Pribadi Kristus Menurut Perjanjian Baru

I. Pendahuluan: Pusat dari Segala Wahyu
Tidak ada doktrin yang lebih penting bagi iman Kristen selain doktrin tentang Pribadi Kristus. Seluruh Kitab Suci berpusat pada Dia. Perjanjian Lama menunjuk kepada kedatangan-Nya, dan Perjanjian Baru menyatakan kepenuhan kemuliaan-Nya.
Kristus bukan hanya tokoh sejarah atau guru moral, tetapi Allah yang menjadi manusia — inkarnasi dari Firman yang kekal. Dalam diri Yesus Kristus, Allah menyatakan diri-Nya sepenuhnya kepada umat manusia.
Sebagaimana Yohanes menulis:
“Firman itu telah menjadi manusia dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.”
— Yohanes 1:14 (AYT)
Bagi teologi Reformed, Kristus adalah pusat dari seluruh rencana penebusan (ordo salutis) dan inti dari setiap doktrin lainnya. Seperti yang ditegaskan oleh John Calvin,
“Seluruh isi Injil adalah Kristus.”
II. Kesaksian Perjanjian Baru tentang Pribadi Kristus
Perjanjian Baru menyajikan Kristus dari berbagai sudut pandang: historis, teologis, dan eskatologis. Namun, semuanya bersatu dalam satu pengakuan besar: Yesus Kristus adalah Allah sejati dan manusia sejati.
1. Kesaksian Injil Sinoptik
Matius, Markus, dan Lukas menggambarkan Yesus dalam realitas historis: Ia lahir, bertumbuh, melayani, menderita, mati, dan bangkit. Namun di balik kemanusiaan-Nya yang nyata, ada identitas ilahi yang bersinar.
-
Matius 1:23 menyebut-Nya Imanuel, “Allah menyertai kita.”
-
Markus 1:1 membuka Injil dengan deklarasi teologis: “Inilah permulaan Injil tentang Yesus Kristus, Anak Allah.”
-
Lukas 1:35 menegaskan bahwa kelahiran-Nya adalah karya Roh Kudus, menjadikan Dia “Anak Allah yang Kudus.”
Bagi para penulis sinoptik, kemanusiaan Yesus bukan sekadar wadah moral, melainkan perwujudan nyata dari Allah yang turun ke dunia.
2. Kesaksian Injil Yohanes
Injil Yohanes merupakan puncak dari kristologi Perjanjian Baru. Di sini, Yesus digambarkan sebagai Firman yang telah ada sejak kekekalan.
“Pada mulanya adalah Firman, Firman itu bersama-sama dengan Allah, dan Firman itu adalah Allah.” (Yohanes 1:1)
Yohanes tidak membangun ajarannya dari bawah (dari manusia ke ilahi), tetapi dari atas — dari keilahian menuju inkarnasi.
Ia menegaskan bahwa yang kekal telah menjadi manusia tanpa kehilangan hakikat ilahinya.
Herman Bavinck menulis:
“Yohanes tidak hanya menunjukkan Yesus sebagai pembawa firman Allah, tetapi sebagai Firman itu sendiri — Allah yang menyatakan diri dalam bentuk manusia.”
3. Kesaksian Rasul Paulus
Paulus adalah teolog pertama dalam sejarah gereja yang secara sistematis menjelaskan makna teologis dari pribadi dan karya Kristus.
Beberapa teks kunci:
-
Filipi 2:6–8:
“Yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri...”
-
Kolose 1:15–20:
“Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung atas segala ciptaan... karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu.”
-
2 Korintus 5:19:
“Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus.”
Dalam pemikiran Paulus, Kristus adalah representasi sempurna Allah dan kepala umat pilihan. Ia adalah Adam yang kedua (Roma 5:12–21), yang memulihkan apa yang telah rusak oleh dosa.
Louis Berkhof menyebut pemikiran Paulus ini sebagai “puncak kristologi rasuli” karena menegaskan keilahian dan kemanusiaan yang menyatu dalam satu pribadi.
4. Kesaksian Surat Ibrani
Surat Ibrani memberikan dimensi keimamatan dari Pribadi Kristus.
“Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah sendiri...” (Ibrani 1:3)
Penulis Ibrani menegaskan bahwa Yesus adalah Allah sejati, namun sekaligus Imam Besar sejati yang turut merasakan kelemahan manusia.
“Sebab kita tidak mempunyai Imam Besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan kita, tetapi yang telah dicobai seperti kita, hanya tidak berbuat dosa.” (Ibrani 4:15)
Di sini tampak keseimbangan sempurna antara transendensi dan immanensi Kristus.
5. Kesaksian Rasul Petrus dan Yohanes dalam Surat-Surat
Petrus menulis:
“Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat kita.” (2 Petrus 1:1)
Sementara Yohanes dalam surat-suratnya terus menegaskan bahwa:
“Barangsiapa mengaku bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia, Allah tetap berada di dalam dia.” (1 Yohanes 4:2)
Dengan demikian, seluruh Perjanjian Baru menyatakan dua kebenaran yang berjalan bersama:
-
Yesus adalah Allah sejati (divinitas penuh).
-
Yesus adalah manusia sejati (kemanusiaan penuh).
III. Kristus Sebagai Allah yang Sejati
Kekristenan berdiri atau runtuh pada pengakuan ini: bahwa Yesus adalah Allah.
Yesus sendiri mengklaim keilahian-Nya:
-
Ia menerima penyembahan (Matius 14:33; Yohanes 9:38).
-
Ia mengampuni dosa (Markus 2:5–7).
-
Ia menyebut diri “Aku ada” (Ego Eimi) — istilah ilahi dari Keluaran 3:14 (Yohanes 8:58).
Para murid juga mengakuinya:
-
Tomas berseru, “Ya Tuhanku dan Allahku!” (Yohanes 20:28)
-
Paulus menyebut Dia “Allah yang harus dipuji selama-lamanya” (Roma 9:5).
Herman Bavinck menulis:
“Yesus bukanlah makhluk tertinggi, tetapi Allah yang sejati dalam esensi dan hakikat-Nya, yang mengambil bentuk manusia tanpa kehilangan keilahian.”
Keilahian Kristus bukan sekadar kualitas rohani tinggi, tetapi natur ilahi sejati yang identik dengan Bapa dan Roh Kudus.
IV. Kristus Sebagai Manusia yang Sejati
Sama pentingnya dengan keilahian-Nya, Perjanjian Baru menegaskan kemanusiaan sejati Yesus.
“Dan Firman itu telah menjadi manusia.” (Yohanes 1:14)
Yesus lahir, lapar, haus, letih, berdoa, menangis, menderita, dan mati. Ia bukan malaikat atau dewa dalam rupa manusia, tetapi manusia sejati dengan tubuh, jiwa, dan kehendak.
Louis Berkhof menjelaskan:
“Kemanusiaan Kristus bukanlah penampakan atau alat, tetapi realitas penuh. Ia memiliki kodrat manusia tanpa dosa, namun tetap kodrat yang sejati.”
Dengan menjadi manusia, Kristus dapat:
-
Menjadi pengantara sejati antara Allah dan manusia (1 Timotius 2:5).
-
Mewakili kita dalam ketaatan sempurna.
-
Menanggung hukuman dosa sebagai pengganti.
John Calvin menulis:
“Kristus harus menjadi manusia untuk menebus kita, karena manusia telah jatuh dan manusia pula yang harus ditebus.”
V. Kesatuan Dua Natur dalam Satu Pribadi (Union Hypostatica)
Inilah misteri terbesar dalam teologi Kristen: Yesus Kristus adalah satu pribadi dengan dua natur — ilahi dan manusiawi — tanpa bercampur, tanpa berubah, tanpa terpisah, dan tanpa terbagi.
Konsili Kalsedon (451 M) merumuskan pengakuan klasik ini, dan para teolog Reformed menerimanya sebagai dasar iman.
Bavinck menyebutnya “keajaiban tertinggi dari wahyu ilahi,” karena di dalam Kristus, Allah dan manusia bersatu dalam satu pribadi yang kekal.
