Takhta Kasih Karunia: Panggilan untuk Mendekat kepada Allah yang Maharahim

Takhta Kasih Karunia: Panggilan untuk Mendekat kepada Allah yang Maharahim

Pendahuluan: Allah di Takhta, Manusia di Kebutuhan

Setiap agama besar di dunia memiliki konsep tentang Allah yang berkuasa dan agung di atas takhta. Namun hanya dalam Injil kita menemukan paradoks yang menakjubkan: takhta itu disebut “takhta kasih karunia.” Dalam Ibrani 4:16, penulis surat kepada orang Ibrani mengundang umat percaya untuk datang dengan keberanian kepada takhta ini, bukan dengan ketakutan.

Di sinilah kita menemukan inti dari Injil: Allah tetap duduk di atas takhta-Nya—tinggi, kudus, dan berdaulat—namun takhta itu bukan lagi tempat penghukuman bagi umat-Nya, melainkan tempat anugerah dan belas kasihan karena karya Kristus yang sempurna.

Sebagaimana dikatakan John Owen, teolog Puritan besar:

“Takhta Allah, yang sebelumnya penuh murka terhadap dosa, kini menjadi takhta kasih karunia karena darah Kristus telah dipercikkan di atasnya.”
(Exposition of the Epistle to the Hebrews, 1668).

Artikel ini akan menelusuri makna, konteks, dan kekayaan teologis dari istilah “takhta kasih karunia,” serta bagaimana konsep ini meneguhkan iman umat Reformed dalam menghadapi kelemahan, penderitaan, dan perjuangan iman.

Konteks Surat Ibrani: Kristus sebagai Imam Besar Agung

Sebelum ayat 16, penulis Ibrani menegaskan bahwa Kristus adalah Imam Besar Agung yang dapat bersimpati dengan kelemahan kita (Ibr.=ani 4:14–15). Ia berbeda dari imam besar Perjanjian Lama yang harus mempersembahkan korban berulang kali. Kristus telah mempersembahkan diri-Nya sekali untuk selamanya (Ibrani 9:12).

Oleh karena itu, kita memiliki akses yang pasti dan aman untuk datang ke hadirat Allah. Dulu, hanya imam besar yang boleh masuk ke ruang maha kudus sekali setahun pada Hari Pendamaian (Yom Kippur), membawa darah korban. Tetapi kini, melalui darah Yesus, seluruh umat percaya dapat datang langsung kepada Allah.

John Calvin menjelaskan:

“Kita tidak lagi berdiri jauh di luar tabir; karena tabir itu telah disingkirkan oleh Kristus, dan pintu surga terbuka bagi kita setiap saat.”
(Commentaries on the Epistle to the Hebrews, 1549).

Dengan demikian, Ibrani 4:16 adalah undangan terbuka dari Allah sendiri:
“Marilah kita menghampiri takhta kasih karunia.”

Eksposisi Kata demi Kata

1. “Marilah kita menghampiri” (Yunani: προσερχώμεθα, proserchōmetha)

Kata kerja ini dalam bentuk imperatif present tense—menunjukkan tindakan yang terus-menerus. Artinya, bukan hanya sekali datang kepada Allah, tetapi hidup dalam kebiasaan mendekat.

Kata yang sama digunakan dalam Ibrani 7:25 dan 10:22, menggambarkan hubungan yang intim dan berkelanjutan antara orang percaya dan Allah.

R.C. Sproul menafsirkan ini sebagai:

“Ibadah Kristen bukan sekadar ritual, tetapi perjalanan mendekat kepada Allah yang hidup.”
(The Holiness of God, 1985).

Mendekat kepada Allah bukan berarti kita mengurangi rasa hormat, tetapi kita mendekat dengan keyakinan bahwa Kristus telah membuka jalan.

2. “Dengan penuh keberanian” (Yunani: μετὰ παρρησίας, meta parrēsias)

Kata parrēsia berarti keterbukaan, keberanian, atau kebebasan berbicara. Ini adalah istilah yang sering digunakan dalam konteks politik Yunani Kuno, di mana seorang warga negara dapat berbicara bebas di hadapan penguasa tanpa rasa takut.

Namun dalam konteks ini, keberanian itu bukan karena kita layak, melainkan karena Kristus telah menjadi pengantara kita.

John MacArthur menulis:

“Keberanian orang percaya tidak berasal dari dirinya sendiri, tetapi dari keyakinan bahwa segala sesuatu yang perlu untuk penerimaan kita di hadapan Allah telah diselesaikan oleh Kristus.”
(The MacArthur New Testament Commentary: Hebrews, 1983).

Kita tidak datang kepada Allah dengan keangkuhan, tetapi dengan keberanian yang rendah hati—suatu keberanian yang lahir dari iman kepada kasih karunia.

3. “Takhta kasih karunia” (Yunani: θρόνος τῆς χάριτος, thronos tēs charitos)

Frasa ini unik dalam seluruh Alkitab. Takhta biasanya identik dengan otoritas dan keadilan, tetapi di sini diubah menjadi takhta kasih karunia.

