Kehancuran Niniwe: Nahum 2:7-8

Pendahuluan
Kitab Nahum merupakan salah satu kitab nabi kecil dalam Perjanjian Lama yang penuh dengan gambaran penghakiman Allah atas bangsa yang penuh kekejaman—Niniwe, ibu kota kerajaan Asyur. Dalam Nahum 2:7-8, kita menemukan gambaran puisi nubuat yang kuat dan menyayat hati tentang kejatuhan kota besar ini. Ayat-ayat ini bukan hanya sebuah catatan sejarah profetik, melainkan cerminan karakter Allah yang adil dan mahakuasa.
Artikel ini akan mengupas eksposisi dari Nahum 2:7-8 menurut perspektif teologi Reformed, menggunakan tafsiran klasik dari tokoh-tokoh seperti John Calvin, Charles Spurgeon, dan Matthew Henry, serta mengaitkannya dengan konteks sejarah dan aplikasi spiritual bagi umat percaya masa kini.
Bagian I: Teks dan Konteks Historis
1. Latar Belakang Kitab Nahum
Kitab Nahum ditulis sekitar tahun 650–630 SM, suatu masa ketika Niniwe masih dalam masa kejayaannya. Namun, Allah melalui nabi-Nya sudah menetapkan kehancuran yang akan datang. Nubuat ini digenapi pada tahun 612 SM saat Niniwe dihancurkan oleh koalisi Babel dan Media. Ayat 7-8 secara khusus menggambarkan situasi kacau di dalam kota pada masa pengepungan itu.
2. Nahum 2:7: “Huzab akan dipindahkan dan dibawa...”
Penafsiran nama “Huzab” tidaklah seragam. Dalam beberapa versi Alkitab lain, “Huzab” bukan dianggap sebagai nama orang, melainkan diterjemahkan sebagai frasa yang berarti “telah ditentukan” atau “telah ditetapkan”. John Calvin dalam komentarnya mencatat bahwa frasa ini mungkin menyiratkan bahwa kehancuran ini sudah “diperintahkan” oleh Allah sendiri, yakni sesuatu yang tidak bisa ditolak oleh manusia, termasuk oleh kota sekuat Niniwe.
Namun, dalam versi yang melihat Huzab sebagai tokoh (mungkin ratu Niniwe), gambaran ini menjadi lebih dramatis. Ia dibawa sebagai tawanan, dan para dayangnya—simbol dari kemewahan dan kemegahan istana Asyur—meratap dalam kepanikan.
Matthew Henry berkomentar bahwa gambaran ini menunjukkan betapa besar perubahan yang terjadi ketika penghakiman Allah datang. “Yang sebelumnya dimuliakan, sekarang dihinakan; yang pernah memerintah, kini diperbudak.”
Bagian II: Gambaran Kesedihan dan Kepanikan
1. Ratapan Dayang-dayang
“…dayang-dayangnya akan mengerang seperti suara burung merpati sambil memukul-mukul dadanya.”
Gambaran ini begitu kontras dengan kemegahan Niniwe sebelumnya. Kota ini dikenal karena kekayaan, kekuatan militer, dan kemegahan budaya. Namun dalam sekejap, semuanya runtuh dan berganti dengan suasana duka dan keputusasaan.
Charles Spurgeon, dalam khotbahnya yang mengutip kitab Nahum, menyatakan bahwa “bukan hanya prajurit yang dikalahkan, melainkan juga perempuan-perempuan istana yang menunjukkan bahwa seluruh struktur kota telah runtuh.”
Ratapan seperti burung merpati adalah simbol kesedihan yang dalam dan tidak berdaya. Ini juga menggambarkan bahwa kehancuran bukan hanya militer, tetapi juga emosional dan sosial. Mereka tidak hanya kalah, tapi juga kehilangan harapan.
Bagian III: Nahum 2:8: Niniwe Seperti Telaga yang Mengalir
“Niniwe seperti telaga air, yang airnya mengalir ke luar…”
Kalimat ini menggambarkan keadaan kacau dan tidak terkendali. Ketika pengepungan terjadi, penduduknya melarikan diri ke segala arah. Tidak ada ketertiban, tidak ada kepemimpinan. Semua menyerah pada ketakutan.
Menurut John Calvin, metafora ini menggambarkan “pelarian besar-besaran” yang tidak bisa dihentikan. Teriakan “berhenti! berhenti!” adalah upaya sia-sia untuk mengembalikan ketertiban di tengah kepanikan massal.
Kekacauan ini menyingkapkan realitas bahwa pertahanan manusia adalah rapuh di hadapan penghakiman Allah. Tak ada benteng, tak ada kekayaan, dan tak ada kekuasaan yang mampu melawan keputusan ilahi.
Bagian IV: Signifikansi Teologis dan Simbolis dalam Nahum 2:7-8
1. Simbol Keruntuhan Total
Gambaran yang dipakai dalam Nahum 2:7-8 bukanlah gambaran setengah-setengah. Simbol Huzab, ratapan dayang-dayang, serta telaga air yang bocor semua menyiratkan keruntuhan total, bukan sekadar kekalahan militer biasa.
John Calvin dalam tafsirannya menekankan bahwa ini bukan hanya soal keruntuhan kekuatan politik Asyur, tetapi merupakan ekspresi murka Allah terhadap keangkuhan dan kekejaman. Bagi Calvin, ini adalah peringatan bagi semua bangsa bahwa Allah tidak akan membiarkan dosa berkuasa terus-menerus.
Spurgeon, dalam beberapa refleksi kotbahnya tentang penghakiman Allah, mengingatkan bahwa kota mana pun—bahkan yang tampak paling tidak tergoyahkan—jika tidak bertobat, akan menerima akibat dari ketidaktaatan. Dia menulis, "Ketika air kasih karunia tidak dihiraukan, maka air penghakiman akan mengalir deras tanpa bisa ditahan."
