Auto

Kisah Para Rasul 7:23–28 Menanti Waktu Allah

Kisah Para Rasul 7:23–28 Menanti Waktu Allah

Pendahuluan

Setiap orang percaya dipanggil oleh Allah untuk melayani sesuai dengan maksud dan waktu-Nya. Namun, sering kali kita tergoda untuk bertindak dengan hikmat sendiri, mendahului rencana Allah. Kisah Musa dalam Kisah Para Rasul 7:23–28 memberikan pelajaran yang sangat dalam mengenai hal ini.

Teks ini merupakan bagian dari khotbah Stefanus di hadapan Mahkamah Agama. Dalam pidatonya, Stefanus menguraikan sejarah keselamatan Israel, dengan menyoroti bagaimana umat Allah berulang kali menolak orang-orang yang diutus Allah — termasuk Musa, yang kelak akan menjadi tipe dari Kristus sebagai Penebus sejati.

Teks Alkitab: Kisah Para Rasul 7:23–28 (TB)

“Pada waktu ia berumur empat puluh tahun, timbullah keinginan dalam hatinya untuk mengunjungi saudara-saudaranya, orang-orang Israel. Ketika ia melihat seorang dari mereka diperlakukan dengan aniaya, ia membela orang itu dan membunuh orang Mesir itu untuk membalaskan yang tertindas itu. Ia menyangka bahwa saudara-saudaranya akan mengerti bahwa Allah memakai dia untuk menyelamatkan mereka, tetapi mereka tidak mengerti. Keesokan harinya ia tampil pula kepada mereka, ketika dua orang Israel sedang berkelahi, dan ia berusaha mendamaikan mereka dengan berkata: ‘Hai, saudara-saudara, kamu adalah saudara; mengapa kamu saling menganiaya?’ Tetapi orang yang berbuat salah kepada sesamanya itu menolaknya dengan berkata: ‘Siapa yang mengangkat engkau menjadi pemimpin dan hakim atas kami? Apakah engkau bermaksud membunuh aku, sama seperti kemarin engkau membunuh orang Mesir itu?’”

I. Musa dan Keinginan yang Tulus untuk Membela Umat Allah (Kisah Para Rasul 7:23–24)

Musa berumur empat puluh tahun ketika keinginan untuk membela bangsanya timbul. Ini bukan sekadar emosi manusiawi; Alkitab menyingkapkan bahwa keinginan ini muncul dari hati yang digerakkan oleh kesadaran identitasnya sebagai bagian dari umat Allah (bdk. Ibrani 11:24–25).

Menurut John Calvin, pada usia ini Musa menunjukkan “semangat yang benar, namun dijalankan dengan cara yang salah.” Ia memiliki beban yang benar untuk umat Allah, tetapi tindakannya melampaui waktu dan cara Allah. Calvin menulis dalam Commentary on Acts:

“Musa sungguh digerakkan oleh kasih kepada saudara-saudaranya, tetapi ia gagal untuk menunggu panggilan Allah yang sah. Ia mendahului Roh Kudus dengan kekuatannya sendiri.”

Musa melihat penderitaan umatnya dan bertindak. Tindakannya membunuh orang Mesir menunjukkan hasrat untuk keadilan, tetapi juga ketidaksabaran terhadap cara Allah bekerja. Ia berpikir bahwa tindakan heroiknya akan membuka jalan pembebasan bagi bangsanya — namun ternyata tidak demikian.

Pelajaran teologis: Keinginan yang baik tidak menjamin tindakan yang benar. Dalam pelayanan, motivasi yang murni harus diimbangi dengan ketaatan terhadap waktu dan cara Allah. Banyak orang melayani karena belas kasihan, tetapi tanpa bergantung pada hikmat Allah, pelayanan itu bisa berubah menjadi kesalahan besar.

Matthew Henry menulis:

“Kita harus berhati-hati agar jangan menolong pekerjaan Allah dengan tangan daging. Musa hendak menolong Allah menggenapi janji-Nya, tetapi Allah tidak memerlukan pembelaan manusia yang terburu-buru.”

II. Kegagalan Musa dan Penolakan Umatnya (Kisah Para Rasul 7:25–27)

Stefanus mencatat, “Ia menyangka bahwa saudara-saudaranya akan mengerti bahwa Allah memakai dia untuk menyelamatkan mereka, tetapi mereka tidak mengerti.”

