Mazmur 14:2 - Allah Melihat ke Bawah

“TUHAN melihat ke bawah dari surga kepada anak-anak manusia, untuk melihat jika ada seseorang yang bijaksana yang mencari Allah.”
— Mazmur 14:2 (AYT)
I. Pendahuluan: Pandangan Allah atas Dunia yang Rusak
Mazmur 14 adalah salah satu teks paling tajam dalam Perjanjian Lama yang menggambarkan kondisi moral dan rohani umat manusia setelah kejatuhan. Ayat pertama telah menegaskan bahwa “orang bodoh berkata dalam hatinya: Tidak ada Allah.” Namun, Mazmur 14:2 membawa kita lebih dalam — dari pengakuan manusia yang menolak Allah kepada pandangan Allah sendiri terhadap manusia.
Daud menggambarkan Allah sebagai Raja yang duduk di surga, “melihat ke bawah” ke bumi untuk menilai keadaan anak-anak manusia. Gambarannya antropomorfik, tetapi teologisnya sangat dalam. Ia tidak sedang mencari informasi yang belum diketahui (karena Allah Mahatahu), melainkan menyatakan penilaian ilahi terhadap kebobrokan universal manusia.
Bagi para teolog Reformed, ayat ini adalah landasan teologis bagi doktrin kerusakan total (total depravity) — bahwa tidak seorang pun secara alami mencari Allah. Dengan kata lain, Mazmur 14:2 menyingkapkan ketidakmampuan manusia untuk mencari kebenaran tanpa karya anugerah Roh Kudus.
II. Analisis Teks: Allah yang “Melihat ke Bawah”
Frasa “TUHAN melihat ke bawah dari surga” (Ibrani: YHWH mishamayim hibit) menggambarkan inisiatif Allah dalam penyelidikan moral. Ia bukan Allah yang jauh, melainkan Pribadi yang aktif menilai dan memperhatikan dunia ciptaan-Nya. Namun, pandangan Allah ini bukan sekadar pengamatan, melainkan penghakiman moral terhadap kondisi spiritual manusia.
1. “Anak-anak manusia” – Universalitas kejatuhan
Ungkapan ini menunjuk kepada seluruh umat manusia, bukan hanya bangsa kafir. Dengan demikian, dosa bukanlah masalah etnis, melainkan kondisi eksistensial seluruh umat manusia.
John Calvin menulis:
“Ketika Daud berbicara tentang ‘anak-anak manusia’, ia tidak mengecualikan siapa pun. Bahkan umat pilihan pun secara kodrat berada dalam kebobrokan yang sama, hingga Allah sendiri membangkitkan mereka melalui Roh-Nya.”
(Commentary on the Psalms)
2. “Untuk melihat apakah ada yang bijaksana”
Kata “bijaksana” (maskil) dalam konteks Mazmur ini bukan sekadar cerdas secara intelektual, tetapi memiliki pengertian rohani — yaitu mengenal Allah dengan benar dan hidup selaras dengan kehendak-Nya.
Dalam kebudayaan Ibrani, “hikmat” selalu berkaitan dengan takut akan Tuhan (Amsal 9:10). Maka, Allah sedang mencari apakah ada seseorang yang benar-benar hidup dalam penyerahan dan ketaatan kepada-Nya.
Namun hasilnya tragis: tidak ada seorang pun.
III. Kesaksian Seluruh Alkitab: Tidak Ada yang Mencari Allah
Mazmur 14:2 diulang hampir identik dalam Mazmur 53, dan kemudian dikutip secara langsung oleh Rasul Paulus dalam Roma 3:10–12 untuk membuktikan kebobrokan total manusia:
“Tidak ada yang benar, seorang pun tidak. Tidak ada seorang pun yang berakal budi, tidak ada seorang pun yang mencari Allah.”
Dengan demikian, Mazmur 14 bukan hanya observasi Daud, tetapi penegasan universal yang diangkat ke dalam Injil Paulus sebagai bukti bahwa semua manusia membutuhkan anugerah Allah.
1. Pandangan Paulus: Dosa Menutup Hikmat
Dalam Roma 1:21, Paulus menulis bahwa manusia “tidak memuliakan Allah atau mengucap syukur kepada-Nya, melainkan menjadi sia-sia dalam pikirannya.” Ini selaras dengan Mazmur 14:2: ketika Allah melihat ke bawah, Ia tidak menemukan hikmat sejati karena dosa telah menggelapkan pikiran manusia.
