Markus 6:45–52 — Yesus yang Berjalan di Atas Badai: Iman di Tengah Ketakutan
.jpg)
Pendahuluan: Saat Badai Menguji Iman
Setiap orang percaya, cepat atau lambat, akan berhadapan dengan badai kehidupan — masa ketika situasi tampak gelap, tidak terkendali, dan kehadiran Tuhan terasa jauh. Dalam momen-momen seperti itulah, iman kita diuji, bukan oleh keadaan yang ringan, melainkan oleh gelombang kehidupan yang mengguncang.
Kisah dalam Markus 6:45–52 menggambarkan pengalaman para murid di tengah badai. Mereka baru saja menyaksikan mukjizat luar biasa — Yesus memberi makan lima ribu orang. Namun, tak lama kemudian, mereka terombang-ambing di tengah danau, ketakutan dan hampir putus asa. Di sanalah Yesus datang kepada mereka, berjalan di atas air, meneguhkan hati mereka, dan menunjukkan bahwa Dia adalah Tuhan atas badai dan laut.
I. Yesus yang Memerintahkan Mereka Masuk ke Dalam Badai (Markus 6:45–46)
“Yesus segera memerintahkan murid-murid-Nya naik ke perahu dan mendahului-Nya ke seberang...”
1. Yesus yang Berdaulat atas Situasi
Bagian ini mengandung makna yang dalam: murid-murid masuk ke badai bukan karena mereka melawan kehendak Tuhan, tetapi justru karena mereka taat kepada perintah-Nya.
Menurut John Calvin, dalam Commentary on the Synoptic Gospels, ketaatan kepada Tuhan tidak menjamin hidup bebas dari kesulitan; justru sering kali, Tuhan memakai badai untuk melatih iman dan ketaatan umat-Nya.
Yesus yang mengetahui segala sesuatu mengutus mereka ke danau itu — bukan karena Ia tidak peduli, tetapi karena Ia ingin menyingkapkan diri-Nya lebih dalam kepada mereka.
2. Tujuan Rohani di Balik Badai
R. C. Sproul dalam The Holiness of God menegaskan bahwa Allah sering kali menyingkapkan kemuliaan-Nya di tengah kekacauan. Sama seperti Musa yang melihat kemuliaan Allah di semak yang menyala, murid-murid akan melihat kuasa Kristus di tengah badai.
Tuhan sering kali membawa kita ke tempat kesulitan agar kita berhenti mengandalkan diri sendiri dan mulai bersandar sepenuhnya pada Dia.
3. Yesus yang Berdoa bagi Murid-Murid (Markus 6:46)
“Setelah Ia berpisah dari mereka, Ia pergi ke bukit untuk berdoa.”
Yesus tidak membiarkan murid-murid sendirian tanpa perhatian. Ia naik ke bukit untuk berdoa — sebuah gambaran indah tentang perantaraan Kristus bagi umat-Nya.
Menurut teologi Reformed, doa Yesus di sini melambangkan pelayanan Kristus sebagai Pengantara (Ibrani 7:25), yang terus mendoakan gereja-Nya di hadapan Bapa.
John Owen menyebutnya the continual intercession of Christ — persekutuan abadi antara Kristus dan umat-Nya, di mana setiap badai hidup orang percaya tetap berada dalam pengawasan dan doa Sang Juruselamat.
II. Yesus Melihat Mereka di Tengah Gelap dan Angin Sakal (Markus 6:47–48a)
“Ketika hari sudah malam, perahu itu sudah di tengah danau, dan Ia seorang diri di darat. Ketika Ia melihat betapa payahnya mereka mendayung karena angin sakal...”
1. Yesus Tidak Pernah Lengah
Walaupun murid-murid berada jauh di tengah danau, Yesus melihat mereka. Markus menekankan kata “melihat” — ini menunjukkan pengawasan ilahi.
Allah tidak pernah kehilangan pandangan terhadap umat-Nya. Dalam badai terdalam, ketika kita merasa Tuhan jauh, sebenarnya Ia melihat setiap perjuangan kita.
Charles Spurgeon berkata:
“Ketika murid-murid mendayung dalam gelap, mata Yesus mengikuti setiap kayuhan mereka.”
Pandangan ini sejalan dengan doktrin Providensi Allah dalam teologi Reformed: Allah memelihara ciptaan-Nya, mengatur segala sesuatu, bahkan badai sekalipun, untuk kebaikan umat pilihan-Nya (Roma 8:28).