2. Penekanan pada Ketidakberdayaan Manusia
Teriakan “Berhenti! Berhenti!” dalam ayat 8 menggambarkan usaha manusia untuk mengendalikan kekacauan. Tetapi tidak ada yang mendengar. Tidak ada yang berpaling. Ini menunjukkan bahwa ketika Allah mulai menjalankan penghakiman-Nya, manusia benar-benar tidak berdaya.
Pandangan ini ditegaskan oleh teolog Reformed kontemporer seperti R.C. Sproul yang sering menekankan bahwa dalam setiap penghakiman ilahi, terdapat kebenaran penting: bahwa kedaulatan Allah mutlak, dan kebebasan manusia sangat terbatas ketika berhadapan dengan kehendak Allah.
3. Tipologi Kejatuhan dan Penghakiman Akhir
Beberapa teolog Reformed, seperti Geerhardus Vos dan Herman Bavinck, melihat bahwa peristiwa-peristiwa sejarah seperti kehancuran Niniwe mengandung unsur tipologi eskatologis—yakni sebagai gambaran awal dari penghakiman akhir atas dunia.
Dengan demikian, Nahum 2:7-8 tidak hanya berbicara kepada bangsa Asyur, tetapi juga kepada setiap individu dan bangsa yang hidup dalam pemberontakan terhadap Allah. Pesannya jelas: jika Niniwe yang megah saja dapat jatuh, maka siapa pun bisa jatuh bila tidak hidup dalam pertobatan.
Bagian V: Aplikasi Reformed bagi Gereja Masa Kini
1. Keadilan Allah Tidak Pernah Tertidur
Gereja modern sering kali terlalu menekankan kasih Allah hingga melupakan keadilan-Nya. Namun, kitab Nahum dengan jelas menekankan bahwa Allah yang kasih juga adalah Allah yang adil.
Matthew Henry berkata, “Jangan mengira bahwa diamnya Allah adalah kelambanan; sering kali itu adalah kesabaran-Nya yang panjang. Namun, penghakiman pasti datang.”
Bagi gereja masa kini, Nahum 2:7-8 menjadi peringatan bahwa tidak ada dosa kolektif maupun individu yang lolos dari mata Allah. Gereja dipanggil untuk hidup dalam kekudusan, bukan bersandar pada struktur atau kebesaran institusi.
2. Hidup dalam Ketergantungan pada Anugerah, Bukan Kekuasaan Dunia
Niniwe adalah lambang ketergantungan pada kekuatan militer dan kekayaan. Namun semuanya terbukti rapuh. Teologi Reformed menekankan bahwa hanya kasih karunia Allah yang menjadi dasar pengharapan manusia.
Dalam konteks gereja, ini berarti menolak ketergantungan pada popularitas, kekayaan, atau kekuatan sosial untuk membangun Kerajaan Allah. Seperti ditegaskan oleh Calvin, “Gereja harus dibangun bukan di atas kekuatan manusia, melainkan di atas kebenaran Firman Tuhan dan kasih karunia-Nya semata.”
3. Panggilan untuk Bertobat dan Berseru kepada Tuhan
Gambaran dalam ayat 8 tentang teriakan sia-sia—“Berhenti! Berhenti!”—menjadi gambaran menyedihkan dari usaha manusia yang terlambat. Tidak ada jawaban, tidak ada pembalikan.
Itulah sebabnya, gereja dipanggil untuk hidup dalam pertobatan harian dan tidak menunda-nunda panggilan Allah. Dalam khotbahnya, Spurgeon pernah berkata, “Lebih baik kita menangis di hadapan salib sekarang, daripada menjerit tanpa jawaban saat penghakiman tiba.”
Bagian VI: Refleksi Akhir dan Penutup
Nahum 2:7-8 mengajarkan banyak hal. Dari sudut pandang eksposisi Reformed, kita melihat bahwa dua ayat ini mengandung bobot teologis yang dalam, bukan sekadar narasi sejarah. Ayat-ayat ini mengingatkan kita akan:
-
Kedaulatan Allah yang menetapkan waktu dan cara kehancuran kota besar seperti Niniwe.
-
Kerapuhan segala hal duniawi, tidak peduli betapa megahnya tampak dari luar.
-
Pentingnya hidup dalam pertobatan dan ketundukan kepada Allah, karena ketika penghakiman datang, tidak ada satu pun yang dapat menghentikannya.
Gambaran perempuan-perempuan istana yang meratap dan telaga air yang mengalir tanpa kendali menjadi simbol betapa tragisnya kehidupan tanpa perlindungan dari Tuhan. Kota yang dulu ditakuti seluruh dunia, sekarang menjadi reruntuhan.
Akhir dari Niniwe harus menjadi awal dari refleksi kita: apakah kita, baik secara pribadi maupun sebagai komunitas gereja, sedang membangun hidup di atas dasar yang kekal—yaitu Firman Tuhan dan kasih karunia-Nya?
Kiranya Roh Kudus menolong kita untuk merenungkan ayat-ayat ini, bukan hanya untuk memahami masa lalu, tetapi untuk membentuk hidup yang benar di masa kini dan masa depan.
Doa Penutup
Tuhan, Engkaulah Allah yang adil dan berdaulat. Kami belajar dari kehancuran Niniwe bahwa tidak ada tempat aman di luar hadirat-Mu. Ajarlah kami untuk hidup dalam kekudusan, pertobatan, dan ketergantungan penuh pada-Mu. Murnikan gereja-Mu dan pimpinlah kami dalam kebenaran-Mu. Dalam nama Yesus kami berdoa. Amin.