Tanggapan terhadap Merit dan Musa: Kritik terhadap Doktrin Republikasi ala Meredith Kline

Pendahuluan
Dalam diskusi teologi Reformed, doktrin Republikasi (Republikanisme Kovenantal) yang diajukan oleh Meredith G. Kline menjadi salah satu isu yang cukup kontroversial. Doktrin ini menyatakan bahwa Perjanjian Musa adalah suatu bentuk pengulangan (republication) dari Perjanjian Perbuatan yang diberikan kepada Adam sebelum kejatuhan. Dalam perspektif ini, hukum Taurat yang diberikan kepada Israel tidak hanya sebagai aturan etika dan ibadah, tetapi juga berfungsi sebagai syarat yang mendasarkan berkat dan kutukan berdasarkan ketaatan mereka terhadap hukum.
Banyak teolog Reformed yang memberikan tanggapan kritis terhadap doktrin ini. Beberapa di antaranya adalah John Murray, Richard B. Gaffin Jr., Herman Bavinck, dan Cornelius Van Til. Artikel ini akan mengeksplorasi kritik terhadap doktrin Republikasi, dengan membahas secara khusus teologi kovenantal, hukum Musa dalam konteks keselamatan, dan implikasi dari doktrin ini terhadap pemahaman akan anugerah dan keselamatan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
1. Apa Itu Doktrin Republikasi dalam Teologi Kline?
Meredith Kline berargumen bahwa Perjanjian Sinai bersifat bersyarat dan berfungsi sebagai pengulangan dari Perjanjian Perbuatan (Covenant of Works) yang diberikan kepada Adam di taman Eden. Dalam pandangannya, hukum Musa membuka kemungkinan bagi Israel untuk memperoleh berkat berdasarkan ketaatan mereka, mirip dengan bagaimana Adam seharusnya memperoleh kehidupan kekal melalui kepatuhan terhadap perintah Allah.
Konsep utama dalam doktrin Republikasi meliputi:
-
Perjanjian Musa sebagai Perjanjian Perbuatan – Di Gunung Sinai, Israel masuk dalam perjanjian yang bersyarat, di mana mereka akan diberkati jika menaati hukum dan dikutuk jika melanggarnya (Imamat 26, Ulangan 28).
-
Ketaatan sebagai Syarat Kehidupan – Kline melihat hukum Taurat sebagai mekanisme yang mengikat Israel dalam sistem meritokratis (berbasis pahala).
-
Kaitan dengan Kristus – Kline berargumen bahwa hukum Musa menunjukkan bahwa hanya Kristus yang bisa memenuhi tuntutan hukum ini, sehingga Republikasi menyoroti perlunya seorang Perwakilan Perjanjian yang sempurna.
Namun, pandangan ini menuai kritik dari banyak teolog Reformed karena tampak bertentangan dengan ajaran anugerah yang konsisten dalam seluruh Kitab Suci.
2. Kritik terhadap Doktrin Republikasi
a. Inkonsistensi dengan Teologi Kovenantal Reformed
Salah satu kritik utama terhadap Republikasi datang dari John Murray, yang menolak pandangan bahwa Perjanjian Musa adalah pengulangan dari Perjanjian Perbuatan. Menurut Murray, hukum Musa tidak boleh dipisahkan dari anugerah, karena meskipun ada elemen berkat dan kutukan, inti dari Perjanjian Sinai tetap merupakan bagian dari Perjanjian Anugerah.
Dalam bukunya The Covenant of Grace, Murray menulis:
"Hukum Taurat tidak pernah dimaksudkan sebagai sarana memperoleh keselamatan berdasarkan usaha manusia, tetapi merupakan ekspresi dari hubungan perjanjian yang didasarkan pada anugerah Allah."
Dengan kata lain, ketaatan kepada hukum di dalam Perjanjian Lama bukanlah sarana untuk mendapatkan keselamatan, melainkan bukti dari hubungan perjanjian yang sudah ada. Ini bertentangan dengan pemikiran Kline yang melihat Perjanjian Musa sebagai sistem meritokrasi.
b. Kesalahan dalam Memahami Peran Hukum Taurat
Herman Bavinck dalam Reformed Dogmatics menjelaskan bahwa hukum Taurat memiliki tiga fungsi utama:
-
Sebagai cermin dosa – Hukum Taurat menyatakan standar kekudusan Allah dan menunjukkan kebutuhan akan anugerah-Nya (Roma 3:20).
-
Sebagai pemandu moral – Hukum Taurat tetap berlaku sebagai prinsip etika bagi umat Allah.
