Matius 9:29 - Iman yang Memampukan
.jpg)
“Lalu Yesus menjamah mata mereka sambil berkata: ‘Jadilah kepadamu menurut imanmu!’” — Matius 9:29
Pendahuluan
Dalam seluruh Injil, Yesus sering menghubungkan mujizat-Nya dengan iman orang yang datang kepada-Nya. Salah satu pernyataan yang paling indah dan penuh makna dalam konteks ini terdapat dalam Matius 9:29: “Jadilah kepadamu menurut imanmu.”
Ayat ini diucapkan Yesus kepada dua orang buta yang datang kepada-Nya dengan permohonan yang sungguh-sungguh agar mata mereka dipulihkan. Dengan lembut, Yesus menjamah mereka dan memulihkan penglihatan mereka — tetapi Ia menegaskan bahwa mujizat itu terjadi “menurut imanmu.”
Kalimat sederhana ini menyimpan kebenaran teologis yang dalam. Dalam terang teologi Reformed, iman bukanlah penyebab utama dari mujizat, melainkan sarana yang Allah tetapkan untuk menyatakan kasih karunia-Nya. Iman tidak memiliki kuasa dalam dirinya sendiri, tetapi menjadi alat yang menghubungkan kita dengan kuasa Kristus yang menyelamatkan dan memulihkan.
Dalam artikel ini, kita akan menelusuri makna Matius 9:29 secara ekspositori — menggali konteksnya, memahami peran iman dalam keselamatan dan pemulihan, serta merenungkan bagaimana prinsip ini diterapkan dalam kehidupan orang percaya masa kini. Kita juga akan melihat pandangan beberapa teolog Reformed seperti John Calvin, Matthew Henry, Martyn Lloyd-Jones, R.C. Sproul, dan John MacArthur untuk memperkaya pemahaman kita.
I. Konteks Matius 9:27–31: Dua Orang Buta yang Percaya
Perikop ini merupakan bagian dari rangkaian mujizat dalam Injil Matius pasal 8 dan 9, di mana Yesus menegaskan otoritas ilahi-Nya atas penyakit, alam, dosa, dan maut. Setelah membangkitkan anak kepala rumah ibadat dan menyembuhkan perempuan yang pendarahan dua belas tahun, Yesus berjumpa dengan dua orang buta yang berseru, “Kasihanilah kami, hai Anak Daud!” (ayat 27).
Panggilan “Anak Daud” menunjukkan pengakuan mereka terhadap identitas mesianik Yesus. Dalam istilah Yahudi, “Anak Daud” adalah sebutan bagi Mesias yang dijanjikan. Artinya, meskipun mata mereka buta, mata iman mereka melihat kebenaran yang tidak disadari banyak orang yang memiliki penglihatan jasmani.
Yesus kemudian menanyakan satu hal penting: “Percayakah kamu, bahwa Aku dapat melakukannya?” (ayat 28). Pertanyaan ini bukan karena Yesus ragu akan kuasa-Nya, tetapi untuk menyingkap isi hati mereka. Iman selalu menjadi respons pribadi terhadap pewahyuan Kristus. Setelah mereka menjawab, “Ya Tuhan, kami percaya,” barulah Yesus menjamah mata mereka dan berkata, “Jadilah kepadamu menurut imanmu.”
Perhatikan urutannya:
-
Mereka mendengar tentang Yesus.
-
Mereka percaya kepada-Nya sebagai Anak Daud.
-
Mereka datang kepada-Nya dengan pengakuan iman.
-
Yesus menjamah dan memulihkan mereka.
Ini menggambarkan urutan yang indah dalam keselamatan: pewartaan, iman, respons, dan anugerah Allah.
II. Makna Kalimat “Jadilah Kepadamu Menurut Imanmu”
1. Bukan karena besarnya iman, tetapi karena objek iman
Menurut John Calvin, iman sejati bukanlah kekuatan batin manusia, tetapi kepercayaan yang bersandar pada Kristus sebagai objek iman. Ia menulis:
“Iman tidak memiliki nilai karena dirinya sendiri, melainkan karena ia mengarahkan kita kepada Kristus, sumber segala kuasa dan keselamatan.”
— John Calvin, Commentary on the Synoptic Gospels.
Dengan demikian, ketika Yesus berkata “Jadilah kepadamu menurut imanmu,” Ia tidak sedang memuji iman mereka sebagai suatu kekuatan mistis, melainkan menegaskan bahwa iman mereka telah menghubungkan mereka kepada diri-Nya — Sang Mesias yang berkuasa memulihkan.
2. Iman sebagai sarana, bukan sebab utama
R.C. Sproul menjelaskan bahwa dalam teologi Reformed, iman adalah instrumental cause (penyebab perantara), bukan efficient cause (penyebab utama). Artinya, iman hanyalah alat yang digunakan Allah untuk menyalurkan kasih karunia-Nya. Kuasa yang menyembuhkan berasal sepenuhnya dari Kristus, bukan dari manusia.