R.C. Sproul menjelaskan:
“Masalah manusia bukan kurangnya bukti tentang Allah, tetapi penindasan aktif terhadap kebenaran yang sudah nyata.”
(The Holiness of God)
2. Penegasan teologi Reformed: “Total Depravity”
Doktrin Reformed menegaskan bahwa kejatuhan manusia telah menyentuh seluruh aspek keberadaan manusia — pikiran, kehendak, emosi, dan moralitas.
Mazmur 14:2 menjadi saksi Alkitab bahwa tidak ada satu pun aspek manusia yang tetap murni atau mampu mencari Allah dengan benar.
IV. Hikmat yang Hilang: Ketidakmampuan Manusia Mencari Allah
1. Kebijaksanaan sejati berasal dari Allah
Mazmur 14:2 mengimplikasikan bahwa hikmat sejati tidak ditemukan di bumi.
Manusia, dengan segala kebudayaan dan pengetahuannya, gagal menemukan jalan kepada Allah. Ia dapat menciptakan agama, moralitas, dan filsafat, tetapi semuanya tanpa Roh Kudus hanya berujung pada penyembahan berhala versi modern.
Herman Bavinck menulis:
“Segala bentuk pencarian manusia terhadap kebenaran tanpa wahyu Allah hanyalah pantulan samar dari kehampaan rohani. Hikmat sejati bukan hasil spekulasi, tetapi pemberian Roh Kudus yang menuntun manusia kepada Kristus.”
(Reformed Dogmatics, Vol. 1)
2. Kebodohan rohani
Dalam konteks Mazmur ini, kebodohan rohani adalah ketidakmampuan untuk mengenal Allah karena natur manusia telah rusak.
Dalam istilah Reformed, ini disebut “noetic effects of sin” — dampak dosa atas akal budi.
Louis Berkhof menjelaskan:
“Dosa tidak hanya mengubah kehendak manusia, tetapi juga menyelewengkan seluruh pemikirannya, sehingga ia menilai kebenaran sebagai kebodohan dan kebodohan sebagai kebenaran.”
(Systematic Theology)
Oleh sebab itu, ketika Allah “melihat ke bawah” mencari orang bijaksana, Ia tidak menemukan seorang pun karena hikmat manusia telah menjadi korup oleh dosa.
V. Anugerah yang Mencari: Inisiatif Allah dalam Penyelamatan
Mazmur 14:2 bukan hanya menunjukkan penilaian Allah terhadap kebejatan manusia, tetapi juga menyiratkan inisiatif anugerah Allah.
Kalimat “TUHAN melihat ke bawah dari surga” mengingatkan kita bahwa Allah yang mencari manusia, bukan sebaliknya.
1. Paralel dengan Kejadian 3
Ketika manusia jatuh dalam dosa, Allah yang pertama kali mencari:
“TUHAN Allah memanggil manusia itu dan berfirman kepadanya, ‘Di manakah engkau?’” (Kejadian 3:9)
Sejak saat itu, seluruh sejarah keselamatan adalah kisah tentang Allah yang mencari manusia yang hilang.
Mazmur 14:2 memperlihatkan kontras: manusia tidak mencari Allah, tetapi Allah mencari manusia.
2. Puncak pencarian itu dalam Kristus
Dalam Perjanjian Baru, Allah “melihat ke bawah” secara paling nyata melalui inkarnasi Yesus Kristus.
Kristus datang “untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang” (Lukas 19:10).
Inilah penggenapan penuh dari Mazmur 14:2 — Allah turun tangan karena manusia tidak mampu naik kepada-Nya.
John Calvin menyatakan:
“Kita tidak dapat naik kepada Allah tanpa Allah terlebih dahulu turun kepada kita melalui Kristus dan Roh Kudus.”
(Institutes, II.ii.1)
VI. Hikmat yang Sejati: Kristus sebagai Jawaban Allah
1. Kristus, Hikmat Allah
Dalam 1 Korintus 1:24, Paulus menyebut Kristus sebagai “hikmat Allah.”
Mazmur 14:2 bertanya: “Apakah ada yang bijaksana?” — jawabannya ditemukan di Golgota.
Hanya Kristus yang benar-benar “bijaksana” karena Ia sepenuhnya taat kepada kehendak Bapa dan menjadi perwujudan sempurna hikmat Allah dalam daging manusia.
Geerhardus Vos menulis:
“Kristus bukan hanya guru hikmat, tetapi personifikasi hikmat itu sendiri. Dalam diri-Nya, Allah memperlihatkan rencana penebusan yang melampaui segala kebodohan manusia.”