Kalimat ini mengandung makna mendalam tentang ketidaksiapan manusia untuk memahami rencana Allah. Musa mengira bahwa penderitaan mereka akan membuat umat siap menerima pemimpin yang ditetapkan Allah, namun justru mereka menolak.

John Gill menafsirkan ayat ini demikian:

“Musa berpikir bahwa tindakannya akan menjadi tanda dari Allah bagi bangsa itu, bahwa waktu pembebasan telah tiba. Tetapi mereka tidak mengerti, karena Allah belum membukakan hati mereka untuk mengenali panggilan Musa.”

Kegagalan ini bukan karena kekurangan semangat Musa, tetapi karena waktu Allah belum tiba. Dalam pemeliharaan-Nya, Allah menunda panggilan Musa selama 40 tahun lagi di padang Midian — agar ia belajar menjadi gembala, bukan pahlawan.

Penolakan terhadap Musa juga menggambarkan pola yang akan berulang sepanjang sejarah Israel: mereka menolak para nabi, dan akhirnya menolak Mesias yang sejati. Stefanus menekankan bahwa Kristus pun ditolak dengan cara yang sama seperti Musa ditolak.

Charles Spurgeon menulis dalam salah satu khotbahnya (“God’s Time and Ours”):

“Terkadang Allah menanamkan benih panggilan dalam hati seorang hamba, tetapi membiarkan benih itu tersembunyi lama di bawah tanah, agar ketika tumbuh, ia menghasilkan buah yang lebih dalam dan matang.”

Pelayanan sejati tidak dibangun di atas ambisi pribadi, tetapi pada kesabaran menantikan waktu Allah. Musa belajar bahwa kuasa manusia, bahkan dalam kebenaran, tidak dapat menggenapi maksud ilahi.

III. Upaya Musa untuk Mendamaikan yang Bertengkar (Kisah Para Rasul 7:26–27)

Keesokan harinya, Musa mendapati dua orang Israel bertengkar. Ia mencoba mendamaikan mereka dengan berkata, “Hai, saudara-saudara, kamu adalah saudara; mengapa kamu saling menganiaya?”

Ini adalah tindakan yang mulia — menunjukkan hati seorang gembala. Namun, ironisnya, justru di sini Musa mengalami penolakan yang pahit. Salah satu dari mereka menolaknya dan berkata, “Siapa yang mengangkat engkau menjadi pemimpin dan hakim atas kami?”

Calvin mencatat bahwa penolakan ini adalah ujian bagi Musa. Ia menulis:

“Allah mengizinkan Musa mengalami penolakan agar ia tidak mengandalkan kekuatannya sendiri. Musa harus belajar bahwa ia tidak dapat menjadi pembebas kecuali diutus oleh Allah.”

Sikap bangsa Israel ini menggambarkan kebutaan rohani. Mereka lebih memilih hidup dalam perbudakan daripada tunduk kepada pemimpin yang diutus Allah. Demikian pula, dunia sering menolak Kristus karena Ia menyingkapkan dosa dan menawarkan kebebasan sejati.

Matthew Henry menyatakan:

“Mereka yang menolak pembebasan dari dosa biasanya juga menolak pembebas yang diutus Allah. Mereka lebih suka berdebat dalam perbudakan daripada berdamai dalam kebenaran.”

Kita melihat pola penolakan yang terus berulang — dari Musa hingga Kristus, dari nabi-nabi hingga rasul-rasul. Namun penolakan manusia tidak pernah menggagalkan rencana Allah; justru menjadi sarana bagi penggenapan kasih karunia-Nya.

IV. Pelajaran Teologis: Waktu Allah dan Proses Pemanggilan

Dari kisah ini, kita belajar tiga prinsip teologis penting yang sering ditekankan dalam teologi Reformed:

1. Kedaulatan Allah dalam Panggilan dan Waktu-Nya

Panggilan Allah tidak dapat dipaksakan oleh manusia. Allah memanggil Musa bukan ketika ia kuat, tetapi ketika ia lemah dan rendah hati. John Calvin menulis:

“Allah menunggu sampai Musa menjadi kecil di matanya sendiri sebelum Ia menjadikannya besar di hadapan bangsa itu.”

