Markus 14:53-65: Keadilan atau Ketidakadilan? Pengadilan Yesus oleh Sanhedrin

Pendahuluan
Pengadilan Yesus oleh Sanhedrin merupakan salah satu peristiwa paling kontroversial dalam sejarah Alkitab. Peristiwa ini tidak hanya menunjukkan ketidakadilan manusia, tetapi juga mengungkapkan rencana penebusan Allah melalui penderitaan Kristus. Dalam Markus 14:53-65, kita melihat bagaimana Yesus diadili secara tidak adil oleh pemuka agama Yahudi, yang mengabaikan hukum mereka sendiri demi menyingkirkan-Nya.
Dalam teologi Reformed, peristiwa ini sering dipahami dalam kerangka kedaulatan Allah, kemuliaan Kristus dalam penderitaan, dan penggenapan nubuatan Perjanjian Lama. Artikel ini akan mengeksplorasi eksposisi Markus 14:53-65 dengan perspektif dari beberapa pakar teologi Reformed, seperti John Calvin, R.C. Sproul, dan Herman Bavinck.
1. Konteks Pengadilan Yesus
a. Situasi Politik dan Keagamaan
Pada zaman Yesus, bangsa Israel berada di bawah kekuasaan Romawi, tetapi tetap memiliki sistem keagamaan mereka sendiri yang dikuasai oleh kaum Sanhedrin, yaitu dewan agama yang terdiri dari imam-imam kepala, tua-tua, dan ahli-ahli Taurat (Markus 14:53). Sanhedrin memiliki otoritas untuk mengadili perkara agama, tetapi tidak berhak menjatuhkan hukuman mati tanpa persetujuan Roma.
Pakar teologi Reformed, Herman Bavinck, menyoroti bahwa persidangan ini bukanlah pengadilan yang sah menurut hukum Yahudi karena dilakukan pada malam hari dan dipenuhi dengan kesaksian palsu. Hal ini menunjukkan betapa jauh pemuka agama telah menyimpang dari kebenaran demi kepentingan mereka sendiri.
2. Kesaksian Palsu terhadap Yesus (Markus 14:55-59)
"Para imam kepala dan seluruh Mahkamah Agama terus mencari kesaksian yang melawan Yesus supaya mereka dapat membunuh-Nya, tetapi mereka tidak menemukan apa-apa." (Markus 14:55)
a. Motif Para Pemimpin Yahudi
Sanhedrin bukan mencari kebenaran, tetapi mencari alasan untuk membunuh Yesus. John Calvin dalam komentarnya tentang ayat ini menekankan bahwa hati manusia yang dikuasai dosa akan melakukan apa pun untuk menolak kebenaran, termasuk menggunakan kebohongan untuk menutupi kepalsuan mereka.
b. Kesaksian yang Tidak Konsisten
Markus mencatat bahwa banyak orang memberi kesaksian palsu, tetapi kesaksian mereka tidak sesuai satu sama lain (ayat 56). Dalam hukum Yahudi, sebuah tuduhan hanya bisa diterima jika ada dua atau tiga saksi yang sejalan (Ulangan 19:15), tetapi persidangan ini tidak memiliki saksi yang kredibel.
3. Keheningan Yesus dan Pengakuan Mesias (Markus 14:60-62)
"Apakah Engkau Mesias, Anak dari yang Terpuji?" (Markus 14:61)
"Akulah Dia, dan kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang dengan awan-awan di langit." (Markus 14:62)
a. Keheningan Yesus
Ketika ditanya tentang tuduhan terhadap-Nya, Yesus tetap diam (ayat 61). Ini menggenapi Yesaya 53:7, yang menubuatkan bahwa Sang Hamba Tuhan akan seperti domba yang dibawa ke pembantaian tanpa membuka mulut-Nya. R.C. Sproul menjelaskan bahwa keheningan Yesus adalah tindakan ilahi yang menunjukkan bahwa Dia tidak perlu membela diri karena Dia adalah kebenaran itu sendiri.
b. Pernyataan Yesus sebagai Mesias
Ketika ditanya secara langsung apakah Dia adalah Mesias, Yesus menjawab dengan "Akulah Dia", mengutip Daniel 7:13-14, di mana Anak Manusia datang dengan kemuliaan. Pernyataan ini jelas menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias dan Tuhan. Ini menjadi dasar bagi pemimpin Yahudi untuk menuduh-Nya menghujat Allah.
4. Penghukuman Yesus dan Kekerasan Fisik (Markus 14:63-65)
"Imam Besar merobek jubahnya, dan berkata, 'Mengapa kita masih perlu saksi?'" (Markus 14:63)
a. Imam Besar Merobek Jubahnya
Dalam Perjanjian Lama, seorang imam besar dilarang merobek jubahnya (Imamat 21:10), tetapi di sini Imam Besar melanggar hukum tersebut sebagai bentuk kemarahan pura-pura. John MacArthur menekankan bahwa tindakan ini sebenarnya adalah simbol dari berakhirnya sistem keimamatan Yahudi dan dimulainya imamat Kristus.
b. Kekerasan terhadap Yesus
"Beberapa orang mulai meludahi Dia, dan menutup muka-Nya, dan meninju-Nya." (Markus 14:65)
Yesus diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi, yang menggenapi Yesaya 50:6, "Aku memberi punggungku kepada orang-orang yang memukul aku, dan pipiku kepada mereka yang mencabut janggutku; Aku tidak menyembunyikan mukaku terhadap penghinaan dan ludah."
Herman Ridderbos, seorang teolog Reformed, mencatat bahwa penderitaan Yesus dalam pengadilan ini adalah puncak dari penolakan Israel terhadap Allah. Mereka bukan hanya menolak seorang nabi, tetapi mereka menolak Allah yang telah datang dalam daging.
5. Teologi Reformed dalam Pengadilan Yesus
a. Kedaulatan Allah dalam Penderitaan Kristus
Dalam perspektif teologi Reformed, peristiwa ini tidak terjadi di luar kendali Allah. John Calvin menekankan dalam Institutes of the Christian Religion bahwa Allah dalam kedaulatan-Nya telah menetapkan penderitaan Kristus sebagai bagian dari rencana keselamatan-Nya.
b. Keadilan Allah vs. Ketidakadilan Manusia
Yesus, yang adalah Hakim yang Adil, harus mengalami ketidakadilan terbesar dalam sejarah manusia. R.C. Sproul menulis bahwa pengadilan ini adalah cerminan dari kebobrokan hati manusia yang telah jatuh dalam dosa, tetapi melalui ketidakadilan ini, Allah justru sedang melaksanakan keadilan sejati melalui salib Kristus.
Kesimpulan
Pengadilan Yesus dalam Markus 14:53-65 adalah contoh terbesar dari ketidakadilan manusia, tetapi pada saat yang sama, itu adalah bagian dari rencana Allah yang penuh kasih untuk menebus dunia. Melalui penderitaan-Nya, Kristus membuktikan identitas-Nya sebagai Mesias, menggenapi nubuat Perjanjian Lama, dan menyediakan jalan keselamatan bagi umat-Nya.
Sebagai orang percaya, kita diingatkan bahwa Kristus telah mengalami penghinaan dan penderitaan yang paling besar agar kita dapat menerima pengampunan dan hidup kekal. Kiranya peristiwa ini menguatkan iman kita dan memperdalam penghargaan kita terhadap karya keselamatan yang digenapi di dalam Yesus Kristus. Soli Deo Gloria!