“Kita tidak diselamatkan oleh iman dalam arti iman itu sendiri menyelamatkan kita; kita diselamatkan oleh Kristus, melalui sarana iman.”
— R.C. Sproul, Faith Alone.
Dengan kata lain, iman bukanlah syarat untuk membuat Allah bekerja, tetapi tanggapan yang dihasilkan oleh Roh Kudus ketika Allah memutuskan untuk bekerja.
3. Iman sejati adalah anugerah Allah
Dalam terang Efesus 2:8–9, iman sendiri adalah pemberian Allah. Maka, ketika Yesus memuji iman dua orang buta itu, Ia sebenarnya sedang menegaskan karya anugerah yang sudah bekerja dalam diri mereka. Mereka dapat percaya karena Allah lebih dahulu membuka hati mereka untuk percaya.
Martyn Lloyd-Jones menegaskan:
“Iman adalah hasil dari karya Roh Kudus yang membuka mata rohani manusia untuk melihat kemuliaan Kristus. Tanpa karya itu, manusia tetap buta sekalipun memiliki mata jasmani.”
— Martyn Lloyd-Jones, Studies in the Sermon on the Mount.
III. Eksposisi Teologis: Iman dan Anugerah dalam Perspektif Reformed
1. Allah sebagai Subjek Utama dalam Iman
Teologi Reformed menegaskan bahwa segala sesuatu — termasuk iman — berasal dari Allah dan ditujukan untuk kemuliaan Allah. Seperti yang dikatakan Paulus: “Segala sesuatu adalah dari Dia, oleh Dia, dan kepada Dia” (Roma 11:36). Maka, iman bukanlah inisiatif manusia, melainkan respon yang dimampukan oleh kasih karunia.
Calvin menyebut iman sebagai “pekerjaan Roh Kudus dalam hati yang diperbaharui.” Dalam komentarnya atas Injil Matius, ia menjelaskan bahwa dua orang buta ini adalah contoh iman yang benar: mereka tidak melihat secara jasmani, tetapi pengenalan rohani mereka terhadap Yesus membuat mereka percaya sebelum melihat.
2. Hubungan antara Iman dan Mujizat
Bagi Matthew Henry, mujizat-mujizat Yesus bukan sekadar tindakan belas kasihan, melainkan tanda yang meneguhkan iman. Ia menulis:
“Mujizat Kristus bukan hanya menunjukkan kuasa-Nya, tetapi juga menguji iman orang yang datang kepada-Nya. Karena iman sejati tidak hanya percaya bahwa Yesus dapat melakukan sesuatu, tetapi bahwa Ia adalah Tuhan yang layak dipercayai sepenuhnya.”
Yesus tidak menolak orang-orang yang lemah imannya, tetapi Ia menuntun mereka untuk menaruh kepercayaan penuh kepada-Nya. Mujizat itu menjadi alat pengajaran rohani — bahwa iman sejati melihat lebih jauh daripada penglihatan jasmani.
3. Iman sebagai Respons terhadap Firman
Dalam seluruh Alkitab, iman selalu datang dari pendengaran akan Firman Kristus (Roma 10:17). Dua orang buta itu mungkin mendengar kesaksian tentang mujizat-mujizat Yesus sebelumnya, dan melalui pendengaran itu, Roh Kudus menumbuhkan iman mereka.
Maka, iman tidak lahir dari pengalaman supranatural, tetapi dari Firman yang diberitakan.
John MacArthur menegaskan bahwa iman tanpa Firman hanyalah sugesti emosional:
“Iman yang sejati bukanlah optimisme buta, melainkan keyakinan berdasarkan kebenaran objektif dari Firman Allah.”
— John MacArthur, The Gospel According to Jesus.
Oleh karena itu, iman sejati selalu berakar pada kebenaran Alkitab, bukan perasaan atau harapan kosong.
IV. Aplikasi Praktis: Iman dalam Kehidupan Orang Percaya
1. Iman yang memampukan melihat Kristus di tengah kegelapan
Dua orang buta itu tidak melihat dunia sekitar, tetapi mata hati mereka memandang kepada Yesus. Demikian juga, ketika kita berada dalam masa gelap — penderitaan, kebimbangan, atau kesakitan — iman membuat kita tetap melihat kepada Kristus, sumber terang sejati.
Iman bukan berarti kita memahami semua jalan Tuhan, tetapi kita percaya bahwa Dia tahu apa yang terbaik. Seperti dikatakan oleh Lloyd-Jones:
“Iman sejati bukanlah melihat solusi, tetapi memandang kepada Pribadi yang memegang solusi itu.”
2. Iman yang tunduk pada kehendak Allah
Ketika Yesus berkata “Jadilah kepadamu menurut imanmu,” Ia menegaskan bahwa iman sejati selaras dengan kehendak Allah. Iman tidak memaksa Tuhan, tetapi menyerahkan diri kepada-Nya dengan keyakinan penuh.
