Kisah Para Rasul 7:35–41 Penolakan terhadap Utusan Allah

Kisah Para Rasul 7:35–41 Penolakan terhadap Utusan Allah

Pendahuluan

Sejarah keselamatan selalu memperlihatkan pola yang berulang: Allah memanggil dan mengutus hamba-Nya untuk membawa pesan keselamatan, tetapi umat sering kali menolak dan memberontak. Dalam Kisah Para Rasul 7:35–41, Stefanus, di hadapan Mahkamah Agama, menguraikan kembali kisah Musa bukan sekadar untuk mengulang sejarah, tetapi untuk menunjukkan bahwa bangsa Israel terus-menerus menolak utusan Allah—dan kini penolakan itu mencapai puncaknya dalam penolakan terhadap Kristus.

Ayat-ayat ini merupakan bagian dari pidato panjang Stefanus yang menyingkapkan dosa Israel. Dengan menyinggung kisah Musa, Stefanus hendak menunjukkan bahwa sebagaimana nenek moyang mereka menolak Musa, demikian pula generasi itu menolak Yesus Kristus, yang adalah Penggenapan dari seluruh nubuat dan pekerjaan Musa.

Eksposisi Ayat per Ayat: Kisah Para Rasul 7:35–41

Kisah Para Rasul 7:35 – "Musa ini, yang mereka tolak..."

Stefanus berkata:

“Musa ini, yang mereka tolak dengan berkata: ‘Siapa yang mengangkat engkau menjadi pemimpin dan hakim?’, dialah yang diutus oleh Allah sebagai pemimpin dan pembebas mereka dengan perantaraan malaikat yang telah menampakkan diri kepadanya di semak duri.”

Ayat ini menyingkap ironi besar: Musa, yang ditolak oleh umatnya, justru menjadi alat pilihan Allah untuk membebaskan mereka. Penolakan terhadap Musa menunjukkan keras kepala dan kebutaan rohani Israel sejak awal.

John Calvin menulis bahwa:

“Ketika manusia menolak hamba yang diutus Allah, mereka bukan hanya menolak manusia itu, tetapi Allah sendiri yang mengutusnya.”
(Calvin, Commentary on Acts 7).

Dengan kata lain, penolakan terhadap Musa merupakan bentuk penolakan terhadap otoritas Allah. Hal ini menjadi pola yang berulang di sepanjang sejarah Israel: Allah mengutus nabi-nabi, tetapi mereka dibunuh (Matius 23:37).

Stefanus ingin agar para pemimpin Yahudi menyadari bahwa mereka sedang mengulangi dosa yang sama—menolak Kristus, yang jauh lebih besar daripada Musa. Musa hanyalah tipe (bayangan) dari Kristus, sedangkan Kristus adalah realitas penggenapan (Ibrani 3:3–6).

Kisah Para Rasul 7:36 – "Dialah yang membawa mereka keluar..."

“Dialah yang membawa mereka keluar sambil mengadakan mujizat-mujizat dan tanda-tanda di tanah Mesir, di Laut Merah dan di padang gurun selama empat puluh tahun.”

Allah meneguhkan panggilan Musa dengan kuasa dan mujizat. Tanda-tanda itu membuktikan bahwa ia adalah utusan Allah yang sah. Tetapi meskipun tanda-tanda besar itu nyata, bangsa itu tetap tidak percaya.

Matthew Henry berkomentar:

“Mujizat terbesar pun tidak akan mengubah hati yang keras, kecuali Roh Allah sendiri yang melembutkannya.”
(Henry, Commentary on Acts 7).

Ini adalah pelajaran teologis penting: iman sejati tidak lahir dari melihat mujizat, tetapi dari karya Roh Kudus yang memperbarui hati (Yohanes 3:5–8).

Musa membawa bangsa itu keluar dari perbudakan Mesir, tetapi Kristus membawa umat-Nya keluar dari perbudakan dosa. Seperti Musa, Kristus juga ditolak oleh umat-Nya (Yohanes 1:11), tetapi melalui penderitaan dan salib, Ia membawa pembebasan yang sejati.

Kisah Para Rasul 7:37 – "Nabi seperti aku..."

“Dialah Musa yang berkata kepada bangsa Israel: ‘Seorang nabi seperti aku akan dibangkitkan Allah bagimu dari antara saudara-saudaramu.’”

Stefanus mengutip Ulangan 18:15, yang adalah nubuat tentang Mesias. Musa sendiri menubuatkan bahwa akan datang seorang Nabi seperti dia, yaitu Yesus Kristus.

John Owen, teolog Reformed Puritan, menjelaskan:

“Yesus Kristus adalah Musa sejati yang lebih besar, bukan hanya karena Ia memberikan hukum, tetapi karena Ia menulisnya di dalam hati umat-Nya oleh Roh Kudus.”
(Owen, The Person of Christ).

Dengan demikian, Yesus adalah Penggenapan sejati dari peran Musa. Musa memimpin umat keluar dari Mesir, tetapi Yesus memimpin umat keluar dari kematian rohani. Musa memberi hukum yang tertulis di batu, tetapi Yesus memberi hukum kasih yang tertulis dalam hati.

