Keluaran 2:5–9 Pemeliharaan Allah atas Bayi Musa

Keluaran 2:5–9 Pemeliharaan Allah atas Bayi Musa

Pendahuluan

Keluaran 2:5–9 adalah salah satu bagian yang paling lembut dan penuh misteri dalam kisah penebusan Allah di Perjanjian Lama. Di sini kita melihat bayi Musa yang tanpa daya, terapung di atas Sungai Nil, dan bagaimana tangan-tangan ilahi mengatur setiap detail untuk melindungi dan mengangkatnya menjadi pemimpin besar umat Allah. Kisah ini bukan hanya cerita penyelamatan seorang bayi, tetapi juga gambaran nyata tentang anugerah dan pemeliharaan Allah yang bekerja secara tersembunyi di balik peristiwa-peristiwa manusia.

Mari kita baca ayatnya:

“Maka datanglah puteri Firaun untuk mandi di sungai, dan dayang-dayang istananya berjalan-jalan di tepi sungai itu. Lalu terlihatlah olehnya peti pandan itu di tengah-tengah teberau, maka disuruhnyalah seorang hambanya perempuan untuk mengambilnya. Ketika dibukanya, dilihatnyalah anak itu, dan tampaklah anak itu menangis; maka belas kasihanlah ia kepadanya, katanya: ‘Tentulah ini bayi orang Ibrani.’ Lalu kakaknya berkata kepada puteri Firaun: ‘Bolehkah aku pergi memanggilkan seorang inang penyusu dari orang Ibrani untuk menyusui bayi itu bagimu?’ Jawab puteri Firaun kepadanya: ‘Baiklah!’ Maka pergilah gadis itu dan dipanggilnyalah ibu bayi itu. Lalu berkatalah puteri Firaun kepadanya: ‘Bawalah bayi ini dan susuilah dia bagiku, maka aku akan memberi upah kepadamu.’ Maka perempuan itu mengambil bayi itu dan menyusuinya.” (Keluaran 2:5–9)

1. Konteks Historis dan Teologis: Bayi di Tengah Keputusan Kematian

Latar belakang kisah ini sangat kelam. Firaun telah memerintahkan pembunuhan semua bayi laki-laki Ibrani (Keluaran 1:22). Namun di tengah kegelapan, kasih karunia Allah bekerja secara misterius. Di saat segala jalan manusia tertutup, jalan Allah terbuka melalui iman seorang ibu dan pengaturan ilahi yang sempurna.

John Calvin menulis dalam Commentaries on the Second Book of Moses, bahwa kisah ini menunjukkan “bagaimana Allah sering kali menolong umat-Nya melalui cara-cara yang tampak kebetulan di mata manusia, padahal semuanya telah ditetapkan dalam rencana kekal-Nya.” Calvin menegaskan bahwa “tidak ada kebetulan dalam kerajaan Allah.” Semua langkah — dari keputusan ibu Musa menaruhnya di peti pandan, hingga waktu kedatangan putri Firaun — adalah orkestrasi ilahi yang menunjukkan providensi Allah yang berdaulat.

2. Kelemahlembutan dalam Rencana Besar Allah

Putri Firaun, seorang wanita kafir dari bangsa yang menindas Israel, menjadi alat penyelamat yang dipakai Allah. Ia digerakkan oleh belas kasihan ketika melihat bayi itu menangis. Tangisan Musa bukan hanya tangisan bayi yang lapar, tetapi tangisan yang menjadi instrumen kasih karunia Allah untuk melunakkan hati seorang putri kerajaan.

Matthew Henry menafsirkan bahwa “Allah sering kali menggunakan kelembutan hati manusia untuk melaksanakan maksud keras dari keadilan dan kasih-Nya. Air mata seorang bayi dapat mengguncang singgasana kerajaan.” Ini adalah ironi ilahi — kekuatan Firaun tidak mampu menandingi kelemahlembutan yang Allah tanamkan dalam hati anak perempuannya.

Kita belajar dari sini bahwa Allah dapat memakai siapa pun, bahkan orang-orang yang tidak mengenal Dia, untuk melaksanakan rencana penebusan-Nya. Dalam konteks Reformed, ini menegaskan doktrin common grace (anugerah umum), yaitu bahwa Allah masih bekerja melalui orang berdosa untuk menopang dan mengatur dunia demi kebaikan umat pilihan-Nya.

3. Kesetiaan Seorang Kakak dan Hikmat Ilahi

Ketika Miriam, kakak Musa, melihat kejadian itu dari jauh, ia segera bertindak. Ia menawarkan diri untuk memanggil seorang inang penyusu bagi bayi itu — dan ternyata, inang itu adalah ibu Musa sendiri! Betapa luar biasanya rancangan Allah. Musa yang seharusnya mati kini bukan hanya diselamatkan, tetapi dikembalikan kepada ibunya sendiri untuk diasuh dan bahkan dibayar oleh istana Firaun.

Charles Spurgeon berkata dalam salah satu khotbahnya, “Lihatlah bagaimana Allah bukan hanya menyelamatkan umat-Nya, tetapi melakukannya dengan gaya kasih karunia. Ia bukan hanya memelihara hidup Musa, tetapi juga memuliakan iman orangtuanya.” Spurgeon menekankan bahwa ini adalah “gaya kerja kasih karunia” — bukan hanya menyelamatkan dari maut, tetapi melimpahkan sukacita dan berkat di tengah penderitaan.

