Kejadian 5:21–24 - Hidup Bergaul dengan Allah: Kesaksian Iman Henokh
.jpg)
Pendahuluan: Hidup Kudus di Tengah Dunia yang Rusak
Kisah Henokh dalam Kejadian 5:21–24 merupakan salah satu peristiwa paling misterius sekaligus menakjubkan dalam Alkitab. Dalam pasal yang berisi daftar panjang nama-nama keturunan Adam dan catatan kematian mereka, hanya satu orang yang tidak mengalami kematian — yaitu Henokh. Di tengah pola berulang “dan ia mati”, Alkitab tiba-tiba menyatakan sesuatu yang berbeda:
“Henokh hidup bergaul dengan Allah, lalu ia tidak ada lagi, sebab ia diangkat oleh Allah.” (Kejadian 5:24)
Narasi ini menjadi sinar terang di tengah kegelapan dosa. Ketika kematian menjadi kenyataan universal akibat kejatuhan manusia, kehidupan Henokh menjadi tanda harapan bahwa Allah masih berkenan berelasi dengan manusia di bawah perjanjian anugerah-Nya.
Henokh tidak sekadar sosok moral yang baik, melainkan gambaran iman sejati — iman yang berakar pada kasih karunia dan menghasilkan hidup yang bergaul erat dengan Allah. Dalam teologi Reformed, kehidupan Henokh menjadi prototipe kehidupan orang kudus yang diselamatkan oleh iman, berjalan dalam kekudusan, dan akhirnya ditinggikan oleh Allah sendiri.
I. Konteks Historis dan Teologis Kejadian 5
1. Silsilah sebagai Bukti Dosa dan Kasih Karunia
Kejadian 5 mencatat silsilah dari Adam melalui Set hingga Nuh. Setiap entri dalam silsilah itu menegaskan satu kenyataan pahit: “lalu ia mati.” Ini merupakan bukti nyata dari kutuk dosa sebagaimana Allah telah berfirman dalam Kejadian 2:17.
Namun di tengah silsilah kematian itu, muncul satu anomali teologis: Henokh tidak mati. Ia “diangkat” oleh Allah. John Calvin dalam Commentary on Genesis menulis:
“Silsilah ini adalah catatan kejatuhan dan kematian manusia, tetapi di dalam Henokh Allah menunjukkan bahwa kehidupan dan keabadian tetap dijanjikan bagi umat pilihan-Nya.”
Artinya, keberadaan Henokh bukan untuk meniadakan realitas kematian, melainkan untuk menunjukkan harapan kebangkitan dan kehidupan kekal di dalam Allah.
2. Latar Moral dan Spiritualitas Zaman Henokh
Henokh hidup dalam zaman ketika kejahatan manusia meningkat (bandingkan dengan Kej. 6:5). Dunia sedang meluncur ke arah kehancuran moral. Dalam konteks seperti itu, kesalehan Henokh menjadi kontras yang sangat kuat.
Matthew Henry menulis dalam komentarnya:
“Kesalehan Henokh bersinar semakin terang karena jarangnya orang saleh di masa itu. Ketika orang lain berjalan menurut keinginan daging, Henokh berjalan bersama Allah.”
Hidup Henokh menjadi bukti bahwa ketaatan kepada Allah tetap mungkin di tengah kejatuhan, bukan karena kekuatan manusia, melainkan karena anugerah yang menopang orang percaya.
II. Eksposisi Frasa: “Henokh Hidup Bergaul dengan Allah”
1. Arti Kata dalam Bahasa Ibrani
Ungkapan “hidup bergaul dengan Allah” diterjemahkan dari frasa Ibrani “hithallek et-ha’Elohim.” Kata kerja hithallek berasal dari akar kata halak, yang berarti “berjalan.” Bentuk refleksif ini menunjukkan proses yang berulang dan berkelanjutan — bukan tindakan sesaat, melainkan gaya hidup yang terus-menerus.
James Montgomery Boice dalam Genesis: An Expositional Commentary menjelaskan:
“Kata kerja ini menunjukkan kebiasaan hidup. Henokh tidak hanya sekali-sekali berjalan bersama Allah, melainkan ia menjadikan persekutuan dengan Allah sebagai pola hidup yang konstan.”