-
Sebagai petunjuk kepada Kristus – Hukum Taurat tidak dapat menyelamatkan, tetapi mengarahkan manusia kepada Kristus yang menggenapi hukum itu (Galatia 3:24).
Doktrin Republikasi tampaknya menyepelekan aspek anugerah dalam hukum Taurat dan terlalu menekankan aspek hukum sebagai sarana memperoleh berkat atau kutukan berdasarkan ketaatan manusia.
c. Distorsi terhadap Relasi Antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
Richard B. Gaffin Jr., dalam diskusi mengenai hukum dan anugerah, berpendapat bahwa pemahaman Kline mengenai Perjanjian Musa tidak selaras dengan teologi keseluruhan Alkitab. Dia menyatakan bahwa:
"Jika Perjanjian Musa adalah Perjanjian Perbuatan, maka kita akan menghadapi dilema: Apakah umat Perjanjian Lama diselamatkan berdasarkan hukum dan usaha mereka sendiri? Jika tidak, maka bagaimana anugerah Allah bekerja dalam konteks Perjanjian Lama?"
Paulus dalam Roma 4:3-5 menjelaskan bahwa Abraham dibenarkan bukan oleh hukum, tetapi oleh iman. Jika keselamatan dalam Perjanjian Lama selalu didasarkan pada anugerah, maka sulit menerima konsep bahwa di zaman Musa, Allah tiba-tiba memperkenalkan sistem berbasis pahala untuk memperoleh berkat perjanjian.
d. Implikasi terhadap Anugerah dan Keselamatan
Salah satu masalah terbesar dengan Republikasi adalah bagaimana doktrin ini dapat mengaburkan pemahaman tentang keselamatan oleh anugerah saja (sola gratia). Jika Perjanjian Musa adalah Perjanjian Perbuatan, maka akan timbul pertanyaan:
-
Apakah umat Israel diharapkan mendapatkan kehidupan kekal melalui ketaatan mereka?
-
Jika demikian, bagaimana hal ini konsisten dengan keselamatan oleh iman dalam seluruh Kitab Suci?
Cornelius Van Til dalam analisisnya mengenai teologi perjanjian menyatakan bahwa sejak kejatuhan Adam, tidak ada perjanjian yang didasarkan pada usaha manusia, tetapi semuanya bergantung pada anugerah Allah. Ini berarti bahwa Perjanjian Musa tidak mungkin menjadi pengulangan dari Perjanjian Perbuatan, karena semua umat Allah sejak kejatuhan Adam hidup berdasarkan perjanjian anugerah.
3. Bagaimana Seharusnya Kita Memahami Perjanjian Musa?
Dalam menjawab doktrin Republikasi, kita perlu kembali kepada pemahaman Reformed yang klasik mengenai hukum Taurat dalam konteks Perjanjian Anugerah. Beberapa poin utama yang harus diperhatikan adalah:
-
Hukum Taurat sebagai ekspresi kasih karunia Allah
-
Keluaran 20:2 menunjukkan bahwa pemberian hukum didasarkan pada anugerah penyelamatan:
"Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan."
-
-
Ketaatan sebagai respon iman, bukan sebagai syarat keselamatan
-
Dalam Ibrani 11, kita melihat bahwa para pahlawan iman di Perjanjian Lama dibenarkan oleh iman, bukan oleh perbuatan hukum Taurat.
-
-
Kristus sebagai penggenapan hukum, bukan sekadar model meritokrasi
-
Matius 5:17 – "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya."
-
Ini menunjukkan bahwa hukum Taurat memiliki tujuan untuk menuntun kepada Kristus, bukan untuk memberikan kesempatan kepada manusia memperoleh keselamatan melalui usaha sendiri.
-
Kesimpulan: Menolak Republikasi dan Mempertahankan Anugerah
Doktrin Republikasi yang diajukan oleh Meredith Kline memiliki banyak kelemahan dalam konteks teologi kovenantal, hukum Taurat, dan keselamatan oleh anugerah. Para teolog Reformed seperti John Murray, Herman Bavinck, dan Richard Gaffin menunjukkan bahwa doktrin ini bertentangan dengan pemahaman klasik tentang Perjanjian Anugerah.
Sebagai orang percaya, kita harus menjaga kemurnian Injil anugerah dan menolak pandangan yang cenderung membawa elemen meritokrasi dalam keselamatan. Keselamatan selalu berdasarkan iman kepada janji Allah, bukan ketaatan kepada hukum Taurat. Kiranya kita semakin teguh dalam pemahaman bahwa Kristus adalah satu-satunya Penggenap hukum Taurat, dan hanya melalui Dia kita memperoleh kehidupan kekal. Soli Deo Gloria!