Keluaran 2:15 – Pelarian Musa dan Pemeliharaan Allah

Keluaran 2:15 – Pelarian Musa dan Pemeliharaan Allah

Pendahuluan: Allah yang Bekerja di Tengah Krisis

Keluaran 2:15 mencatat:

“Ketika Firaun mendengar tentang perkara itu, ia berusaha membunuh Musa, tetapi Musa melarikan diri dari hadapan Firaun dan tinggal di tanah Midian; lalu ia duduk di tepi sebuah sumur.”

Ayat ini tampak sederhana, tetapi sesungguhnya menyimpan kedalaman teologis yang luar biasa. Ini bukan sekadar kisah pelarian seorang manusia dari ancaman raja Mesir, melainkan awal dari proses pembentukan seorang pemimpin rohani besar dalam sejarah penebusan. Musa, yang kelak menjadi penyelamat Israel dari perbudakan Mesir, harus lebih dulu belajar menjadi seorang pelarian—karena rencana Allah tidak pernah berjalan di jalur yang manusia pikirkan.

Dalam teologi Reformed, kisah ini menyingkapkan prinsip utama: providensia Allah bekerja bahkan melalui kegagalan manusia untuk menggenapi maksud penebusan-Nya. John Calvin menulis dalam Commentary on Exodus bahwa “Musa tidak diusir oleh kesalahan kebetulan, tetapi dipimpin oleh tangan Allah agar ia dipersiapkan bagi pelayanan besar yang akan datang.”

Kita akan menelusuri bagaimana ayat ini menunjukkan tiga tema penting: (1) pelarian Musa sebagai sarana pemurnian, (2) providensia Allah yang tersembunyi, dan (3) panggilan Allah yang dibentuk melalui penderitaan.

I. Pelarian Musa: Dari Istana ke Padang Belantara

Konteks sebelumnya (Keluaran 2:11–14) menjelaskan bahwa Musa, yang tumbuh di istana Firaun, membunuh seorang orang Mesir yang menindas bangsanya. Meskipun tindakannya dilandasi semangat keadilan, namun dilakukan dengan cara yang salah—menurut hikmat manusia, bukan hikmat Allah.

Ketika Firaun mendengar hal itu, ia berusaha membunuh Musa. Maka Musa melarikan diri ke Midian. Secara manusiawi, ini tampak sebagai kegagalan total: Musa kehilangan posisi, pengaruh, dan tempat tinggal. Tetapi di mata Allah, ini adalah langkah pertama menuju panggilannya yang sejati.

John Calvin menulis,

“Allah menghendaki Musa dibuang ke Midian supaya ia belajar lebih dahulu tunduk sebelum diperintahkan untuk memimpin.”

Calvin melihat pelarian ini bukan sebagai kebetulan, melainkan proses discipline of humility (disiplin kerendahan hati). Sebagai pangeran Mesir, Musa terbiasa dengan kekuasaan; sebagai penggembala di Midian, ia belajar menjadi hamba.

Matthew Henry juga menekankan bahwa pelarian Musa menunjukkan campur tangan Allah dalam mengubah arah hidupnya. Ia berkata:

“Terkadang Allah menghancurkan ambisi kita untuk menyiapkan kita bagi tujuan yang lebih mulia.”

Di padang belantara Midian, Musa kehilangan dunia, tetapi mendapatkan Allah. Ia kehilangan istana, tetapi menemukan persekutuan dengan Tuhan. Dalam istilah Reformed, ini adalah proses effectual calling—panggilan efektif dari Allah yang menarik umat-Nya keluar dari jalan dunia menuju kehendak ilahi.

II. Providensia Allah yang Bekerja dalam Keheningan

Ayat 15 menutup dengan kalimat yang indah namun sarat makna: “lalu ia duduk di tepi sebuah sumur.” Sepintas, ini tampak sepele. Namun dalam Alkitab, sumur sering menjadi simbol pertemuan ilahi—seperti Hagar yang bertemu malaikat di sumur (Kejadian 16:13), dan Yakub yang bertemu Rahel di sumur (Kejadian 29:10). Kini, Musa juga duduk di tepi sumur, tanpa sadar bahwa Allah sedang menyiapkan pertemuan penting yang akan mengubah hidupnya.

Charles Spurgeon dalam khotbahnya Providence of God menulis:

“Tidak ada langkah kaki orang percaya yang terjadi tanpa pengawasan ilahi. Bahkan duduk di tepi sumur pun dapat menjadi bagian dari rencana besar Allah.

Spurgeon melihat momen ini sebagai contoh dari hidden providence—pemeliharaan Allah yang tersembunyi di balik kejadian biasa. Musa tidak tahu bahwa di tempat itu ia akan bertemu dengan keluarga Rehuel (Yitro), yang kelak menjadi bagian penting dari panggilannya.

Teolog Reformed modern seperti R.C. Sproul menjelaskan bahwa providensia bukanlah intervensi acak, tetapi “tangan Allah yang berdaulat, mengatur segala sesuatu menuju tujuan kekal.” Dalam Chosen by God, Sproul menulis:

“Tidak ada hal yang benar-benar kebetulan bagi umat pilihan Allah. Semua yang terjadi, bahkan pelarian dan penderitaan, adalah bagian dari rancangan yang penuh kasih.”

Demikian pula, Musa yang melarikan diri sebenarnya sedang dibawa oleh tangan Allah menuju tempat pemurnian.

III. Musa di Midian: Sekolah Pemuridan yang Sunyi

Midian adalah tempat pengasingan, tetapi juga tempat pembentukan. Selama empat puluh tahun di sana, Musa belajar menjadi gembala domba. Dari menggembalakan kawanan domba, ia dilatih untuk menggembalakan umat Allah.

