatikanlah hikmatku, arahkanlah telingamu, bukan sekadar untuk mendengarkan apa yang dikatakan dan membaca apa yang tertulis, melainkan untuk memusatkan pikiranmu padanya dan merenungkannya dengan tekun.” Untuk mendapat perhatian kita, ia menawarkan,
AMSAL 5:1-14. DIDIKAN ORANGTUA: PERINGATAN TERHADAP HAWA NAFSU
1. Keunggulan perkataannya: “Melalui hikmatku dan kepandaian yang kuajarkan aku berusaha mengajarkan hikmat kepadamu. Tiada lain lagi yang layak disebut hikmat selain daripada ini. Pengetahuanku ini adalah pengetahuan moral, yang patut dipelajari di sekolahku.”

2. Kegunaannya: “Perhatikanlah apa yang kukatakan,”

(a). “Supaya engkau dapat bertindak dengan bijak, supaya engkau berpegang pada kebijaksanaan.” Pengajaran Salomo bukan dimaksud-kan untuk sekadar mengisi benak kita dengan segala gagasan dan pikiran, bukan dengan hal-hal yang tidak jelas kebenarannya atau dengan bahan perbantahan yang meragukan, melainkan untuk membimbing kita dalam penguasaan diri sehingga kita dapat bertindak dengan hati-hati, demi kebaikan dan kepentingan kita sendiri.

(b). “Supaya engkau dapat berkata-kata dengan bijaksana, supaya bibirmu memelihara pengetahuan, dan kata-kata itu siap di ujung lidahmu” (seperti yang sering kita katakan), “demi kebaikan orang-orang yang bercakap-cakap dengan engkau.” Bibir seorang imam dikatakan memelihara pengetahuan (Maleakhi 2:7). Namun, mereka yang siap sedia dan fasih dengan firman Tuhan bukan hanya merupakan imam-imam rohani dalam ibadah mereka, tetapi juga dalam percakapan mereka.

[II]. Peringatan itu sendiri, yakni supaya menghindarkan dari nafsu kedagingan, perzinahan, percabulan, dan segala kenajisan. Sebagian orang menerapkan hal ini sebagai kiasan, dengan memahami perempuan jalang di sini sebagai penyembahan berhala atau pengajaran palsu, yang cenderung merusak pikiran dan perilaku manusia. Atau, perempuan jalang dimaksudkan juga sebagai hasrat penuh hawa nafsu, yang bisa termasuk apa saja yang berkaitan dengan itu.

Namun, secara jelas tujuan utamanya adalah untuk memperingatkan kita terhadap dosa-dosa yang disebut dalam perintah ketujuh, yang cenderung dilakukan orang muda. Godaan-godaan dari dosa-dosa ini sungguh kuat, dan sudah ada banyak contoh mengenainya, yang apabila dibiarkan, akan membinasakan semua benih kebajikan yang ada di dalam jiwa. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan apabila peringatan Salomo mengenai hal ini begitu mendesak-desak dan sering kali diulang-ulang.

Di sini, Salomo sebagai pengawas yang setia, memberikan peringatan kepada semua orang sementara mereka memikirkan kehidupan dan kesenangan mereka, supaya berhati-hati dengan amat sangat terhadap dosa yang pasti akan menghancurkan mereka ini. Di sini terdapat dua hal yang harus kita waspadai dan perhatikan:

[1II]. Supaya kita tidak mendengarkan bujukan dan daya tarik dosa ini. Sungguh benar bahwa bibir perempuan jalang menitikkan tetesan madu (Amsal 5:3). Kenikmatan nafsu daging sangatlah menggoda (seperti anggur yang merah menarik warnanya, dan mengilau dalam cawan, yang mengalir masuk dengan nikmat). Bibirnya, ciumannya, dan perkataan yang keluar dari mulutnya lebih licin dari pada minyak, supaya pil beracun itu dapat meluncur dengan lancar dan tidak menimbulkan kecurigaan. Namun, pertimbangkanlah:

(a). Betapa mematikan akibatnya nanti. Buah apa yang akan didapatkan orang berdosa dari madu dan minyaknya saat kenikmatan ini berakhir,

1). Serangan-serangan menakutkan terhadap hati nurani. Rasanya akan pahit seperti empedu ( Amsal 5:4). Apa yang tadinya terasa lezat di mulut akan bergolak di perut dan berubah menjadi masam. Saat direnungkan, hal ini akan melukai bagai pedang bermata dua. Kedua hal ini sama-sama melukai. Salomo bisa berbicara mengenai ini melalui pengalaman pribadinya (Pengkhotbah 7:26)

2). Siksaan dunia orang mati. Orang-orang yang telah melakukan dosa ini dan merasa berdosa karenanya dan kemudian bertobat, mereka memang diselamatkan, tetapi kita perlu ingat bahwa dosa ini punya kecenderungan untuk langsung menghancurkan jiwa dan raga. Kakinya turun menuju maut, bahkan menuju dunia orang mati, menarik dunia orang mati itu menuju si pendosa, seakan-akan hukuman itu tidak kunjung datang juga (Amsal 5:5). Orang-orang yang terbelit dalam dosa ini harus diingatkan bahwa jarak di antara mereka dan neraka hanyalah tinggal selangkah lagi, dan mereka siap jatuh ke dalamnya.

