Kisah Para Rasul 7:1–3 Iman, Ketaatan, dan Panggilan Allah

I. PENDAHULUAN: SEBUAH PEMBELAAN IMAN YANG AGUNG
Dalam Kisah Para Rasul 7:1–3 kita berjumpa dengan salah satu momen paling agung dalam sejarah gereja mula-mula: pembelaan iman Stefanus di hadapan Mahkamah Agama Yahudi. Di pasal ini, Stefanus bukan hanya membela diri dari tuduhan palsu, tetapi juga memberikan pencerahan teologis yang luar biasa tentang karya keselamatan Allah yang berlangsung dari Abraham sampai Kristus.
Mari kita baca Kisah Para Rasul 7:1–3:
“Kata Imam Besar: ‘Benarkah semuanya itu?’ Jawab Stefanus: ‘Hai saudara-saudara dan bapa-bapa, dengarkanlah! Allah yang mulia telah menampakkan diri kepada bapa leluhur kita Abraham ketika ia masih di Mesopotamia, sebelum ia menetap di Haran, dan berfirman kepadanya: Keluarlah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan pergilah ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu.’”
Bagian ini kelihatannya sederhana — kisah panggilan Abraham. Namun di baliknya tersimpan pesan rohani yang mendalam tentang iman, ketaatan, dan panggilan Allah yang terus berlanjut dalam sejarah keselamatan. Dalam konteks Reformed, perikop ini menegaskan kedaulatan anugerah Allah dan panggilan efektif-Nya bagi umat pilihan-Nya.
II. KONTEKS HISTORIS DAN TEOLOGIS
1. Latar belakang peristiwa
Kisah Para Rasul 7 adalah jawaban Stefanus atas tuduhan bahwa ia menghujat Bait Allah dan hukum Taurat (Kisah 6:13–14). Dalam pasal ini, Stefanus memberikan tinjauan panjang sejarah Israel, untuk menunjukkan bahwa bangsa Israel sendiri berkali-kali menolak utusan Tuhan — dari Musa hingga akhirnya Kristus.
Dalam Kisah Para Rasul 7:1–3, Stefanus memulai pembelaannya dengan panggilan Abraham, tokoh awal dari sejarah perjanjian Allah dengan umat-Nya. Ini bukan kebetulan. Dengan memulai dari Abraham, Stefanus menunjukkan bahwa iman kepada Allah mendahului hukum Taurat dan Bait Allah. Iman adalah dasar dari hubungan manusia dengan Allah.
2. Tujuan Stefanus
Stefanus hendak mengingatkan para pemimpin Yahudi bahwa mereka telah terjebak dalam formalitas religius dan lupa pada inti dari relasi dengan Allah — yaitu iman dan ketaatan kepada panggilan-Nya. Seperti Abraham, mereka seharusnya meninggalkan “tanah lama” mereka — sistem keagamaan yang kaku — dan berjalan dalam ketaatan iman kepada Allah yang hidup, yang kini menyatakan diri dalam Kristus.
III. PENJELASAN AYAT DEMI AYAT
1. Kisah Para Rasul 7:1 – “Kata Imam Besar: Benarkah semuanya itu?”
Pertanyaan ini membuka pengadilan rohani terhadap Stefanus. Imam besar, yang kemungkinan adalah Kayafas (yang juga memimpin sidang terhadap Yesus), menanyai Stefanus. Pertanyaan ini tidak bertujuan mencari kebenaran, tetapi untuk menjebak.
Namun perhatikan bagaimana Stefanus menjawab. Ia tidak defensif atau emosional. Ia menjawab dengan tenang dan hormat: “Hai saudara-saudara dan bapa-bapa, dengarkanlah!”
John Calvin menulis dalam Commentaries on the Acts of the Apostles:
“Stefanus menunjukkan kelemahlembutan seorang hamba Kristus. Ia berbicara bukan untuk menyelamatkan dirinya, tetapi untuk memenangkan pendengarnya bagi kebenaran Injil.”
Stefanus menyapa mereka dengan hormat, “saudara-saudara dan bapa-bapa,” yang menunjukkan sikap rendah hati namun tegas. Ia bukan pemberontak, tetapi saksi kebenaran.
Dalam teologi Reformed, ini adalah teladan bagaimana orang percaya menyatakan iman dengan kasih dan keteguhan bahkan di bawah tekanan.
R.C. Sproul menegaskan:
“Kebenaran harus diucapkan dengan keberanian, namun juga dengan kelemahlembutan yang mencerminkan kasih Kristus.”
2. Kisah Para Rasul 7:2 – “Hai saudara-saudara dan bapa-bapa, dengarkanlah! Allah yang mulia telah menampakkan diri kepada bapa leluhur kita Abraham ketika ia masih di Mesopotamia, sebelum ia menetap di Haran.”
Ayat ini adalah titik awal dari khotbah panjang Stefanus. Ia memulai dengan penyataan tentang Allah yang mulia (ho theos tēs doxēs) — “Allah yang penuh kemuliaan.” Stefanus menegaskan bahwa sumber segala panggilan, janji, dan keselamatan adalah Allah yang mulia itu sendiri.
a. Allah yang memanggil adalah Allah yang mulia
Abraham tidak mencari Allah; Allah yang mencari Abraham. Inilah inti dari teologi Reformed tentang anugerah yang mendahului respons manusia.