Namun, sebagaimana nenek moyang Israel menolak Musa, demikian pula para pemimpin Yahudi menolak Kristus, Sang Nabi Agung yang dijanjikan.

Kisah Para Rasul 7:38 – "Dialah yang dalam jemaah di padang gurun..."

“Dialah yang dalam jemaah di padang gurun itu bersama-sama dengan malaikat yang berfirman kepadanya di gunung Sinai dan dengan nenek moyang kita, dan dialah yang menerima firman-firman yang hidup untuk disampaikan kepada kita.”

Musa bukan hanya seorang pembebas, tetapi juga seorang perantara perjanjian. Ia menerima “firman-firman yang hidup” — yaitu hukum Allah — dan menyampaikannya kepada umat. Hukum itu disebut “hidup” karena berasal dari Allah yang hidup dan dimaksudkan untuk menuntun umat kepada kehidupan sejati.

Namun, sebagaimana dijelaskan Herman Bavinck, hukum itu sendiri tidak dapat memberi hidup, karena manusia berdosa tidak dapat memenuhinya dengan sempurna:

“Hukum adalah suci, tetapi manusia berdosa. Oleh karena itu, hukum hanya menyingkapkan dosa dan menunjukkan kebutuhan akan anugerah Kristus.”
(Bavinck, Reformed Dogmatics, Vol. 3).

Kristus datang bukan untuk meniadakan hukum, tetapi untuk menggenapinya (Matius 5:17). Dalam Kristus, firman yang hidup itu menjadi daging, sehingga hukum bukan lagi sekadar tulisan di batu, melainkan hidup dalam diri Sang Firman.

Kisah Para Rasul 7:39–40 – "Tetapi nenek moyang kita tidak mau taat..."

“Tetapi nenek moyang kita tidak mau taat kepadanya; bahkan mereka menolaknya dan hatinya berbalik kepada Mesir, sambil berkata kepada Harun: ‘Buatlah bagi kami allah-allah yang akan berjalan di depan kami; sebab Musa ini, yang telah memimpin kami keluar dari tanah Mesir, kami tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dia.’”

Inilah puncak dari pemberontakan Israel. Mereka tidak hanya menolak Musa, tetapi juga menggantikan Allah yang hidup dengan berhala buatan tangan manusia. Hati mereka “berbalik kepada Mesir”—artinya mereka lebih menginginkan kenyamanan dunia daripada kebenaran Allah.

John Stott menulis dengan tajam:

“Masalah utama umat Allah bukanlah di mana tubuh mereka berada, tetapi ke mana hati mereka tertuju. Israel telah keluar dari Mesir, tetapi Mesir belum keluar dari hati mereka.”
(Stott, The Spirit, the Church and the World).

Ini adalah peringatan bagi gereja masa kini: kita mungkin secara lahiriah meninggalkan dunia, tetapi jika hati kita masih terpikat oleh berhala—baik itu kekuasaan, uang, atau kesenangan—kita sama saja dengan Israel di padang gurun.

Kisah Para Rasul 7:41 – "Mereka membuat anak lembu..."

“Mereka membuat anak lembu pada waktu itu dan mempersembahkan korban kepada berhala itu serta bersukaria karena hasil usaha tangan mereka.”

Kisah ini diambil dari Keluaran 32, di mana bangsa Israel membentuk anak lembu emas dan menyembahnya. Ironinya sangat besar: umat yang baru saja menyaksikan kuasa Allah dalam pembebasan dari Mesir, kini mempersembahkan korban kepada berhala buatan tangan sendiri.

John Calvin menyebut hati manusia sebagai “pabrik berhala” (Institutes, I.11.8). Hati yang tidak diperbarui oleh Roh Kudus akan selalu menciptakan berhala baru, bahkan di tengah penyembahan kepada Allah sejati.

Stefanus menunjukkan bahwa penyembahan berhala bukan hanya masalah masa lalu, melainkan masalah hati manusia di setiap zaman. Ketika manusia menolak otoritas Firman, ia akan menciptakan “allah” sesuai keinginannya sendiri.

Makna Teologis dan Aplikasi Reformed

1. Pola Penolakan terhadap Utusan Allah

Dari Habel, Nuh, Musa, para nabi, hingga Kristus, sejarah keselamatan memperlihatkan pola yang sama: umat manusia cenderung menolak dan melawan utusan Allah.

Namun, dalam setiap penolakan, Allah tetap berdaulat. Ia menggunakan penolakan manusia untuk menggenapi rencana penebusan-Nya. Seperti Musa yang ditolak tetapi dipakai untuk membebaskan umat, demikian pula Kristus yang ditolak tetapi menjadi Juruselamat dunia.

Louis Berkhof menulis:

“Kedaulatan Allah memastikan bahwa bahkan kejahatan manusia pun tidak dapat menggagalkan maksud kekal-Nya.”
(Berkhof, Systematic Theology).

