5 Mitos tentang John Calvin yang Perlu Anda Ketahui

 

5 Mitos tentang John Calvin yang Perlu Anda Ketahui

Pendahuluan

John Calvin (1509–1564) adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah gereja dan teologi Reformed. Pemikirannya telah membentuk banyak aspek dari tradisi Protestan, terutama dalam hal pemahaman tentang kedaulatan Allah, anugerah, dan keselamatan.

Namun, ada banyak kesalahpahaman tentang Calvin dan ajarannya. Beberapa orang menggambarkannya sebagai seorang diktator teokratik yang kejam, sementara yang lain menuduhnya sebagai pencetus fatalisme tanpa harapan. Mitos-mitos ini sering kali berasal dari kesalahpahaman atau distorsi sejarah.

Artikel ini akan membahas lima mitos paling umum tentang John Calvin dan menjelaskan kebenaran berdasarkan sumber-sumber sejarah dan teologi Reformed.

Mitos 1: John Calvin adalah Diktator yang Menguasai Jenewa dengan Tangan Besi

Mitosnya:

Banyak yang percaya bahwa Calvin adalah penguasa absolut di Jenewa, memerintah dengan keras dan menindas siapa saja yang menentang pandangannya. Gambaran ini sering digunakan oleh para kritikus untuk melabelinya sebagai seorang tiran agama.

Fakta Sejarah:

Realitanya, Calvin bukanlah penguasa Jenewa, baik secara politik maupun gerejawi. Ketika ia tiba di Jenewa pada tahun 1536, ia hanyalah seorang pendatang yang diminta membantu reformasi kota. Namun, pada tahun 1538, ia diusir dari Jenewa karena banyak orang tidak setuju dengan reformasi yang ia ajarkan.

Ketika akhirnya kembali ke Jenewa pada tahun 1541, ia tetap bukan penguasa politik. Kota tersebut dipimpin oleh Dewan Kota yang memiliki otoritas lebih besar dibanding Calvin dalam urusan pemerintahan. Calvin berperan sebagai pengajar dan gembala gereja, bukan sebagai seorang diktator.

Selain itu, Calvin sering mengalami oposisi yang kuat di Jenewa, terutama dari kelompok Libertin yang menolak disiplin gereja. Jika Calvin benar-benar seorang diktator, ia tidak akan mengalami banyak tantangan dari penduduk Jenewa sendiri.

Kesimpulan: Calvin tidak pernah menjadi pemimpin politik Jenewa, tetapi hanya seorang teolog dan pendeta yang berusaha menerapkan reformasi gereja.

Mitos 2: Calvin Bertanggung Jawab atas Eksekusi Servetus

Mitosnya:

Calvin secara langsung bertanggung jawab atas eksekusi Michael Servetus, seorang dokter dan teolog yang dituduh bidah, dan karena itu, Calvin dianggap sebagai seorang pembunuh kejam.

Fakta Sejarah:

Kasus Servetus sering dijadikan bukti bahwa Calvin adalah seorang fanatik yang tidak toleran. Namun, fakta sejarah menunjukkan bahwa Calvin tidak memiliki wewenang untuk mengeksekusi siapa pun.

Servetus ditangkap di Jenewa pada tahun 1553 karena mengajarkan doktrin anti-Trinitarian. Saat itu, hampir semua negara Eropa—baik Katolik maupun Protestan—menganggap ajaran bidah sebagai pelanggaran serius yang dapat dihukum mati.

Calvin memang percaya bahwa bidah harus dihukum, tetapi keputusan akhir tetap ada di tangan Dewan Kota Jenewa, bukan Calvin. Bahkan, beberapa wilayah Protestan lainnya seperti Zurich dan Bern juga setuju bahwa Servetus harus dihukum mati.

Selain itu, Calvin sebenarnya telah memperingatkan Servetus agar tidak datang ke Jenewa karena ia tahu bahwa pandangan Servetus dapat membahayakan dirinya.

Kesimpulan: Calvin tidak secara langsung mengeksekusi Servetus; hukuman itu dijatuhkan oleh otoritas sipil sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat itu.

Mitos 3: Calvin Mengajarkan Fatalisme dan Menolak Kehendak Bebas

Mitosnya:

Teologi Calvin dianggap sebagai bentuk fatalisme, yaitu bahwa segala sesuatu telah ditentukan sebelumnya tanpa ada peran dari manusia. Dalam pandangan ini, manusia hanyalah robot tanpa kehendak bebas.

