Keluaran 2:20–22 -Tuhan yang Menyediakan, Memanggil, dan Menyiapkan
.jpg)
I. Pendahuluan: Konteks Historis dan Teologis
Perikop Keluaran 2:20–22 menempati posisi penting dalam kisah besar penyelamatan Allah melalui kehidupan Musa. Teks ini mencatat masa pengasingan Musa di tanah Midian dan bagaimana Allah menyiapkan hambanya di luar Mesir untuk suatu panggilan yang agung.
Dalam konteks sejarah, Musa baru saja melarikan diri dari Mesir setelah membunuh orang Mesir yang menindas seorang Ibrani (Keluaran 2:11–15). Ia menjadi pelarian, tanpa kedudukan dan tanpa arah. Namun, narasi ini menunjukkan bahwa di balik situasi manusia yang tampaknya kacau, Allah tetap bekerja secara providensial.
Keluaran 2:20–22 (LAI):
“Lalu berkatalah ia kepada anak-anaknya perempuan: ‘Di manakah dia? Mengapakah kamu meninggalkan orang itu? Panggillah dia, supaya ia datang makan roti!’ Musa rela tinggal di rumah orang itu, lalu diberikanlah Sipora, anak perempuan imam itu, kepada Musa. Perempuan itu melahirkan seorang anak laki-laki, dan Musa menamai anak itu Gersom, sebab katanya: ‘Aku telah menjadi orang asing di negeri asing.’”
Ayat-ayat ini secara singkat mencatat tiga peristiwa penting:
-
Penerimaan Musa oleh keluarga Rehuel (Yitro).
-
Pernikahan Musa dengan Sipora.
-
Kelahiran anak pertama Musa, Gersom.
Namun di balik catatan sederhana itu, terkandung makna teologis mendalam tentang pemeliharaan Allah (providentia Dei), identitas umat Allah sebagai orang asing di dunia, dan panggilan ilahi yang sedang dipersiapkan.
II. Eksposisi Ayat demi Ayat
1. Keluaran 2:20 – Allah yang Memelihara Melalui Kebaikan Orang Lain
“Lalu berkatalah ia kepada anak-anaknya perempuan: ‘Di manakah dia? Mengapakah kamu meninggalkan orang itu? Panggillah dia, supaya ia datang makan roti!’”
a. Analisis Naratif
Rehuel (atau Yitro), imam di Midian, menunjukkan sikap keramahan kepada Musa. Sikap ini penting dalam konteks kuno Timur Dekat di mana keramahtamahan kepada orang asing merupakan nilai moral tinggi. Namun, Alkitab melihat lebih dalam: Allah memakai kebaikan Yitro untuk memelihara hamba-Nya yang sedang terbuang.
b. Perspektif Teologi Reformed
John Calvin dalam Commentaries on the Second Book of Moses menegaskan bahwa tindakan Rehuel bukan sekadar kebajikan manusiawi, melainkan bagian dari providence Dei—pemeliharaan Allah yang misterius dan tak terduga. Calvin menulis bahwa Allah “mengatur langkah Musa ke tangan orang yang takut akan Allah,” menunjukkan bahwa bahkan dalam pelarian, langkah orang pilihan tidak terlepas dari tangan Tuhan.
Calvin menambahkan bahwa inilah cara Allah menghibur umat-Nya: di tengah kesendirian dan penderitaan, Allah mengirimkan pertolongan melalui sarana-sarana yang biasa, namun dengan maksud ilahi. Ini menggemakan prinsip Reformed tentang means of grace, yakni bahwa Allah bekerja melalui sarana-sarana yang tampak sederhana untuk melaksanakan rencana besar-Nya.
Matthew Henry dalam tafsir klasiknya juga menekankan hal ini: “Ketika Musa tidak memiliki apa pun, Allah menyediakan rumah, keluarga, dan makanan baginya.” Henry menggarisbawahi bahwa keramahtamahan Rehuel adalah sarana berkat yang Allah gunakan untuk meneguhkan hamba-Nya.
c. Aplikasi Teologis
Dalam perspektif Reformed, peristiwa ini meneguhkan doktrin providence: tidak ada peristiwa kebetulan dalam hidup orang percaya. Musa tidak secara acak tiba di Midian; ia dibimbing secara ilahi. Ini mengingatkan kita pada Westminster Confession of Faith (Bab 5:1) yang menegaskan bahwa Allah “menyusun, menuntun, dan mengatur segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya yang bijaksana dan kudus.”
