Markus 6:1–5 Yesus Ditolak di Nazaret
.jpg)
Pendahuluan: Ketika Sang Juruselamat Ditolak oleh Kaum-Nya Sendiri
Kisah dalam Markus 6:1–5 menggambarkan salah satu momen paling menyedihkan dalam pelayanan Yesus: penolakan di kampung halamannya sendiri, Nazaret. Di tempat Ia dibesarkan, di tengah orang-orang yang mengenal-Nya sejak kecil, Yesus justru tidak diterima.
Kitab Markus menulis:
“Kemudian Yesus berangkat dari situ dan datang ke tempat asal-Nya, sedang murid-murid-Nya mengikuti Dia. Pada hari Sabat Ia mulai mengajar di rumah ibadat, dan banyak orang yang mendengarnya heran, katanya: ‘Dari mana diperoleh-Nya semuanya itu? Hikmat apakah yang diberikan kepada-Nya? Dan bagaimana mujizat-mujizat yang demikian dapat diadakan oleh tangan-Nya? Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria...?’ Maka mereka kecewa dan menolak Dia.”
(Markus 6:1–3)
Peristiwa ini menunjukkan realitas yang tragis: terang telah datang ke dunia, tetapi dunia menolak terang itu (Yohanes 1:10–11).
Khotbah ini akan menelusuri makna rohani dari perikop ini melalui eksposisi ayat demi ayat, serta melihat bagaimana para teolog Reformed seperti John Calvin, Charles Spurgeon, dan R.C. Sproul menafsirkan kebenaran yang terkandung di dalamnya.
1. Latar Belakang Konteks: Dari Mukjizat di Kapernaum ke Penolakan di Nazaret
Pasal sebelumnya (Markus 5) memperlihatkan kuasa Yesus yang luar biasa: Ia mengusir roh jahat dari orang Gerasa, menyembuhkan perempuan yang sakit pendarahan, dan membangkitkan anak Yairus. Semua orang kagum. Namun kini, ketika Ia kembali ke Nazaret, suasananya berubah total.
Yesus datang bukan sekadar untuk mencari simpati, tetapi untuk mengabarkan Injil kepada orang-orang yang mengenal-Nya sejak kecil. Namun orang-orang Nazaret tidak melihat-Nya sebagai Mesias, melainkan hanya “tukang kayu, anak Maria.”
R.C. Sproul menulis:
“Yesus datang bukan untuk mencari penerimaan sosial, tetapi untuk menyingkapkan hati manusia. Reaksi orang Nazaret menunjukkan betapa kerasnya hati manusia terhadap kebenaran rohani.”
Di sinilah paradoks iman terlihat: mujizat dan hikmat yang sama yang membuat banyak orang percaya, justru membuat mereka yang sombong menolak-Nya.
2. Markus 6:1–2: Yesus Mengajar di Rumah Ibadat Nazaret
“Kemudian Yesus berangkat dari situ dan datang ke tempat asal-Nya... Pada hari Sabat Ia mulai mengajar di rumah ibadat, dan banyak orang yang mendengarnya heran...”
Yesus, seperti biasa, mengajar di rumah ibadat pada hari Sabat. Pengajaran-Nya menimbulkan keheranan, karena orang Nazaret belum pernah mendengar hikmat seperti itu dari seseorang yang mereka kenal sebagai “anak tukang kayu.”
Kata heran dalam bahasa Yunani (ekplēssō) menunjukkan reaksi terkejut yang mendalam — bukan kekaguman yang berujung iman, tetapi keterkejutan yang berubah menjadi penolakan.
John Calvin mengomentari bagian ini:
“Kata ‘heran’ di sini bukanlah tanda iman, melainkan tanda kebingungan yang timbul karena kesombongan. Mereka tidak dapat menerima bahwa Allah dapat memakai seseorang yang tampak biasa.”
Di sini terlihat bahwa kerendahan Yesus secara manusia menjadi batu sandungan bagi mereka yang mengandalkan penampilan lahiriah.
3. Markus 6:3: Penolakan yang Bersumber dari Kedagingan dan Keangkuhan
“Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria dan saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon? Dan bukankah saudara-saudara-Nya yang perempuan ada bersama kita?” Maka mereka kecewa dan menolak Dia.”
Kata “tukang kayu” (tekton) mengacu pada seseorang yang bekerja dengan kayu atau batu — profesi sederhana dan rendah. Orang Nazaret tidak melihat kemuliaan rohani dalam diri Yesus karena mereka menilai berdasarkan status sosial.