(Biblical Theology)
2. Pencerahan oleh Roh Kudus
Ketika Allah mencari “yang bijaksana,” Ia sendiri yang menciptakannya melalui kelahiran baru.
Roh Kudus memberi hikmat yang baru, membuka mata rohani manusia untuk mengenal Kristus.
Efesus 1:17-18 berbunyi:
“Supaya Allah … memberikan kepadamu Roh hikmat dan wahyu untuk mengenal Dia dengan benar.”
Inilah karya pembaruan anugerah. Hikmat sejati tidak datang dari bawah, tetapi diturunkan dari atas (Yakobus 3:17).
VII. Penilaian Moral dan Kondisi Manusia Modern
Mazmur 14:2 tetap relevan di abad ke-21. Dalam dunia yang semakin percaya pada rasionalitas dan sains, manusia modern masih berada dalam kebodohan spiritual yang sama.
Kemajuan teknologi tidak membawa manusia lebih dekat kepada Allah; justru menjauhkan mereka dalam kesombongan intelektual.
R.C. Sproul mengingatkan:
“Masalah utama manusia bukanlah kebodohan intelektual, tetapi pemberontakan moral terhadap Allah yang kudus.”
(Essential Truths of the Christian Faith)
Ketika Allah melihat ke bawah pada zaman ini, Ia masih melihat umat yang menolak hikmat Injil dan lebih menyukai hikmat dunia. Maka, pesan Mazmur 14:2 adalah panggilan untuk rendah hati dan bertobat dari keangkuhan intelektual.
VIII. Dimensi Kristologis dan Soteriologis
1. Pandangan Allah yang menilai melalui Kristus
Dalam terang Perjanjian Baru, Allah tidak lagi melihat manusia hanya dalam kebobrokannya, tetapi melalui Kristus.
Kristus menjadi “pemandangan” yang menyenangkan di hadapan Allah, menggantikan bau busuk dosa manusia.
Ketika Allah memandang kepada orang percaya, Ia melihat hikmat dan kebenaran Kristus yang diperhitungkan kepada mereka (2 Korintus 5:21).
Inilah keindahan injil: manusia yang tidak mencari Allah kini menjadi objek kasih karunia-Nya.
2. Roh Kudus memulihkan relasi pencarian
Roh Kudus bekerja dalam diri orang percaya untuk membalikkan natur lama. Sekarang, orang yang telah dilahirkan baru menjadi pencari Allah sejati.
Mazmur 27:8 berkata, “Hatiku berkata kepadaku: Carilah wajah-Ku!” — dan hati yang diubah menjawab, “Wajah-Mu kucari, ya TUHAN.”
Dengan demikian, Mazmur 14:2 bukan akhir dari cerita, melainkan awal dari karya pembaruan: dari manusia yang tidak mencari Allah menjadi umat yang mendambakan hadirat-Nya.
IX. Implikasi Teologis dan Praktis
-
Kerendahan hati rohani
Ayat ini mengingatkan kita bahwa iman bukan hasil pencarian manusia, tetapi anugerah Allah. Maka, tidak ada ruang untuk kesombongan rohani dalam keselamatan. -
Kebergantungan pada anugerah
Hanya Allah yang dapat membuka hati untuk mencari Dia. Gereja harus bergantung penuh pada Roh Kudus dalam penginjilan, bukan pada persuasi manusiawi. -
Kebutuhan akan pembaruan pikiran
Karena dosa menggelapkan akal budi, orang percaya harus senantiasa diperbarui oleh firman Allah (Rm. 12:2). Hikmat sejati tumbuh dari persekutuan dengan Kristus. -
Panggilan untuk hidup dalam hikmat Kristus
Orang yang telah “dicari dan ditemukan” oleh Allah dipanggil untuk hidup bijaksana — bukan menurut dunia, tetapi menurut salib Kristus.
X. Penutup: Dari Pandangan Allah ke Kasih Karunia Allah
Mazmur 14:2 dimulai dengan Allah yang melihat ke bawah, tetapi sejarah penebusan berakhir dengan Allah yang turun ke bawah dalam Kristus.
Pandangan ilahi yang menghakimi berubah menjadi tindakan kasih yang menyelamatkan.
John Calvin menutup tafsir Mazmur 14 dengan kalimat yang menyentuh:
“Ketika Allah memandang ke bumi dan melihat kebobrokan, Ia tidak berpaling, tetapi menurunkan Anak-Nya untuk memulihkan apa yang rusak.”
Itulah Injil yang sejati — Allah yang melihat, Allah yang mencari, dan Allah yang menyelamatkan.