Fakta Sejarah:

Calvin memang mengajarkan doktrin predestinasi, tetapi ini bukanlah fatalisme. Fatalisme adalah pandangan bahwa segala sesuatu terjadi secara mekanis dan tanpa tujuan, sedangkan predestinasi dalam teologi Reformed menyatakan bahwa Allah secara aktif bekerja dalam sejarah untuk menggenapi rencana keselamatan-Nya.

Calvin tidak mengajarkan bahwa manusia adalah robot tanpa kehendak. Ia menjelaskan bahwa manusia memiliki kehendak bebas, tetapi kehendak itu telah terpengaruh oleh dosa sehingga manusia secara alami tidak dapat memilih Allah tanpa anugerah-Nya.

Dalam Institutes of the Christian Religion, Calvin menulis:

"Manusia memang memiliki kehendak bebas, tetapi kehendaknya telah diperbudak oleh dosa sehingga ia tidak dapat memilih kebaikan tanpa pertolongan anugerah Allah."

Kesimpulan: Calvin tidak mengajarkan fatalisme, tetapi menekankan bahwa anugerah Allah adalah satu-satunya jalan bagi manusia untuk berbalik kepada-Nya.

Mitos 4: Calvin Menolak Penginjilan dan Misi

Mitosnya:

Beberapa orang mengklaim bahwa karena Calvin percaya pada doktrin pemilihan, maka ia tidak melihat perlunya penginjilan atau pengutusan misionaris.

Fakta Sejarah:

Salah satu tuduhan paling keliru tentang Calvin adalah bahwa ia tidak peduli dengan penginjilan. Faktanya, gereja-gereja Reformed di bawah pengaruh Calvin sangat aktif dalam penginjilan dan misi.

Contoh nyata dari semangat misioner Calvin adalah bagaimana ia mengutus misionaris ke Brasil pada tahun 1556 untuk memberitakan Injil kepada penduduk asli. Selain itu, gereja-gereja Reformed di Prancis yang terinspirasi oleh ajaran Calvin terus berkembang meskipun mengalami penganiayaan berat.

Calvin juga menekankan pentingnya pemberitaan Injil dalam tulisannya, seperti dalam Institutes:

"Injil harus dikhotbahkan kepada semua orang, karena hanya dengan demikian keselamatan dapat dinyatakan kepada mereka yang dipilih oleh Allah."

Kesimpulan: Calvin sangat mendukung penginjilan dan misi, meskipun ia percaya bahwa keselamatan adalah hasil dari anugerah Allah.

Mitos 5: Calvin Hanya Fokus pada Doktrin, Bukan Kehidupan Kristen

Mitosnya:

Calvin sering dianggap sebagai seorang akademisi teologi yang hanya peduli dengan doktrin dan tidak tertarik pada kehidupan rohani atau kasih dalam praktik.

Fakta Sejarah:

Sebaliknya, Calvin sangat peduli dengan kehidupan Kristen yang saleh. Ia menulis banyak tentang pentingnya doa, pertumbuhan rohani, dan kasih kepada sesama.

Dalam pengajaran Calvin, kehidupan Kristen adalah hasil dari hubungan pribadi dengan Kristus dan bukan hanya sekadar memahami doktrin yang benar. Dalam Institutes, Calvin menulis:

"Seluruh kehidupan orang Kristen adalah latihan dalam kesalehan."

Calvin juga aktif dalam membantu orang miskin, mengorganisir bantuan sosial di Jenewa, dan mendukung pengungsi yang dianiaya karena iman mereka.

Kesimpulan: Calvin bukan hanya seorang teolog, tetapi juga seorang gembala yang peduli dengan kehidupan rohani jemaatnya.

Kesimpulan

John Calvin sering disalahpahami dan digambarkan secara tidak akurat oleh banyak orang. Namun, ketika kita melihat sejarah dengan lebih jujur, kita menemukan bahwa:

✅ Calvin bukan seorang diktator, tetapi seorang pendeta yang berjuang untuk reformasi gereja.
✅ Ia tidak secara langsung bertanggung jawab atas eksekusi Servetus.
✅ Ia tidak mengajarkan fatalisme, tetapi menekankan anugerah Allah.
✅ Ia mendukung penginjilan dan misi.
✅ Ia sangat peduli dengan kehidupan rohani umat Kristen.

Sebagai salah satu teolog terbesar dalam sejarah Gereja, pengaruh Calvin tetap relevan hingga hari ini. Ajarannya tentang kasih karunia dan kedaulatan Allah terus menginspirasi banyak orang percaya di seluruh dunia.

Soli Deo Gloria!

Next Post Previous Post