Kalimat “anak Maria” juga memiliki nada merendahkan. Biasanya seseorang disebut menurut nama ayahnya, tetapi mereka menyebut Yesus anak Maria — mungkin menyinggung kelahiran-Nya yang misterius.
Charles Spurgeon menulis:
“Orang Nazaret tidak dapat melihat kemuliaan karena mereka terlalu dekat dengan kemanusiaan Kristus. Mereka tersandung bukan karena Ia terlalu agung, tetapi karena Ia terlalu rendah di mata mereka.”
Itulah ironi Injil: Allah memilih yang hina dan lemah untuk mempermalukan yang kuat (1 Korintus 1:27).
4. Markus 6:4: “Seorang nabi dihormati di mana-mana, kecuali di tempat asalnya sendiri.”
“Maka Yesus berkata kepada mereka: ‘Seorang nabi dihormati di mana-mana, kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara kaum keluarganya dan di rumahnya.’”
Yesus menyebut diri-Nya sebagai nabi — bukan sekadar guru, tetapi utusan Allah yang membawa firman. Namun, seperti nabi-nabi sebelumnya, Ia pun mengalami penolakan dari bangsanya sendiri.
Ini mengingatkan kita pada Yesaya 53:3:
“Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan...”
John Calvin menjelaskan:
“Firman Allah sering kali paling ditolak di tempat di mana ia paling dikenal secara lahiriah. Karena keakraban tanpa iman menghasilkan penghinaan terhadap hal-hal kudus.”
Dengan kata lain, terlalu sering mendengar kebenaran tanpa pertobatan membuat hati menjadi kebal terhadap firman.
5. Markus 6:5: Keterbatasan Mujizat karena Ketidakpercayaan
“Ia tidak dapat mengadakan satu mujizat pun di sana, kecuali menyembuhkan beberapa orang sakit dengan meletakkan tangan-Nya atas mereka.”
Pernyataan “tidak dapat” bukan berarti Yesus kehilangan kuasa, tetapi menunjukkan ketidaklayakan rohani dari orang-orang yang tidak percaya. Ketidakpercayaan bukan menghalangi kuasa Allah secara absolut, tetapi menutup saluran berkat-Nya bagi mereka yang menolak.
B. B. Warfield menulis:
“Ketika Markus mengatakan bahwa Yesus tidak dapat melakukan mujizat, itu berarti keajaiban tidak diberikan untuk memuaskan rasa ingin tahu, tetapi sebagai respons terhadap iman. Di mana tidak ada iman, tidak ada tujuan bagi mujizat.”
R.C. Sproul menambahkan:
“Iman bukan penyebab kuasa Allah, tetapi sarana yang Allah pilih untuk menyalurkan anugerah-Nya kepada manusia.”
Ketidakpercayaan di Nazaret memperlihatkan betapa kerasnya hati manusia — bahkan ketika Allah sendiri berdiri di hadapan mereka.
6. Penolakan di Nazaret dan Misteri Kedaulatan Allah
Penolakan Yesus di Nazaret bukanlah kegagalan misi, melainkan bagian dari rencana Allah yang lebih besar.
Dalam Injil Yohanes 12:37–40 dikatakan bahwa banyak orang tidak percaya supaya genaplah nubuat Yesaya: “Ia telah membutakan mata mereka dan menegarkan hati mereka.”
Teologi Reformed menegaskan bahwa kedaulatan Allah bekerja bahkan melalui penolakan manusia.
John Piper berkata:
“Ketika orang menolak Kristus, itu bukan karena Allah gagal, tetapi karena Ia sedang menggenapi rencana-Nya untuk memuliakan kasih karunia-Nya di antara mereka yang dipilih.”
Penolakan di Nazaret mengingatkan kita bahwa iman sejati bukan hasil pengamatan, melainkan anugerah Allah yang membuka mata hati.
7. Pelajaran Rohani dari Penolakan Nazaret
Dari kisah ini, kita belajar tiga pelajaran penting bagi kehidupan iman:
a. Bahaya Familiaritas Tanpa Iman
Orang Nazaret mengenal Yesus secara jasmani, tetapi tidak secara rohani. Mereka mendengar pengajaran-Nya, namun hati mereka tidak bertobat.
Hari ini pun banyak orang menghadiri gereja, mendengar firman, tetapi tetap tidak berubah karena tidak memiliki iman sejati.
