Keteguhan Mengikut Kristus: Lukas 9:62

Pendahuluan
Dalam dunia yang penuh distraksi, panggilan untuk mengikut Kristus secara total sering menjadi tantangan. Lukas 9:62 menyampaikan salah satu pernyataan Yesus yang tajam dan menuntut: pengikut Kristus tidak boleh menoleh ke belakang. Ayat ini sering dikutip sebagai simbol dari kesungguhan dan komitmen dalam hidup Kristen.
Namun, apa sebenarnya makna dari pernyataan Yesus ini? Mengapa "menoleh ke belakang" membuat seseorang “tidak layak” bagi Kerajaan Allah? Artikel ini mengeksplorasi Lukas 9:62 berdasarkan perspektif teologi Reformed, termasuk penafsiran dari beberapa tokoh seperti John Calvin, R.C. Sproul, John MacArthur, dan Martyn Lloyd-Jones. Mari kita telusuri ayat ini dalam konteksnya dan pahami implikasi teologisnya.
1. Konteks Historis dan Naratif Lukas 9:62
Lukas 9 merupakan bagian penting dalam Injil Lukas di mana identitas dan misi Yesus mulai dijelaskan lebih dalam. Perikop ini menampilkan beberapa percakapan antara Yesus dan calon pengikut-Nya. Dalam ayat-ayat sebelumnya (Lukas 9:57-61), kita menemukan tiga respon berbeda dari orang-orang yang ingin mengikut Yesus atau diundang oleh-Nya. Namun, setiap respons menunjukkan ketidaksiapan untuk berkomitmen secara penuh.
Yesus memberikan pernyataan dalam Lukas 9:62 sebagai tanggapan atas seseorang yang berkata ingin mengikut-Nya, tetapi pertama-tama ingin berpamitan dengan keluarganya. Meskipun permintaan itu terdengar masuk akal secara manusiawi, Yesus menunjukkan bahwa panggilan untuk mengikut Dia melebihi segala ikatan duniawi, termasuk keluarga.
2. Analisis Bahasa dan Gambar Pertanian
Gambaran "meletakkan tangan pada bajak" mengacu pada pekerjaan membajak ladang yang membutuhkan fokus dan ketekunan. Seorang petani yang menoleh ke belakang saat membajak akan menghasilkan alur yang bengkok, bahkan bisa merusak pekerjaan itu sendiri. Ini menunjukkan bahwa disiplin dan ketekunan adalah mutlak dalam kehidupan rohani.
Menurut pakar bahasa Yunani Reformed, seperti William Hendriksen, kata "menoleh ke belakang" (Yunani: epiblepō eis ta opisō) menyiratkan keinginan atau keterikatan emosional terhadap masa lalu. Ini bukan sekadar gerakan fisik, tetapi refleksi dari hati yang belum sepenuhnya menyerahkan diri kepada Kristus.
3. Perspektif Teologi Reformed
A. John Calvin: Totalitas Penyerahan Diri
John Calvin menafsirkan ayat ini sebagai peringatan bahwa mengikut Kristus membutuhkan penyangkalan diri sepenuhnya. Dalam Commentary on a Harmony of the Evangelists, Calvin menulis:
“Kristus menuntut tidak hanya niat awal, tetapi keteguhan yang terus-menerus. Mereka yang mudah tergoda oleh perkara dunia, tidak layak untuk Kerajaan-Nya.”
Bagi Calvin, ini berkaitan erat dengan doktrin ketekunan orang-orang kudus (perseverance of the saints). Seorang yang benar-benar dipilih akan menunjukkan iman yang bertahan, tanpa menoleh kembali kepada dunia.
B. R.C. Sproul: Murid Sejati Tidak Memiliki Plan B
Dalam buku Following Christ, R.C. Sproul mengutip Lukas 9:62 sebagai bagian dari ajaran Kristus yang menuntut murid sejati harus bersedia melepaskan segala sesuatu. Ia menekankan bahwa “murid Kristus tidak berjalan dengan dua pikiran — tidak ada Plan B. Jika seseorang mulai berjalan di jalan salib, maka tidak ada tempat untuk ragu atau nostalgia dunia lama.”
Sproul menyebut ini sebagai panggilan radikal — bukan sekadar meninggalkan dosa, tetapi bahkan hal-hal baik sekalipun jika itu menjadi penghalang bagi komitmen kepada Kristus.
C. John MacArthur: Kristus, Bukan Keluarga, Harus Menjadi Prioritas
Dalam khotbahnya, MacArthur mengomentari Lukas 9:62 dalam konteks murid yang ingin kembali ke rumah:
“It’s not about saying goodbye; it’s about hesitation. It’s about divided loyalty. Jesus will not accept a half-hearted follower.”