2. Bahaya Hati yang Kembali ke Mesir

Penolakan Israel terhadap Musa bermula dari hati yang berbalik kepada Mesir. Dalam teologi Reformed, hal ini menunjukkan kondisi total depravity (kerusakan total): manusia secara alami cenderung kepada dosa dan tidak mampu menaati Allah tanpa anugerah.

Gereja masa kini perlu waspada terhadap godaan untuk kembali pada “Mesir rohani” — hidup yang dikendalikan oleh dosa, ketakutan, dan penyembahan berhala modern.

John Owen mengingatkan:

“Dosa yang dibiarkan hidup dalam hati orang percaya adalah seperti Mesir yang menahan jiwa dalam perbudakan.”
(Owen, The Mortification of Sin).

3. Kristus sebagai Musa yang Lebih Besar

Stefanus menyingkapkan bahwa kisah Musa menunjuk langsung kepada Kristus. Sebagaimana Musa menjadi perantara antara Allah dan umat, demikian Kristus menjadi Pengantara yang sempurna. Namun, Kristus bukan hanya membawa hukum, Ia juga membawa anugerah (Yohanes 1:17).

Geerhardus Vos menulis:

“Seluruh sejarah penebusan adalah progresif: dari bayangan kepada kenyataan, dari Musa kepada Kristus.”
(Vos, Biblical Theology).

Dengan demikian, kita dipanggil untuk mendengarkan Kristus, Sang Nabi sejati, dan taat kepada-Nya, karena dalam Dialah kita memiliki hidup yang kekal.

4. Firman yang Hidup dalam Gereja

Stefanus menyebut “firman-firman yang hidup” yang diterima Musa. Gereja Reformed percaya bahwa Firman Allah tetap hidup dan bekerja hari ini melalui pemberitaan Injil yang murni.

Herman Bavinck menulis:

“Firman Allah bukan hanya pesan tertulis, tetapi kuasa yang mencipta dan memperbarui. Di mana Firman diberitakan, di sana Roh bekerja.”
(Bavinck, Reformed Dogmatics, Vol. 1).

Karena itu, gereja yang sejati adalah gereja yang hidup dalam Firman. Tanpa Firman, penyembahan hanya akan menjadi kesalehan palsu seperti anak lembu emas di padang gurun.

5. Peringatan bagi Gereja Modern

Khotbah Stefanus relevan bagi zaman modern. Banyak gereja hari ini telah meninggalkan Firman untuk mengikuti “berhala rohani” — sensasi, hiburan, atau teologi kemakmuran.

Seperti Israel yang menari di sekitar anak lembu emas, banyak umat sekarang bersukaria dalam penyembahan yang berpusat pada manusia, bukan Allah.

R.C. Sproul memperingatkan:

“Begitu gereja berhenti berpusat pada Allah, ia akan berpusat pada diri sendiri, dan itu adalah bentuk penyembahan berhala terselubung.”
(Sproul, The Holiness of God).

Gereja dipanggil untuk kembali kepada Injil yang sejati, kepada Kristus yang ditolak, tetapi kini dimuliakan.

Aplikasi Praktis bagi Orang Percaya

  1. Taat kepada Firman, bukan kepada keinginan sendiri.
    Seperti Israel, kita sering menolak otoritas Firman dan lebih suka mendengarkan hati kita sendiri. Namun, orang percaya sejati tunduk di bawah otoritas Kristus, Sang Nabi Agung.

  2. Berjaga-jaga terhadap penyembahan berhala modern.
    Apa pun yang mengambil tempat Allah dalam hati kita — harta, popularitas, atau rasa aman — adalah “anak lembu emas” zaman ini.

  3. Percaya pada kedaulatan Allah di tengah penolakan.
    Ketika kebenaran ditolak oleh dunia, kita mengingat bahwa Allah memakai bahkan penolakan itu untuk kemuliaan-Nya.

  4. Hidup dalam kuasa Firman yang hidup.
    Firman Allah bukan hanya untuk didengar, tetapi untuk ditaati. Gereja yang hidup adalah gereja yang dikuduskan oleh kebenaran.

Kesimpulan

Stefanus, melalui kisah Musa, menunjukkan betapa dalamnya dosa penolakan terhadap Allah dan utusan-Nya. Namun, melalui kisah yang sama, kita melihat kasih karunia Allah yang tidak pernah gagal. Ia tetap setia, bahkan ketika umat-Nya tidak setia.

Yesus Kristus, Sang Musa sejati, datang untuk membawa pembebasan yang lebih besar dari perbudakan dosa. Dialah Firman yang hidup, Pengantara yang sempurna, dan Raja yang kekal.

Kiranya kita tidak seperti Israel yang menolak hamba Allah, tetapi menjadi umat yang tunduk, taat, dan menyembah dalam roh dan kebenaran.

“Tuhan, Engkaulah Penebus yang setia. Jauhkan kami dari berhala hati, dan pimpinlah kami untuk hidup bagi kemuliaan-Mu.”

Soli Deo Gloria.

Next Post Previous Post