Musa mungkin merasa hidupnya berakhir di padang gurun, tetapi Allah justru memulai proses pembentukan karakter. Di sini kita melihat bahwa Allah tidak pernah meninggalkan pekerjaan tangan-Nya, bahkan ketika kita merasa tersesat.
2. Keluaran 2:21 – Musa Rela Tinggal di Rumah Orang Itu
“Musa rela tinggal di rumah orang itu, lalu diberikanlah Sipora, anak perempuan imam itu, kepada Musa.”
a. Tindakan “rela tinggal” sebagai simbol penerimaan panggilan tersembunyi
Frasa “rela tinggal” (wayyo’el Moshe lashevet) menunjukkan keputusan sadar Musa untuk menetap di tanah asing. Dalam bahasa Ibrani, kata yo’el berarti “bersedia dengan kehendak.” Ini bukan sekadar pasif, tetapi bentuk penerimaan aktif atas kondisi baru.
Menurut Umberto Cassuto, seorang ahli Perjanjian Lama yang banyak dikutip oleh teolog Reformed modern seperti Meredith Kline, keputusan Musa untuk menetap menandai titik balik dalam identitasnya: dari pangeran Mesir menjadi pengembara Midian. Ini adalah proses kenosis—pengosongan diri dari kehormatan duniawi untuk menjalani kehidupan yang rendah hati di bawah tangan Allah.
b. Perspektif Calvin dan Kuyper
Calvin menyebut masa tinggal Musa di Midian sebagai “sekolah Allah.” Dalam tafsirnya, Calvin berkata: “Sebelum Musa dapat memimpin bangsa, ia harus terlebih dahulu belajar memimpin dirinya sendiri di bawah disiplin Allah.”
Hal ini sejalan dengan pandangan Abraham Kuyper dalam teologi sphere sovereignty—bahwa setiap bidang kehidupan berada di bawah kedaulatan Allah, termasuk tempat pembuangan. Bagi Kuyper, padang gurun Musa bukan masa stagnasi, tetapi ruang formation di mana Allah membentuk visi rohani dan kesadaran akan misi ilahi.
Geerhardus Vos, tokoh teologi biblika Reformed, melihat periode ini sebagai bagian dari redemptive-historical continuity: Allah terus memelihara garis penebusan bahkan di tengah pengasingan. Musa tidak sedang “di luar” rencana Allah, melainkan sedang “dimasukkan” ke dalam tahap persiapan rencana itu.
c. Dimensi Kristologis
Banyak teolog Reformed melihat bayangan Kristus dalam kehidupan Musa. Seperti Musa yang meninggalkan istana Mesir, Kristus juga “meninggalkan kemuliaan surgawi” (Flp. 2:6–8). Keduanya menjadi pelarian, hidup di antara orang asing, namun dipersiapkan untuk tugas penebusan umat. Dengan demikian, Musa adalah type (tipe) dari Kristus yang akan datang.
d. Aplikasi
Ayat ini mengajarkan bahwa kesediaan untuk “tinggal” di tempat Allah taruh kita adalah bagian dari ketaatan iman. Seringkali Allah membentuk kita bukan di tempat kemuliaan, tetapi di tempat keterasingan.
Seperti Musa, kita harus rela menjalani wilderness school Allah—masa di mana kita dipisahkan dari ambisi dunia agar disiapkan bagi pekerjaan kekal.
3. Keluaran 2:22 – Identitas sebagai Orang Asing: Teologi Pengasingan
“Perempuan itu melahirkan seorang anak laki-laki, dan Musa menamai anak itu Gersom, sebab katanya: ‘Aku telah menjadi orang asing di negeri asing.’”
a. Makna nama Gersom
Nama Gersom (גֵּרְשֹׁם) berasal dari akar kata ger (orang asing) dan sham (di sana). Secara literal berarti “aku menjadi orang asing di sana.” Dengan menamai anaknya demikian, Musa menyatakan identitas eksistensialnya: ia bukan lagi pangeran Mesir, tetapi orang asing di dunia ini.
