Korban Pujian yang Hidup bagi Allah
.jpg)
Teks utama: Ibrani 13:15
"Sebab itu marilah kita, oleh Dia, senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah, yaitu ucapan bibir yang memuliakan nama-Nya."
Pendahuluan: Pujian sebagai Korban yang Hidup
Dalam seluruh kisah Alkitab, konsep korban selalu berkaitan dengan penyembahan. Dari zaman Kain dan Habel, hingga sistem korban dalam Hukum Taurat, korban menjadi lambang pengakuan manusia akan kekudusan Allah dan kebutuhan akan pendamaian. Namun, di dalam Perjanjian Baru, Yesus Kristus telah mempersembahkan diri-Nya sebagai korban yang sempurna. Karena itu, umat tebusan tidak lagi mempersembahkan darah lembu atau domba, melainkan korban rohani: “korban pujian” — ucapan syukur dari hati yang telah diperbarui oleh kasih karunia.
John Owen, teolog Reformed besar abad ke-17, menyatakan bahwa:
“Korban pujian bukanlah pengganti korban penebusan, tetapi ekspresi dari hati yang telah didamaikan dengan Allah melalui Kristus.”
Dengan demikian, setiap pujian yang dinaikkan oleh orang percaya bukan sekadar ekspresi emosi atau ritual lahiriah, melainkan respon iman terhadap karya keselamatan Allah yang sudah sempurna di dalam Kristus.
I. Makna Teologis dari “Korban Pujian” (Ibrani 13:15)
Penulis surat Ibrani menulis: “Marilah kita, oleh Dia, senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah.”
Frasa “oleh Dia” menunjukkan dasar yang mutlak: semua penyembahan sejati hanya dapat dilakukan melalui Yesus Kristus. Tanpa perantaraan Kristus, semua persembahan manusia tidak diterima di hadapan Allah.
John Calvin menjelaskan dalam Institutes (II.8.5):
“Segala penyembahan yang tidak berakar pada Kristus adalah sia-sia, karena Ia adalah satu-satunya Imam yang mempersembahkan korban yang menyenangkan hati Bapa.”
Jadi, pujian yang sejati adalah Kristosentris — berpusat pada karya Kristus. Ketika orang percaya memuji Allah, mereka melakukannya melalui perantaraan Kristus yang telah menebus dan menguduskan mereka.
Selain itu, istilah “korban” (Yunani: thusia) mengandung pengertian pengorbanan diri, kerelaan, dan kesungguhan hati. Dalam konteks rohani, korban pujian berarti pengabdian penuh dari hati dan hidup yang mempersembahkan kemuliaan bagi Allah.
II. Karakteristik Korban Pujian yang Sejati
1. Korban yang Berasal dari Hati yang Ditebus
Pujian sejati lahir dari hati yang telah mengalami kasih karunia Allah. Pujian bukanlah sekadar nyanyian yang indah, melainkan kesaksian iman yang bersumber dari pengalaman akan anugerah Kristus.
Charles H. Spurgeon menulis:
“Orang berdosa tidak dapat memuji Tuhan secara benar sampai ia diampuni. Korban pujian tidak bisa keluar dari hati yang masih terikat dosa.”
Oleh karena itu, sebelum seseorang dapat mempersembahkan korban pujian yang berkenan, ia harus terlebih dahulu disucikan oleh darah Kristus dan dilahirkan kembali oleh Roh Kudus.
2. Korban yang Naik Senantiasa
Penulis Ibrani menggunakan kata “senantiasa” — ini menegaskan bahwa pujian bukan sekadar aktivitas waktu tertentu, tetapi gaya hidup. Setiap aspek hidup orang percaya menjadi altar bagi korban pujian.
Efesus 5:19-20 berkata:
"Bertutur-katalah seorang dengan yang lain dalam mazmur, kidung pujian, dan nyanyian rohani; bernyanyilah dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati."
Calvin mengomentari ayat ini:
“Pujian sejati bukanlah suara semata, tetapi nyanyian hati yang selaras dengan kebenaran Injil.”
Artinya, seluruh hidup orang Kristen — pekerjaan, pelayanan, keluarga, dan penderitaan — harus menjadi ekspresi pujian bagi kemuliaan Allah.
3. Korban yang Memuliakan Nama Allah
Korban pujian yang sejati tidak memuliakan manusia, melainkan meninggikan Allah. Dalam dunia modern yang sering menjadikan ibadah sebagai hiburan, banyak “pujian” yang berpusat pada perasaan manusia, bukan kemuliaan Kristus. Namun, dalam kerangka Reformed, tujuan utama ibadah adalah Soli Deo Gloria — hanya bagi kemuliaan Allah.
John Piper menegaskan dalam Desiring God:
“Allah dimuliakan ketika umat-Nya menemukan sukacita tertinggi mereka di dalam Dia.”
