Keyakinan dan Ajaran: Fondasi Kehidupan Iman yang Sejati

1. Pendahuluan: Mengapa “Keyakinan” dan “Ajaran” Itu Penting?
Dalam dunia modern yang relatif dan pluralistik, istilah “keyakinan” sering dianggap sebagai sesuatu yang pribadi, sementara “ajaran” dilihat sebagai doktrin kaku yang mengekang kebebasan berpikir. Namun, dalam terang Alkitab dan tradisi Reformed, keyakinan dan ajaran bukan sekadar opini atau sistem pemikiran, melainkan respons iman terhadap kebenaran yang diwahyukan Allah.
Keyakinan (conviction) adalah pengenalan batin yang teguh akan kebenaran Allah.
Ajaran (teaching/doctrine) adalah penjabaran objektif dari kebenaran itu, sebagaimana tertulis dalam Firman Tuhan.
John Calvin menulis:
“Iman bukanlah pengetahuan yang samar, tetapi keyakinan yang teguh dan pasti akan kasih Allah sebagaimana dinyatakan dalam Kristus.”
(Institutes of the Christian Religion, I.7.5)
Dengan demikian, iman sejati selalu berakar pada keyakinan yang didasarkan pada ajaran benar. Tanpa doktrin, iman menjadi kabur; tanpa keyakinan, doktrin menjadi kering dan tanpa jiwa.
2. Dasar Alkitabiah tentang Keyakinan dan Ajaran
a. Keyakinan: Didasarkan pada Pewahyuan Allah
Rasul Paulus menulis dalam Roma 14:5:
“Hendaklah tiap-tiap orang berpegang pada keyakinannya sendiri.”
Namun, Paulus tidak sedang mengajarkan relativisme moral, melainkan mendorong agar setiap orang membangun keyakinannya berdasarkan kehendak Allah yang dinyatakan dalam Firman.
Dalam Ibrani 11:1 dikatakan:
“Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.”
Keyakinan sejati adalah ekspresi iman yang berakar dalam kepercayaan kepada kebenaran Allah. Itu bukan sekadar “perasaan benar,” tetapi hasil dari pewahyuan Allah yang dipahami dan dihidupi.
b. Ajaran: Firman yang Diwahyukan dan Diajarkan
Dalam 2 Timotius 3:16–17, Paulus menyatakan:
“Segala tulisan yang diilhamkan Allah berguna untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, dan mendidik orang dalam kebenaran.”
Di sini ajaran (teaching) bersumber langsung dari Kitab Suci. Setiap ajaran yang sejati harus tunduk pada otoritas Alkitab, karena Alkitab adalah satu-satunya sumber wahyu Allah yang tidak salah (sola Scriptura).
B. B. Warfield menyebut Alkitab sebagai “the Book of divine authority” — buku yang memerintah seluruh hidup dan pikiran orang Kristen.
3. Hubungan antara Keyakinan dan Ajaran
Dalam teologi Reformed, keyakinan lahir dari ajaran, dan ajaran dipelihara oleh keyakinan.
Tanpa ajaran yang benar, keyakinan berubah menjadi mistik subjektif. Tanpa keyakinan yang hidup, ajaran menjadi dogma mati.
J.I. Packer menulis:
“Orang Kristen sejati bukan hanya tahu tentang Allah, tetapi mengenal Allah. Dan pengetahuan itu dibangun di atas doktrin yang benar, bukan emosi yang sementara.”
(Knowing God, 1973)
Oleh karena itu, kehidupan iman yang sehat adalah keseimbangan antara doktrin yang teguh dan pengalaman iman yang nyata.
4. Eksposisi Teologis: Keyakinan dalam Hidup Orang Percaya
a. Keyakinan Bukan Sekadar Opini
Dalam dunia sekuler, keyakinan dianggap sebagai personal preference — pandangan yang boleh berubah sesuai situasi. Tetapi dalam terang Alkitab, keyakinan adalah pegang teguh terhadap kebenaran Allah yang absolut.
Rasul Paulus berkata kepada Timotius:
“Sebab aku tahu kepada siapa aku percaya.” (2 Timotius 1:12)
Kata “tahu” (oida) dalam bahasa Yunani menunjukkan pengetahuan yang penuh kepastian. Paulus tidak hanya “percaya pada sesuatu,” tetapi “percaya kepada Pribadi” yang telah menyatakan diri-Nya dalam Kristus.