John Calvin menafsirkan pemberian nama ini sebagai “tanda kerendahan hati dan pengakuan akan ketergantungan kepada Allah.” Musa tidak lagi bermegah atas asal-usul Mesirnya, tetapi mengakui dirinya sebagai pendatang di bumi, seperti Abraham, Ishak, dan Yakub (Ibr. 11:13).
Calvin menulis:
“Nama itu adalah pengakuan iman; sebab dengan menyebut dirinya orang asing, Musa menegaskan bahwa dunia ini bukan rumahnya, melainkan tempat sementara yang harus dilewati menuju perhentian Allah.”
b. Pandangan Matthew Henry dan Herman Bavinck
Matthew Henry menafsirkan pernyataan Musa ini sebagai refleksi iman yang sadar akan providensi Allah: “Musa bukan saja seorang pelarian, tetapi juga seorang peziarah. Ia mengingat bahwa tempat asing pun dapat menjadi tempat Allah menyatakan diri.”
Sementara Herman Bavinck, dalam Reformed Dogmatics (Vol. 4), menjelaskan bahwa kesadaran sebagai orang asing adalah esensi hidup orang percaya. Dunia ini bukan tujuan akhir; kita sedang berjalan menuju civitas Dei (kota Allah). Dengan demikian, pernyataan Musa adalah proklamasi teologis tentang kondisi rohani semua umat Allah.
c. Typologi Redemptif
Perjalanan Musa di tanah asing adalah pola yang berulang dalam sejarah penebusan:
-
Abraham dipanggil keluar dari Ur menuju negeri yang belum dikenal (Kej. 12:1).
-
Yusuf dijual ke Mesir dan menjadi alat penyelamatan.
-
Israel hidup sebagai pendatang di Mesir sebelum diselamatkan.
-
Kristus sendiri lahir di dunia sebagai “orang asing” (Yoh. 1:10–11).
Maka, nama Gersom menjadi simbol universal: umat Allah adalah komunitas pengasingan yang menantikan tanah perjanjian sejati—Kerajaan Allah.
d. Aplikasi Eskatologis
Pandangan Reformed menempatkan identitas “orang asing” ini dalam kerangka eschatological tension—sudah tetapi belum. Kita sudah diselamatkan, tetapi belum berada di rumah kekal. Seperti Musa, kita hidup di dunia sebagai saksi kerajaan yang akan datang.
Herman Ridderbos dalam The Coming of the Kingdom menegaskan bahwa kesadaran sebagai orang asing membentuk etika hidup Kristen: kita hidup dengan pandangan kekal, bukan fana. Maka, penderitaan, pengasingan, dan keterasingan bukan tanda kegagalan, melainkan bagian dari rencana Allah menyiapkan umat bagi kemuliaan yang kekal.
III. Tema Besar Teologis dari Keluaran 2:20–22
1. Providence: Allah yang Mengatur Langkah Umat-Nya
Seluruh narasi ini berdiri di atas doktrin providence. Musa mungkin tampak kehilangan segalanya—jabatan, status, dan tujuan hidup—namun justru di situ Allah sedang menuntun. Dalam teologi Reformed, providence bukan hanya pemeliharaan pasif, tetapi tindakan aktif Allah yang mengatur segala sesuatu untuk mencapai maksud penebusan-Nya.
Louis Berkhof menjelaskan bahwa providence terdiri dari tiga aspek:
-
Preservatio (pemeliharaan): Allah menjaga keberadaan ciptaan-Nya.
-
Concursus (keterlibatan): Allah bekerja bersama setiap peristiwa.
-
Gubernatio (pemerintahan): Allah menuntun semua hal menuju tujuan ilahi.
Kehadiran Musa di Midian, kebaikan Rehuel, pernikahan dengan Sipora, dan kelahiran Gersom semuanya termasuk dalam concursus divinus—campur tangan Allah yang menyeluruh dalam sejarah pribadi Musa.
2. Panggilan Ilahi yang Disembunyikan
Keluaran 2 tidak menyebutkan bahwa Allah berbicara langsung kepada Musa, tetapi bab ini penuh dengan silent sovereignty—kedaulatan Allah yang diam. Musa tidak sadar bahwa proses ini adalah tahap persiapan untuk panggilan besar di pasal 3.