Dengan demikian, “bergaul dengan Allah” berarti hidup dalam keintiman, ketaatan, dan kesadaran akan kehadiran Allah setiap hari.
2. Berjalan Bersama Allah sebagai Relasi Perjanjian
Dalam perspektif teologi Reformed, “berjalan dengan Allah” tidak dimengerti sebagai usaha manusia mendekati Allah, melainkan sebagai buah dari relasi perjanjian kasih karunia.
Herman Bavinck menulis dalam Reformed Dogmatics:
“Persekutuan manusia dengan Allah hanya mungkin melalui kasih karunia perjanjian. Manusia tidak dapat berjalan dengan Allah kecuali Allah terlebih dahulu mendamaikan dirinya dengan manusia.”
Dengan kata lain, Henokh dapat bergaul dengan Allah karena ia telah dibenarkan oleh iman (lih. Ibrani 11:5–6). Hidupnya bukan hasil kebaikan moral, melainkan manifestasi iman yang sejati.
3. Kesinambungan dengan Iman Perjanjian Baru
Ibrani 11:5 menafsirkan kehidupan Henokh sebagai contoh iman:
“Karena iman Henokh terangkat, supaya ia tidak mengalami kematian, dan ia tidak ditemukan, karena Allah telah mengangkatnya.”
Imanlah yang memungkinkan Henokh bergaul dengan Allah. John Owen menafsirkan ayat ini:
“Iman adalah prinsip kasih karunia yang membuat jiwa melekat kepada Allah, menikmati hadirat-Nya, dan mengasihi kemuliaan-Nya di atas segalanya.”
Hidup bergaul dengan Allah adalah buah dari iman yang hidup, bukan sekadar ketaatan legalistik.
III. Hubungan Henokh dan Metusalah: Iman yang Menjangkau Generasi
1. Arti Nama Metusalah
Kejadian 5:21 mencatat bahwa Henokh memperanakkan Metusalah pada usia 65 tahun. Nama Metusalah secara harfiah dapat diartikan “ketika ia mati, penghakiman akan datang.” Berdasarkan perhitungan kronologis, Metusalah meninggal pada tahun yang sama ketika air bah datang (Kejadian 7:6).
John Calvin menulis:
“Nama Metusalah tidak diberikan secara kebetulan, tetapi sebagai nubuat yang menandakan kesabaran Allah yang panjang namun terbatas.”
Artinya, hidup Henokh dan keluarganya menjadi peringatan akan penghakiman Allah sekaligus kesaksian tentang kesetiaan kasih karunia-Nya.
2. Iman yang Mewariskan Ketaatan
Henokh bukan hanya seorang pribadi yang taat, tetapi juga seorang ayah yang menurunkan iman. Dalam konteks Reformed, iman sejati tidak berhenti pada pribadi, melainkan mempengaruhi generasi berikutnya.
R. C. Sproul menulis dalam Chosen by God:
“Iman sejati selalu meninggalkan warisan. Pengaruh satu orang yang berjalan dengan Allah lebih besar dari seribu yang hidup tanpa-Nya.”
Dengan demikian, ketaatan Henokh menjadi model iman antargenerasi — iman yang bukan hanya menyelamatkan, tetapi juga mengajarkan kebenaran kepada keturunan.
IV. “Lalu Ia Tidak Ada Lagi, Sebab Ia Diangkat oleh Allah”
1. Keunikan Pengangkatan Henokh
Kejadian 5:24 menyatakan bahwa Henokh “tidak ada lagi, sebab ia diangkat oleh Allah.” Ini adalah peristiwa unik dalam sejarah keselamatan. Henokh tidak mengalami kematian jasmani, melainkan langsung diangkat ke hadirat Allah.
John Gill menulis dalam Exposition of the Old Testament:
“Pengangkatan Henokh adalah bukti nyata bahwa Allah berkuasa mengalahkan maut, dan menjadi janji awal tentang kebangkitan orang benar.”
Peristiwa ini adalah tanda harapan eskatologis — bahwa kematian tidak akan berkuasa selamanya atas umat Allah.
2. Bayangan Kristus dan Penebusan
Dalam hermeneutik Reformed, setiap tokoh Perjanjian Lama dapat dibaca sebagai bayangan Kristus (type of Christ). Henokh adalah gambaran Kristus dalam dua hal:
-
Ia berjalan sempurna dengan Allah.