2. Angin Sakal sebagai Sarana Didikan
Angin sakal menggambarkan perlawanan dan kesulitan yang Tuhan izinkan. Dalam kehidupan rohani, “angin sakal” dapat berupa kegagalan, kesedihan, atau penderitaan. Namun, sebagaimana Calvin menulis, badai itu bukan hukuman, melainkan sekolah iman.
Dalam penggembalaan Reformed, penderitaan tidak pernah dipandang sebagai tanda Tuhan meninggalkan kita, melainkan sebagai alat pemurnian yang mengajarkan kita untuk semakin bersandar kepada kasih karunia-Nya.
III. Yesus Datang di Tengah Malam: Allah yang Hadir di Waktu yang Tepat (Markus 6:48b–50)
“...maka kira-kira jam tiga malam Ia datang kepada mereka berjalan di atas air; Ia hendak melewati mereka.”
1. Yesus Datang Tepat Waktu
Jam tiga malam (jam keempat jaga malam Romawi) adalah saat paling gelap dan paling lelah bagi manusia. Namun justru di saat itu, Yesus datang.
Tuhan tidak pernah datang terlalu cepat, tetapi juga tidak pernah terlambat. Dalam waktu-Nya yang sempurna, Ia menolong umat-Nya agar kemuliaan-Nya nyata sepenuhnya.
Matthew Henry menulis:
“Yesus datang di saat mereka kehabisan tenaga, agar mereka tahu bahwa keselamatan mereka bukan karena kemampuan mereka, melainkan karena kasih karunia-Nya.”
2. Berjalan di Atas Air: Tanda Keilahian Kristus
Tindakan Yesus berjalan di atas air adalah pernyataan teologis yang kuat. Dalam PL, hanya Allah yang berkuasa berjalan di atas ombak laut (Ayub 9:8). Dengan demikian, peristiwa ini menunjukkan bahwa Yesus adalah Tuhan yang Mahakuasa, bukan sekadar guru moral atau nabi besar.
R. C. Sproul menyebut peristiwa ini sebagai epiphany of deity — manifestasi nyata keilahian Kristus. Murid-murid tidak sedang menyaksikan sekadar mukjizat, melainkan penyataan identitas Mesias sebagai Tuhan atas alam semesta.
3. Reaksi Manusiawi: Takut dan Salah Mengerti
“Mereka mengira bahwa itu hantu... mereka sangat ketakutan.”
Sama seperti kita, murid-murid sering tidak mengenali kehadiran Kristus di tengah badai. Mereka melihat Yesus, tetapi gagal memahami bahwa Dialah jawaban bagi ketakutan mereka.
John Calvin menulis bahwa ketakutan sering menutupi mata iman. Ketika hati dikuasai oleh rasa takut, kita tidak lagi mampu mengenali kasih Tuhan yang sedang bekerja di tengah situasi sulit.
Namun, iman sejati belajar melihat melampaui ketakutan, mengenali tangan Tuhan yang bekerja bahkan di tengah kegelapan.
IV. Suara Penghiburan dari Tuhan (Markus 6:50b)
“Segera Ia berkata kepada mereka: Tenanglah! Aku ini, jangan takut!”
1. “Tenanglah!”: Firman yang Mengusir Ketakutan
Yesus tidak hanya menunjukkan kuasa-Nya, tetapi juga berbicara dengan kasih. Kata “Tenanglah!” (Yunani: tharseite) berarti beranilah! atau teguhkan hatimu!
Dalam momen itu, suara Kristus lebih kuat daripada suara angin. Ini mengingatkan kita bahwa Firman Tuhan lebih berkuasa daripada badai kehidupan.
Teologi Reformed menekankan pentingnya Firman yang hidup. Calvin menulis bahwa suara Yesus adalah “obat bagi jiwa yang terguncang.” Saat kita membaca Alkitab di tengah penderitaan, Roh Kudus memakai Firman untuk menenangkan hati kita dengan janji-janji Allah.
2. “Aku ini”: Pernyataan Ilahi
Ungkapan “Aku ini” (Ego eimi) menggemakan nama ilahi Yahweh dari Keluaran 3:14 — “AKU ADALAH AKU.” Dengan kata lain, Yesus menyatakan diri-Nya sebagai Tuhan yang sama yang berbicara kepada Musa di semak duri.