“Dalam satu pribadi Kristus, yang tak terbatas bersatu dengan yang terbatas, yang kekal dengan yang temporal, tanpa menghapuskan salah satu kodratnya.”
R.C. Sproul menjelaskan:
“Yesus bukan 50% Allah dan 50% manusia, tetapi 100% Allah dan 100% manusia, bersatu dalam satu pribadi.”
Union hypostatica bukan campuran dua kodrat, melainkan kesatuan pribadi dalam dua natur yang tetap utuh.
VI. Pandangan Para Pakar Teologi Reformed
1. John Calvin (1509–1564): Kristus sebagai Pengantara
Calvin menekankan tiga jabatan Kristus — nabi, imam, dan raja — sebagai manifestasi dari pribadi-Nya yang ilahi-manusiawi.
Ia menulis dalam Institutes:
“Tanpa kemanusiaan Kristus, kita tidak dapat mengenal Allah; tanpa keilahian-Nya, penebusan tidak akan mungkin.”
Bagi Calvin, Pribadi Kristus adalah titik pertemuan antara kasih Allah dan kebutuhan manusia.
2. Herman Bavinck (1854–1921): Inkarnasi sebagai Puncak Wahyu
Dalam Reformed Dogmatics, Bavinck menyatakan:
“Inkarnasi bukan hanya sarana keselamatan, tetapi juga puncak pewahyuan Allah. Allah tidak hanya berbicara melalui Firman, tetapi menjadi Firman.”
Baginya, dalam Kristus kita melihat kesempurnaan relasi antara Pencipta dan ciptaan.
Allah tidak tinggal jauh di surga, tetapi datang ke dunia dalam kasih.
3. Louis Berkhof (1873–1957): Sistematisasi Kristologi
Berkhof menekankan bahwa seluruh doktrin soteriologi bergantung pada siapa Kristus itu.
“Kristus bukan hanya contoh moral, tetapi dasar ontologis keselamatan. Jika Ia bukan Allah sejati dan manusia sejati, maka penebusan mustahil.”
Ia juga menjelaskan bahwa karena keilahian-Nya, Kristus memiliki kuasa untuk menebus; dan karena kemanusiaan-Nya, Ia dapat menggantikan manusia di salib.
4. R.C. Sproul (1939–2017): Keagungan Inkarnasi
Sproul menyebut inkarnasi sebagai “skandal terbesar sekaligus mukjizat terbesar dalam sejarah.”
“Bahwa Allah menjadi manusia bukan karena Ia kekurangan, melainkan karena kasih. Inkarnasi menunjukkan Allah yang mendekat untuk menyelamatkan, bukan hanya memerintah.”
Sproul menolak pandangan modern yang memisahkan Yesus sejarah dan Kristus iman.
Menurutnya, Perjanjian Baru dengan jelas menunjukkan bahwa Yesus sejarah adalah Kristus yang kekal.
5. John Owen (1616–1683): Persatuan Mistis dengan Kristus
Dalam karya The Glory of Christ, Owen menulis:
“Keindahan dan kemuliaan Kristus terletak pada persatuan dua natur dalam satu pribadi. Tanpa mengenal pribadi-Nya, kita tidak dapat mengasihi Dia sebagaimana mestinya.”
Owen menekankan bahwa pengenalan akan Kristus bukan hanya rasional, tetapi juga relasional — persekutuan dengan Pribadi yang hidup.
VII. Signifikansi Teologis dan Eksistensial
1. Pribadi Kristus dan Penebusan
Karena Kristus adalah Allah-manusia, Ia satu-satunya yang layak menebus dosa manusia.
Hanya Allah yang dapat memikul murka Allah, dan hanya manusia yang dapat mewakili manusia.
Anselmus (yang juga dikutip oleh para teolog Reformed) berkata:
“Hanya Allah yang dapat menebus, dan hanya manusia yang harus menebus. Maka, Penebus harus Allah-manusia.”
2. Pribadi Kristus dan Penyataan Allah
Tanpa Kristus, Allah hanya dapat dikenal secara samar.
Melalui Kristus, Allah menjadi dapat dikenal dengan kasih dan kebenaran yang sempurna.
“Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa.” (Yohanes 14:9)
Bagi Calvin, Kristus adalah “cermin sempurna dari Allah yang tidak kelihatan.”
Dalam Dia, misteri ilahi menjadi nyata.
3. Pribadi Kristus dan Kehidupan Kristen
Karena Kristus adalah Allah yang menjadi manusia, maka Ia adalah teladan sempurna bagi kehidupan yang kudus.
“Ikutlah teladan-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati.” (Matius 11:29)
Namun, teologi Reformed menolak pandangan yang hanya menjadikan Yesus sebagai moral exemplar.
Ia bukan sekadar contoh, tetapi juga sumber kekuatan yang memampukan kita hidup kudus melalui Roh-Nya.
4. Pribadi Kristus dan Pengharapan Eskatologis
Kristus yang sama yang datang pertama kali dalam kerendahan, akan datang kembali dalam kemuliaan.
Pribadi yang sama yang lahir di Betlehem akan memerintah di Yerusalem baru.
“Yesus Kristus tetap sama, dahulu, sekarang, dan selama-lamanya.” (Ibrani 13:8)
Bagi Bavinck, keabadian Kristus adalah jaminan bahwa rencana Allah akan tuntas.
“Karena Kristus tidak berubah, maka janji Allah tidak akan gagal.”
VIII. Tantangan Modern terhadap Kristologi Alkitabiah
1. Kristologi Liberal
Teologi liberal abad ke-19 (Schleiermacher, Harnack) menolak keilahian Kristus dan melihat-Nya hanya sebagai manusia religius yang agung.
Teologi Reformed menanggapinya dengan tegas:
Jika Kristus hanyalah manusia, maka tidak ada keselamatan.
Sproul menegaskan:
“Kristus yang hanya manusia tidak dapat menanggung murka ilahi; hanya Allah yang dapat menyelamatkan manusia dari Allah.”
2. Kristologi Eksistensialis
Rudolf Bultmann berusaha “demitologisasi” Injil dengan menolak keajaiban dan kebangkitan literal.
Namun, bagi Reformed, kebangkitan Kristus adalah peristiwa historis dan dasar iman.
“Jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah iman kamu.” (1 Korintus 15:14)
3. Kristologi Sosial Kontemporer
Beberapa pandangan modern menekankan Yesus sebagai simbol keadilan sosial.
Meski aspek etis penting, teologi Reformed menegaskan bahwa misi utama Kristus adalah penebusan dosa, bukan sekadar reformasi sosial.
“Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Markus 10:45)
IX. Aplikasi Rohani dan Pastoral
-
Pengenalan akan Kristus membawa penyembahan yang sejati.
Kita tidak dapat mengasihi Kristus dengan benar tanpa mengenal siapa Dia. -
Kemanusiaan Kristus memberi penghiburan.
Ia mengerti penderitaan kita karena Ia sendiri menderita. -
Keilahian Kristus memberi jaminan.
Keselamatan kita aman karena ditopang oleh kuasa Allah yang kekal. -
Kesatuan dua natur memberi harapan.
Dalam Kristus, manusia dan Allah dipersatukan selamanya. -
Teladan Kristus menuntun kehidupan kudus.
Ia adalah model dari kasih, ketaatan, dan kerendahan hati.
X. Kesimpulan: Kristus sebagai Pusat Segala Sesuatu
“Ia adalah sebelum segala sesuatu, dan segala sesuatu ada di dalam Dia.” (Kolose 1:17)
Perjanjian Baru mempresentasikan Kristus bukan sekadar sebagai tokoh sejarah, tetapi sebagai titik pusat seluruh ciptaan, penebusan, dan penyataan Allah.
Bagi teologi Reformed, doktrin tentang Pribadi Kristus adalah fondasi seluruh teologi.
Tanpa Kristus yang benar — Allah sejati dan manusia sejati — seluruh iman Kristen runtuh.
Herman Bavinck menutup dengan kalimat yang indah:
“Di dalam Kristus, Allah dan manusia bertemu, surga dan bumi berdamai, waktu dan kekekalan berpadu. Ia adalah pusat kosmos dan sejarah, inti dari wahyu dan keselamatan.”