-
Ia diangkat ke surga tanpa mengalami kematian yang menguasainya.
Charles Spurgeon menulis:
“Sebagaimana Henokh diangkat, demikian juga Kristus naik ke surga dalam kemuliaan. Dalam Henokh kita melihat cermin kemenangan Kristus atas maut bagi semua orang yang berjalan bersama Allah.”
Dengan demikian, kisah Henokh menubuatkan realitas kemenangan kebangkitan Kristus, yang menjadi dasar keselamatan bagi orang percaya.
3. Tanda Gereja yang Akan Diangkat
Henokh juga merupakan simbol gereja yang ditebus. Dalam 1 Tesalonika 4:17, Rasul Paulus menyatakan bahwa orang percaya yang masih hidup pada kedatangan Kristus akan diangkat bersama-sama dengan Dia ke awan-awan.
Sebagaimana Henokh diangkat tanpa mengalami maut, demikian pula gereja yang hidup dalam iman akan diangkat untuk hidup kekal bersama Allah.
V. Implikasi Teologis dan Pastoral
1. Hidup Bergaul dengan Allah Adalah Buah Anugerah
Hidup bergaul dengan Allah bukanlah pilihan tambahan bagi orang percaya, melainkan panggilan yang lahir dari anugerah.
John Piper menulis:
“Berjalan dengan Allah berarti menikmati kehadiran-Nya melalui iman, mengasihi Dia di atas segala sesuatu, dan membiarkan hadirat-Nya membentuk setiap langkah hidup kita.”
Kehidupan iman tidak diukur dari aktivitas lahiriah, tetapi dari persekutuan yang intim dan terus-menerus dengan Allah.
2. Kesetiaan di Tengah Dunia yang Jauh dari Allah
Henokh menjadi teladan kesetiaan dalam dunia yang rusak. Dalam zaman modern yang ditandai oleh relativisme dan materialisme, orang percaya dipanggil untuk hidup melawan arus dosa dan berjalan dengan Allah dalam kekudusan.
Cornelius Van Til menegaskan:
“Antitesis antara iman dan ketidakpercayaan melintasi seluruh aspek kehidupan. Berjalan dengan Allah berarti menolak semangat dunia yang menentang-Nya.”
3. Harapan Eskatologis: Kematian Bukan Akhir
Henokh menunjukkan bahwa kematian tidak memiliki kata terakhir. Kehidupan kekalnya menjadi janji pengharapan bagi semua orang percaya. Dalam Kristus, kematian telah dikalahkan dan kehidupan kekal menjadi milik umat Allah.
Dalam sistem teologi Reformed, ini disebut sebagai final perseverance of the saints — ketekunan orang kudus. Henokh menjadi bukti bahwa Allah setia memelihara umat-Nya hingga akhir.
VI. Kesimpulan: Kesaksian Iman yang Kekal
Kehidupan Henokh merupakan permata rohani di tengah silsilah kematian. Ia adalah saksi bahwa di tengah dunia yang rusak, masih ada orang yang hidup oleh iman dan bergaul dengan Allah.
Dari Kejadian 5:21–24 kita belajar bahwa:
-
Iman sejati lahir dari anugerah Allah, bukan dari kemampuan manusia.
-
Bergaul dengan Allah berarti hidup dalam persekutuan yang berkelanjutan dengan-Nya melalui ketaatan dan kasih.
-
Kematian tidak berkuasa atas orang percaya, karena Allah telah menjanjikan kehidupan kekal bagi mereka yang berjalan bersama-Nya.
Henokh adalah bayangan Kristus, dan Kristus adalah penggenapan sempurna dari semua yang diwakilinya. Kristus berjalan sempurna dengan Bapa, mati untuk menebus umat pilihan, bangkit dari kematian, dan naik ke surga — sehingga semua orang yang percaya kepada-Nya dapat ikut menikmati persekutuan kekal dengan Allah.
Hidup bergaul dengan Allah bukan sekadar tugas rohani, tetapi hak istimewa anugerah. Seperti Henokh, kita pun dipanggil untuk berjalan setiap hari dengan Allah, setia dalam iman, dan menantikan saat ketika kita “tidak ada lagi di dunia ini, karena Allah membawa kita pulang kepada-Nya.”