Ini menunjukkan perubahan fundamental dalam hubungan manusia dengan Allah melalui Kristus. Takhta yang dahulu dihubungkan dengan ketakutan (seperti Sinai, dengan api dan guntur), kini menjadi tempat perlindungan (seperti salib yang memanggil, “Datanglah!”).

Matthew Henry berkomentar:

“Takhta kasih karunia adalah tempat di mana Allah memerintah dalam kasih, mendengarkan doa, memberikan pengampunan, dan menolong umat-Nya pada waktunya.”

Takhta ini adalah gambaran surgawi dari tabut perjanjian dalam ruang maha kudus, di mana di atas tutup pendamaian (mercy seat) Allah menyatakan diri kepada imam besar. Namun kini, Yesus Kristus sendiri adalah tutup pendamaian itu (Roma 3:25).

John Owen menegaskan:

“Kristus adalah takhta kasih karunia itu sendiri—melalui Dia, kasih Allah mengalir kepada manusia tanpa menghapus keadilan-Nya.”

4. “Supaya kita menerima belas kasihan dan menemukan kasih karunia”

Perhatikan dua kata kerja penting: menerima dan menemukan.
Ini menggambarkan dua sisi dari karya Allah bagi umat-Nya:

  • Belas kasihan (eleos): pengampunan terhadap dosa masa lalu.

  • Kasih karunia (charis): kekuatan untuk menolong di masa sekarang dan masa depan.

Artinya, di hadapan takhta kasih karunia, kita tidak hanya diampuni, tetapi juga diperlengkapi.

Charles Spurgeon berkata:

“Allah bukan hanya menghapus noda dosa kita, tetapi juga menguatkan kita untuk tidak jatuh lagi di jalan yang sama.”
(Metropolitan Tabernacle Pulpit, 1872).

Takhta kasih karunia bukan hanya tempat pengampunan, tetapi juga tempat transformasi.

5. “Untuk menolong kita pada waktunya” (Yunani: εἰς εὔκαιρον βοήθειαν, eis eukairon boētheian)

Ungkapan ini secara harfiah berarti pertolongan yang tepat waktu.
Allah tidak pernah terlambat—pertolongan-Nya datang pada saat yang paling kita butuhkan.

A.W. Pink, seorang teolog Reformed, menulis:

“Kasih karunia Allah selalu tepat waktu; tidak lebih cepat agar kita belajar bergantung, dan tidak lebih lambat agar kita tidak putus asa.”
(An Exposition of Hebrews, 1954).

Allah tahu kapan harus menolong, dan kasih karunia-Nya selalu sesuai dengan kebutuhan kita—baik dalam pencobaan, penderitaan, maupun pelayanan.

Makna Teologis dalam Perspektif Reformed

1. Doktrin Akses Langsung kepada Allah

Dalam teologi Reformed, konsep “takhta kasih karunia” menegaskan doktrin priesthood of all believers (imamat semua orang percaya).

Karena Kristus adalah Imam Besar kita, kita tidak perlu perantara manusia untuk datang kepada Allah.

John Calvin menulis:

“Kristus telah membuka jalan bagi kita semua; tidak ada tembok pemisah yang tersisa, karena darah-Nya telah mendamaikan kita dengan Bapa.”

Oleh sebab itu, doa bukanlah hak istimewa segelintir orang kudus, tetapi hak setiap orang percaya.

2. Keadilan dan Kasih Allah Bertemu

Takhta kasih karunia tidak meniadakan keadilan Allah, tetapi justru menyempurnakannya dalam kasih.
Di sinilah konsep Reformed tentang penebusan substitusi (substitutionary atonement) menjadi nyata: murka Allah terhadap dosa dipuaskan di salib, sehingga kasih Allah dapat mengalir tanpa menghapus keadilan-Nya.

B.B. Warfield menjelaskan:

“Kasih karunia bukanlah kemurahan yang murahan, melainkan kasih yang telah membayar harga di Golgota.”

Itulah sebabnya takhta ini tidak disebut “takhta belas kasihan tanpa dasar,” melainkan “takhta kasih karunia yang ditegakkan di atas darah Anak Domba.”

3. Kasih Karunia sebagai Kekuatan Aktif

Dalam teologi Reformed, kasih karunia bukan sekadar perasaan Allah terhadap manusia, melainkan daya kuasa rohani yang mengubah hati dan kehidupan.

Ketika orang percaya datang ke takhta kasih karunia, ia tidak hanya memperoleh pengampunan, tetapi juga kasih karunia yang menguatkan.

Louis Berkhof menulis:

“Kasih karunia bukan hanya pemberian, tetapi kuasa yang bekerja dari dalam untuk memampukan umat Allah hidup kudus.”
(Systematic Theology, 1938).

Dengan demikian, setiap kali kita berdoa di hadapan takhta kasih karunia, kita mengalami pembaruan hidup oleh karya Roh Kudus.