Calvin mengajarkan bahwa “Allah sering menyembunyikan tangan-Nya dalam didikan-Nya, agar kita belajar berjalan dengan iman, bukan dengan penglihatan.” Dalam hal ini, padang gurun menjadi ruang pembentukan rohani bagi Musa, di mana ia belajar kesabaran, kepemimpinan, dan ketaatan.
3. Identitas Umat Allah: Orang Asing yang Dipanggil
Dengan menamai anaknya Gersom, Musa mengafirmasi identitas orang percaya sebagai pendatang. Augustinus (yang menjadi dasar teologi Reformed klasik) dalam Civitas Dei menyebut umat Allah sebagai “civitas peregrina”—kota peziarah di dunia yang sementara.
Tradisi Reformed melanjutkan pandangan ini:
-
Heidelberg Catechism (Q.1) menegaskan bahwa penghiburan sejati kita bukan di dunia ini, tetapi dalam milik Kristus di kehidupan kekal.
-
John Owen menulis bahwa “umat pilihan adalah orang asing di dunia, karena mereka diciptakan ulang untuk dunia yang akan datang.”
Kesadaran ini membentuk spiritualitas ziarah: kesetiaan dalam dunia yang sementara, sambil menantikan pemenuhan janji Allah.
IV. Implikasi Doktrinal dan Praktis
1. Kedaulatan dan Pemeliharaan Allah
Keluaran 2:20–22 menegaskan bahwa tidak ada ruang bagi konsep kebetulan dalam teologi Reformed. Musa tidak kebetulan bertemu dengan Yitro, tidak kebetulan menikah, dan tidak kebetulan menamai anaknya Gersom. Semua diatur untuk menggenapi rencana penebusan.
Ini meneguhkan iman kepada Allah yang aktif bekerja bahkan dalam diam. Sebagaimana dikatakan oleh John Piper, “Allah seringkali paling bekerja ketika kita berpikir Dia paling diam.”
2. Proses Pembentukan dan Panggilan
Kehidupan Musa di Midian menggambarkan prinsip pembentukan rohani (spiritual formation) yang sejati: Allah mempersiapkan pelayan-Nya melalui pengalaman penderitaan dan keterasingan. Dalam pandangan Reformed, setiap penderitaan memiliki nilai redemptif karena berada di bawah pengawasan kasih karunia Allah.
R.C. Sproul menegaskan: “Tidak ada satu atom pun di alam semesta yang berada di luar kedaulatan Allah.” Maka, pengasingan Musa bukanlah kebetulan, melainkan curriculum ilahi untuk mempersiapkannya menjadi pemimpin yang tunduk sepenuhnya kepada Tuhan.
3. Hidup Sebagai Orang Asing yang Setia
Nama Gersom menjadi panggilan bagi setiap orang percaya untuk hidup dengan kesadaran eskatologis. Kita dipanggil untuk setia, bukan untuk nyaman. Seperti Musa, kita harus mengingat bahwa tanah asing ini bukan rumah kita.
Herman Bavinck menulis, “Kesadaran akan kekekalan adalah sumber kekuatan moral tertinggi.” Artinya, hanya mereka yang tahu bahwa dunia ini sementara yang mampu hidup dengan integritas sejati di tengah dunia yang fana.
V. Kesimpulan: Dari Midian Menuju Misi Allah
Keluaran 2:20–22 menutup babak pertama dalam kisah kehidupan Musa—dari istana menuju padang gurun, dari kehormatan menuju keterasingan. Namun justru di Midian, Allah sedang bekerja secara tersembunyi menyiapkan pemimpin umat-Nya.
Dari perspektif teologi Reformed, teks ini meneguhkan tiga hal mendasar:
-
Allah yang berdaulat memelihara umat-Nya dalam setiap situasi (Providence).
-
Allah membentuk dan mempersiapkan melalui penderitaan dan pengasingan (Formation).
-
Allah mengajarkan bahwa dunia ini bukan rumah kita; kita adalah peziarah menuju kemuliaan (Pilgrimage).
Musa belajar pelajaran penting sebelum ia diutus ke Mesir: bahwa kekuatan sejati bukan berasal dari istana, tetapi dari ketergantungan pada Allah di tanah asing.
Seperti Musa, umat Allah masa kini juga dipanggil untuk hidup dengan kesadaran bahwa segala sesuatu—baik pengasingan, penderitaan, maupun berkat—berada di bawah kedaulatan Allah yang sempurna.