Calvin mengatakan,

“Allah menunda pengutusan Musa selama empat puluh tahun agar ia belajar bahwa kuasa sejati bukan berasal dari pedang, tetapi dari tongkat iman.”

Padang belantara menjadi tempat Musa belajar kesabaran, ketaatan, dan kebergantungan kepada Allah. B.B. Warfield, teolog Princeton, menyebut pengalaman semacam ini sebagai theological solitude—kesendirian rohani yang dipakai Allah untuk membentuk teolog sejati. Dalam kesunyian Midian, Musa tidak kehilangan arah, tetapi justru mengenal Allah secara pribadi.

Matthew Henry menulis,

“Orang yang dipanggil untuk memimpin umat Allah harus terlebih dahulu belajar untuk duduk diam di bawah tangan Allah.”

Musa duduk di tepi sumur bukan karena menyerah, tetapi karena menunggu. Ia tidak tahu kapan, tetapi ia tahu kepada siapa ia berharap. Dan di tempat itulah, Allah mempertemukannya dengan Zipora, yang menjadi bagian dari kehidupan barunya.

IV. Pelarian yang Dipakai untuk Tujuan Penebusan

Dalam rencana Allah, pelarian Musa bukanlah akhir, melainkan awal. Di Midian, Allah mempersiapkannya untuk kembali ke Mesir dengan kuasa dan panggilan yang sejati. Musa yang dulu bertindak dengan kekuatannya sendiri kini akan dipakai untuk bertindak dalam kekuatan Allah.

Teolog Reformed Herman Bavinck dalam Reformed Dogmatics menjelaskan prinsip ini:

“Allah menebus bukan hanya melalui mukjizat besar, tetapi melalui sejarah hidup yang tampaknya biasa—namun setiap langkahnya diarahkan oleh kedaulatan-Nya.”

Pelarian Musa adalah bagian dari redemptive history—sejarah penebusan yang menunjukkan bahwa Allah setia menuntun umat-Nya bahkan melalui jalan penderitaan. Sama seperti Musa diselamatkan dari tangan Firaun untuk memimpin Israel keluar dari perbudakan, demikian juga Kristus kelak diselamatkan dari pembunuhan Herodes untuk menuntun umat-Nya keluar dari dosa.

R.C. Sproul menghubungkan hal ini dengan prinsip God’s sovereignty in preparation. Ia berkata:

“Allah tidak pernah memanggil seseorang tanpa terlebih dahulu mempersiapkannya melalui pengalaman yang tampaknya bertentangan dengan panggilan itu.”

Musa dipersiapkan bukan di istana, melainkan di padang belantara. Ia menjadi alat penebusan justru karena telah mengalami penderitaan.

V. Aplikasi Teologis dan Praktis bagi Umat Tuhan

  1. Allah Berdaulat atas Setiap Perubahan Hidup
    Seperti Musa, kita sering merasa hidup kita “keluar jalur.” Namun dalam kedaulatan Allah, tidak ada jalur yang salah. Setiap krisis, kehilangan, dan penolakan adalah bagian dari rencana Allah untuk memurnikan iman kita.

  2. Kesendirian Dapat Menjadi Tempat Perjumpaan dengan Allah
    Midian melambangkan tempat sunyi, jauh dari hiruk-pikuk dunia. Dalam kesendirian, kita belajar mendengar suara Allah yang lembut. Banyak hamba Tuhan dibentuk bukan di tengah sorak kemenangan, tetapi di tengah kesunyian penderitaan.

  3. Kegagalan Tidak Mengakhiri Panggilan
    Musa gagal sebagai pembebas dengan caranya sendiri, tetapi Allah memanggilnya kembali empat puluh tahun kemudian dengan kuasa-Nya sendiri. Dalam Reformed theology, ini disebut grace in failure—anugerah di balik kegagalan.

  4. Setiap Sumur dalam Hidup Kita Adalah Tempat Janji Allah
    Seperti Musa yang duduk di tepi sumur tanpa tahu apa yang akan terjadi, demikian juga kita sering menunggu tanpa kepastian. Namun Allah yang sama bekerja di balik setiap sumur kehidupan untuk membawa kita pada panggilan yang sejati.

Kesimpulan: Allah Membentuk Pemimpin-Nya di Tempat Tersembunyi

Keluaran 2:15 menyingkapkan bahwa Allah bekerja bahkan dalam pelarian. Musa kehilangan segala hal yang dunia tawarkan, tetapi ia memperoleh apa yang paling penting—persekutuan dengan Allah yang hidup. Dari istana ke padang belantara, dari pangeran menjadi gembala, dari manusia yang berlari karena takut menjadi hamba yang berjalan karena iman.

Dalam terang Kristus, kisah Musa menunjuk kepada karya penebusan yang sempurna. Kristus sendiri pernah “melarikan diri” ke Mesir untuk diselamatkan dari Herodes, agar kelak membawa keselamatan bagi umat manusia. Pelarian Musa adalah bayangan dari karya Kristus yang lebih besar—Allah yang menebus melalui jalan penderitaan.

Karena itu, biarlah setiap krisis hidup membuat kita semakin bergantung kepada Allah. Sebab di balik semua pelarian dan kesunyian, Allah sedang bekerja untuk mempersiapkan kita menjadi alat dalam rencana penebusan-Nya yang mulia.

“Sebab segala sesuatu bekerja bersama-sama untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Allah, yaitu mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana-Nya.” (Roma 8:28)

Next Post Previous Post