Kedaulatan Allah memastikan bahwa pekerjaan-Nya tidak bergantung pada kesiapan manusia, tetapi pada kesempurnaan rencana-Nya.

2. Kegagalan sebagai Alat Pembentukan

Kegagalan Musa bukan akhir, tetapi bagian dari kurikulum Allah untuk membentuk karakternya. Di Midian, Musa belajar mengembalakan domba — sebuah pelatihan rohani sebelum ia menggembalakan bangsa Israel.

Spurgeon berkata:

“Allah jarang memakai orang yang belum terlebih dahulu Dia hancurkan dalam kedaulatan-Nya. Musa gagal dalam kekuatannya sendiri agar ia berhasil dalam kekuatan Allah.”

3. Penolakan Tidak Membatalkan Panggilan

Walau ditolak, panggilan Musa tetap berlaku. Begitu pula Kristus — ditolak, disalibkan, tetapi justru melalui itu keselamatan dinyatakan. Demikian juga gereja masa kini, sering ditolak dan dianiaya, tetapi tetap bertumbuh dalam rencana Allah yang kekal.

V. Aplikasi Praktis bagi Gereja Masa Kini

  1. Pelayanan sejati menunggu waktu Allah.
    Kita sering ingin hasil cepat dalam pelayanan. Tetapi seperti Musa, kita harus belajar bahwa buah rohani tidak tumbuh dari keinginan manusia, melainkan dari pekerjaan Roh Kudus yang bekerja dalam waktu-Nya.

  2. Penolakan bukan tanda kegagalan.
    Ketika kita bersaksi dan ditolak, jangan putus asa. Penolakan sering kali menjadi tahap awal bagi pekerjaan Allah yang lebih besar. Kristus pun ditolak sebelum dimuliakan.

  3. Belajar dari kegagalan.
    Allah memakai kegagalan kita untuk mengajarkan kerendahan hati. Tanpa pengalaman kegagalan, Musa tidak akan siap menjadi pemimpin yang lembut dan taat.

  4. Jangan menggantikan kuasa Allah dengan tindakan manusia.
    Gereja masa kini mudah terjebak dalam strategi duniawi, program spektakuler, atau kekuatan sosial. Namun, pembebasan sejati hanya datang melalui kuasa Injil dan pekerjaan Roh Kudus.

  5. Pemimpin rohani harus belajar menjadi gembala, bukan penguasa.
    Musa belajar menggembalakan domba sebelum menggembalakan bangsa. Allah menyiapkan hamba-Nya bukan di istana, tetapi di padang yang sunyi.

VI. Kesimpulan: Allah yang Menyiapkan dan Mengutus

Kisah Musa dalam Kisah Para Rasul 7:23–28 menunjukkan bahwa pemanggilan ilahi adalah karya kasih karunia Allah yang berjalan dalam waktu-Nya sendiri.

Musa berusaha menjadi pembebas dengan caranya sendiri, namun gagal. Ia harus belajar bahwa penyelamatan bukanlah hasil tindakan manusia, melainkan karya Allah. Dalam proses itu, Musa dibentuk — dari seorang pangeran Mesir menjadi hamba Allah yang rendah hati.

John Calvin menutup tafsirannya dengan kalimat indah:

“Allah menunda pemakaian Musa bukan karena Ia melupakan Musa, tetapi karena Ia sedang mempersiapkan Musa untuk dipakai lebih sempurna.”

Demikian juga dengan kita — mungkin saat ini kita menunggu, gagal, atau ditolak. Namun, bila Allah telah menetapkan panggilan atas hidup kita, maka pada waktunya Ia akan menyingkapkan kemuliaan-Nya melalui kelemahan kita.

Penutup

Musa gagal karena ia mendahului waktu Allah, tetapi Allah tidak gagal mempersiapkannya. Demikian pula Kristus — Ia datang pada “kegenapan waktu” (Galatia 4:4) untuk menyelamatkan umat-Nya.

Kisah Musa menunjuk pada Kristus, yang datang bukan untuk membunuh musuh, melainkan menyerahkan diri bagi yang bersalah. Kristus adalah Musa yang sejati — pemimpin, hakim, dan gembala yang sempurna.

Kiranya kita belajar untuk menanti, tunduk, dan percaya bahwa Allah sedang bekerja, bahkan di tengah penolakan dan kegagalan.

Next Post Previous Post