R.C. Sproul menjelaskan:
“Keyakinan Kristen tidak dibangun atas keinginan, tetapi atas pengetahuan tentang Allah yang objektif sebagaimana dinyatakan dalam Firman-Nya.”
(Essential Truths of the Christian Faith, 1992)
b. Keyakinan dan Integritas Rohani
Keyakinan sejati menuntut integritas: kesesuaian antara apa yang dipercayai dan yang dilakukan.
Orang yang memiliki keyakinan sejati tidak mudah goyah oleh tekanan dunia.
Daniel 3 memberikan contoh: Sadrakh, Mesakh, dan Abednego tidak mau menyembah patung Babel, karena keyakinan mereka kepada Allah lebih kuat daripada ancaman api.
Martyn Lloyd-Jones berkata:
“Kekristenan yang tidak berani berdiri atas keyakinannya bukanlah kekristenan, melainkan kepengecutan moral yang dibungkus kesalehan.”
5. Eksposisi Teologis: Ajaran sebagai Tiang Kebenaran
a. Ajaran yang Benar Memuliakan Allah
Paulus menyebut gereja sebagai:
“Tiang penopang dan dasar kebenaran.” (1 Timotius 3:15)
Tugas gereja bukan sekadar memberi inspirasi, tetapi mengajarkan kebenaran yang sesuai dengan Kitab Suci.
Karena itu, Reformasi abad ke-16 sangat menekankan doktrin:
-
Sola Scriptura (hanya Alkitab)
-
Sola Fide (hanya iman)
-
Sola Gratia (hanya anugerah)
-
Solus Christus (hanya Kristus)
-
Soli Deo Gloria (hanya bagi kemuliaan Allah)
John Knox, reformator Skotlandia, berkata:
“Tidak ada api yang lebih besar daripada api kebenaran yang diajarkan dengan kuasa Roh Kudus.”
b. Ajaran yang Salah Menghancurkan Gereja
Ajaran yang menyimpang bukan hanya kesalahan intelektual, melainkan bahaya spiritual.
Paulus memperingatkan:
“Sebab akan datang waktunya orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat.” (2 Tim. 4:3)
Ajaran palsu menyesatkan hati dan menghancurkan komunitas iman.
Oleh karena itu, teologi Reformed menekankan pentingnya pengajaran yang setia pada Kitab Suci dan pengakuan iman historis (confessions of faith) seperti Heidelberg Catechism, Westminster Confession of Faith, dan Canons of Dort.
Louis Berkhof menulis:
“Ajaran yang sehat bukan hanya sistem pemikiran, tetapi perlindungan terhadap kesalahan dan dasar bagi kehidupan kudus.”
(Systematic Theology, 1938)
6. Convictions dan Teachings dalam Sejarah Gereja Reformed
a. Reformasi: Kebangkitan Keyakinan dan Ajaran yang Alkitabiah
Reformasi abad ke-16 bukan sekadar peristiwa politik, melainkan kebangkitan keyakinan berdasarkan ajaran Firman.
Martin Luther berdiri di hadapan Diet of Worms (1521) dan berkata:
“Di sini aku berdiri; aku tidak dapat melakukan yang lain. Allah tolonglah aku.”
Itu bukan keberanian politik, tetapi keyakinan rohani yang lahir dari pemahaman teologis mendalam tentang kebenaran Injil.
Calvin dan para reformator lain mengajarkan bahwa iman yang sejati selalu disertai doktrin yang benar. Gereja tidak boleh dipimpin oleh opini, tetapi oleh Firman.
b. Puritanisme: Hidup berdasarkan Keyakinan
Gerakan Puritan di Inggris dan Amerika menekankan bahwa keyakinan yang benar harus diekspresikan dalam kehidupan yang kudus.
Jonathan Edwards, teolog Reformed besar dari abad ke-18, menulis:
“Keyakinan sejati tidak berhenti di pikiran, tetapi menembus hati dan membentuk tindakan.”
Puritan tidak memisahkan ortodoksi (doktrin benar) dari ortopraksis (hidup benar). Bagi mereka, ajaran tanpa transformasi hati adalah kemunafikan, dan iman tanpa doktrin adalah kebutaan.
7. Kontras dengan Dunia Modern
Dalam budaya postmodern, kebenaran dianggap relatif, dan keyakinan dianggap intoleran.
Namun, Alkitab menegaskan bahwa kebenaran adalah pribadi — Yesus Kristus.
“Akulah jalan dan kebenaran dan hidup.” (Yoh. 14:6)
Karena kebenaran adalah pribadi, maka keyakinan Kristen adalah hubungan dengan Kristus yang hidup, bukan ide abstrak.