Yesus bukan hanya Penolong, tetapi juga Allah yang Mahahadir. Ketika Ia berkata, “Jangan takut,” Ia menegaskan: “Aku adalah Allah yang menguasai laut, angin, dan segala sesuatu yang menakutkanmu.”
R. C. Sproul menulis:
“Jika kita benar-benar mengenal siapa Yesus itu, tidak ada badai yang mampu membuat kita gentar.”
V. Ketika Yesus Naik ke Perahu: Damai Datang Bersama-Nya (Markus 6:51–52)
“Lalu Ia naik ke perahu mendapatkan mereka, dan angin pun reda. Mereka sangat tercengang, sebab mereka belum juga mengerti tentang roti itu, karena hati mereka telah degil.”
1. Kehadiran Kristus Membawa Kedamaian
Begitu Yesus masuk ke perahu, badai langsung berhenti. Ini adalah gambaran rohani dari kedamaian yang hanya datang melalui kehadiran Kristus.
Mazmur 107:29 berkata, “Ditukarkannya badai menjadi ketenangan.” Markus menegaskan bahwa kuasa Yesus bukan hanya dalam ciptaan, tetapi juga dalam hati manusia.
Ketika Yesus hadir dalam hidup kita, badai luar mungkin belum sirna, tetapi badai di hati kita pasti diredakan oleh damai sejahtera-Nya.
2. Mereka Belum Mengerti tentang Roti (Markus 6:52)
Markus menulis bahwa mereka “belum mengerti tentang roti itu.” Mukjizat roti dan ikan seharusnya membuat mereka sadar bahwa Yesus adalah sumber kehidupan dan pemeliharaan. Namun hati mereka degil — kata yang berarti “tertutup terhadap pengertian rohani.”
Calvin menjelaskan:
“Bukan karena mereka tidak melihat mukjizat, tetapi karena mereka tidak merenungkannya dengan iman.”
Sering kali kita pun demikian — kita menikmati berkat Tuhan, namun gagal melihat siapa di balik berkat itu. Badai hidup sering kali menjadi sarana Tuhan untuk membuka mata iman kita agar mengenal Dia lebih dalam.
VI. Aplikasi Praktis: Menghadapi Badai Bersama Kristus
-
Taat walau harus memasuki badai.
Ketaatan tidak menjamin kenyamanan, tetapi selalu mengandung janji penyertaan Tuhan. -
Percayalah bahwa Yesus melihat dan mendoakan kita.
Di saat kita berjuang, Kristus tidak diam — Ia berdoa bagi kita di hadapan Bapa (Ibrani 7:25). -
Kenali kehadiran Tuhan di tengah kesulitan.
Jangan biarkan ketakutan menutupi imanmu. Mungkin Yesus sedang berjalan mendekat kepadamu di atas gelombang itu. -
Dengarkan suara Firman-Nya.
Firman Kristus adalah kekuatan yang menenangkan badai hati. Jangan abaikan waktu teduh dan pembacaan Alkitab. -
Biarkan Yesus masuk ke “perahu” hidupmu.
Damai sejati bukan datang ketika badai selesai, tetapi ketika Kristus hadir di tengahnya.
VII. Refleksi Teologi Reformed: Kristus yang Berdaulat di Tengah Kekacauan
Kisah ini menegaskan Kristosentrisme dalam seluruh Kitab Suci. Kristus bukan sekadar Penolong moral, melainkan Allah yang berdaulat atas alam dan sejarah.
Teologi Reformed melihat peristiwa ini sebagai contoh nyata dari:
-
Providensi Allah: Tidak ada badai di luar kendali Kristus.
-
Kristologi yang tinggi: Yesus adalah Tuhan atas ciptaan, bukan sekadar manusia rohani.
-
Soteriologi anugerah: Murid-murid tidak mencari Yesus, tetapi Yesuslah yang datang kepada mereka — sebagaimana Ia juga datang menyelamatkan kita.
Penutup: Tuhan atas Badai Hidup
Badai dalam hidup orang percaya bukan akhir, melainkan panggung bagi kemuliaan Kristus.
Yesus tidak berjanji menghapus semua badai, tetapi Ia berjanji untuk hadir di dalamnya.
“Tenanglah! Aku ini, jangan takut!”
Kalimat itu masih bergema bagi setiap hati yang gelisah hari ini. Saat kita percaya, badai luar boleh tetap bergolak, tetapi damai Kristus akan menguasai hati kita.
Kiranya setiap orang percaya dapat berkata bersama pemazmur:
“Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku.” (Mazmur 23:4)