(b). Renungkanlah betapa palsunya daya tarik itu. Seorang perempuan pezinah pandai merayu dan berbicara manis. Kata-katanya bagaikan madu dan minyak, tetapi dia akan menipu orang-orang yang mendengarkan kata-katanya: jalannya sesat, tanpa diketahuinya. Ia sering kali mengubah penyamarannya dan menggunakan berbagai warna palsu, sebab apabila ketahuan, ia pasti akan dibenci.

Mirip Proteus, sang dewa laut Yunani, ia berganti-ganti penampilan, supaya bisa tetap merangkul mereka yang diincarnya. Apakah yang menjadi tujuannya dengan semua tipu muslihat dan pengaturan ini? Hanya satu, yakni untuk mencegah mereka menempuh jalan kehidupan, sebab dia tahu bahwa jika mereka mencapai jalan itu, dia pasti akan kehilangan mereka. Orang-orang yang tidak tahu apa maksud Iblis adalah mereka yang tidak mengerti bahwa hal penting yang ditujunya melalui semua pencobaan yang dilancarkannya itu adalah,

1). Menghalangi mereka memilih jalan kehidupan, untuk mencegah mereka menjalani hidup yang saleh dan masuk sorga, supaya sama seperti dirinya yang dihalangi mengenyam kebahagiaan, ia juga dapat menjauhkan mereka dari kebahagiaan.

2). Supaya bisa mencegah mereka dari mempertimbangkan jalan kehidupan, dari memikirkan betapa sudah selayaknya mereka melintasi jalan itu, betapa bermanfaatnya hal ini bagi mereka. Hendaknya diperhatikan, demi kehormatan agama, bahwa sungguh penting agar orang bersedia mengambil kesempatan untuk memikirkan dengan sungguh serta menimbang segala sesuatu tanpa memihak dan dengan adil.

Kita juga perlu sadar bahwa Iblis tidak dapat menarik manusia demi kepentingannya kecuali dengan menyesatkan mereka melalui berbagai macam kesenangan yang tidak ada habisnya supaya mereka menjauh dari pemikiran yang tenteram dan sehat mengenai perkara-perkara yang mendatangkan damai sejahtera bagi mereka. Kenajisan atau kecemaran merupakan dosa yang membutakan akal sehat, menghanguskan hati nurani, dan menghalangi orang merenungkan jalan kehidupan. Persundalan menghilangkan daya pikir (Hosea 4:11; KJV: mencuri hati – pen.).

[2]. Supaya kita tidak menghampiri dosa ini (Amsal 5:7-8).

(a). Peringatan ini disampaikan dengan kata pengantar yang diucapkan dengan sepenuh hati: “Sebab itu, hai anak-anak, dengarkanlah aku. Siapa pun dari antaramu yang membaca atau mendengar perkataan ini, hendaknya memperhatikan apa yang kukatakan. Bubuhkanlah iman ke dalamnya, simpanlah baik-baik, dan janganlah kamu menyimpang dari pada perkataan mulutku, seperti yang akan dilakukan mereka yang mendengarkan perkataan perempuan jalang itu. Jangan sekadar menerima apa yang kukatakan itu untuk sementara waktu saja, tetapi melekatlah padanya, dan biarkan perkataanku itu siap kaugunakan dan memberimu kekuatan pada saat engkau didera pencobaan.”

(b). Peringatan itu sendiri sangatlah mendesak: “Jauhkanlah jalanmu dari pada dia, jika jalanmu kebetulan berdekatan dengannya. Jika urusanmu membawa engkau ke dalam jangkauan daya tariknya, ubahlah jalanmu, ganti arahmu, daripada membiarkan dirimu menghadapi bahaya. Janganlah menghampiri pintu rumahnya. Berjalanlah di seberang jalan sana, bahkan lewatilah jalan lain, meskipun kau terpaksa mengambil jalan berputar.” Hal ini menyiratkan:

1). Bahwa kita harus sangat takut dan membenci dosa itu. Kita harus merasa takut kepadanya seperti takut pada tempat yang telah terjangkiti wabah. Kita harus membencinya seperti membenci bau busuk dari bangkai sehingga tidak mau datang mendekat. Baru sesudah itulah kita akan mampu memelihara kemurnian kita, saat kita memiliki kebencian teramat sangat terhadap semua nafsu kedagingan.