Calvin menulis:
“Panggilan Abraham adalah bukti bahwa keselamatan tidak pernah dimulai oleh manusia, melainkan oleh Allah yang berdaulat. Ia memanggil bukan karena kesalehan Abraham, tetapi karena kasih karunia-Nya.”
Abraham hidup di Mesopotamia — sebuah wilayah kafir, penuh penyembahan berhala (Yosua 24:2). Namun Allah berinisiatif memanggilnya keluar. Ini menegaskan prinsip sola gratia — hanya karena kasih karunia.
R.C. Sproul menambahkan:
“Ketika Allah memanggil Abraham di tanah penyembahan berhala, Ia menunjukkan bahwa kasih karunia-Nya tidak tergantung pada kebaikan manusia. Panggilan itu adalah tindakan kedaulatan Allah semata.”
b. Allah yang menampakkan diri sebelum Haran
Stefanus menekankan bahwa Allah menampakkan diri “sebelum ia menetap di Haran.” Hal ini penting karena menegaskan bahwa perjumpaan dengan Allah tidak bergantung pada tempat atau sistem religius tertentu.
Allah memanggil Abraham sebelum ada Bait Allah, sebelum ada Taurat. Dengan kata lain, hadirat Allah tidak terbatas oleh lokasi fisik atau ritual keagamaan.
Ini secara langsung menyerang pandangan kaum Yahudi yang menyamakan kehadiran Allah hanya dengan Bait Allah di Yerusalem.
John Stott menjelaskan:
“Stefanus menunjukkan bahwa Allah yang hidup dan mulia tidak dikurung dalam gedung atau sistem manusia. Ia bebas berkarya di mana pun Ia berkehendak.”
Dalam konteks gereja masa kini, pesan ini relevan. Allah tidak terbatas oleh gedung gereja atau bentuk liturgi tertentu. Ia hadir di mana pun umat-Nya menyembah dalam roh dan kebenaran (Yohanes 4:23).
3. Kisah Para Rasul 7:3 – “Keluarlah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan pergilah ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu.”
Ayat ini mengutip panggilan Allah kepada Abraham dari Kejadian 12:1. Ini adalah perintah yang mengandung iman dan pengorbanan besar. Abraham harus meninggalkan tanah kelahirannya, keluarga, dan semua yang aman, menuju negeri yang belum ia kenal.
a. Panggilan untuk meninggalkan zona nyaman
Panggilan Allah selalu menuntut perpisahan dari yang lama. Dalam teologi Reformed, ini menggambarkan pertobatan sejati — meninggalkan dunia lama dan hidup bagi Allah.
John Calvin berkata:
“Abraham menjadi contoh iman yang sejati karena ia taat, sekalipun ia tidak tahu ke mana ia akan pergi. Iman sejati selalu mengandung unsur penyerahan total pada kehendak Allah.”
Iman bukan sekadar percaya secara intelektual, tetapi melibatkan ketaatan aktif. Abraham percaya, maka ia melangkah (Ibrani 11:8).
Herman Bavinck menulis:
“Iman yang sejati tidak berhenti pada pengakuan, tetapi bergerak menuju tindakan. Abraham percaya janji Allah, dan imannya diwujudkan dalam langkah nyata meninggalkan negeri asalnya.”
b. Panggilan menuju tanah yang dijanjikan
Allah tidak memberitahu detail tujuan Abraham. Ia hanya berkata, “ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu.” Ini menunjukkan bahwa iman berjalan bukan dengan penglihatan, tetapi dengan kepercayaan penuh kepada Allah.
Dalam sistem Reformed, ini dikenal sebagai prinsip fides viva — iman yang hidup, yang percaya kepada janji Allah meski tanpa melihat hasilnya.
Seperti dikatakan oleh R.C. Sproul:
“Iman bukanlah keyakinan buta, tetapi kepercayaan rasional kepada Allah yang telah terbukti setia dalam sejarah penebusan.”
IV. MAKNA TEOLOGIS DALAM KONTEKS REFORMED
1. Panggilan Abraham adalah model dari panggilan efektif (effectual calling).
Dalam teologi Reformed, panggilan efektif adalah karya Roh Kudus yang membangkitkan iman dalam hati orang pilihan. Panggilan ini bukan sekadar undangan, tetapi panggilan yang menghasilkan respons nyata. Abraham tidak hanya mendengar firman Tuhan, ia juga taat.
Loraine Boettner menulis:
“Panggilan efektif adalah ketika Allah bukan hanya berbicara kepada telinga, tetapi juga membuka hati, seperti Ia membuka hati Abraham untuk percaya dan taat.”
Seperti Abraham dipanggil keluar dari Mesopotamia, demikian pula orang percaya dipanggil keluar dari kegelapan menuju terang Kristus (1 Petrus 2:9).