MacArthur menegaskan bahwa panggilan untuk mengikut Yesus bukan sekadar pilihan hidup, melainkan penyerahan total kepada otoritas Kristus. Ia melihat ayat ini sebagai ujian terhadap prioritas dan kesetiaan.
D. Martyn Lloyd-Jones: Bahaya Nostalgia Rohani
Martyn Lloyd-Jones, dalam salah satu kotbahnya di Westminster Chapel, memperingatkan tentang “nostalgia rohani” — keinginan untuk kembali ke masa lalu, baik dosa maupun kenyamanan dunia. Ia berkata:
“The Christian life is a forward march. Looking back is doubting God’s calling and providence.”
Dalam teologi Lloyd-Jones, “menoleh ke belakang” adalah tanda kurangnya kepercayaan terhadap kedaulatan Allah dan mengabaikan anugerah yang telah diberikan.
4. Aplikasi Teologis dan Praktis
A. Mengikut Kristus adalah Perjalanan Tanpa Kembali
Yesus tidak pernah menjanjikan kenyamanan dalam mengikuti-Nya. Bahkan, dalam konteks Lukas 9, Ia telah memperingatkan bahwa “Anak Manusia tidak punya tempat untuk meletakkan kepala-Nya.” Maka, pengikut-Nya pun dipanggil untuk hidup tanpa keterikatan dunia.
Teologi Reformed menekankan bahwa iman yang sejati akan bertahan sampai akhir. Maka, mengikut Kristus harus disertai dengan kesungguhan, bukan hanya semangat awal.
B. Hati yang Terbagi Menunjukkan Masalah Iman
Ketika seseorang “menoleh ke belakang”, itu menandakan bahwa hatinya masih terikat pada dunia. Dalam pengertian Reformed, ini adalah tanda bahwa regenerasi belum terjadi secara penuh.
Seperti dikatakan oleh Jonathan Edwards, iman yang sejati akan menghasilkan perubahan hati yang mendalam sehingga dunia tidak lagi menjadi pusat perhatian, tetapi Kristus.
C. Kesetiaan kepada Kristus Melampaui Ikatan Sosial
Keluarga adalah anugerah Tuhan, tetapi tidak boleh lebih tinggi dari panggilan Kristus. Ini bukan berarti Kristus anti keluarga, tetapi bahwa kesetiaan kepada Kristus memiliki supremasi tertinggi. Dalam Reformed ethics, ini disebut dengan “ordo amoris” — urutan kasih yang benar.
5. Perbandingan dengan Tokoh Alkitab
Beberapa tokoh dalam Alkitab menjadi contoh dari prinsip ini:
-
Lot’s wife (Kejadian 19:26) — menoleh ke belakang dan menjadi tiang garam. Ini mencerminkan hati yang masih terikat pada dunia.
-
Elisa (1 Raja-raja 19:21) — membakar bajaknya sebagai simbol bahwa ia tidak akan kembali lagi ke kehidupannya yang lama. Elisa menjadi contoh positif dari Lukas 9:62.
6. Tantangan bagi Gereja Masa Kini
Di era modern, tantangan terbesar bagi orang Kristen bukanlah penganiayaan, melainkan kenyamanan dan kompromi. Banyak orang yang ingin mengikut Kristus, tetapi dengan syarat: “asal saya tidak kehilangan zona nyaman saya.”
Teologi Reformed mengajarkan bahwa iman tanpa komitmen total adalah iman yang mati. Lukas 9:62 menjadi ayat yang menguji motivasi dan hati para pengikut Kristus sejati.
Kesimpulan
Lukas 9:62 bukan sekadar ajakan untuk disiplin. Ini adalah seruan untuk totalitas, untuk tidak melihat ke belakang setelah memulai perjalanan bersama Kristus. Dalam terang teologi Reformed, ayat ini menegaskan:
-
Mengikut Kristus membutuhkan penyerahan total (Calvin)
-
Tidak ada tempat bagi keraguan atau hati yang terbagi (Sproul)
-
Kristus harus menjadi prioritas mutlak (MacArthur)
-
Jangan hidup dalam nostalgia atau penyesalan terhadap dunia lama (Lloyd-Jones)
Kiranya kita yang telah meletakkan tangan pada bajak tidak lagi menoleh ke belakang, tetapi terus maju dalam iman, bertekun sampai akhir, dan menemukan bahwa Kerajaan Allah adalah harta yang tak ternilai.