2). Bahwa kita harus dengan giat menghindari segala sesuatu yang dapat menyebabkan dosa ini. Jangan mendekatinya selangkah pun. Orang-orang yang ingin dijauhkan dari bahaya harus menghindar dari jalan berbahaya. Tabiat yang rusak mengandung pemicu yang begitu mudah menghanguskan, sehingga benar-benar merupakan hal yang gila, dengan alasan apa pun, untuk mendekati percikan api yang mudah menyulut kebakaran itu. Jika kita melempar diri ke dalam pencobaan, kita telah mengolok-olok Allah saat berdoa, janganlah membawa kami ke dalam pencobaan .

3). Bahwa kita patut merasa iri terhadap diri kita sendiri dengan kecemburuan ilahi, dan tidak boleh percaya diri berlebihan akan kekuatan tekad hati kita sehingga memberanikan diri mendekati dosa, sambil berjanji kepada diri sendiri bahwa sampai di sini boleh kita datang, jangan lewat .

4). Bahwa apa saja yang telah menjadi jerat bagi kita dan menimbulkan kesempatan bagi kita untuk berbuat dosa, sekalipun itu adalah mata yang kanan dan tangan yang kanan, kita harus mencungkil mata dan memenggal tangan itu, lalu membuangnya. Kita harus rela berpisah dengan apa yang paling kita sayangi daripada hal tersebut membahayakan jiwa kita. Ini adalah perintah Juruselamat kita (Matius 5:28-30).

(c). Alasan-alasan yang digunakan Salomo di sini untuk memperkuat peringatannya diambil dari pokok yang sama dengan pokok-pokok sebelumnya, yakni berbagai celaka yang mengikuti dosa ini.

1). Dosa ini merusak nama baik. “Engkau akan menyerahkan keremajaanmu kepada orang lain (Amsal 5:9; KJV: menyerahkan kehormatan – pen.). Engkau akan menghilangkan keremajaan atau kehormatanmu sendiri. Engkau akan menaruh batu di tangan semua tetanggamu untuk melempari engkau, sebab mereka semua akan mempunyai alasan untuk mempermalukan, merendahkan, dan menginjak-injakmu sebagai orang dungu.” Persundalan merupakan dosa yang membuat manusia menjadi hina dan rendah, dan tidak ada orang dengan akal sehat atau kebajikan yang mau berteman dengan orang yang suka bergaul dengan para pelacur.

2). Dosa ini membuat waktu terbuang percuma, memberikan tahun-tahun umur, tahun-tahun keremajaan, puncak kehidupan manusia, kepada orang kejam, “nafsu rendah itu, yang dengan teramat keji berjuang melawan jiwa, pelacur rendahan yang berpura-pura mencintaimu, tetapi sebenarnya mengincar kehidupan yang berharga.” Tahun-tahun yang seharusnya diserahkan demi kehormatan Allah yang pengasih itu telah dihabiskan untuk melayani dosa yang keji.

3). Dosa ini menghancurkan harta milik (Amsal 5:10): Orang lain akan mengenyangkan diri dengan kekayaanmu, kekayaan yang telah dipercayakan kepada kamu sebagai bendahara keluarga. Hasil susah payahmu yang seharusnya merupakan persediaan bagi rumahmu sendiri, akan berada di rumah orang yang tidak dikenal, yang tidak berhak dan tidak akan pernah berterima kasih kepadamu.”

4). Dosa ini merusak kesehatan sehingga mempersingkat umur orang: Daging dan tubuhmu akan habis binasa (Amsal 5:11). Nafsu kenajisan bukan saja berjuang melawan jiwa yang diabaikan dan tidak diurus oleh orang berdosa, tetapi juga berjuang melawan tubuh yang begitu dimanjakan dan ingin disenangkan olehnya. Nafsu ini begitu mengecoh, bodoh, dan merugikan. Orang-orang yang dengan rakus menyerahkan diri untuk melakukan hal najis, sebenarnya menyia-nyiakan tenaga mereka, melempar diri ke dalam kelemahan, dan sering kali mengidap berbagai penyakit menjijikkan yang mempersingkat hidup mereka. Mereka menjadi korban yang mengenaskan dari hawa nafsu yang keji.

5). Dosa ini akan memenuhi pikiran dengan kengerian apabila hati nuraninya terusik. “Meskipun engkau sekarang bergembira, mabuk dalam hawa nafsumu, tetapi pada akhirnya engkau akan mengeluh (Amsal 5:11). Engkau akan disibukkan dengan penyesalan dan menyerah kalah serta tersiksa dalam perenunganmu, ketika dosa diperhadapkan kepadamu dalam wajah aslinya.”