4. Perseverance of the Saints (Ketekunan Orang Kudus)

Takhta kasih karunia juga menjadi dasar penghiburan bagi doktrin ketekunan orang kudus.

Orang percaya mungkin jatuh, lemah, atau kehilangan semangat, tetapi mereka tidak akan binasa karena kasih karunia Allah selalu tersedia.

John Piper menjelaskan:

“Kasih karunia bukan hanya untuk memulai iman kita, tetapi juga untuk mempertahankannya hingga akhir.”

Kita datang kepada takhta kasih karunia bukan sekali, melainkan terus-menerus—karena di sanalah kita menemukan kekuatan untuk bertahan dalam iman.

Aplikasi Praktis untuk Kehidupan Kristen

1. Datang dengan Keberanian, Bukan Ketakutan

Allah tidak lagi duduk di atas takhta murka bagi umat-Nya. Ia menunggu kita dengan tangan terbuka di takhta kasih karunia.
Oleh karena itu, jangan biarkan rasa bersalah, malu, atau kegagalan menghalangi kita datang kepada-Nya.

Martyn Lloyd-Jones menulis:

“Tidak ada dosa yang terlalu besar untuk darah Kristus; dosa yang sebenarnya menghina kasih karunia adalah dosa yang menolak datang kepada-Nya.”

2. Doa Sebagai Jalan Menuju Kekuatan

Ibrani 4:16 menegaskan bahwa doa adalah saluran utama kasih karunia.
Ketika kita lemah, bimbang, atau menghadapi pencobaan, doa adalah cara kita menghampiri takhta kasih karunia dan menemukan pertolongan tepat waktu.

Spurgeon menegaskan:

“Doa bukanlah pintu darurat bagi orang percaya, melainkan jalan utama menuju sumber kekuatan.”

3. Pelayanan Berdasarkan Kasih Karunia

Bagi pelayan Tuhan, ayat ini menjadi dasar penghiburan. Semua pelayanan sejati lahir dari kasih karunia, bukan kemampuan manusia.

A.W. Tozer menulis:

“Allah tidak memakai orang yang kuat, tetapi orang yang tahu di mana takhta kasih karunia berada.”

Setiap kali kita merasa tidak layak, itulah saat terbaik untuk datang kepada takhta kasih karunia, sebab di sanalah kita menemukan kuasa untuk melayani.

4. Penghiburan di Tengah Penderitaan

Ketika hidup menekan dan iman melemah, kita dapat yakin bahwa Allah tidak pernah tertutup bagi kita. Ia duduk di takhta kasih karunia, bukan takhta jarak.

Timothy Keller menjelaskan:

“Di salib, Allah menunjukkan bahwa Ia tidak hanya berdaulat atas penderitaan, tetapi juga bersedia menanggungnya bersama kita.”
(Walking with God Through Pain and Suffering, 2013).

Maka, penderitaan bukan alasan menjauh dari Allah, tetapi panggilan untuk lebih dekat kepada takhta kasih karunia.

Dimensi Kristologis: Yesus sebagai Takhta Kasih Karunia yang Hidup

Ibrani 4:16 tidak dapat dipisahkan dari Kristus sendiri. Dialah perwujudan takhta kasih karunia itu.
Di dalam diri-Nya, keadilan dan kasih bertemu. Di dalam darah-Nya, pengampunan dan kekuatan dicurahkan.

Jonathan Edwards menulis:

“Kristus adalah takhta kasih karunia yang hidup—di dalam diri-Nya, Allah dan manusia berdamai.”
(The Excellency of Christ, 1738).

Dengan demikian, ketika kita datang kepada takhta kasih karunia, kita tidak datang kepada konsep abstrak, melainkan kepada pribadi yang hidup—Yesus Kristus, Tuhan kita.

Kesimpulan: Di Hadapan Takhta yang Mengubah Segalanya

Ibrani 4:16 adalah salah satu undangan paling lembut dan penuh kuasa dalam seluruh Kitab Suci.
Ayat ini menegaskan bahwa:

  • Allah berdaulat di atas takhta-Nya, tetapi kasih karunia-Nya kini terbuka bagi kita.

  • Kita dapat datang dengan keberanian karena Kristus telah menanggung segala sesuatu bagi kita.

  • Di hadapan takhta kasih karunia, kita menerima belas kasihan untuk masa lalu, kasih karunia untuk masa kini, dan pengharapan untuk masa depan.

R.C. Sproul menutup khotbahnya tentang teks ini dengan kalimat sederhana namun mendalam:

“Ketika kita datang kepada takhta kasih karunia, kita tidak menemukan hakim yang marah, tetapi Bapa yang tersenyum.”

Renungan Akhir

Datanglah, umat Allah, apa pun keadaanmu—lemah, berdosa, atau letih. Takhta kasih karunia terbuka.
Di sana, Kristus duduk, bukan untuk menghukum, tetapi untuk menolongmu tepat pada waktunya.

“Sebab kasih karunia-Nya cukup bagimu; kuasa-Nya menjadi sempurna dalam kelemahan.”
2 Korintus 12:9

Next Post Previous Post