Dunia mengatakan: “Percayalah pada dirimu sendiri.”
Kristus berkata: “Percayalah kepada-Ku.”
Dunia berkata: “Ciptakan kebenaranmu.”
Alkitab berkata: “Kebenaran telah dinyatakan.”
8. Convictions dan Teachings dalam Hidup Gereja
a. Gereja yang Hidup dari Firman
Gereja sejati tidak berdiri di atas popularitas, tetapi di atas ajaran yang sehat dan keyakinan yang teguh.
Reformasi mengingatkan bahwa setiap jemaat harus terus-menerus diperbaharui oleh Firman Allah.
A.W. Pink menulis:
“Gereja yang berhenti mengajarkan kebenaran berhenti menjadi gereja Kristus.”
b. Pentingnya Katekese dan Pengajaran
Salah satu warisan besar tradisi Reformed adalah pendidikan iman (catechesis) — pengajaran teratur tentang dasar-dasar iman Kristen.
Tujuannya bukan hanya menambah pengetahuan, tetapi membentuk keyakinan rohani yang kokoh.
Generasi Kristen yang tidak diajar akan menjadi gereja yang rapuh dalam menghadapi tekanan dunia.
9. Keyakinan dan Ajaran di Tengah Penderitaan
Sejarah menunjukkan bahwa gereja yang paling kuat secara rohani sering lahir dari penderitaan.
Para reformator, Puritan, dan martir Kristen menunjukkan bahwa keyakinan yang tidak diuji bukanlah keyakinan sejati.
Dietrich Bonhoeffer, teolog Lutheran yang berakar pada pemikiran Reformed, menulis dari penjara Nazi:
“Hanya orang yang rela menderita demi kebenaranlah yang sungguh-sungguh percaya kepada kebenaran itu.”
Ketika ajaran Firman ditolak, keyakinan sejati menjadi terang yang menuntun umat Allah melalui kegelapan sejarah.
10. Prinsip-Prinsip Reformed: Fondasi bagi Keyakinan dan Ajaran
Berikut lima prinsip Reformed yang menjadi dasar bagi kehidupan iman yang berpegang pada convictions and teachings:
-
Otoritas Alkitab – Firman Allah adalah standar tertinggi bagi iman dan hidup.
-
Kedaulatan Allah – Allah berdaulat atas segala hal, termasuk iman manusia.
-
Anugerah yang Efektif – Semua keyakinan sejati lahir dari karya Roh Kudus.
-
Kristosentrisme – Semua ajaran Alkitab berpusat pada Kristus.
-
Gloria Dei – Tujuan akhir semua keyakinan dan ajaran adalah kemuliaan Allah.
Herman Bavinck menulis:
“Teologi Reformed bukan hanya sistem doktrin, tetapi pengakuan bahwa seluruh hidup berada di bawah pemerintahan Allah yang berdaulat.”
11. Aplikasi Praktis bagi Orang Percaya Masa Kini
-
Bangun keyakinan berdasarkan Firman, bukan budaya.
Jangan membangun iman di atas emosi atau pendapat populer. -
Pelihara ajaran yang sehat melalui pembacaan Alkitab dan studi teologi.
Gereja yang kuat lahir dari jemaat yang berpikir teologis. -
Hidupi keyakinanmu di tempat kerja, keluarga, dan masyarakat.
Dunia mengenal Kristus bukan dari teologi di bibir, tetapi dari keyakinan di tindakan. -
Tolak kompromi terhadap kebenaran.
Keyakinan sejati tidak berubah karena tekanan sosial. -
Ajarkan iman kepada generasi berikutnya.
Ajaran yang tidak diwariskan akan lenyap bersama generasi yang melupakannya.
12. Penutup: Iman yang Diajarkan, Keyakinan yang Dihidupi
“Convictions and Teachings” adalah dua sisi dari satu koin iman Kristen.
Keyakinan menjaga api rohani tetap menyala; ajaran menjaga agar api itu tidak menyimpang dari kebenaran.
John Owen menutupnya dengan pernyataan mendalam:
“Kebenaran yang tidak mengubah hati hanyalah pengetahuan kosong; dan keyakinan yang tidak berakar dalam kebenaran hanyalah fanatisme.”
Kiranya gereja masa kini kembali kepada keyakinan yang murni dan ajaran yang sejati, sebagaimana diwariskan oleh para reformator — bukan demi nostalgia sejarah, melainkan demi kemuliaan Kristus yang adalah Kebenaran itu sendiri.