Cepat atau lambat, dosa itu akan membawa dukacita, ketika jiwamu direndahkan dan dibawa kepada penyesalan, atau ketika daging dan tubuhmu habis binasa, baik melalui penyakit, saat hati nurani menampar wajah orang berdosa, maupun melalui kubur. Ketika tubuh membusuk di dalam kubur, jiwa pun meronta dalam siksaan neraka, tempat ulat tidak akan binasa, dan perkataan “Anak, ingatlah,” senantiasa berkumandang. Di sini Salomo mengajak orang berdosa yang telah insaf untuk menegur diri sendiri dan mengecam kebodohannya, supaya ia bisa meratapinya dengan pilu.

Pertama, karena ia tidak sudi diubahkan, ia juga tidak suka diberi tahu. Ia tidak tahan diajar menunaikan kewajiban (betapa aku bukan saja benci pada disiplin saat dididik, tetapi juga didikan itu sendiri, meskipun semuanya benar dan baik!), atau diberi tahu tentang kesalahan-kesalahannya – hatiku menolak teguran (Amsal 5:12).

Mau tidak mau ia harus mengakui bahwa orang-orang yang bertugas mendidik dia, yakni orang tua dan pendetanya, telah mengerjakan bagian mereka. Mereka inilah guru-gurunya. Mereka telah mengajar serta memberinya nasihat dan peringatan (Amsal 5:13). Namun, dengan malu dan bingung ia mengucapkan kata-kata itu, sekaligus membenarkan Allah di dalam semua penderitaan yang dialaminya. Ia tidak mendengarkan suara guru-gurunya, sebab ia memang tidak pernah mengarahkan telinganya kepada pengajar-pengajarnya, tidak pernah mengindahkan apa yang mereka katakan ataupun mengakui pengaruhi-Nya.

Perhatikanlah, orang-orang yang telah menerima pendidikan yang baik dan tidak berbuat sesuai dengan pendidikan tersebut, harus mempertanggungjawabkan banyak hal di kemudian hari. Orang-orang yang sekarang tidak mau mengingat apa yang telah diajarkan kepada mereka dan menyesuaikan diri dengan pengajaran itu, akan diingatkan bahwa hal ini memperparah dosa mereka, yang akhirnya berakibat dengan kehancuran mereka.

Kedua, bahwa dengan melakukan dosa itu berkali-kali, kebiasaan ini akan begitu berakar dan menetap hingga hatinya tetap bertekad untuk melakukannya (Amsal 5:14): Aku nyaris terjerumus ke dalam tiap malapetaka di tengah-tengah jemaah dan perkumpulan. Pada waktu ia datang ke tempat ibadah atau ke halaman Bait Suci untuk menyembah Allah bersama orang Israel yang lain, hatinya yang najis itu sarat dengan pikiran dan hasrat asusila, sedangkan matanya penuh dengan perzinahan. Rasa hormat terhadap tempat, orang-orang lain, dan kegiatan yang sedang berlangsung, tidak mampu mengendalikan dirinya. Bahkan di tempat itu ia sama jahat dan kejinya seperti di tempat mana pun.


Bagi hati nurani yang telah disadarkan, tidak ada dosa yang tampak lebih mengerikan selain pencemaran hal-hal yang kudus. Selain itu, tidak ada yang bisa membuat dosa itu bertambah lebih parah lagi selain pencemaran tempat di mana kita dihormati dan mendapat keuntungan di dalamnya, yakni di tengah-tengah jemaat dan perhimpunan ibadah. Zimri dan Kozbi mengakui kekejian mereka di hadapan Musa dan segenap umat Israel (Bilangan 25:6).

Perzinahan di dalam hati sama terbukanya bagi Allah, dan pasti sangat menjijikkan bagi-Nya ketika kita datang mendekat kepada-Nya sambil melakukan kegiatan ibadah. Aku terjerumus ke dalam tiap malapetaka yang bertentangan dengan para pejabat, hakim, dan perkumpulan ibadah mereka.

Begitulah yang dipahami oleh beberapa orang. Ada pula yang merujuk kepada parahnya hukuman, bukan kepada parahnya dosa: “Aku telah dijadikan contoh, suatu tontonan bagi dunia. Aku nyaris berada di bawah seluruh hukuman berat Allah di tengah-tengah jemaah dan perkumpulan umat Israel, serta dijadikan sebagai sebuah tanda. Aku berdiri di tengah-tengah jemaah sambil berteriak minta tolong” (Ayub 30:28). Biarlah kita menghindari apa yang akhirnya akan disesali sejadi-jadinya.
Next Post Previous Post