Dalam teologi Reformed, hal ini dikenal sebagai faith submission — iman yang tunduk pada otoritas Allah. Calvin menulis bahwa doa dan iman yang benar selalu berkata seperti Yesus di Getsemani: “Bukan kehendakku, melainkan kehendak-Mu yang jadi.”
3. Iman yang menuntun kepada pertobatan dan ketaatan
Mujizat bukanlah tujuan akhir. Tujuan akhir iman adalah persekutuan dengan Kristus yang menghasilkan pertobatan dan ketaatan. Dua orang buta itu bukan hanya melihat kembali secara jasmani, tetapi mereka juga mengikuti Yesus (ayat 31).
Itulah buah iman sejati: bukan hanya menerima berkat, tetapi hidup untuk memuliakan Sang Pemberi berkat.
V. Perspektif Reformatoris: Iman sebagai Bukti Pemilihan Anugerah
Reformator seperti Calvin, Luther, dan Zwingli menekankan bahwa iman sejati tidak bisa dipisahkan dari pemilihan anugerah Allah. Orang buta itu bisa percaya bukan karena mereka lebih baik dari orang lain, tetapi karena kasih karunia Allah yang memilih untuk bekerja dalam hati mereka.
Calvin menulis:
“Ketika Yesus berkata, ‘Jadilah kepadamu menurut imanmu,’ Ia meneguhkan janji bahwa mereka yang dipilih-Nya akan menerima sesuai dengan iman yang telah ditanamkan oleh Roh-Nya.”
Dengan demikian, iman adalah bukti, bukan syarat, dari pemilihan Allah. Inilah yang membedakan pandangan Reformed dengan pandangan teologi lain yang menekankan kehendak bebas manusia sebagai pusat. Dalam teologi Reformed, anugerah Allah mendahului dan memampukan iman manusia.
VI. Refleksi Pastoral: Menghidupi Iman dalam Dunia Modern
Hari ini, banyak orang berbicara tentang iman sebagai “kekuatan dalam diri.” Pandangan ini sangat populer dalam budaya modern — iman dianggap sebagai energi positif, kepercayaan diri, atau optimisme. Namun, dari perspektif Alkitab dan teologi Reformed, iman bukanlah percaya pada diri sendiri, tetapi bersandar sepenuhnya kepada Kristus.
R.C. Sproul menegaskan:
“Perbedaan antara iman Kristen dan keyakinan dunia adalah objeknya. Dunia berkata: ‘Percayalah kepada dirimu!’ Tetapi Yesus berkata: ‘Percayalah kepada-Ku!’”
Dalam konteks ini, Matius 9:29 menjadi seruan bagi gereja masa kini untuk kembali kepada iman yang berpusat pada Kristus — bukan iman yang berpusat pada manusia, emosi, atau pengalaman pribadi.
A. Iman yang berakar pada Firman
Gereja harus menegakkan pengajaran yang kokoh berdasarkan Kitab Suci, karena iman tumbuh melalui kebenaran Firman, bukan motivasi duniawi.
B. Iman yang menghasilkan buah
Iman sejati tidak diam. Ia menuntun kepada tindakan kasih, pelayanan, dan kesetiaan kepada Kristus. Seperti kata Yakobus, “Iman tanpa perbuatan adalah mati.”
C. Iman yang bertumbuh di tengah ujian
Seperti dua orang buta itu yang menunggu dan berseru kepada Yesus, iman kita pun diuji dalam penantian. Dalam setiap ujian, Allah sedang memperdalam akar iman kita agar semakin bergantung kepada-Nya.
VII. Penutup: Iman yang Menyembuhkan dan Menyelamatkan
Kalimat Yesus dalam Matius 9:29 adalah pernyataan kasih karunia yang indah: “Jadilah kepadamu menurut imanmu.” Kalimat ini mengandung dua sisi kebenaran:
-
Kuasa ilahi Kristus yang berdaulat penuh atas segala keadaan.
-
Respons iman manusia yang dihasilkan oleh anugerah Allah.
Iman tidak menciptakan kuasa, tetapi membuka jalan bagi kuasa Kristus untuk bekerja. Dalam setiap aspek hidup — kesembuhan, keselamatan, maupun perjalanan rohani — prinsip yang sama berlaku: segala sesuatu terjadi bukan karena kekuatan kita, tetapi karena kasih karunia Allah yang bekerja melalui iman.
Matthew Henry menutup komentarnya atas ayat ini dengan kata-kata yang layak kita renungkan:
“Kristus menghormati iman, karena melalui imanlah manusia menghormati Dia. Ia memberi kepada kita sesuai dengan iman kita, karena melalui iman itulah kita memberi kemuliaan kepada-Nya.”
Kiranya kita hidup sebagai orang-orang yang terus memandang kepada Kristus dengan iman yang sejati — iman yang bukan hanya percaya bahwa Ia mampu, tetapi juga tunduk sepenuhnya pada kehendak-Nya. Sebab hanya iman yang berakar pada kasih karunia Allah yang dapat memulihkan, menyelamatkan, dan memampukan kita untuk hidup bagi kemuliaan-Nya.