Kisah ini mengajarkan bahwa ketaatan iman seorang ibu dan tindakan hikmat seorang kakak dapat menjadi bagian dari rencana besar Allah. Dalam teologi Reformed, ini menunjukkan sinergi antara kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia — bukan dalam arti setara, tetapi bahwa Allah menggenapi kehendak-Nya melalui tindakan yang dipimpin oleh iman umat-Nya.

4. Providensi Allah yang Sempurna: Dari Sungai ke Istana

Dari segi naratif, kisah ini menggambarkan transisi besar — dari sungai maut ke istana kehidupan. Sungai Nil, yang semula menjadi alat kematian bagi bayi-bayi Ibrani, kini menjadi sarana keselamatan bagi Musa. Inilah ironi kasih karunia: Allah membalikkan alat kematian menjadi jalan kehidupan.

Bavinck menulis dalam Reformed Dogmatics bahwa “providensi Allah tidak hanya mencegah kejahatan, tetapi menundukkannya di bawah tujuan kebaikan yang lebih besar.” Artinya, Allah tidak hanya menahan rencana jahat Firaun, tetapi menggunakan rencana itu sendiri untuk mempersiapkan pembebas Israel dari dalam istana Mesir.

Musa akan dididik dalam hikmat Mesir (Kis. 7:22), yang kelak mempersiapkannya untuk menjadi pemimpin dan penulis hukum Allah. Siapa yang bisa menyangka bahwa pendidikan Mesir — simbol dunia kafir — akan menjadi alat Allah bagi penebusan umat-Nya?

5. Kedaulatan Allah dalam Perincian Kecil

Kita sering berpikir bahwa Allah bekerja hanya melalui mukjizat besar, tetapi kisah ini menunjukkan bahwa Dia juga bekerja melalui detail kecil: waktu, tempat, dan emosi. Pemeliharaan Allah bekerja dalam hal-hal yang tampak kebetulan — seperti saat putri Firaun datang mandi tepat waktu, atau ketika Musa menangis tepat saat peti dibuka.

Louis Berkhof dalam Systematic Theology menulis, “Providensi Allah mencakup segala sesuatu — baik yang besar maupun yang kecil. Tidak ada kejadian yang netral; semua tunduk di bawah tangan Allah yang berdaulat.” Inilah kenyamanan besar bagi umat percaya: bahwa bahkan peristiwa yang tampak biasa adalah bagian dari rencana kekal Allah.

6. Kristus dalam Bayangan Musa

Setiap kisah penebusan dalam Perjanjian Lama menunjuk kepada Kristus, Sang Penebus sejati. Musa diselamatkan dari maut untuk membawa umat Allah keluar dari perbudakan Mesir; Kristus datang dari surga untuk membebaskan umat pilihan-Nya dari dosa dan maut. Musa terapung di sungai dalam peti kecil; Kristus juga akan mati dan “dikubur” dalam bumi untuk kemudian dibangkitkan bagi keselamatan umat manusia.

Augustinus menulis bahwa “Musa adalah bayangan Kristus; karena seperti Musa dibawa keluar dari air, demikian juga Kristus dibaptis dalam air untuk menandai permulaan misi penyelamatan-Nya.” Kisah ini menggemakan keselamatan dalam Kristus: dari ancaman maut menuju hidup baru.

7. Aplikasi Praktis bagi Orang Percaya

  1. Percayalah pada providensi Allah di tengah kegelapan.
    Orang tua Musa tidak tahu hasilnya ketika mereka menaruh bayi itu di sungai, tetapi mereka percaya. Demikian juga, iman sejati adalah percaya pada janji Allah bahkan ketika kita tidak melihat jalannya.

  2. Didiklah anak-anak dalam iman sejak dini.
    Ibu Musa diberi kesempatan untuk menyusui dan membesarkan anaknya dalam waktu singkat, tetapi itu cukup untuk menanamkan benih iman yang kelak bertumbuh dalam hati Musa. Ini menunjukkan pentingnya pendidikan rohani sejak masa kanak-kanak.

  3. Lihatlah setiap peristiwa hidup dalam terang kedaulatan Allah.
    Tidak ada kebetulan bagi orang percaya. Bahkan air mata, penderitaan, dan kehilangan adalah alat di tangan Allah untuk membawa kita kepada rencana-Nya yang lebih besar.

8. Kesimpulan: Anugerah yang Menyelamatkan dan Memimpin

Keluaran 2:5–9 bukan sekadar kisah emosional tentang penyelamatan seorang bayi, melainkan deklarasi teologis tentang kasih karunia Allah yang berdaulat dan providensi-Nya yang sempurna. Allah bekerja melalui ibu yang penuh iman, kakak yang berhikmat, dan bahkan putri dari musuh bangsa Israel untuk melaksanakan rencana penebusan-Nya.

Seperti Musa, kita pun telah “ditarik keluar dari air” dosa oleh kasih karunia Kristus (band. Tit. 3:5). Kasih karunia itu bukan hanya menyelamatkan, tetapi juga memelihara dan memimpin kita untuk menggenapi tujuan ilahi dalam hidup ini.

Thomas Boston menulis, “Setiap anak Allah adalah Musa yang kecil — ditarik dari air maut oleh kasih karunia dan dipersiapkan untuk memuliakan Allah di dunia yang gelap ini.”

Kiranya kita hidup dengan iman yang percaya bahwa Allah yang memelihara Musa di sungai Nil adalah Allah yang sama yang memelihara kita hari ini, dalam setiap detail hidup yang tampak tak menentu, menuju kepada kemuliaan kekal di dalam Kristus.

Next Post Previous Post