Jadi, korban pujian adalah wujud sukacita yang berakar pada relasi dengan Allah, bukan pada keadaan duniawi.
III. Korban Pujian dan Korban Diri (Roma 12:1-2)
Konsep “korban pujian” tidak dapat dipisahkan dari “korban tubuh” dalam Roma 12:1 — “Persembahkanlah tubuhmu sebagai persembahan yang hidup.”
Paulus mengajarkan bahwa seluruh hidup orang percaya adalah bentuk ibadah rohani. Korban pujian sejati menuntut pengorbanan diri — melepaskan ego, dosa, dan kehendak pribadi demi kemuliaan Allah.
Reformer John Owen menulis:
“Tidak ada pujian sejati tanpa salib. Hati yang belum mati terhadap dosa tidak dapat mempersembahkan korban yang kudus.”
Karena itu, korban pujian sejati memerlukan pertobatan dan penyangkalan diri yang terus-menerus. Orang Kristen dipanggil untuk mempersembahkan bukan hanya bibir yang memuji, tetapi hidup yang menyerah total di bawah kedaulatan Allah.
IV. Korban Pujian di Tengah Penderitaan
Salah satu aspek paling mendalam dari korban pujian adalah memuji Allah di tengah penderitaan. Pemazmur sering kali menaikkan pujian ketika ia berada dalam lembah air mata.
Mazmur 34:2 berkata:
"Aku hendak memuji Tuhan pada segala waktu, puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku."
Matthew Henry berkomentar:
“Pujian yang dinaikkan dalam penderitaan adalah pujian yang paling harum di hadapan Allah.”
Dalam konteks ini, korban pujian menjadi bukti iman sejati yang tidak bergantung pada keadaan, melainkan pada karakter Allah yang tidak berubah. Pujian di tengah kesakitan menunjukkan bahwa Allah lebih besar daripada penderitaan kita.
V. Aplikasi Praktis: Hidup sebagai Pujian bagi Allah
1. Pujian dalam Ibadah Pribadi dan Jemaat
Korban pujian harus menjadi bagian dari ibadah pribadi dan ibadah korporat. Ketika jemaat bernyanyi, mereka tidak sedang melakukan pertunjukan, melainkan mempersembahkan korban rohani di hadapan Allah.
2. Pujian dalam Pekerjaan dan Kehidupan Sehari-hari
Kolose 3:17 berkata:
"Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus."
Artinya, bekerja dengan jujur, melayani dengan kasih, dan hidup dengan kesetiaan adalah bentuk korban pujian yang nyata.
3. Pujian dalam Pelayanan dan Kesetiaan
Pelayanan bukanlah cara untuk memuliakan diri, melainkan sarana mempersembahkan kemuliaan kepada Allah. Setiap tindakan kasih, setiap pengorbanan waktu, tenaga, dan materi harus dilakukan sebagai persembahan pujian bagi Tuhan.
VI. Kristus sebagai Korban Pujian yang Sempurna
Akhirnya, seluruh korban pujian kita berpuncak pada Yesus Kristus. Dialah yang sempurna dalam ketaatan, pujian, dan persembahan. Di taman Getsemani, ketika Ia menghadapi salib, Yesus tetap memuliakan Bapa dengan doa: “Bukan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mu yang jadi.”
Ia adalah korban pujian sejati — karena dalam pengorbanan-Nya, seluruh kemuliaan Allah dinyatakan. Dengan demikian, ketika kita mempersembahkan korban pujian, kita sesungguhnya sedang bersatu dengan Kristus dalam ibadah kekal.
Jonathan Edwards menulis:
“Di surga tidak ada ibadah lain selain korban pujian, sebab di sana tidak ada lagi dosa yang perlu ditebus.”
Maka, kehidupan orang percaya di dunia adalah latihan menuju kekekalan — latihan untuk menyembah dan memuji Allah tanpa henti.
Kesimpulan: Hidup dalam Korban Pujian yang Kekal
Saudara-saudara, korban pujian bukan sekadar lagu yang kita nyanyikan, tetapi hidup yang kita persembahkan. Ketika kita memuji Allah dengan hati yang tulus, kita sedang mempersembahkan korban yang berkenan kepada-Nya.
Melalui Kristus, korban pujian menjadi mungkin, berkenan, dan diterima. Maka marilah kita hidup dalam pujian — bukan hanya dengan bibir, tetapi dengan seluruh keberadaan kita.
Sebab di akhir segala zaman, seluruh umat tebusan akan bersatu dalam satu pujian besar:
"Segala kemuliaan, hormat, dan kuasa bagi Anak Domba yang duduk di atas takhta!"
Itulah korban pujian yang kekal — ibadah surgawi yang dimulai di bumi dan disempurnakan di surga.