Seperti dikatakan Calvin:
“Keakraban tanpa penyembahan menghasilkan kekerasan hati.”
b. Allah Bekerja Melalui Kerendahan
Yesus datang sebagai “tukang kayu”, bukan sebagai raja dunia. Namun justru dalam kerendahan itulah kuasa Allah dinyatakan.
Spurgeon menulis:
“Jangan remehkan alat-alat Allah yang sederhana. Tuhan sering bekerja melalui salib, bukan mahkota.”
Gereja hari ini harus berhati-hati agar tidak menilai pelayanan dari popularitas atau penampilan lahiriah, tetapi dari kesetiaan kepada firman.
c. Ketidakpercayaan Membatasi Penerimaan Berkat
Yesus masih memiliki kuasa, tetapi orang Nazaret tidak menerima karena mereka menolak percaya.
Begitu juga dalam hidup kita: ketika hati keras, kita kehilangan sukacita, penghiburan, dan berkat rohani yang hanya datang melalui iman kepada Kristus.
8. Aplikasi Teologis untuk Gereja Masa Kini
Kisah penolakan di Nazaret berbicara kuat bagi gereja modern yang hidup di tengah budaya skeptis.
1. Kedaulatan Allah atas Respon Manusia
Allah tidak bergantung pada penerimaan manusia untuk menggenapi rencana-Nya. Walau ditolak, Yesus tetap melanjutkan pelayanan-Nya ke desa-desa lain (Markus 6:6).
Seperti dikatakan oleh Augustine:
“Kasih karunia bukanlah sesuatu yang menunggu izin manusia, melainkan tangan Allah yang memanggil dari kematian kepada hidup.”
2. Tanggung Jawab Manusia untuk Percaya
Meskipun Allah berdaulat, manusia tetap bertanggung jawab atas ketidakpercayaannya. Mereka yang menolak terang akan menghadapi penghakiman karena menolak anugerah yang dinyatakan.
Dalam Roma 1:20 Paulus menegaskan bahwa manusia tidak dapat berdalih karena Allah telah menyatakan diri-Nya melalui ciptaan dan Injil.
3. Pelayanan yang Setia di Tengah Penolakan
Pelayan Tuhan hari ini sering kecewa karena tidak diterima. Namun Yesus sendiri pun ditolak di tempat asal-Nya.
John MacArthur berkata:
“Pelayanan yang berpusat pada firman tidak diukur dari jumlah pengikut, tetapi dari kesetiaan kepada kebenaran Injil.”
Maka, ketika pelayanan kita ditolak, kita harus meneladani Yesus — tetap mengasihi, tetap mengajar, tetap setia.
9. Makna Kristologis: Kristus sebagai Nabi yang Ditolak, tetapi Dimuliakan
Penolakan Yesus di Nazaret menubuatkan penolakan yang lebih besar — penolakan di Golgota.
Di salib, seluruh bangsa menolak Dia, namun justru di sana keselamatan dinyatakan. Yang ditolak manusia, dipilih Allah untuk menjadi batu penjuru keselamatan (Mazmur 118:22).
Spurgeon menyimpulkan:
“Nazaret menolak-Nya, Yerusalem menyalibkan-Nya, tetapi surga memahkotai-Nya.”
Yesus adalah Sang Nabi, Imam, dan Raja yang sempurna — meskipun ditolak, Ia tetap setia menggenapi misi penebusan bagi umat pilihan-Nya.
10. Kesimpulan: Iman Sejati Melihat Kemuliaan di Balik Kerendahan
Kisah ini mengajarkan bahwa iman sejati tidak menilai berdasarkan mata jasmani, tetapi melihat kemuliaan Allah yang tersembunyi dalam Kristus.
Orang Nazaret melihat seorang tukang kayu, tetapi orang beriman melihat Anak Allah.
Hari ini pun, banyak orang menolak Kristus karena Ia tidak sesuai dengan ekspektasi mereka — terlalu rendah, terlalu sederhana, terlalu menuntut pertobatan. Namun bagi yang percaya, Kristus adalah kekuatan dan hikmat Allah (1 Korintus 1:24).
Kiranya kita tidak menjadi seperti orang Nazaret yang tersandung oleh kerendahan Kristus, tetapi menjadi seperti murid-murid yang melihat kemuliaan Allah di dalam diri Juruselamat yang lembut dan rendah hati.