2. Iman mendahului hukum Taurat dan ritual.
Stefanus menegaskan bahwa relasi dengan Allah selalu didasarkan pada iman, bukan sistem keagamaan. Abraham dibenarkan sebelum hukum Taurat diberikan (Roma 4:2–3).
Ini adalah dasar teologi pembenaran oleh iman (sola fide). Allah menerima Abraham bukan karena perbuatannya, melainkan karena ia percaya kepada janji Allah.
Calvin menulis:
“Dengan menyinggung Abraham, Stefanus hendak mengingatkan bahwa keselamatan adalah janji yang diterima oleh iman, bukan oleh ketaatan pada sistem ritual.”
3. Allah yang berdaulat memimpin umat-Nya melintasi sejarah.
Stefanus mengingatkan bahwa dari awal sejarah keselamatan, Allah-lah yang memulai dan mengarahkan. Ia memanggil Abraham, menuntun Musa, mengutus para nabi, dan akhirnya menggenapi semuanya dalam Kristus.
Kedaulatan Allah ini menegaskan bahwa rencana keselamatan tidak bisa digagalkan oleh manusia.
Berkhof menulis:
“Seluruh sejarah keselamatan adalah rangkaian dari tindakan Allah yang berdaulat, yang memanggil, menebus, dan memelihara umat-Nya.”
V. APLIKASI PRAKTIS BAGI ORANG PERCAYA
1. Allah yang sama masih memanggil umat-Nya hari ini.
Panggilan kepada Abraham bukan hanya kisah sejarah, melainkan pola bagi setiap orang percaya. Allah memanggil kita keluar dari kehidupan lama menuju kehidupan baru dalam Kristus.
Pertanyaannya: apakah kita bersedia taat walau belum tahu “ke mana” Tuhan akan membawa kita?
Seperti Abraham, kita dipanggil untuk berjalan dengan iman, bukan dengan penglihatan.
2. Iman sejati menuntut ketaatan, bukan sekadar pengakuan.
Stefanus menyoroti bahwa Abraham tidak hanya mendengar, tetapi juga bertindak. Iman tanpa tindakan adalah mati (Yakobus 2:17).
Kehidupan Kristen adalah perjalanan yang menuntut pengorbanan: meninggalkan dosa, ambisi egois, dan kenyamanan dunia.
3. Allah yang berdaulat layak dipercaya sepenuhnya.
Panggilan Abraham terjadi tanpa kepastian manusiawi, tetapi disertai kepastian ilahi. Dalam iman Reformed, kita belajar bahwa kepastian iman tidak berasal dari keadaan, tetapi dari karakter Allah yang setia.
4. Seperti Stefanus, kita dipanggil untuk bersaksi dengan kasih dan kebenaran.
Di tengah dunia yang menolak Injil, kita dipanggil bukan untuk membalas kebencian dengan kemarahan, tetapi untuk menyatakan kebenaran dengan kasih, seperti Stefanus.
Ia tidak menyerang, tetapi menyingkapkan kebenaran Allah dengan keberanian yang kudus.
VI. KRISTUS SEBAGAI PENGGENAPAN PANGGILAN ABRAHAM
Stefanus tidak hanya berbicara tentang Abraham, tetapi menunjuk kepada Kristus, keturunan sejati Abraham (Galatia 3:16).
Seperti Abraham dipanggil untuk keluar menuju negeri yang dijanjikan, demikian pula Kristus datang dari surga ke dunia yang penuh dosa untuk membawa umat-Nya kepada janji kekal.
-
Abraham meninggalkan rumahnya demi iman — Kristus meninggalkan kemuliaan-Nya demi kasih.
-
Abraham berjalan menuju negeri yang belum ia kenal — Kristus berjalan menuju salib, demi keselamatan umat pilihan-Nya.
-
Abraham menjadi berkat bagi bangsa-bangsa — Kristus adalah Berkat itu sendiri bagi seluruh dunia.
R.C. Sproul berkata:
“Abraham hanya bayangan dari ketaatan yang sempurna dalam diri Kristus. Di dalam Kristus, panggilan Allah mencapai penggenapan yang sempurna.”
VII. PENUTUP: MENDENGAR DAN MENURUT
Saudara-saudara, Kisah Para Rasul 7:1–3 bukan sekadar kisah sejarah, tetapi panggilan bagi setiap kita untuk meninggalkan yang lama dan berjalan dalam iman yang hidup.
Allah yang sama yang memanggil Abraham masih berbicara hari ini. Ia memanggil kita keluar dari dosa, dari ketergantungan dunia, dari penyembahan diri, menuju kehidupan yang dipimpin oleh Roh-Nya.
Mungkin kita belum tahu “negeri” yang akan Tuhan tunjukkan — masa depan, pelayanan, atau jalan hidup kita. Namun kita tahu siapa yang memanggil: Allah yang mulia dan setia.
Kiranya seperti Abraham, kita berkata,
“Aku akan pergi, sebab Engkau yang memanggilku.”
Dan seperti Stefanus, kita hidup berani menyaksikan iman kita, bukan untuk mempertahankan diri, tetapi untuk memuliakan Kristus yang adalah pusat dari seluruh sejarah keselamatan.
Soli Deo Gloria.